Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
" Mbak, baju seragam yang buat acara nikahanku besok, mana? Kata Mama lagi Kakak setrikain, ya?” Putri adikku muncul dari balik pintu. “Sudah disimpan di kamar kamu, Put.” Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya setiap mengingat hal ini, sakitnya sampai ke ubun-ubun. Tega-teganya adik kandungku sendiri tidur dengan lelaki yang beberapa minggu lagi akan menikahiku. Lalu, sekarang? Aku harus kuat hati melihat hari bahagia mereka di depan mata. Rasanya, sakitnya tuh di mana-mana. “Oke, deh! Makasih, Mbak.” Putri menutup pintu kamarku. Lekas aku beranjak dan berjalan mendekat ke arah jendela. Kuhirup udara banyak-banyak agar rongga dada yang terasa sesak terasa lega. Namun, sama saja. Bahkan air mataku kembali menggenang. Tiba-tiba memoriku bersama Mas Imam berlarian. *** “Va, lihat ini … kemarin aku sudah interview dengan pihak Bank. Alhamdulilah, KPR aku disetujui. Nanti setelah kita nikah, kita sudah bisa pindah ke rumah sendiri.” Mas Imam menatapku dengan pandangan berbinar
Brak!Sebuah pemandangan yang menyakitkan tersaji di depan mata. Hatiku terasa hancur. Kedua tungkai terasa lemas luar biasa. Dia, adik yang kusayangi sudah tak lagi berbusana dan menutup tubuhnya dengan seprai. Pakaiannya berserakan di mana-mana. Tanda merah, aku melihatnya dengan jelas menyebar pada lehernya.“P—Putri, k—kamu tega sekali sama, Mbak?!” pekikku dengan tangan mengepal. Aku memandangnya dengan nanar. Sekelumit bayangan itu kembali membuat air mata ini luruh. Setelah kejadian itu, bukan hanya aku yang terluka, tetapi juga Ibu. Perempuan yang sama menggantungkan harapannya pada Putri sepertiku. “Kenapa kamu tega, Put?” lirih batinku mengulangi pertanyaan serupa yang tak pernah akan ada jawabannya. Karena dia yang sudah melukai kami, bahkan tengah bersuka cita karena akan segera menikah. Ketukan pada daun pintu, terdengar beruntun. Aku menoleh. Lekas kuseka air mata yang mengalir membasahi pipi. Tak mau lagi menunjukkan pada orang serapuh apa aku. Bahkan setiap kali di
“Hey, tunggu!” teriakku. Dia belum bayar kuenya soalnya. Dia berhenti, lalu menoleh dan sepasang mata elangnya menatap tajam. “Ngapain lo manggil-manggil gue! Jangan pernah mikir mau godain gue! Perawan gak laku!” Plak!Entah setan dari mana yang menggerakkan tanganku. Kalimatnya begitu menyakitkan hati. Kutelan saliva dan menatap tajam penuh benci. “Dua kali hati ini disakiti oleh dua orang lelaki. Akan kubuat kalian mengemis-ngemis cintaku di kemudian hari!” batinku berucap. Janji pada diri sendiri. Sakit karena dikhianati belum pergi. Kini ditambah lagi bertemu manusia laknat yang ucapannya melukai harga diri.“Lo nampar gue?” Sepasang mata Kenzo menatap tajam. Tiba-tiba adegan ini seoalh dejavu. Memoriku sekilas berlari pada Kenzo dengan seragam putih abu dan rambut dicat berwarna magoni. Pandangan itu masih sama, lekat kebencian tertanam di sana. Bahkan ucapannya pun hampir serupa, “Lo laporin gue ke kepala sekolah? Jang sok jadi cewek, deh!” Aku menggeleng kepala. Mengembal
“Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. “Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam. Putri tampak kaget. Mungkin seumur hidup seatap denganku, baru kali ini aku bicara agak keras padanya. “Mbak, kenapa Mbak teriak-teriak? Mbak lupa kalau di rumah ini ada Bapak yang lagi sakit? Mbak gak mikirin perasaan Bapak, ya? Dia sedang stroke, Mbak. Jangan sampai kondisinya makin drop kalau dengar kita ribut-ribut kayak gini?” Aku menelan saliva. Ingin rasanya menyumpal mulut Putri itu. Namun, sadar. Putri bukan orang yang bisa diajak bicara. Berdebat dengannya hanya menghabiskan tenaga. Sementara itu, ada Bapak yang butuh aku, ada Ibu yang harus kubantu. “Kalau kamu gak mau ikutin aturan, Mbak. Mulai hari ini, Mbak akan pernah ngeluarin sepeser pun buat kebu
Hidup memang terus melaju. Esok yang tak kukehendaki pun akhirnya tiba. Usai menikmati satu piring nasi goreng kencur buatan Ibu dan segelas teh pahit hangat, aku beranjak. Ada sesuatu yang terasa hampa, ketika dulu setiap pagi, Mas Imam-lah yang menjemputku ke sini dan kami berangkat kerja bersama. Aku panaskan sepeda motor bebek yang biasa dipakai Putri kuliah. Toh, kini dia sudah ambil cuti, acara nikahan dengan Mas Imam akan dilaksanakan dua mingguan lagi. “Mbak kok pake motor? Aku mau pergi.” Dia melongokkan wajah dari balik pintu. “Mbak mau kerja. Kuliah kamu ‘kan sudah cuti juga.” Aku menoleh sekilas ke arahnya. Lantas berjalan masuk dan meninggalkan sepeda motor beat keluaran lama yang sedang di panaskan di teras rumah. Kuhanya melirik sekilas padanya yang tengah memoles perwarna bibir warna orange, lalu duduk pada kursi kayu yang ada di ruang tengah dan mengenakan kaos kaki. Putri tampak sudah rapi. Aku menatapnya dari atas hingga bawah. Selalu saja tampilannya seksi. Dia
Aku sudah mengajukan izin pada Bu Ratna---selaku pimpinan LPC Al Huda atau Lembaga Professional Course Al-Huda di mana aku bekerja, pastinya setelah berbincang dengan Mbak Ana. Dia yang biasanya menggantikan tugas pentingku ketika akan ada keperluan seperti sekarang.Pakaian hitam putih sudah rapi kukenakan. Kupoles wajah dengan bedak, tetapi sayangnya malah aneh. Kulitku yang gelap ketimpa bedak yang putih malah terkesan dipaksakan. Akhirnya kucuci lagi muka dan hanya memakai foundation seharga sepuluh ribuan. Tak memunculkan efek apa-apa, hanya saja setidaknya tak terasa terlalu kering. Kupoles lip balm warna natural agar bibirku tampak segar. Kerudung warna hitam menjadi pilihan. Kulipat kerudung segi empat itu dan kupertemukan dua sisinya. Lekas kupakai dengan simetris. Setelah tersemat jarum pentul, lekas aku mengambil tas yang sebetulnya hanya berisikan ballpoint, dompet kecil, ponsel, kotak makan segi empat dan air mineral.“Bu, Diva berangkat dulu!” Aku menghampiri Ibu yang t
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
“Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.
Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera
Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa
Komandan security dengan name tag bernama Rahmat itu mempersilakan duduk. Dia menarik dua kursi dan mempersilakan juga lelaki berpakaian formal yang aku tak diketahui siapa namanya itu. “Silakan Pak Muhyi! Pak Kenzo!” Kenzo dan lelaki berpakaian formal yang disebutnya Pak Muhyi itu pun duduk. Sementara itu, dia sendiri lebih memilih berdiri.Layar komputer mulai terhubung ketika jemari Pak Muhyi mengetikkan sebuah IP adress, lalu dua memasukkan username dan password pada layar. Ada banyak sekali kamera cctv yang terpasang di sana. Dia yang sudah hapal letaknya memilih kamera nomor 25 yang ternyata berada menyorot lebih banyak ke area toilet dan mushola. Mereka menunggu beberapa detik, hingga akhirnya Kenzo melihat sosok Adzkya yang berjalan tergesa masuk ke dalam toilet. Lalu, sekitar sepuluh menit berlalu, di antara lalu lalang orang-orang, terlihat Adzkya keluar. Namun melihat ekspresinya membuatnya yakin, ada hal yang tak baik-baik saja. Hingga sosok tinggi tegap yang hanya te
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika