🏵️🏵️🏵️
Terus terang, aku masih penasaran dengan apa yang terjadi terhadap Lani. Mungkinkah dia akan mencoreng nama baik keluarganya? Selama ini, aku sering mendengar pujian yang Mbak Sandra beberkan kepada Mbak Dewi.
Dia mengaku kalau Lani sering jadi topik pembicaraan di kampusnya. Di samping dirinya yang cantik, tetapi juga berprestasi. Mbak Sandra bahkan dengan yakin mengatakan kalau Lani harus mendapatkan jodoh yang tidak sekadar mapan, tetapi juga terpandang.
Dia mengaku sangat yakin kalau Lani akan makin meninggikan derajat keluarga mereka. Aku sebagai pendengar hanya diam saja. Aku tahu kalau wanita itu sengaja menceritakan semua itu dengan suara meninggi agar aku juga turut mendengarkan.
“Punya anak seperti Lani, mah, mudah untuk mendapatkan menantu kaya dan terpandang. Lani itu benar-benar cantik.” Mbak Sandra selalu bersemangat jika menceritakan anaknya kepada Mbak Dewi.
“Kalau anakku yang lamar Lani, diterima, nggak?” tanya Mbak Dewi kala itu.
“Maaf, Wi … Bayu bukan menantu idaman untukku.” Mbak Sandra dengan santai langsung menolak keinginan Mbak Dewi tentang Bayu—anak tunggalnya yang seumuran dengan Lani.
“Iya, deh. Aku hanya bercanda.” Sepertinya Mbak Dewi hanya ingin tahu jawaban Mbak Sandra.
Aku tidak salah karena telah memberikan penilaian terhadap Mbak Sandra. Bagiku, dia wanita sombong dan terlalu membanggakan apa yang dia miliki. Aku ingin tahu, apa yang akan wanita itu lakukan jika Lani benar-benar hamil saat ini.
Aku tidak bermaksud untuk mendoakan yang buruk terhadap tetanggaku itu. Namun, jika aku mengingat semua perlakuannya sejak tinggal di samping kanan rumahku, tidak sedikit harapan yang mungkin tidak masuk akal terlontar dari bibirku saat menggerutu.
“Menurut Papa, Lani beneran hamil, nggak?” tanyaku kepada Mas Fandy. Kami sengaja memilih berbincang di kamar agar Ratu tidak mendengar pembicaraan kami.
“Itu bukan urusan kita. Tugas kita adalah menjaga anak kita dan memberikan nasihat padanya.” Mas Fandy selalu saja menolak untuk ikut campur dengan urusan Mbak Sandra. Dia pernah mengaku kalau tetangga kami itu adalah manusia langka.
“Kasihan juga, sih, kalau memang hal itu benar terjadi. Aku nggak bisa bayangin seperti apa perasaan Mbak Sandra yang selalu bangga-banggain Lani selama ini.” Aku tetap melanjutkan obrolan walaupun Mas Fandy tidak terlalu memberikan respons membahas apa yang kami saksikan tadi.
“Mama harus bisa jadikan ini sebagai pelajaran. Jangan terlalu muji-muji Ratu. Sebenarnya, Papa kurang setuju melihat Mama sangat bersemangat ketika saudara-saudara kita bertanya tentang prestasi Ratu. Mama harusnya jawab seadanya aja. Yang penting, kita tetap bersyukur.” Aku sangat mengerti arah pembicaraan Mas Fandy.
Terus terang, aku bangga memiliki anak seperti Ratu. Sejak duduk di bangku sekolah, dia selalu membanggakan orang tuanya. Dia tidak membiarkan orang lain merebut juara satu darinya. Dia bahkan tiga kali mendapatkan juara umum saat masih duduk di bangku SD dan dua kali di bangku SMP.
🏵️🏵️🏵️
Seminggu berlalu, isu tentang kehamilan Lani tersebar di kompleks ini. Aku tidak tahu kenapa tetangga-tetangga lain mengetahui hal tersebut. Padahal sangat jelas, hanya aku dan Mbak Dewi yang menyaksikan apa yang terjadi saat itu. Mungkinkah dia yang telah menyebarkan kejadian itu?
Harusnya aku tidak perlu heran jika Mbak Dewi yang membeberkan apa yang terjadi terhadap Lani kepada tetangga-tetangga lain karena mulutnya sebelas dua belas dengan Mbak Sandra. Pantasnya mereka berdua memiliki tim dengan nama ‘Julid’.
Ya, aku akui kalau rasa keingintahuan Mbak Dewi pernah membuatku berterima kasih kepadanya, di mana kala itu, berkat dirinya, aku akhirnya mengetahui kebenaran tentang fitnah yang Mbak Sandra tujukan terhadap anakku.
Akan tetapi, jika menyangkut masalah yang terjadi terhadap Lani saat ini, aku tidak setuju kalau Mbak Dewi terlalu ikut campur. Walau bagaimanapun, Mbak Sandra sering berbuat baik kepadanya. Wanita itu tidak sekali atau dua kali membantu Mbak Dewi.
“Walaupun Mbak Sandra itu julid, tapi dia tetap mau bantu tetangga.” Mbak Dewi beberapa kali mengucapkan hal itu kepadaku. Aku geli mendengar dirinya memberikan julukan terhadap Mbak Sandra. Padahal, dia juga sama seperti wanita itu.
“Maksudnya, Mbak Sandra bantu Mbak?” Aku langsung menebak arah pembicaraannya.
“Iya, Bel. Kalau aku minjam duit, pasti dikasih. Maklumlah, gaji Mas Dimas sering nggak cukup sampai akhir bulan.”
Mbak Dewi tidak segan-segan menceritakan kekurangan yang terjadi dalam rumah tangganya, apalagi tentang suaminya. Aku sering berpikir, kenapa wanita itu terkesan menyalahkan suaminya yang telah banting tulang untuk menghidupi istri dan anaknya.
Sebenarnya, aku tahu kalau tujuan Mbak Dewi membanggakan Mbak Sandra tidak sekadar curhat, tetapi juga memberikan sindirin karena aku beberapa kali menolak saat dirinya meminjam uang kepadaku. Terus terang, aku tidak bermaksud pelit atau apalah, tetapi aku trauma.
Aku pernah memberikan pinjaman kepada sahabat terdekatku. Setelah waktu yang dijanjikan untuk mengembalikan uang yang dia pinjam, dia justru memblokir semua akun sosial mediaku termasuk nomor kontakku. Akhirnya, persahabatan kami berakhir begitu saja.
Jadi, aku tidak ingin mengalami hal yang sama terhadap Mbak Dewi karena yang aku dengar, wanita itu juga sangat susah membayar utang. Aku tidak mau terjadi salam paham dengannya, apalagi kami bertetangga. Cukup Mbak Sandra yang tidak akur denganku sebagai tetangga, jangan ada yang lain lagi.
“Mah, Kak Lani hamil, ya?” Aku dikagetkan suara Ratu.
“Siapa yang bilang?” Aku heran, kenapa dia melontarkan pertanyaan itu.
“Ratu dengar dari orang-orang di sekitar sini.”
🏵️🏵️🏵️
Berita kehamilan Ratu, sepertinya bukan sesuatu yang perlu dirahasiakan lagi. Hampir semua penghuni di kompleks rumahku telah mengetahui hal tersebut. Aku berharap semoga Ratu belum mengetahui kebenaran itu karena ketika dia bertanya saat itu, aku mengalihkan pembicaraan.
“Serius, Mbak?” tanyaku kepada Mbak Dewi. Saat ini, dia berkunjung ke rumahku. Untung saja Ratu belum pulang kerja kelompok dari rumah temannya.
“Iya. Ternyata si cowok satu kampus dengan Lani. Paling sedihnya lagi, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Kuliah aja karena dapat beasiswa. Jadi, ibunya kesal dan kaget. Anak yang jadi harapannya selama ini, hancur karena terlalu jauh melangkah dengan Lani.”
“Jadi, apa tanggapan Mbak Sandra?” tanyaku penasaran.
“Mau nggak mau, dia harus setuju menikahkan Lani dengan ayah dari janin yang dikandung. Ternyata usia kehamilan Lani udah lima bulan. Kok, nggak kelihatan, ya. Terus, penghuni rumahnya juga nggak ada yang tahu sama sekali.”
“Apa? Lima bulan? Astaghfirullah.”
Aku sangat terkejut mendengar penuturan Mbak Dewi, tetapi aku tidak ingin menghakimi orang lain karena aku juga memilki anak perempuan. Aku tidak mau asal bicara karena aku tidak tahu seperti apa kehidupan Ratu ke depannya. Aku hanya bisa berdoa supaya kebaikan selalu menghampirinya.
“Kasihan juga lihat Mbak Sandra. Udah dua minggu dia nggak keluar. Mungkin dia malu berhadapan dengan orang lain. Padahal, dia pernah menolak saat aku ingin melamar Lani untuk Bayu.” Ternyata Mbak Dewi masih ingat kejadian itu.
“Anggap aja nggak berjodoh, Mbak.” Aku mengusap lengannya.
“Mungkin ini hukuman untuknya karena terlalu sombong.” Aku tidak menyangka kalau Mbak Dewi mengucapkan hal itu.
“Nggak boleh ngomong gitu, Mbak. Doakan aja yang terbaik untuk Lani. Walau bagaimanapun, mereka tetap tetangga kita.” Aku berharap agar Mbak Dewi berhenti berbicara seperti itu.
“Kamu terlalu baik, Bel. Padahal, kamu sering dijelek-jelekin.”
“Aku nggak mau dendam, Mbak.”
“Assalamualaikum.” Ternyata Ratu sudah pulang. Aku memberikan isyarat kepada Mbak Dewi agar kami mengakhiri pembicaraan. Sepertinya dia mengerti. Dia pun langsung berpamitan.
“Tante Dewi ngapain, Mah?” tanya Ratu setelah Mbak Dewi keluar dari rumahku.
==========
🏵️🏵️🏵️ Wajar kalau Ratu curiga melihat keberadaan Mbak Dewi di ruang tamu rumahku karena biasanya, tetanggaku itu berbincang denganku hanya di halaman depan saja. Tadi kami sengaja memilih masuk karena ingin membicarakan hal yang sangat rahasia. Rencana pernikahan Lani dengan ayah dari janin yang dia kandung, belum diketahui banyak orang. Jadi, Mbak Dewi tidak ingin jika hal itu sampai tersebar di kompleks ini. Dia mengetahui informasi itu dari Mbak Sandra sendiri. Aku heran, kenapa Mbak Sandra sangat percaya kepada Mbak Dewi hingga dia memberitahukan sesuatu yang belum diketahui orang lain di kompleks ini. Mungkin dia tidak sanggup menyimpan apa yang terjadi sendirian, dalam arti tidak melibatkan tetangga terdekat. “Mama, kok, diam?” Ternyata rasa ingin tahu Ratu tidak dapat aku elakkan. “Apa Tante Dewi sengaja ke sini untuk membeberkan apa yang terjadi terhadap Kak Lani, Mah?” Kenapa tebakan putriku itu sangat tepat? Apa mungkin dia tahu sesuatu? “Kok, kamu, ngomongnya gitu,
🏵️🏵️🏵️ “Dekat gimana, sih, Mah? Ratu nggak ngerti.” Ternyata dia telah menyembunyikan sesuatu dariku. “Kamu mau langsung jujur atau Mama yang jelasin apa yang Mama lihat?” “Ada apa, sih, Mah? Ratu bingung.” Aku dan Mas Fandy pun saling berpandangan. Sepertinya dia tidak terlalu memberikan respons atas apa yang kami saksikan tadi. Aku tahu kalau dia sangat menyayangi Ratu, begitu juga denganku. Namun, aku tidak ingin jika anakku satu-satunya terlalu jauh melangkah. Walaupun Revan anak baik, tetapi aku tidak setuju jika Ratu kembali dekat dengannya, apalagi sampai menunjukkan perhatian di depan Mbak Sandra. Perjalanan masih panjang dan aku ingin agar Ratu fokus dengan pendidikannya. Di samping itu, aku juga tidak ingin memiliki hubungan istimewa dengan Mbak Sandra di kemudian hari. Aku tidak dapat membayangkan harus selalu dekat dengan wanita yang terlalu mencampuri urusan orang lain tersebut. Aku harus mengingatkan Ratu dari sekarang. Aku tidak ingin terjadi hal-hal yang merug
🏵️🏵️🏵️ Waktu terus berlalu, anak semata wayangku kini duduk di bangku SMA. Namun, satu hal yang membuatku sangat terkejut dan tidak suka. Ternyata Revan juga memilih sekolah yang sama dengannya. Entah kenapa anak tetanggaku itu seolah-olah sengaja ingin selalu dekat dengan buah hatiku. “Kok, bisa kamu satu sekolah dengan Revan?” tanyaku kepada Ratu, setelah kami selesai menikmati makan malam bersama. “Revan yang ngikutin Ratu, Mah. Awalnya, dia mau sekolah sesuai keinginan orang tuanya. Tapi karena Ratu milih sekolah lain, dia nolak sekolah yang disaranin orang tuanya.” Aku terkejut mendengar penuturan Ratu. Apa yang aku pikirkan setelah mengetahui Revan melanjutkan sekolah di tempat yang sama dengan Ratu ternyata benar. Bagaimana caranya aku bersikap tegas terhadap Ratu kalau Revan masih saja mengikutinya? “Apa kamu kasih harapan ke dia?” Aku kembali bertanya. “Harapan apa, sih, Mah?” “Harapan supaya Revan tetap dekatin kamu. Apa kamu masih punya perasaan padanya?” “Nggak,
🏵️🏵️🏵️ “Kamu masih nanya kenapa Mama bersikap seperti itu? Apa kamu lupa siapa Tante Sandra? Tadi aja, dia masih tetap dengan kesombongannya. Dia bilang, cewek di luar sana masih banyak yang mau sama Revan daripada harus milih kamu.” “Tante Sandra ngomong gitu, Mah?” “Iya. Jadi, Mama harap kamu jaga jarak dengan Revan. Tolong ngerti, Sayang.” “Iya, Mah.” Aku sangat lega karena Ratu tidak membohongi orang tuanya. Namun, aku tetap sangat kesal mengingat apa yang Mbak Sandra katakan tadi. Dia tidak pernah memikirkan apa yang dia ucapkan kepadaku. Dia seolah-olah hanya ingin menyakiti perasaanku. Entah teguran apa yang pantas Mbak Sandra dapatkan agar tidak bersikap sesuka hati kepadaku. Sebenarnya, aku tidak bermaksud untuk mendoakan sesuatu yang tidak baik terhadapnya, tetapi perbuatannya telah memaksaku untuk tetap membencinya. Terus terang, aku lelah memiliki tetangga seperti Mbak Sandra, tetapi aku harus sabar. Aku dan Mas Fandy berencana akan menjual rumah ini lalu membeli
🏵️🏵️🏵️ Hari ini Minggu, aku dan Ratu memilih menghabiskan waktu di rumah orang tuaku, sedangkan Mas Fandy mengaku bertemu dengan klien baru di kantornya. Terus terang, aku tidak pernah menaruh curiga sedikit pun terhadap dirinya. Aku selalu percaya kalau dia suami terbaik. Orang tuaku juga menjodohkanku dengan Mas Fandy karena mereka yakin kalau laki-laki itu akan memberiku kebahagiaan. Ternyata apa yang Ayah dan Bunda pikirkan, akhirnya menjadi kenyataan. Mas Fandy adalah suami idaman bagiku, juga papa terbaik untuk Ratu. Dia selalu mampu mewujudkan apa pun yang aku inginkan. Walaupun hubungan kami berawal dari perjodohan, tetapi dia mengaku tidak pernah menyesal telah mempersunting diriku. Aku juga tidak merasa keberatan ketika dijodohkan dengannya karena aku telah jatuh cinta kepadanya saat pandangan pertama. Aku akhirnya mengakui apa yang kurasakan setelah beberapa bulan pernikahan kami. Dia pun mengatakan tertarik dengan kecantikanku. “Mah, itu Papa?” Aku dikagetkan suara
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak bermaksud untuk tidak percaya kepada Mas Fandy, tetapi cara yang dia lakukan menurutku salah. Walaupun dia mengaku kalau dirinya lebih baik langsung bertemu dengan Mbak Sandra, tetapi hal itu tetap membuatku menaruh curiga. Bagaimana caranya agar aku menemukan jawaban yang lebih masuk akal dari Mas Fandy? Sepertinya, dia tetap tidak ingin memberikan alasan lain. Saat aku kembali bertanya, dia justru menunjukkan perubahan di wajahnya. Dia tampak gugup dan bersikap tidak seperti biasanya. Kenapa dia harus menunjukkan reaksi seperti itu jika memang tidak ada sesuatu hal yang disembunyikan dariku? Apa sebaiknya aku mencari tahu sendiri kenapa Mas Fandy bertemu Mbak Sandra? “Tadi Papa udah jelasin semuanya. Harusnya Mama ngerti.” Mas Fandy seolah-olah menghindar. Baiklah, aku tidak perlu bertanya lagi. “Ya udah, kita istirahat sekarang.” Aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku pun memilih memunggunginya untuk menunjukkan kalau aku sedang tidak baik-baik saja setelah
🏵️🏵️🏵️ “Yah, supaya kamu tahu.” Mbak Dewi dengan santainya memberikan alasan. Aku tetap heran dan tidak habis pikir, kenapa Mbak Sandra masih percaya kepada Mbak Dewi. Apa mungkin dia tidak tahu kalau Mbak Dewi selalu menceritakan info apa pun yang dia dapatkan dari dirinya? Sebenarnya, sedih jika berada di posisinya. Dia memercayai orang yang tidak mampu menjaga rahasia. “Kenapa sampai nunggak?” tanyaku penasaran. “Kan, gaji Rama nggak seimbang dengan pengeluaran. Lebih besar pasak daripada tiang.” “Apa? Bukannya jabatan Mas Rama enak di kantor tempatnya bekerja?” “Itu dulu sebelum ketahuan korupsi.” “Korupsi?” “Iya. Itu semua karena Sandra. Kemauannya terlalu banyak.” Aku tidak dapat membayangkan seperti apa kesabaran Mas Rama untuk menghadapi Mbak Sandra. Selama ini, aku berpikir kalau keuangan mereka sangat lancar karena melihat penampilan Mbak Sandra yang tidak kalah dari wanita sosialita. Ternyata apa yang terlihat di depan mata, tidak selamanya sesuai dengan kenyata
🏵️🏵️🏵️ Beberapa bulan berlalu, dua orang laki-laki berpakaian sangat rapi menghampiriku yang sedang duduk bersantai di teras depan rumahku. Hari ini, aku sengaja meminta izin untuk tidak masuk kantor karena sebelumnya telah lembur hingga pulang larut malam. Awalnya, dua orang tersebut mengaku akan berkunjung ke rumah Mbak Sandra, tetapi setelah beberapa kali menekan bel, tidak ada sahutan sama sekali. Aku pun mempersilakan mereka duduk lalu menyuguhkan minuman. “Maaf, jadi merepotkan Ibu.” Salah satu dari mereka membuka suara. “Sama sekali tidak merasa direpotkan, Pak.” Aku memberikan balasan lalu tersenyum. “Perkenalkan, saya Arga dan ini Reno.” Laki-laki yang bernama Arga memperkenalkan dirinya dan temannya kepadaku. “Saya Bella.” Aku pun menyebutkan namaku. Arga mulai menceritakan tujuan kedatangan mereka ke rumah Mbak Sandra. Ternyata dugaanku benar, mereka dari pihak bank untuk memberikan peringatan terakhir kepada Mbak Sandra karena belum menyetorkan angsuran rumahnya s