Kemudian, laki-laki itu membuka masker dan topinya. Ternyata Ryan, ia muncul secara mendadak atau sudah disusun sebelumnya. Mas Arlan sontak menggandeng lenganku. Matanya pun melirik disertai senyuman. "Kamu ada di sini?" tanya Mas Arlan menyelidik. Gestur tubuh suamiku bergerak seakan takut istrinya diambil orang. "Mas, biasa aja, jangan lengket begitu," bisikku. "Aku punya bukti yang mungkin bisa bantu kalian," tutur Ryan seketika membuat Mas Arlan maju. "Bukti apa?" tanyaku kini agak sedikit maju. Namun, tangan Mas Arlan mencekal lengan ini. "Biar aku aja yang tanya ke Ryan ya," sambung Mas Arlan. Papa dan Om Farhan mungkin bingung, kenapa aku bisa kenal Ryan. Kemudian, orang tuaku mengusulkan untuk bicara serius di kantin rumah sakit. Namun, sebelum kami bergegas, papa bicara pada Pak Juna. "Saya dan keluarga minta maaf kalau sudah mencelakai kakakmu, ini di luar perkiraan kami. Biaya rumah sakit dan lainnya akan saya urus," kata papaku sambil menepuk bahu Pak Juna. Ia m
"Apa dugaan kita benar? Ryan pengkhianat?" tanyaku pada papa."Sulit dipahami, kita tidak boleh asal nuduh," celetuk papa."Dia menyukai Nilam, Pah, bisa saja sakit hati lalu memberikan informasi pada Kiara yang berada di penjara," susul Mas Arlan."Kayaknya terlalu cepat ia memberikan kabar itu pada mereka yang masih si sel, setidaknya kita pulang ke rumah Ryan belum sampai ke kantor polisi, lagi pula jam besuk tahanan kan ada aturannya, nggak mungkin malam gini dia besuk," tambah papa lagi.Banyak kemungkinan terjadi tapi tuduhan pada Ryan tidak sesuai dengan logika. "Sudahlah, kita bicarakan besok lagi, masalah kantor sudah cukup rumit, sekarang waktunya istirahat," suruh papa.Kami bergegas ke kamar masing-masing. Aku dan Mas Arlan mandi bergantian, setelah itu kami merebahkan tubuh di atas ranjang.Sudah lama sekali kami tidak membicarakan sesuatu tentang hubungan, misalnya kami tidak pernah membicarakan bagaimana perencanaan untuk program kehamilan. "Kamu nggak ingin punya ana
Tidak berselang lama, orang yang memakai mobil tersebut pun turun. Ryan, itu betul Ryan, tapi bersama dengan Rifat. "Tuh, kan, sudahlah, pagi ini kita langsung ke kantor, jangan percaya sama Ryan ya, Sayang, aku khawatir ia sekutu dengan Rifat." Mas Arlan mulai mundur dan putar balik, kami tidak jadi ke sel tahanan sebab ada Ryan dan Rifat di sana. "Iya, ternyata Ryan masih bersama Rifat, meskipun kita belum tahu yang kita lihat itu benar atau tidak, tapi aku nggak mau sampai kecolongan, berhati-hati itu penting," timpalku sambil mengarah ke jalan. Aku juga memberikan informasi ini pada papa yang belum berangkat ke Kalimantan, tentu ia akan resah dengan kabar ini karena orang terdekat kami itu tidak dapat dipercaya. Aku mengusap layar ponsel, bergeser ke arah pesan untuk memberikan informasi ini. [Pah, tadi kulihat Ryan bersama Rifat ke kantor polisi.]Pesan itu tidak langsung dibaca papa. Mungkin sedang sibuk mempersiapkan keberangkatan nanti siang. Sepanjang jalan, aku mempers
"Berati perjuangan kita sia-sia untuk menjebloskan Kiara dan Dila ke penjara. Itu artinya setelah ini kemungkinan Dila akan semakin nekat, kalau memang Calista benar-benar serius cabut laporan," sambung Om Farhan lagi. Tidak ada yang bisa kami lakukan, sebab laporan ini dibuat atas persetujuan korban kecelakaan, kalau pihak korban ingin menutup kasus dan tidak jadi memperkarakan ini ke persidangan, itu artinya kami tidak perlu lagi bukti bahkan saksi yang sudah berusaha kami simpan. Aku menghela napas, lalu meneguk air putih yang ada di atas meja. Kemudian, mengajak Om Farhan dan Mas Arlan menjenguk Calista. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa, tapi setidaknya tahu apa alasan Calista mencabut laporannya," tuturku sambil merapikan tas. "Ya, kita sudah berusaha, dan harus akui bahwa musuh kita itu bukan orang sembarangan. Kiara dan Danang tidak bisa dianggap enteng," kata Om Farhan. "Kalau Mbak Dila sih memang ibarat kerikil, tapi dua orang ini yang sangat membahayakan," tambah Mas Ar
Kakaknya Calista berdiri tepat di sebelah Rifat. Mereka berjejer dan laki-laki yang bernama Hendra itu tersenyum. "Beliau pemilik panti asuhan, dimana saya tinggal selama hilang ingatan, Pak Rifat pula yang membayar utang-utang saya, dan juga orang yang memberikan informasi bahwa Calista sedang berbaring di rumah sakit," terang Mas Hendra. Jadi, kali ini kakaknya Calista punya utang budi terhadap orang yang nyaris mencelakai dia. Aku paham sekarang, ia mengambil keputusan yang sudah benar, walau bagaimana pun ini ungkapan rasa terima kasihnya pada Rifat. "Baiklah, kalau begitu kami pamit," ucap Mas Arlan berkata pada sang kakak. Mas Gerry mengantarkan kami sampai depan pintu, ia bicara pada kami lebih dulu. "Besar kemungkinan setelah ini aku dan Calista akan bekerja dengan Danang, sebelumnya kami minta maaf, tidak ada niat untuk berkhianat, tapi jujur aja aku masih butuh pekerjaan," ucap Mas Gerry seketika membuatku berpikir, ternyata aku menolong orang yang salah. Ia bersekutu de
[Nilam, meeting terbuka itu untuk mempermalukan kamu di hadapan umum, Ryan.]Aku menutup layar ponsel lagi, ternyata dugaanku benar, ini semua direncanakan. Tentu semuanya adalah ulah Kiara, buktinya ia tidak mengundang jajaran staff kantor cabang. "Kita balik ke tempat Mas Arlan aja, Om," ajakku sambil melangkah ke mobil dan ponsel sengaja aku masukan kembali ke dalam tas. Baru saja ingin membuka pintu mobil, suara panggilan dari dalam gedung terdengar. Ia menyerukan memanggil namaku dan Om Farhan. "Sampai dipanggil pakai pengumuman, Om?" tanyaku keheranan. "Berati benar yang dikatakan Ryan dalam pesan barusan, Om," tambahku. "Emang Ryan bicara apa?" tanya Om Farhan yang memang belum aku kasih tahu. "Katanya pertemuan ini untuk mempermalukan aku," timpalku lagi. "Berati kamu ikut mobilku aja," suruh Om Farhan. Aku paham maksudnya. Om Farhan menyuruhku untuk cepat masuk ke dalam mobilnya. Jadi untuk mengelabui satpam, mobilku sengaja ditinggal, sebab Kiara dan Danang tentu tida
"Om, speaker tolong aktifkan," bisikku pada Om Farhan. Ia pun melakukan apa yang kupinta. Kemudian, aku mendengar dengan seksama apa yang ingin dikatakan anak buahnya. "Halo, gimana?" tanya Om Farhan. "Pak, saya menemukan mobilnya, tapi tidak ada orang di dalamnya, saya share lokasi tempatnya ya, Pak," ucap anak buah Om Farhan. Kemudian, Om Farhan menutup teleponnya. Lalu ia langsung berdiri dan mengajakku untuk ikut bersamanya. "Mama ikut, Nilam," ucap Mama Desti sambil ikut berdiri. Aku dan Om Farhan saling beradu pandang. "Nanti Hesti nyariin, Mah," ucapku seraya melarang. "Nggak kok, Hesti pulang malam, sudah izin tadi," jawab Mama Desti. Akhirnya aku tidak bisa menolak permintaannya. Ia terpaksa aku ajak ke tempat mobil yang Mas Arlan bawa ditemukan. Mama mengunci pintu lalu ikut bersama kami satu mobil. Posisi duduk Om Farhan berada di kursi depan, sedangkan aku dan Mama Desti berada di belakang. Sepanjang jalan aku hanya diam menatap ke arah jendela sebelah kiri. Mama
Aku menghubungi nomor yang dipakai orang itu untuk kirim pesan. Namun, tidak aktif kembali. "Pengecut!" Aku teriak sambil melempar ponsel. Lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku kembali bersedih, melihat isi chat itu. "Mas, kamu di mana? Kenapa nggak bisa lawan orang itu? Dalam bahaya kah kamu di sana?" Aku bicara sendirian sambil membayangkan wajahnya. Senyuman, wibawanya, semua hanya ada dalam bayangan saja. Aku memeluk guling sambil menangis, sesakit ini perpisahan, belum sampai 24 jam saja sudah perih. Rindunya hingga ke ulu hati. Pelukan guling membuatku tertidur hingga pagi hari. Bangun-bangun aku langsung turun dari ranjang mengambil air wudhu. Percikan air kubasuh ke wajah, air mata pun jatuh beriringan dengan air wudhu yang mengalir. Kemudian, selepas salat aku menadahkan tangan ini. Memanjatkan doa pada Sang Pencipta. "Ya Allah, lindungi suamiku di mana pun ia berada. Aku akan setia menunggunya di sini," ungkapku dalam doa. Air mata terus berjatuhan denga