Mbak Dila pun berlaku pergi, ia berlenggak lenggok masuk ke dalam restoran. "Apa kita masuk, Mas?" tanyaku pada suami. "Dila hapal muka kita, meski menyamar pun pasti tahu," timpal Mas Arlan. "Apa Pak Juna? Tapi dia kali Mbak Dila ke rumah selalu ada Pak Juna, itu artinya ia sudah hapal wajahnya juga," cetusku padanya. Kulihat ke arah Pak Juna yang tiba-tiba menyambangi seseorang wanita dan bersalaman dengannya. Seketika itu juga aku punya inisiatif untuk meminta tolong padanya. "Mas, kamu duluan ke mobil, aku ngomong ke Pak Juna sebentar," suruhku."Kamu hati-hati," jawab Mas Arlan sambil membuka pintu mobil. Aku menghampiri Pak Juna yang tengah ngobrol. Kuajak mereka melipir ke pinggir sejenak. "Ini siapanya Pak Juna?" Aku bertanya pada bodyguard yang tengah bicara dengan seorang wanita sepantaran Mbak Dila. "Ini kakak saya, Bu, Bunga namanya," ucap Pak Juna. "Boleh minta tolong, Pak?" tanyaku. Wanita itu menoleh dan tersenyum sambil menundukkan wajahnya. "Dengan senang h
"Itu kamarku, kalian sembunyi di sana, cepat!" suruh Ryan. "Nggak keburu, pasti kelihatan kalau kita buka pintu kamar," timpal Mas Arlan. Kemudian, Ryan berdecak kesal sambil keluar, sedangkan aku dan Mas Arlan akhirnya bersembunyi di balik sofa. Kami duduk sambil menutup mulut supaya helaan napas tak terdengar ke telinga Rifat. Berselang kemudian,suara Ryan kedengaran masuk bersama Rifat. "Kata satpam, tadi ada tamu, mana tamunya?" tanya Rifat kedengaran sangat penasaran. Sebab, satpam sudah terlanjur memberi informasi bahwa Ryan sedang menerima tamu. "Nggak kok, Om, tamunya udah pulang sepuluh menit yang lalu, tadi pas satpam keluar beli rokok," sanggah Ryan jelas berbohong. Sebisa mungkin aku tidak bicara, dan ingat untuk nonaktifkan ponsel lebih dulu. Aku rogoh ponsel yang kusimpan di dalam saku celana kemudian mematikannya. Begitu juga dengan Mas Arlan, ini untuk mengantisipasi hal yang tidak terduga. Ryan terdiam, agak sepi sejenak, entah apa yang mereka lakukan, aku hany
"Iya, nanti aku coba bicara pada Nilam dan Om Farhan," jawab Mas Arlan. Kemudian ia memutuskan telepon setelah mengucapkan salam. Kami semua duduk tegak saat tengah sarapan, sepertinya kabar yang diberikan oleh Mas Gerry adalah kabar buruk tentang Calista. Posisi kami hampir serentak sama, apalagi papa yang tadi sempat dengar bahwa aku menyebutkan nama Kiara. Mas Arlan meneguk air putih yang ada di meja. Setelah itu siap berbicara dengan kami. "Ngomong apa Mas Gerry tadi?" tanyaku sambil posisi kepala agak miring ke samping. "Jadi tadi Mas Gerry minta tolong padaku, ia minta pertolongan untuk menjaga Calista, sebab kondisinya bisa menurun karena ada yang mutusin selang infus dan oksigennya di saat Mas Gerry keluar makan. Beruntung nyawa Calista masih bisa tertolong, tapi agak sedikit lemah sekarang, karena belum waktunya copot selang infus dan oksigen, sudah ada yang memutuskannya," terang Mas Arlan. "Apa ini ada kaitannya dengan ucapan kamu tadi, Nilam? Tentang Kiara," sambung
"Maksud kamu itu apa, Nilam! Jangan sembarangan nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik!" sentak Mbak Dila. Mas Arlan merangkulku dan meminta segera masuk mobil. Namun, Mbak Dila terus saja menghalangiku. "Mbak, waktuku itu ibarat uang, kalau ngurusin Mbak Dila namanya buang-buang uang karena sudah melewatkan waktu begitu saja, sekarang pilih mana, mau diteriaki maling atau minggir?" Gantian aku yang ancam dia yang kelakuannya sangat kampungan itu. Mbak Dila diseret sang kakak yang sejak tadi berada di dalam mobil. Akhirnya mereka minggir dari jalan yang menghalangi kami lewat. Aku masuk dengan menghentakkan kaki. Kali ini kami berdua berangkat berdua saja, karena merasa sudah aman dari peneror yang diduga Rifat pada saat aku dan Mas Arlan hendak membuka kasus yang dulu. "Sekarang aman dari Rifat, tapi ternyata Mbak Dila semakin gila, maunya dia itu apa sih? Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa, aku punya utang juga nggak sama nenek lampir itu!" cetusku dengan panjang lebar.
Mbak Bunga terdiam ketika ditanya oleh Mbak Dila. Namun, Mas Arlan bertindak, ia menutup kaca jendela dengan cepat. Mbak Dila menggebrak kaca mobil sambil berteriak, tapi suamiku tidak peduli, Mas Arlan mundur lalu membelokkan mobilnya agar keluar dari tepi jalan. Kami melaju kencang lagi mengarah ke kantor polisi sambil menghela napas kasar. "Syukurlah lewat," ucapku sambil menurunkan bahu."Ternyata Mbak Dila semakin gila, apa mungkin karena diselingkuhi Mas Gerry?" tanya Mas Arlan. "Ah sepertinya karena memang ingin lebih unggul dariku, Mas, karena kan sejak awal aku datang ia seperti tidak menyukai istrimu ini, Mas," cetusku. Kemudian, aku menoleh ke arah Mbak Bunga yang terdiam di kursi belakang. Mas Arlan pun melirik ke arahku sambil sesekali menoleh ke belakang. "Mbak Dila kemarin mergokin Mbak Bunga?" tanya Mas Arlan penasaran. "Iya, waktu itu wanita tadi sempat mengambil ponsel saya tapi untungnya yang buat teleponan, bukan handphone jadul ini," terang Mbak Bunga. Berat
"Suruh Desti jenguk Dila di penjara, kan bisa untuk mencari bukti lagi untuk membuat mereka tidak berkutik," ucap papa. Mas Arlan mengangguk seraya paham dengan tujuan papa. "Tapi, Pah, apa yang Kiara katakan di hadapan umum tadi pasti memberikan dampak negatif," sambungku masih memikirkan apa yang Kiara lakukan tadi. "Kalau Calista sebenarnya itu tahu nggak ada yang nyerempet mobilnya ketika kecelakaan?" tanya Om Farhan. "Calista belum memberikan keterangan apa pun terkait kecelakaan itu, entahlah kondisinya saat ini sudah memungkinkan untuk bicara berat atau belum," terangku sambil meneguk segelas air putih. Setelah itu, aku dan Mas Arlan memutuskan untuk menemui Mama Desti, kali ini kami akan menyingkirkan ego lebih dulu, sekalian jenguk Hesti. Lagi pula mereka kan telah berjanji akan mengubah perilaku jika ingin kasus sang mama tidak dibuka lagi, dengan kata lain kami terpaksa melupakan apa yang dilakukan oleh Mama Desti terdahulu. "Kalau gitu, aku harus melupakan benar-bena
Aku coba tenang supaya Pak Juna pun ikut tenang. Kalau aku panik, tentu ia pun akan panik. "Mbak Bunga tadi dipukul tengkuknya, Bu. Sekarang masuk rumah sakit, handphone raib digondol maling," ungkap Pak Juna membuatku lemas seketika. "Astaga, bagaimana ini bisa terjadi?" tanyaku penasaran. Saking paniknya aku berdiri sambil mondar-mandir di hadapan Hesti. "Tadi ia hendak pulang, Bu. Tiba-tiba ada yang tanya alamat, saat kakak saya menjelaskan ada yang pukul dari belakang, dua orang kabur membawa ponsel kakak saya dua-duanya termasuk rekaman yang ia pegang," timpal Pak Juna. "Tapi kan Mbak Bunga sudah kirim rekaman itu, Pak," sahutku menenangkan. "Iya, Bu, tapi Mbak Bunga sampai saat ini belum sadarkan diri untuk menjadi saksi nanti, saya juga tahu cerita jelasnya dari orang yang mengantarkan ke rumah sakit," terang Pak Juna. Benar juga dengan ucapannya. Kalau bukan Mbak Bunga, siapa lagi yang jadi saksi? Tentu dalam persidangan nanti saksi harus datang, terlebih hanya ia yang j
Kemudian, laki-laki itu membuka masker dan topinya. Ternyata Ryan, ia muncul secara mendadak atau sudah disusun sebelumnya. Mas Arlan sontak menggandeng lenganku. Matanya pun melirik disertai senyuman. "Kamu ada di sini?" tanya Mas Arlan menyelidik. Gestur tubuh suamiku bergerak seakan takut istrinya diambil orang. "Mas, biasa aja, jangan lengket begitu," bisikku. "Aku punya bukti yang mungkin bisa bantu kalian," tutur Ryan seketika membuat Mas Arlan maju. "Bukti apa?" tanyaku kini agak sedikit maju. Namun, tangan Mas Arlan mencekal lengan ini. "Biar aku aja yang tanya ke Ryan ya," sambung Mas Arlan. Papa dan Om Farhan mungkin bingung, kenapa aku bisa kenal Ryan. Kemudian, orang tuaku mengusulkan untuk bicara serius di kantin rumah sakit. Namun, sebelum kami bergegas, papa bicara pada Pak Juna. "Saya dan keluarga minta maaf kalau sudah mencelakai kakakmu, ini di luar perkiraan kami. Biaya rumah sakit dan lainnya akan saya urus," kata papaku sambil menepuk bahu Pak Juna. Ia m
"Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me
Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s
"Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik
"Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal
Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,
"Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo
"Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus