"Iya, nanti aku coba bicara pada Nilam dan Om Farhan," jawab Mas Arlan. Kemudian ia memutuskan telepon setelah mengucapkan salam. Kami semua duduk tegak saat tengah sarapan, sepertinya kabar yang diberikan oleh Mas Gerry adalah kabar buruk tentang Calista. Posisi kami hampir serentak sama, apalagi papa yang tadi sempat dengar bahwa aku menyebutkan nama Kiara. Mas Arlan meneguk air putih yang ada di meja. Setelah itu siap berbicara dengan kami. "Ngomong apa Mas Gerry tadi?" tanyaku sambil posisi kepala agak miring ke samping. "Jadi tadi Mas Gerry minta tolong padaku, ia minta pertolongan untuk menjaga Calista, sebab kondisinya bisa menurun karena ada yang mutusin selang infus dan oksigennya di saat Mas Gerry keluar makan. Beruntung nyawa Calista masih bisa tertolong, tapi agak sedikit lemah sekarang, karena belum waktunya copot selang infus dan oksigen, sudah ada yang memutuskannya," terang Mas Arlan. "Apa ini ada kaitannya dengan ucapan kamu tadi, Nilam? Tentang Kiara," sambung
"Maksud kamu itu apa, Nilam! Jangan sembarangan nuduh, bisa kena pasal pencemaran nama baik!" sentak Mbak Dila. Mas Arlan merangkulku dan meminta segera masuk mobil. Namun, Mbak Dila terus saja menghalangiku. "Mbak, waktuku itu ibarat uang, kalau ngurusin Mbak Dila namanya buang-buang uang karena sudah melewatkan waktu begitu saja, sekarang pilih mana, mau diteriaki maling atau minggir?" Gantian aku yang ancam dia yang kelakuannya sangat kampungan itu. Mbak Dila diseret sang kakak yang sejak tadi berada di dalam mobil. Akhirnya mereka minggir dari jalan yang menghalangi kami lewat. Aku masuk dengan menghentakkan kaki. Kali ini kami berdua berangkat berdua saja, karena merasa sudah aman dari peneror yang diduga Rifat pada saat aku dan Mas Arlan hendak membuka kasus yang dulu. "Sekarang aman dari Rifat, tapi ternyata Mbak Dila semakin gila, maunya dia itu apa sih? Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa, aku punya utang juga nggak sama nenek lampir itu!" cetusku dengan panjang lebar.
Mbak Bunga terdiam ketika ditanya oleh Mbak Dila. Namun, Mas Arlan bertindak, ia menutup kaca jendela dengan cepat. Mbak Dila menggebrak kaca mobil sambil berteriak, tapi suamiku tidak peduli, Mas Arlan mundur lalu membelokkan mobilnya agar keluar dari tepi jalan. Kami melaju kencang lagi mengarah ke kantor polisi sambil menghela napas kasar. "Syukurlah lewat," ucapku sambil menurunkan bahu."Ternyata Mbak Dila semakin gila, apa mungkin karena diselingkuhi Mas Gerry?" tanya Mas Arlan. "Ah sepertinya karena memang ingin lebih unggul dariku, Mas, karena kan sejak awal aku datang ia seperti tidak menyukai istrimu ini, Mas," cetusku. Kemudian, aku menoleh ke arah Mbak Bunga yang terdiam di kursi belakang. Mas Arlan pun melirik ke arahku sambil sesekali menoleh ke belakang. "Mbak Dila kemarin mergokin Mbak Bunga?" tanya Mas Arlan penasaran. "Iya, waktu itu wanita tadi sempat mengambil ponsel saya tapi untungnya yang buat teleponan, bukan handphone jadul ini," terang Mbak Bunga. Berat
"Suruh Desti jenguk Dila di penjara, kan bisa untuk mencari bukti lagi untuk membuat mereka tidak berkutik," ucap papa. Mas Arlan mengangguk seraya paham dengan tujuan papa. "Tapi, Pah, apa yang Kiara katakan di hadapan umum tadi pasti memberikan dampak negatif," sambungku masih memikirkan apa yang Kiara lakukan tadi. "Kalau Calista sebenarnya itu tahu nggak ada yang nyerempet mobilnya ketika kecelakaan?" tanya Om Farhan. "Calista belum memberikan keterangan apa pun terkait kecelakaan itu, entahlah kondisinya saat ini sudah memungkinkan untuk bicara berat atau belum," terangku sambil meneguk segelas air putih. Setelah itu, aku dan Mas Arlan memutuskan untuk menemui Mama Desti, kali ini kami akan menyingkirkan ego lebih dulu, sekalian jenguk Hesti. Lagi pula mereka kan telah berjanji akan mengubah perilaku jika ingin kasus sang mama tidak dibuka lagi, dengan kata lain kami terpaksa melupakan apa yang dilakukan oleh Mama Desti terdahulu. "Kalau gitu, aku harus melupakan benar-bena
Aku coba tenang supaya Pak Juna pun ikut tenang. Kalau aku panik, tentu ia pun akan panik. "Mbak Bunga tadi dipukul tengkuknya, Bu. Sekarang masuk rumah sakit, handphone raib digondol maling," ungkap Pak Juna membuatku lemas seketika. "Astaga, bagaimana ini bisa terjadi?" tanyaku penasaran. Saking paniknya aku berdiri sambil mondar-mandir di hadapan Hesti. "Tadi ia hendak pulang, Bu. Tiba-tiba ada yang tanya alamat, saat kakak saya menjelaskan ada yang pukul dari belakang, dua orang kabur membawa ponsel kakak saya dua-duanya termasuk rekaman yang ia pegang," timpal Pak Juna. "Tapi kan Mbak Bunga sudah kirim rekaman itu, Pak," sahutku menenangkan. "Iya, Bu, tapi Mbak Bunga sampai saat ini belum sadarkan diri untuk menjadi saksi nanti, saya juga tahu cerita jelasnya dari orang yang mengantarkan ke rumah sakit," terang Pak Juna. Benar juga dengan ucapannya. Kalau bukan Mbak Bunga, siapa lagi yang jadi saksi? Tentu dalam persidangan nanti saksi harus datang, terlebih hanya ia yang j
Kemudian, laki-laki itu membuka masker dan topinya. Ternyata Ryan, ia muncul secara mendadak atau sudah disusun sebelumnya. Mas Arlan sontak menggandeng lenganku. Matanya pun melirik disertai senyuman. "Kamu ada di sini?" tanya Mas Arlan menyelidik. Gestur tubuh suamiku bergerak seakan takut istrinya diambil orang. "Mas, biasa aja, jangan lengket begitu," bisikku. "Aku punya bukti yang mungkin bisa bantu kalian," tutur Ryan seketika membuat Mas Arlan maju. "Bukti apa?" tanyaku kini agak sedikit maju. Namun, tangan Mas Arlan mencekal lengan ini. "Biar aku aja yang tanya ke Ryan ya," sambung Mas Arlan. Papa dan Om Farhan mungkin bingung, kenapa aku bisa kenal Ryan. Kemudian, orang tuaku mengusulkan untuk bicara serius di kantin rumah sakit. Namun, sebelum kami bergegas, papa bicara pada Pak Juna. "Saya dan keluarga minta maaf kalau sudah mencelakai kakakmu, ini di luar perkiraan kami. Biaya rumah sakit dan lainnya akan saya urus," kata papaku sambil menepuk bahu Pak Juna. Ia m
"Apa dugaan kita benar? Ryan pengkhianat?" tanyaku pada papa."Sulit dipahami, kita tidak boleh asal nuduh," celetuk papa."Dia menyukai Nilam, Pah, bisa saja sakit hati lalu memberikan informasi pada Kiara yang berada di penjara," susul Mas Arlan."Kayaknya terlalu cepat ia memberikan kabar itu pada mereka yang masih si sel, setidaknya kita pulang ke rumah Ryan belum sampai ke kantor polisi, lagi pula jam besuk tahanan kan ada aturannya, nggak mungkin malam gini dia besuk," tambah papa lagi.Banyak kemungkinan terjadi tapi tuduhan pada Ryan tidak sesuai dengan logika. "Sudahlah, kita bicarakan besok lagi, masalah kantor sudah cukup rumit, sekarang waktunya istirahat," suruh papa.Kami bergegas ke kamar masing-masing. Aku dan Mas Arlan mandi bergantian, setelah itu kami merebahkan tubuh di atas ranjang.Sudah lama sekali kami tidak membicarakan sesuatu tentang hubungan, misalnya kami tidak pernah membicarakan bagaimana perencanaan untuk program kehamilan. "Kamu nggak ingin punya ana
Tidak berselang lama, orang yang memakai mobil tersebut pun turun. Ryan, itu betul Ryan, tapi bersama dengan Rifat. "Tuh, kan, sudahlah, pagi ini kita langsung ke kantor, jangan percaya sama Ryan ya, Sayang, aku khawatir ia sekutu dengan Rifat." Mas Arlan mulai mundur dan putar balik, kami tidak jadi ke sel tahanan sebab ada Ryan dan Rifat di sana. "Iya, ternyata Ryan masih bersama Rifat, meskipun kita belum tahu yang kita lihat itu benar atau tidak, tapi aku nggak mau sampai kecolongan, berhati-hati itu penting," timpalku sambil mengarah ke jalan. Aku juga memberikan informasi ini pada papa yang belum berangkat ke Kalimantan, tentu ia akan resah dengan kabar ini karena orang terdekat kami itu tidak dapat dipercaya. Aku mengusap layar ponsel, bergeser ke arah pesan untuk memberikan informasi ini. [Pah, tadi kulihat Ryan bersama Rifat ke kantor polisi.]Pesan itu tidak langsung dibaca papa. Mungkin sedang sibuk mempersiapkan keberangkatan nanti siang. Sepanjang jalan, aku mempers