Jayakatwang tampak memikirkan ide Wijaya untuk mengelola Alas Tarik. Dia memang gemar berburu, ketika Wijaya mengemukakan ide untuk mengelola wilayah hutan untuk ajang berburu agar menjadi lebih nyaman, seketika Jayakatwang menyetujui idenya.“Baiklah Wijaya, aku setuju kalau kau mengelola Alas Tarik menjadi hutan wisata berburu yang nyaman. Dengan demikian jika berburu aku tidak perlu repot-repot membawa tenda dan perbekalan.”“Tentu saja Gusti Prabu, di sana kami juga akan membuat perkebunan dan sawah untuk kebutuhan makan anda dan para peserta perburuan,” kata Wijaya berusaha meyakinkan Jayakatwang.“Kapan kau akan mulai babat Alas Tarik?” Tanya Jayakatwang.“Secepatnya Gusti Prabu.”****Keesokan harinya Wijaya dan para pengikutnya sudah meluncur menuju Alas Tarik. Wijaya segera mengirimkan surat kepada Aria Wiraraja di Madura meminta bantuan tambahan orang untuk membuka Alas Tarik dan membuat desa di sana. Ranggalawe berangkat ke Madura membawa surat dari Wijaya untuk ayahnya.S
Wirota terkejut mendapati Nelayan mengetahui semuanya“Darimana kau tahu semua cerita tentang Wiraraja, masalah Wiraraja bekerjasama dengan Jayakatwang tidak semua orang tahu akan hal itu.”Wajah Nelayan tampak berubah geram, pandangannya menerawang jauh“Jika Wiraraja bisa menjaga mulutnya yang berbisa dengan tidak membujuk Jayakatwang untuk memberontak, Prabu Kertanegara dan ayahku Raganatha tidak perlu gugur dalam upaya mempertahankan Kerajaan Singasari dari serangan Jayakatwang. Tidak masalah bagi ayahku diturunkan pangkatnya yang semula Rakryan Patih menjadi Adhyaksa. Walaupun sepanjang karirnya Prabu Kertanegara jarang mau mengdengarkan pendapatnya dan cenderung kurang menghargai pengabdiannya, namun dia tetap mengabdikan dirinya pada Prabu Kertanegara di saat-saat terakhirnya hingga titik darah penghabisan dan tak pernah berpikir sedikitpun untuk mengkhianatinya. Sedangkan Wiraraja, hanya diturunkan pangkat satu tingkat saja sudah kebakaran jenggot. Masih untung dia mendapat ja
Semua orang bertepuk tangan, mereka setuju dengan nama itu.“Ya…ya nama itu memang cocok untuk tempat ini. Alas Tarik ini memang banyak ditumbuhi buah maja yang pahit dan memabukan!”Dyah Wijaya memang pintar mengambil hati para pendatang yang masuk ke Alas Tarik. Selama berada di Alas Tarik, Wijaya juga menghimpun kekuatan bersama para penduduk desa Majapahit. Khususnya para rakyat yang datang dari Daha dan Tumapel yang masih loyal pada mendiang Prabu Kertanegara. Jika malam tiba, dia sering berkomunikasi dengan para pendatang yang bermukim di tempat itu dengan duduk di singgasana dari batu putih itu sementara para penduduk desa Majapahit dan para prajuritnya duduk mengelilinginya dengan api unggun di tengahnya.Para pendatang itu juga diberi nama julukan sesuai dengan penampilan fisik atau karakter mereka. Misalnya seorang wanita beranak lima diberinya nama Sudeksa, orang yang pemberani diberi nama julukan Jagawastra. Orang yang matanya besar dan melotot diberinya nama Agrapawala. D
“Baiklah, panggil Tumenggung Sagara Winotan kemari!” Perintah Jayakatwang.Sagara Winotan segera datang menghadap Jayakatwang di paseban. Dia melihat wajah Jayakatwang begitu risau. Ketika Sagara Winotan hadir dia langsung berbicara"Sudah hampir setahun Wijaya tidak pulang ke Daha, dia juga tidak mengirim utusan kemari mengabarkan keadaan di Alas Tarik. Apa yang dia lakukan di Alas Tarik selama ini? Aku kuatir dia akan mengkhianatiku, membalas dendam atas kematian mertuanya," kata Jayakatwang kepada Sagara Winotan.Jayakatwang pantas untuk cemas, karena diapun telah mengkhianati Kertanegara, besan sekaligus sepupunya. Dalam hati kecilnya sebenarnya dia tak sekalipun berniat mengampuni Wijaya jika bukan karena Wiraraja yang memohonkan ampunan bagi keluarga mendiang Kertanegara dan melihat potensi Wijaya terutama dalam bidang keprajuritan yang sempat memukaunya dalam acara kompetisi prajurit."Kita harus memastikannya terlebih dahulu, apakah memang benar dia akan berkhianat. Kalau s
Rombongan Sagara Winotan segera pergi meninggalkan Wirasabha pulang ke Daha. Wijaya merasa lega, hampir saja tadi segala kegiatan persiapan pemberontakan terhadap Jayakatwang ketahuan. Untunglah Lembu Sora bertindak di saat yang tepat.Setelah rombongan Sagara Winotan kembali ke Daha, kuda yang dibawa oleh Ranggalawe dari Madura kemudian dibagikan kepada para pemimpin pasukan dan prajurit pasukan berkuda termasuk kepada para kepala dusun di sekitar Alas Tarik yang akan ikut berperang.Sagara Winotan telah kembali ke Kerajaan Kediri kemudian melaporkan kepada Prabu Jayakatwang pembangunan desa wisata berburu yang telah dilakukan oleh Wijaya, tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Karena di Alas Tarik, Segara Winotan hanya diterima di daerah Warasaba dan tidak diberi kesempatan untuk melihat keadaan di dalam Alas Tarik. Dyah Wijaya sangat pintar menutupi situasi yang sebenarnya sedang terjadi, sehingga Segara Winotan tidak mengetahui persiapan perang yang sedang direncanakan oleh
Rombongan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Ike Mese bersama pejabat yang menangani Jawa dan 500 prajurit telah tiba di Tuban untuk membuka jalan bagi pasukan Mongol pimpinan Shih Pi. Ada sekitar 10 kapal yang mengangkut mereka. Sementara kapal pasukan Mongol yang lain berada di Belitung untuk mempersiapkan penyerangan ke Jawa. Di sana mereka membuat perahu-perahu yang lebih kecil agar dapat masuk ke sungai-sungai yang ada di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal mereka yang telah menempuh perjalanan yang jauh. Persiapan ini dilakukan selama sebulan sebelum berangkat ke Jawa.Orang-orang Mongol adalah bangsa yang terbiasa hidup di padang gurun dan padang stepa yang luas. Mereka bukanlah bangsa bahari yang tangguh dan handal dalam berlayar. Di Belitung banyak pasukan Mongol yang sakit karena mabuk laut karena tidak terbiasa berlayar dalam jarak jauh.Sesampainya di Tuban, dari para mata-mata Mongol yang ditempatkan di Jawa, mereka mendapatkan informasi bahwa Kerajaan Singasari suda
Setelah pertemuan dengan Turgen, Wijaya langsung menghubungi para Raja bawahan dan penguasa daerah yang masih loyal pada Kertanegara. Namun ketika Wijaya mengemukakan rencananya bekerjasama dengan pasukan Mongol, beberapa orang diantaranya menolak.“Gusti Wijaya, mohon maaf jika harus bekerjasama dengan pasukan Mongol kami menolak. Kami tidak bersedia menjadi negara jajahan bangsa Mongol!”“Benar,apa tidak bisa kita berperang dengan kekuatan sendiri!”Situasi untuk sesaat menjadi ramai, para raja bawahan dan penguasa daerah ada yang setuju ada yang menolak. Wijaya segera menenangkan mereka“Tenang saudara saudara, kita tidak benar-benar takluk pada bangsa Mongol, kita hanya memanfaatkan mereka saja untuk menghancurkan Jayakatwang. Perlu anda ketahui bahwa saat ini kekuatan militer Jayakatwang semakin besar, tidak semua Raja bawahan masih loyal pada Prabu Kertanegara. Tanpa bantuan pasukan Mongol, sulit bagi kita menghancurkan Jayakatwang. Nanti setelah kita berhasil memenangkan peper
Telik sandi itu terkejut dan berusaha lari namun Wirota sudah berkelebat mengejarnya lalu kembali mencengkeram bahunya, menangkap dan mengunci tangannya.“Pengawal, tangkap orang ini, dia mata-mata Daha!”Beberapa prajurit berkelebat menangkap telik sandi itu, dikeroyok oleh banyak prajurit mambuat mata-mata itu hanya bisa pasrah dan membiarkan dirinya dibawa ke penjara. Terbayang sudah siksaan yang akan dialaminya jika dia tidak memberikan informasi yang diketahuinya kepada pihak Wijaya.Sementara itu Jalak Katengeng telah menyelidiki situasi di hutan Alas Tarik. Sebagai seorang telik sandi berpengalaman, dia telah menyelidiki keberadaan Alas Tarik secara mendalam. Di sana telik sandinya telah melaporkan adanya sebuah desa tersembunyi di dalam Alas Tarik, dia masih menunggu laporan lebih lanjut dari telik sandinya yang menyamar sebagai pendatang dari Singasari dan menjadi warga desa Majapahit.Di pesanggrahan sementaranya di desa Wirasabha, Jalak Katengeng menunggu telik sandinya y
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Suara langkah kaki itu berhenti. Wirota berkelebat menghampiri asal suara. Dalam keremangan sinar bulan dia melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Gayatri, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? pikir Wirota. Masa muda telah berlalu, namun Gayatri masih tetap memberikan atensi kepadanya, berada di sisinya di saat dia memerlukan teman. Di lubuk hatinya yang paling dalam, sesungguhnya dulu Wirota juga tertarik kepada Gayatri. Namun dia cukup tahu diri dan tak ingin menyakiti hati sahabatnya Dyah Wijaya walaupun di saat itu Gayatri selalu mencoba menarik perhatiannya. Mendadak Wirota salah tingkah, dadanya berdebar, tapi dia tak ingin Gayatri mengetahui apa yang sedang dirasakannya. Maka dia berusaha bersikap wajar dengan bertanya "Banthe? Bagaimana anda bisa tahu saya berada di sini?" Gayatri hanya tersenyum dan menjawab "Wirota, hutan bagaikan rumahku. Aku sudah tiga bulan bertapa di sekitar hutan ini, dan aku juga sudah melihat peperangan kalian." Ah. Gayatri. aku
"Siapa kamu dan mengapa kamu ada di sini?" gertak Banyak Wungu. "Ssa...saya penduduk di sini, Eeeh...saya mencari kucing saya yang lari ke sini, " jawab orang itu ketakutan. Banyak Wungu mengamati orang itu dengan seksama lalu bertanya lagi "Bukankah para penduduk yang masih ada di sini seharusnya beristirahat karena besok dini hari kalian sudah harus pergi dari sini!" Orang itu tampaknya sudah terlalu lemas dan sulit berkata-kata lagi. mungkin karena seluruh wajahnya sudah bengkak sehingga untuk bicarapun terasa sakit. "Baiklah, mungkin kamu perlu sedikit disiksa supaya mau bicara!" Banyak Wungu mengeluarkan sebilah pisau, bersiap mengiris kulit tawanannnya. Tiba-tiba Wirota mendengar suara kelebatan di balik pepohonan di antara para prajurit yang berkerumun. Sejurus kemudian, dia merasakan desir angin tipis melaju di depannya. Begitu samar sehingga hanya orang yang berilmu kanuragan tingkat tinggi saja yang bisa merasakannya. Mendadak Wirota menyadari sesuatu, tapi ter
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria