"Andrian, kumohon jangan berkata begitu. Ucapanmu tidak hanya menyakiti Emillia, tapi juga aku, Andrian," lirih Cassandra dengan diiringi air mata menetes di pipi.Andrian langsung memalingkan wajah sembari menelan saliva berat. Selanjutnya, laki-laki itu menatap Nanny tak enak hati. "Nanny, maaf. Cassandra, kamu ambil seorang Nanny lagi bergantian menjaga Emillia. Aku tidak ingin kamu kelelahan. Semua demi kebaikanmu," ucapnya kemudian berlalu.Andrian kembali memasuki kamar dan menutup pintunya rapat. Cassandra membawa Emillia ke sofa sambil mengusap-usap kepala bocah itu. Kedua mata Emillia mulai terpejam. Menyisakan isakan kecil dari bibir mungilnya.Cassandra merasa terenyuh melihat kepolosan anak itu. Emillia anak yang lucu dan menggemaskan. Juga pintar. Dia hanya terlahir dari rahim orang yang memiliki nasib tidak baik. Patricia tentu tidak ingin memilih jalan hidup menjadi pembunuh."Aku tidak bisa melihat bocah ini hidup di panti asuhan. Dia paling kecil di sana. Jika malam
Alis Andrian naik sebelah. "Apa aku tidak salah dengar?" tanyanya memastikan."Tidak. Aku memang membutuhkan Fiona dalam hal ini." Cassandra menjawab mantap.Tadi hanya satu lengan, kini Cassandra melingkarkan sebelah lengannya di bahu Andrian. Sambil tersenyum penuh arti, diciumnya pipi laki-laki itu.Sikap Cassandra yang tiba-tiba aneh, membuat Andrian merenggangkan rangkulan sang istri. Ditatapnya wajah cantik itu dengan kening berkerut."Jangan membuatku bingung, Cassandra. Kita sudah menghabiskan waktu berdebat untuk hal yang tidak penting. Sekarang, katakan to the point!" perintah Andrian.Bibir Cassandra mencebik tipis. "Kamu lupa, apa yang dilakukan Fiona pada kita? Lalu, Jemmy. Keduanya datang pada kita dengan tujuan lain. Mungkin sekarang Jemmy membuang Fiona sehingga perempuan itu berbalik mencari simpati kita. Kenapa tidak kita manfaatkan?" ucapnya lalu bangkit.Mulut Andrian sedikit terbuka. Sekali lagi dia harus mengakui kegeniusan Cassandra. Andrian lantas kembali menat
"Ada apa?" tanya Cassandra saat melihat raut wajah Fiona tiba-tiba berubah takut."Tidak ada apa-apa," jawab Fiona berbohong.Handphone kembali berbunyi. Merasa terganggu, Fiona segera merubahnya ke mode silent. Dia abaikan beberapa panggilan dari Jemmy. Fiona tidak ingin keberadaannya diketahui oleh laki-laki itu. Sekarang, fokusnya hanya ingin mencari perlindungan pada Andrian dan Cassandra.Fiona tahu, hidupnya tidak akan aman selama Jemmy masih berkeliaran. Laki-laki itu bisa melakukan apa saja tanpa meninggalkan jejak. Menyingkirkan Fiona, sebuah pekerjaan mudah bagi Jemmy. Apalagi, latar belakang Fiona seorang public figure. Dengan cara halusnya, Jemmy bisa saja membuat Fiona seolah-olah bunuh diri."Apa yang kamu pikirkan, apa kamu takut pada Jemmy?" tanya Cassandra menyadarkan kembali Fiona dari lamunan.Fiona menatap ragu pada dua orang di depannya, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti soal kecelakaan itu, Cassandra," jawabnya lirih.Andrian menyunggingk
Merasa ada harapan, bibir Fiona melekuk senyum. Dia memegang erat tangan Cassandra yang dulu melihatnya saja sangat jijik. Kini, Fiona tidak malu untuk mengakui dosanya, bahkan bersimpuh di kaki Cassandra."Bangunlah, Fiona. Kembali ke tempat dudukmu. Jangan permalukan kami di depan orang lain!" ulang Cassandra."Cassandra, apa kamu ingin memaafkanku?" tanya Fiona sembari beringsut mundur. Ada raut kecewa dan kemarahan tertahan di wajah Cassandra. Wanita itu terdiam, lalu mengusap perutnya pelan. Di sampingnya, Andrian tidak ingin membalas kontak mata Fiona.Dada laki-laki itu dipenuhi kesedihan yang kini terkuak kembali. Bahkan rasa sedih itu membawanya pada luka yang lebih sakit jika dibandingkan pengkhianatan Fiona. Kedua mata Andrian berkabut. Sumpah demi apa pun, dia tidak akan pernah bisa melupakan kiamat kecil yang pernah terjadi pada keluarganya."Negara mana yang akan kamu tuju, aku akan mengurusnya!" sahut Andrian, alih-alih menanggapi permintaan maaf Fiona."Aku tidak tahu
Andrian tersenyum penuh makna sambil mengangsurkan cangkir keramik itu ke tengah meja. "Duduklah, Helena. Silakan diminum, saya tidak ingin minum kopi siang ini!" ucapnya menyerupai perintah.Helena terdiam, lalu melirik pada Jemmy tak enak hati. Dengan gerakan kaku, Helena duduk bersebelahan dengan Jemmy _terhalang satu kursi. Andrian mengangguk samar, lalu kembali menatap layar laptop.Jemmy melirik Helena yang terlihat gelisah. Jemari tangan Helena saling meremas di atas pangkuan. Helena memperhatikan jemari tangan Andrian yang memainkan ballpoint di atas map terbuka di depan laki-laki itu. Terdengar hembusan napas lelah dari mulut Andrian, seolah ada beban berat di dada. Andrian mendongak sekilas ketika pintu diketuk dari luarTampak Cassandra memasuki ruangan dan duduk di samping kiri Andrian.Ternyata, Cassandra tidak sendiri. Ivo dan Antonio juga mengikuti memasuki ruangan itu. Helena semakin heran karena waktu meeting sudah selesai. Jikalau meeting dilanjutkan, seharusnya dia
"Jangan membuatku penasaran, Antonio!" sahut Andrian. "Cepat katakan jika itu mengenai Jemmy!" lanjutnya tidak sabar.Antonio memandang Ivo seolah meminta persetujuan. Laki-laki paruh baya yang menjadi kepercayaan Gennaro itu pun, lantas mengangguk menyetujui. Antonio kemudian mengotak-atik laptopnya, lalu menggeser ke arah Andrian."Berita mengenai anjloknya saham beberapa perusahaan besar di Italia, itu masih terkait dengan keberadaan Jemmy di La Stampa Group ....""Aku belum paham ke mana arah pembicaraanmu!" sela Andrian cepat.Antonio menunjuk pada layar laptop dengan ballpoint. Andrian mengikuti arah gerakan ballpoint itu pada layar yang menunjukkan beberapa grafik naik turun. Barulah, Andrian mengerti. Namun, dia belum yakin mengenai hubungan Jemmy dan beberapa saham yang anjlok."Kamu pasti bertanya-tanya, hubungannya dengan Jemmy, kan?" tebak Antonio.Cassandra yang penasaran, ikut mencondongkan badan ke arah laptop. Dia pun ikut mengamati grafik berwarna oranye dan biru itu.
Fiona terbelalak. Wajahnya mendadak pucat pias saat menatap moncong pistol itu. Refleks, Fiona mengangkat tangan sejajar dada sambil menggeleng berkali-kali. "Jemmy, turunkan senjata itu. Aku akan pergi, tolong lepaskan!" pintanya ketakutan.Jemmy terkekeh dan justru mengulurkan sebelah tangan pada mantan kekasihnya itu. "Ternyata, kamu masih takut pada kematian, Fiona!" ejeknya."Aku tidak takut mati. Aku hanya tidak ingin Gisella tahu pembunuhku adalah kamu, papanya sendiri!" Kekehan Jemmy berubah tawa. Laki-laki itu bergeming meskipun Fiona sudah mulai menangis. Tidak ada belas kasihan sedikit pun. Ya, Jemmy tidak pernah merasa kasihan pada Fiona. Perempuan itu selalu mengacaukan rencananya.Jika dia tidak membunuh Fiona, hidup Jemmy pasti akan berakhir di penjara. Perempuan itu akan menjadi saksi kunci di pengadilan nanti, atas semua kejahatannya. Jemmy juga mendapat informasi jika Fiona diam-diam menemui Andrian dan Cassandra."Jemmy, pikirkan baik-baik," ucap Fiona lagi dengan
Sepasang netra tua Gennaro berkaca-kaca. Dia memang berhasil membalas dendam kematian Stefano, Alberto, dan Maria. Namun, ada penyesalan di hati Gennaro karena membiarkan anak keturunan Julian Kastilont tetap hidup.Bergabungnya Jemmy dengan La Stampa Group, seolah membuka jalan Gennaro dan Jemmy saling membalas dendam."Kakek sengaja membiarkan Helena terjebak ke pelukan Jemmy. Dengan begitu, Kakek tahu sejauh mana Jemmy membalas dendam kematian Julian Kastilont. Laki-laki iblis yang sudah membunuh keluargamu, Cassandra," ucap Gennaro tanpa berani menatap kedua cucunya itu.Andrian dan Cassandra kompak terperangah dan saling pandang. Mereka seolah tidak percaya akan ucapan Gennaro. Kedua mata Cassandra mulai berkabut mengetahui kenyataan baru ini. "Jadi, semua kekacauan ini berasal dari Jemmy?" tanya Cassandra lirih. Dia menghempaskan tubuh di sofa. Kedua matanya terpejam dengan wajah mendongak. Andrian duduk di samping Cassandra, kemudian menggenggam jemari tangan wanita itu."Apa