"Katakan, siapa Gisella dan anak siapa itu?" Jemmy mengulangi dengan suara lebih keras.Fiona berjingkat kaget. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan takut dan tangis. Fiona menunduk menatap jemarinya sendiri yang saling meremas di atas pangkuan.Di sampingnya, Jemmy yang merasa dikhianati benar-benar muak melihat wajah memelas Fiona. Fiona bingung tidak tahu harus berbuat apa, sekarang dia berada di persimpangan jalan. Jika mengatakan jujur, sudah pasti Jemmy akan marah besar dan kemungkinan akan berbuat kasar padanya. Begitupun sebaliknya. Jika dia berbohong, bukan tidak mungkin Jemmy akan semakin murka dan yang lebih menakutkan, laki-laki itu bisa saja membunuhnya."Kenapa diam, Fiona? Kamu tinggal bilang, Gisella itu siapa? Anakku, Andrian, atau anak orang lain?" cecar Jemmy sekali lagi."Jemmy, jangan paksa aku berbicara. Dia, dia ...." Fiona menjeda kalimatnya bingung. "Iya, dia siapa?" kejar Jemmy geregetan.Fiona memejamkan mata rapat sehingga setetes air jatuh ke pipiny
Baik Andrian maupun Cassandra lupa jika mereka melakukannya di atas meja kerja. Selain itu, Cassandra juga ceroboh tidak mengunci pintu terlebih dahulu.Padahal, di ruangan besar itu, Andrian memiliki kamar pribadi yang digunakan untuk beristirahat atau ketika dia malas pulang. Biasanya, Andrian akan menghabiskan waktu malamnya di kamar itu.Tatapan mata di balik celah kecil itu, berubah nanar. Adegan panas di depan sana terasa sangat menusuk hati. Cassandra memeluk erat bahu suaminya dengan napas memburu, ketika merasakan ciuman Andrian semakin menuntut. Klek! Pintu kembali ditutup dari luar. Suara pintu yang menutup, menginterupsi kegiatan panas sepasang suami istri itu. Dengan wajah memerah, Cassandra menoleh sembari mendorong pelan tubuh sang suami."Sialan!" umpat Andrian sembari mengancingkan pakaiannya dan mendekati pintu. Laki-laki itu melongokkan kepala ke luar, tetapi tidak menemukan siapa pun di sana. Berhubung sudah sore dan memang jam kantor usai, Andrian segera mengunc
"Ah, jangan bilang ini strategi kamu karena selalu membuatku kesal!" balas Cassandra dengan bibir mengerucut.Andrian tertawa lirih sembari menoleh sekilas. "Apa kamu masih cemburu pada Gabby? Bukankah aku sudah minta maaf dan juga menjelaskan semuanya?" Laki-laki itu membelokkan setir ke parkiran kantor.Andrian kembali menoleh pada istrinya itu. "Kamu di sini, aku ke dalam sebentar!" ucapnya bersiap turun.Cassandra mengangguk. Dia memilih membuka handphone sambil menunggu Andrian. Beberapa karyawan yang hendak pulang mengangguk hormat ketika berpapasan dengan Andrian di lobby.Gedung kantor sepuluh lantai itu memang masih terlihat ramai di bagian bawah. Berbeda dengan lantai 10 yang menjadi ruang kerja Andrian, Gennaro, dan sekretaris mereka, tampak sepi. Andrian berdecak lirih karena lift terlihat sangat sibuk.Maka, laki-laki tampan itu memutuskan memutar langkah melewati tangga darurat untuk mencapai basement. Andrian segera memasuki lift pribadi yang hanya digunakan untuk dirin
"Sangat aneh, kalau tidak ada orang dalam yang terlibat dengan rapi, seharusnya CCTV tetap berfungsi."Cassandra menunduk, menatap jari-jarinya yang saling bertaut di atas meja. Gennaro mengangguk menyetujui ucapan wanita muda di depannya itu. Dia pun ikut menatap ke arah jari-jari lentik Cassandra. Gennaro tahu, cucu menantunya itu sangat gelisah. Bagaimana tidak, menjelang pengangkatan dirinya menjadi CFO La Stampa, justru perusahaan itu diguncang musibah."Sudah, serahkan semua pada polisi yang akan melakukan penyelidikan. Kalau begitu, acara ditunda sampai minggu depan. Kita semua berkabung untuk Gabby."Gennaro bangkit, lalu sedikit mencondongkan badan dan menepuk bahu Cassandra. Cassandra mendongak sekilas kemudian ikut berdiri. Gennaro kemudian berpindah tempat duduk di ruang keluarga yang besar itu. Sementara Cassandra, memilih naik ke lantai 2 di mana kamarnya berada. Kamar besar itu berseberangan dengan kamar Gennaro. Cassandra membuka pintu pelan, wangi aromaterapi langsun
"Apa yang kamu maksud itu ketika Cassandra ...." Andrian menjeda ucapannya sambil menatap Antonio."Benar. Aku juga sempat berburuk sangka pada Cassandra, tapi karena aku mengenalnya melebihi dirimu, akhirnya aku putuskan mencari bukti." Antonio menunjuk layar laptop. "Dan inilah hasilnya. Cleaning service itu pagi buta sudah naik ke lantai sepuluh. Padahal menurut informasi yang kami dapatkan dari atasannya, dia tidak bertugas di lantai sepuluh. Cuma kamu harus waspada pada siapa pun di kantormu, Andrian," lanjutnya memberi nasihat."Aku berhutang budi pada Gabby," ucap Andrian sangat lirih. Antonio langsung menatapnya. Andrian menghela napas pelan, lalu mengambil lipatan kertas dari saku celananya. Dia mengulurkan kertas tersebut pada Antonio.["Mereka seperti orang paling royal, akan tetapi justru pengkhianat sebenarnya. Saya tidak sakit hati mendapat hinaan, saya hanya sedih melihat kebaikan Tuan Andrian disalahgunakan."]"Ini maksudnya apa, Andrian? Apa kamu mencurigai seseorang
"Anda jangan senang dulu karena bisa menyingkirkan orang kecil seperti saya, Tuan Kastilont. Percayalah, besok pagi mayat saya akan ditemukan di sini dan polisi pasti menyeret kalian ke penjara!" Laki-laki itu terus meracau dengan suara bergetar.Jemmy semakin geram. Dia segera memerintahkan pada sopirnya untuk menghabisi petugas cleaning service yang telah gagal menjalankan tugasnya itu. Selanjutnya, Jemmy bergegas memasuki mobil dengan seringaian licik ketika mendengar suara tembakan.Dor!Dor!Dua kali tembakan tepat mengenai kepala belakang dan leher laki-laki muda yang malang itu. Laki-laki tersebut menatap sayu ke arah langit yang gelap. Kini, sesal itu tiada berguna karena dua buah peluru, beberapa detik lagi akan mengakhiri detak jantungnya. Namun, di detik terakhir hidupnya, dia berharap polisi segera menemukan keberadaannya di sini.Jika tidak, mayatnya akan menjadi santapan anjing hutan dan hilangnya bukti kejahatan Jemmy. Harapan satu-satunya adalah handphone yang dia jatu
Andrian sedikit menyingkir dari dekat istrinya. Cassandra mendongak sembari menggeser tubuh ke tepi tempat tidur. Seketika, wajah Andrian tampak kecewa mendengar penuturan polisi di seberang sana."Apa Anda yakin?" tanya laki-laki tampan itu."Benar, Tuan. Ada aktivitas penerbangan ke Kota Warsawa, tadi jam delapan malam. Penumpang atas nama Bruno Morea!" sahut suara di seberang sana."Shit," umpat Adrian lirih. "Tolong cari dia sampai ketemu. Saya tidak ingin karyawati saya meninggal sia-sia!" titah laki-laki itu, kemudian kembali mendekati Cassandra setelah mengakhiri panggilan."Ada apa, Andrian?" tanya Cassandra lagi."Bruno melarikan diri ke Warsawa. Aneh, semakin jelas kalau begitu, dia dibayar untuk membunuh Gabby. Tidak mungkin dia memiliki uang sebanyak itu untuk membeli tiket ke sana. Rupanya, laki-laki itu menginginkan laporan keuangan dari kerjasama dengan perusahaan periklanan.""Laporan keuangan?" ulang Cassandra belum mengerti arah pembicaraan Andrian.Andrian menganggu
"Buongiorno. Telah ditemukan sesosok mayat di tepi hutan kota Distrik Barbera. Mayat yang identitasnya belum diketahui itu diperkirakan berjenis kelamin laki-laki. Wajahnya sulit dikenali karena sebagian wajahnya telah rusak, diperkirakan serangan binatang buas. Polisi wilayah Barbera masih melakukan olah TKP untuk memastikan penyebab kematian laki-laki malang itu. Selalu berhati-hati, dan ...." Andrian meletakkan cangkir kopi di tangannya. Laki-laki itu bergegas bangkit dan melangkah cepat ke ruang keluarga di mana televisi masih memberitakan kejadian itu."Ya, memang benar. Awalnya kami akan buang air kecil, tapi demi Tuhan ini sangat mengerikan. Lalu kami memutuskan segera meninggalkan tempat ini sambil menelpon polisi. Kasihan sekali ....""Terima kasih informasinya!" ucap reporter perempuan pada pemuda yang tadi malam menemukan mayat Bruno Morea."Distrik Barbera?" Andrian mengangkat bahu tak acuh. Tempat itu memang sangat jauh dari pusat Kota Milan.Laki-laki itu bergegas kemb