"Dia?!" tunjuk Grand Duke Everon. Mata para bangsawan lain tertuju pada wanita itu. "Dia yang akan menikah dengan Yang Mulia Raja?!" tanya Grand Duke Everon sekali lagi.
"Benar Yang Mulia Grand Duke," jawab Marquess Riven. Ia tak berani menatap Grand Duke Everon barang sedetik saja. Atau bangsawan manapun di ruangan itu.
Marquess Riven tertunduk dengan memegangi topi beludrunya. Wajah pria paruh baya itu memerah seperti mau menangis.
"Yang Mulia! Ini namanya penghinaan!" sahut bangsawan yang lain.
"Ya! Itu benar!" gemuruh gerutuan para bangsawan bersahut.
Pria yang duduk di kursi tahta menatapnya. Mungkin di seluruh ruang tahta, dia yang paling kaget. Mulutnya menganga seperti ikan kod. Entah sudah berapa lama. Mata emasnya memandang nanar. Belum lagi, dia adalah orang yang harus melakukan ikatan sakral dengan wanita ini.
Dari bawah ke atas, dari atas ke bawah. Hatinya mencelos. Dari panggung berundak dengan kursi tahta yang ia duduki sebagai puncaknya, dia bisa melihat itu semua. Melihat keseluruhan wanita itu menunduk menatap lantai marmer kuning keemasan yang mengilap.
Pria itu menelan ludah, perlahan tubuhnya bangkit. Para bangsawan di sana berbisik. Kakinya melangkah turun menuruni anak tangga marmer dengan bersahaja.
Perawakannya tinggi. Tubuhnya kekar proporsional. Dibalut jubah kerajaan yang resmi nan mewah berwarna biru tua, nyaris hitam. Sulaman emas menghias bagian bawah jubah itu. Rahang menawan dengan bibir merah muda alami. Ada jambang halus yang tertabur di pipinya. Mata pria itu berwarna emas, menyelidik seperti elang, mengilap seperti manik-manik. Hidungnya tinggi, halus dan tajam.
Tak lupa sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya. Masih menampakkan sepasang telinga anjing kecil. Mengintip dari balik rambut hitam legam yang menutupi sebagian dahi.
Dialah Raja Ditrian von Canideus.
Kini, ia sudah berdiri jarak setengah meter dari bahan makian para bangsawan hari itu.
Seisi ruangan hening memperhatikan laku raja mereka.
"Berdirilah," ucap Raja Ditrian.
Perlahan dengan ragu dan penuh ketakutan, wanita itu berdiri. Ia belum berani menatap Raja Ditrian.
Seketika pria itu mengernyit muak. Jijik. Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat dengan jelas wanita itu.
Kumal mengenakan baju terusan untuk tahanan.
Bentuk giginya yang tak beraturan, berbalap dengan bibirnya yang tebal sekali. Bahkan hampir sulit untuk menutup mulutnya dengan rapat dan normal. Hidungnya besar dengan beberapa kutil menempel di sana. Bentuk matanya aneh, terlalu berjauhan. Mungkin seharusnya tidak berada di sana.
Rambut wanita itu berwarna pirang keemasan, kusut serabutan dan kotor oleh tanah dan debu-debu.
Baru kali ini ia melihat wajah wanita yang hampir mirip kuda. Mungkin hanya ibunya saja yang bisa mencintai wajah itu.
"Yang Mulia, tolong pikirkan baik-baik. Kami tidak bisa memiliki ratu seorang manusia!" protes Grand Duke Everon lagi.
"Tetapi Yang Mulia Grand Duke ... ini adalah titah Baginda Kaisar Julius," suara Marquess Riven lirih berusaha menyanggah. Masih bisa terdengar oleh Raja Ditrian.
"Anda juga, Tuan Marquess! Kenapa Anda tidak protes pada Baginda Kaisar?!" balas Grand Duke Everon. Nada bicaranya meninggi. "Kalau sudah begini kita harus bagaimana?!"
"Cukup," ucap Raja Ditrian setengah berteriak.
Pria-pria itu membungkam mulut mereka seketika.
Mata emas Raja Ditrian belum beralih dari wanita buruk rupa di hadapannya.
"Aku akan menikahi wanita ini-," ucapnya dengan lirih.
"Yang Mulia!" pekik Grand Duke Everon. "Kami mohon Yang Mulia!"
Kelancangan Grand Duke Everon membuat sang raja menggedik dan mengangkat tangan kanannya. Tepat sebelum bangsawan lain membuka mulut mereka.
"Aku akan menikahi wanita ini ... bukan sebagai ratu. Tetapi seorang selir."
Sesaat berikutnya timbul bisikan-bisikan lainnya. Mungkin mengutuk perempuan itu.
xxx
Dua hari berikutnya, pernikahan mereka pun tiba.
Seperti yang diramalkan oleh Raja Ditrian, tak banyak bangsawan yang datang. Tapi di antara tamu-tamu itu, Grand Duke Everon hadir. Wajahnya masam dan terlihat kesal.
"Dengan ini, aku nyatakan kalian sebagai suami dan istri," tutup Pontifex. "Yang Mulia, Anda boleh mencium mempelai Anda."
Ditrian berdiri di altar dengan pakaian dan jubah biru tua yang rapi serta mewah. Sementara Putri Sheira mengenakan gaun putih anggun dengan renda emas yang telah disiapkan oleh dayang istana.
Perlahan tangan Ditrian mengangkat tudung putih transparan yang menutupi wajah istri barunya. Masih buruk rupa. Mata wanita itu sama sekali tak menatap. Wajahnya datar dan terlihat enggan dengan ini semua. Begitu juga Ditrian. Tapi ia harus mencium wanita itu agar semua ritual ini bisa diakhiri.
Kepalanya sudah mendekat, lalu ia mencium pipi putih Putri Sheira sesingkat itu.
Beberapa tamu di sana bertepuk tangan dengan malas. Grand Duke Everon bahkan hanya menatap sinis dari jauh sambil masih memasukkan tangannya ke kantung celana.
Seusai ritual itu, selir baru Raja Ditrian digiring oleh para dayang. Para bangsawan menyelamatinya lalu pulang.
Bukan pesta pernikahan yang apik untuk seorang raja. Tidak ada suka cita.
Raja Ditrian duduk di salah satu meja yang sengaja disiapkan untuk pernikahannya. Ia duduk di sana, meminum anggur yang tadi disiapkan untuk momen bersulang. Kuil sudah lebih lengang, hanya ada beberapa ksatria, dan Patricius berlalu lalang dengan jubah putih mereka di dalam kuil.
"Aku tidak tahu harus memberimu selamat atau tidak," ucap Grand Duke Everon. Tangannya masih ada di dalam saku. Tubuhnya sudah berdiri dekat.
Ditrian tersenyum pahit lalu menuangkan botol anggur lagi ke dalam gelasnya. Everon menggeser kursi kosong di sana agar bisa duduk dekat dengan Ditrian.
"Aku sepupumu, sahabatmu dari kecil. Saat kau jadi raja, kupikir pernikahanmu akan jadi yang paling meriah. Kau bisa menikah dengan wanita yang paling cantik, diarak ramai-ramai ke seluruh kota dan rakyat di seluruh kerajaan bersorak untukmu."
Ditrian kembali menyesap anggur merah ke dalam mulutnya.
"Sebagian besar bangsawan menentang pernikahan ini. Bahkan Pontifex pun sebenarnya tidak mau menikahkanmu." Mata Everon menunjuk ke Pontifex di salah satu sudut kuil, membuat Ditrian memperhatikannya juga. Pria itu hanya melirik rajanya dengan iba, lalu kembali mengobrol dengan dua orang Patricius di sana.
"Kalau aku yang jadi raja, pernikahan ini tidak akan terjadi. Aku akan menolak mentah-mentah!"
Ditrian meletakkan gelas anggurnya, menyebabkan hentakan kecil pada meja itu.
"Lalu membangkang pada kekaisaran? Kau mau kita berperang lagi?"
Everon hanya mendengkus sambil memutar matanya dengan malas. Ia juga paham soal itu. Ditrian hanya melakukan apa yang harus dilakukan seorang raja. Pria itu akan selalu begitu.
"Sudahlah." Ditrian menepuk bahu sepupunya. Ia menghela nafas dengan berat.
Wajah Everon masih pahit.
"Lalu, kau akan punya anak dengan selirmu itu?" ketusnya.
Ditrian hening sejenak. "Aku tidak tahu ... tapi dia istriku sekarang."
xxx
Ditrian menyusuri koridor istana ratu yang tenang. Sudah memakai jubah tidurnya. Ia tak menuju ke kamar ratu, tetapi menuju ke ruangan lain yang lebih kecil.
Seperti yang telah dia sebutkan, Putri Sheira hanya dijadikan seorang selir. Jadi dia tidak berhak untuk menempati kamar ratu.
Dua orang penjaga terlihat berjaga di depan sebuah pintu putih tinggi dari pohon ek. Ia telah sampai.
"Aku ingin menemui Putri Sheira," ucap Ditrian pada mereka. Keduanya membungkuk singkat, lalu meninggalkan pintu itu.
Ditrian bergeming di tengah koridor yang sepi. Ia menatap lurus cukup lama pada hiasan khas Kerajaan Canideus pada pintunya. Lalu menghela nafas. Sendu.
'Istriku ....'
Sehari sebelum hari pernikahan. "Yang Mulia, apakah ini harus dilakukan?" tanya penasihat kerajaan. Pejabat istana dan beberapa bangsawan berkumpul di ruang rapat istana. Mereka meminta penjelasan Raja Ditrian. "Kita tidak tahu apa niat Baginda Kaisar hingga beliau menikahkan Anda dengan ...," ucapan penasihat terhenti. Semuanya paham. "Titah Baginda Kaisar adalah perintah dari langit. Perintah dari para dewa. Jika kita mengabaikannya, bisa terjadi hal yang buruk," balas Raja Ditrian. "Yang Mulia ... ini akan jadi pernikahan Anda yang pertama. Bisakah Anda menunda pernikahan dengan Putri Sheira? Kami bisa mencarikan Anda perempuan yang lebih baik untuk dijadikan ratu. Dari keluarga bangsawan Direwolf yang baik. Dan-" "Grand Duke Everon," potongnya. "Dahulu Kerajaan Canideus jatuh pada kekaisaran karena melawan kehendak dewa. Saat kakek buyutku menolak melaksanakan titah kaisar, gempa bumi hebat juga terjadi di kerajaan ini." "T
Setelah malam itu, Ditrian sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke kamar selirnya lagi. Seolah pernikahan itu tidak pernah terjadi. "Ini tidak adil Yang Mulia!" pekik Viscount Elliot. "Kita sudah mengorbankan banyak hal dan perbekalan agar kekaisaran bisa memenangkan perang. Tetapi kita hanya mendapat wilayah Galdea Timur!" "Itu adalah titah Baginda Kaisar, Viscount Elliot," ucap Marquess Riven lirih. "Diam kau! Kau juga tidak melawan saat Kaisar menurunkan titah itu! Kau ini ada di pihak siapa Marquess Riven?!" "Beraninya Anda mempertanyakan kesetiaanku pada kerajaan!" bantah Marquess Riven pada Viscount Elliot. Tuduhan itu sudah kelewatan. "Sudahlah," ucap Raja Ditrian pasrah. "Tidak bisa begitu Yang Mulia! Jika kita tak mendapatkan wilayah yang menguntungkan, seluruh kerajaan bisa kelaparan di musim dingin nanti," Viscount Elliot kembali menoleh pada Marquess Riven. "Sekarang kau paham kan apa yang telah kau perbuat, Marquess?
Ditrian canggung. Sungguh, demi dewa, dia ingin sekali bisa leluasa berbincang dengan Evelina. Dan Grand Duke Everon memasang wajah itu! Ya. Wajah yang mengatakan pada Ditrian,ayolah kawan!Dan Ditrian tahu apa maksudnya. Pria itu dengan hati-hati menoleh pada Sheira. "Mm ... Tuan Putri-" "Aku merasa haus," potongnya tiba-tiba. "Yang Mulia Raja, Yang Mulia Grand Duke, dan Lady Evelina ... aku mohon pamit. Silahkan berbincang. Jika Yang Mulia Raja membutuhkanku, aku akan berada di sebelah barat aula. Permisi, dan nikmati pestanya," Putri Sheira tersenyum sembari melepaskan gandengan pada Ditrian. Ia membungkuk sedikit lalu pergi. Tanpa Ditrian sempat mengangguk atau mengijinkan, ia pergi begitu saja. Melenggang melewati tamu-tamu seolah merasa tidak akan ada yang memperhatikannya. Tapi para bangsawan Direwolf ini menatap sinis saat ia lewat. Ditrian masih menatapi punggung Sheira hingga ia menghilang dalam kerumunan
"Aku berciuman dengan Lady Evelina," ucap Ditrian parau. Ia meremas rambut hitamnya sambil tertunduk lesu. "Bukankah itu hal yang bagus?" tanya Everon. Ia melihat Ditrian tiba-tiba setengah berlari menuju ruang serba guna. Grand Duke Everon pun menyusulnya. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres hingga Raja Ditrian bersikap seperti itu. Pria ini terlihat sangat gusar tadi. Kini ia duduk dengan memegangi kepalanya. "Tidak! Ada yang melihat kami!" sergahnya. "Siapa?" "Entahlah. Yang jelas tamu dari salah satu bangsawan. Apa yang akan mereka pikirkan tentangku?!" Everon hanya menepuk bahu tegang Ditrian. Ia menyeringai dan mendengkus geli dengan gelagat sepupunya itu. Beberapa saat kemudian ia mulai bicara. "Tenang saja kawan. Tidak akan ada rumor buruk tentangmu. Sepertinya seluruh pergaulan atas telah merestuimu dengan Evelina. Justru ini adalah hal bagus!" "Tapi ... bagaimana dengan Putri Sheira? Aku baru saja menikahi s
"Evelina! Evelina!" Duke Gidean von Monrad yang gemuk tergopoh. Ia langsung jatuh berlutut dan meraih Evelina dari pelukan Ditrian. "Panggil dokter!" perintah Ditrian. "Yang Mulia! Apa yang terjadi dengan putriku?!" tatap Duke Gidean pilu, ia mulai menangis. Wajah pria gemuk itu histeris, panik. Ia terisak dan wajahnya jadi basah air mata. Ia memanggil nama Evelina berkali-kali. Sesekali menggoyahkan putrinya agar bangun. Grand Duke Everon berusaha menenangkannya. Tak lama, beberapa dokter istana datang. Ditrian bangkit dan membiarkan dokter-dokter itu mengambil alih. Mereka menyentuh nadi dan leher Lady Evelina. Wajah Ditrian memucat. Seorang tamu, putri Duke pula! Keracunan di pestanya. Bahkan ia juga hampir meminum anggur yang sama. Dia merasakan sebuah keanehan. Seharusnya, bagi dirinya seorang Direwolf akan sangat mudah untuk mencium racun di anggur itu. Bahkan bisa dibilang, Ditrian sudah pernah membaui segala macam racun di benua ini.
"Sial!" umpatnya. Panik. Ia berdecak lalu memegangi dahinya. Sudah tak terkejut lagi, kini ia terlihat kesal. "Kau ini siapa?" tanya Ditrian lagi. Wanita itu kini menatapnya. "Aku ... Sheira!" Ditrian terpaku di sana. Baru pertama kali ia melihat wanita yang secantik ini seumur hidupnya. Wajahnya sangat unik. Hidungnya tinggi, pipinya merona seperti mawar. Bibirnya tipis mempesona. Seperti berasal dari negara lain. "Pasti Magi penyamaranku terlepas karena aku menggunakan Magi yang lain. Ah sial!" gerutunya. Ditrian tak mengerti apapun yang wanita itu ucapkan. Mata pria itu memicing. Ia lalu mengacungkan pedangnya lagi pada orang asing ini.
Baru saja Ditrian mendapatkan laporan kepala pengawal istana. Tidak ada tamu bangsawan yang terluka. Mereka bisa dievakuasi tepat waktu. Pagi itu ruang kerjanya sibuk. Dipenuhi beberapa dokumen dan laporan soal kejadian kemarin. Termasuk daftar benda yang terbakar dan perkiraan perawatan ruang pesta. Mungkin tidak akan bisa dipakai untuk acara selama beberapa minggu. "Yang Mulia. Lady Emma ingin bertemu dengan Anda," ucap pengawal. "Biarkan dia masuk," Ditrian duduk di kursi kerjanya. Dia hanya tidur sebentar semalam. Bekas kebakaran ruang pesta sedang diurus dan beberapa pegawai istana juga mondar-mandir ke ruangannya. Lady Emma masuk ke ruangan dengan terengah. Ia terlihat begitu tergesa. Wajahnya pucat dan panik. "Yang Mulia, m
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?" lirih Ditrian. Mata emas pria itu masih menggerayangi tubuh moleknya. Mencuri-curi pandang? Mungkin bisa dibilang begitu. Sheira mengernyit. Justru kini ia kebingungan. "Kau tahu 'kan? Sebenarnya di dunia ini kita semua sama. Kita adalah manusia yang sama. Tetapi dewa menurunkan mukjizat untuk setiap mahluk. Direwolf, Vampir, Elf ... kau bisa membedakan mereka dari telinga dan gigi-gigi mereka. Manusia setengah penyihir bisa mengendalikan elemen masing-masing seperti api, air, tanah, dan udara. Dan penyihir murni bisa menjadi elemen mereka seutuhnya, seperti yang kita hadapi waktu itu." Ditrian mengangguk kecil. Dia paham kalau hanya soal itu. "Lalu?" "Kita beruntung bisa mengalahkan y
Ditrian meletakkan seikat bunga berwarna kuning keemasan. Ia tersenyum."Mirip kau," katanya.Empat puluh lima tahun berlalu. Empat puluh lima tahun lamanya pula Sheira terbaring di ranjang. Kini ia ditempatkan di sebuah menara tinggi. Setelah perang, raja-raja memantapkan Ditrian sebagai kaisar baru mereka. Kaisar Ditrian von Canideus. Setelah berabad-abad, akhirnya ada seorang kaisar yang adil dan bijaksana. Kekaisaran menjadi makmur. Semua makhluk hidup berdampingan dan beriringan. Bangsa Elf tak lagi begitu menutup diri mereka. Mereka membagi pengetahuan di bidang pengobatan dan sihir. Sementara para Dwarf terkadang menjual teknologi-teknologi yang mereka miliki seperti teknologi pembajak sawah otomatis dan kincir air yang bisa digunakan untuk menumbuk biji-bijian.Kekaisaran berangsur makmur semenjak pemerintahan Raja Ditrian.Meskipun rakyat kini bisa hidup damai dan bersuka cita, tidak dengan Raja Ditrian. Dia akan bersuka cita kelak, saat su
Ditrian langsung menerobos ke dalam tenda. Ada beberapa orang di sana."Sheira! Sheira!" pekik Ditrian. Ia langsung menghampiri istrinya yang telah terbujur kaku di atas ranjang. Ditrian memeluk dan memegang tangannya. "Apa yang terjadi?! Sheira! Bangunlah! Aku disini, Sheira!"Ditrian tak bisa membendung kesedihannya. Ia menangis sambil memeluk jasad Sheira. Ia menangis begitu memilukan. Tidak pernah ada seorang pun yang melihat pria itu menangis. Tidak ada. Namun di hari itu ... Ditrian begitu merana. Ia membelai rambut emas Sheira, memanggil-manggil namanya begitu putus asa.Semua yang ada di ruangan itu sangat berduka."Apa yang telah terjadi p
Keesokan harinya, setelah matahari terbit, semua orang telah bersiap di pos mereka masing-masing. Ditrian menggenggam tangan Sheira di atas bukit, raja-raja juga berada di sana. Mereka bisa memandangi keseluruhan medan perang."Kau sudah siap?"Sheira mengangguk. "Aku telah menunggu hari ini seumur hidupku. Aku akan membunuh mereka semua," kata Sheira mantap.Ditrian mengecup punggung tangannya. "Jangan terlalu memaksakan dirimu. Aku akan memenangkan peperangan ini untukmu, sayangku."Tak berapa lama kemudian, suara terompet dibunyikan. Raja Dwarf melihat dengan sebuah tongkat dari kuningan yang ditambahi sebuah kaca kecil di ujungnya. Katanya benda itu bernama teropong jarak jauh.
Ditrian membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, diantara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan racun itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah.
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa.
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dar
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-ben
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."