Baru saja Ditrian mendapatkan laporan kepala pengawal istana. Tidak ada tamu bangsawan yang terluka. Mereka bisa dievakuasi tepat waktu. Pagi itu ruang kerjanya sibuk. Dipenuhi beberapa dokumen dan laporan soal kejadian kemarin. Termasuk daftar benda yang terbakar dan perkiraan perawatan ruang pesta. Mungkin tidak akan bisa dipakai untuk acara selama beberapa minggu.
"Yang Mulia. Lady Emma ingin bertemu dengan Anda," ucap pengawal.
"Biarkan dia masuk," Ditrian duduk di kursi kerjanya. Dia hanya tidur sebentar semalam. Bekas kebakaran ruang pesta sedang diurus dan beberapa pegawai istana juga mondar-mandir ke ruangannya.
Lady Emma masuk ke ruangan dengan terengah. Ia terlihat begitu tergesa. Wajahnya pucat dan panik.
"Yang Mulia, mohon maaf. Ada yang ingin saya sampaikan pada Yang Mulia. Ini soal Tuan Putri."
"Ada apa dengan Tuan Putri?"
"Beliau ...," Lady Emma sang kepala dayang melirik ke kanan dan kiri. Ada beberapa pegawai istana di sana. Dia tidak yakin harus mengatakannya bagaimana. "Beliau ... telah terlepas dari kutukan. Sepertinya Yang Mulia harus melihatnya sendiri."
'Kutukan? Jadi dia menggunakan alasan itu ya.'
Ditrian hening sejenak. Ia menarik nafasnya dalam. Tak seperti dugaan Lady Emma, Raja Ditrian terlihat tenang.
"Aku sudah tahu. Layani Tuan Putri seperti biasa. Aku akan menemuinya malam ini. Jadi lakukan saja tugasmu, Lady Emma."
"Ba-baik ... Yang Mulia."
xxx
Ditrian memenuhi rencananya malam ini. Ia sudah berdiri di pintu tinggi pohon ek yang dicat putih. Kamar selir. Kamar Putri Sheira.
Dia tidak pernah peduli pada istana ratu. Yang penting dirawat secukupnya. Hampir tidak pernah juga berkeliaran di area ini.
Namun ... sejak pernikahannya, setiap kali menginjak istana ratu, pikiran Ditrian penuh. Sejak ada wanita itu. Apa yang ada di balik pintu tinggi pohon ek ini, di balik kamar paling ujung lorong ... membuat perasaannya campur aduk.
Kali ini ... penasaran.
Ia membuka perlahan. Wangi bunga lili menyeruak dari dalam sana.
Wanita asing yang mengaku Sheira itu berdiri di depan jendela besar. Rambut emas bergelombang tergerai bebas di punggungnya. Ia menoleh ke belakang, menatap Ditrian yang berdiri di daun pintu.
Malam ini cahaya perak dari bulan memenuhi kamar. Persis seperti tatapan mata perak misterius wanita itu.
"Kau sudah datang," ucapnya. Ia berbalik dan berjalan ke dekat ranjang. Wanita asing itu duduk manis di bibir kasur. "Masuklah dan tutup pintu itu rapat-rapat."
Ditrian menutupnya, lalu melangkah ke dalam kamar. Ia ikut mendekat padanya, ke dekat ranjang. Nyaris sama seperti saat pertama kali mereka hanya berdua.
Sosok wanita itu begitu sempurna. Begitu elok. Wanita paling cantik yang pernah ia lihat selain mendiang ibundanya. Terlihat lebih jelas malam ini.
Melihatnya bertelanjang kaki dengan paha dan betis yang halus, membuat jantung Ditrian berdebar-debar. Ia mengenakan gaun satin sutra putih yang pendek dan mahal. Bertengger di bahu wanita itu dengan sebuah tali yang kurus saja.
Ia berusaha mendatarkan wajahnya, meskipun begitu terpesona. Aroma bunga lili menguat saat tubuh mereka dekat. Semua itu membuat bulu di seluruh tubuh Ditrian berdiri.
"Apa ada yang mengikutimu?" tanya wanita asing itu. Ditrian menyipitkan matanya.
"Tentu saja tidak," sanggahnya. Pertanyaan yang aneh. "Kau bilang ingin menunjukkan sesuatu padaku."
"Ya. Tapi sebelum itu ...," mata perak perempuan itu melirik, menunjuk di belakang punggungnya. "... perintahkan pengawal bayanganmu untuk pergi."
Ditrian terhenyak. Bagaimana wanita ini tahu? Dia memang menempatkan pengawal tak terlihat untuk mengawasinya. Kalau-kalau wanita ini merencanakan sesuatu.
Tangan kanan pria itu terangkat. Ia menjentikkan jari. Sesosok bayangan hitam jatuh menapak di balkon kamar, di balik jendela. Ia lalu pergi dan raib entah kemana.
"Dan ... buang belati di belakang punggungmu itu."
Ditrian kembali terdiam. Dia juga membawa sebuah belati. Saat ia pertama mengunjungi kamar ini pun ia membawanya.
Pria itu merogoh punggung. Ia mengambil belati yang ia jepitkan di antara celana dan kulit punggungnya, lalu melemparnya ke lantai marmer.
"Apa lagi?" ketusnya.
"Sudah cukup."
Ia mendengkus. "Sekarang, apa yang sebenarnya ingin kau perlihatkan padaku?"
"Aku memberimu kesempatan untuk bertanya lebih dahulu."
Ada banyak. Itu yang memenuhi pikiran Ditrian seharian ini.
"Dimana Sheira? Kau apakan dia?" selidik Ditrian.
"Harus berapa kali kukatakan padamu ... akulah Sheira," jawab wanita itu tenang. "Aku menyamarkan wajahku saat akan ditangkap oleh orang-orang kekaisaran. Kupikir ... jika wajahku buruk, mereka hanya akan menjualku sebagai budak."
"Dan menurutmu akan lebih baik jika kau menjadi budak?" Ditrian menukas.
"Apa kau tahu yang mereka lakukan pada tawanan yang cantik? Mereka memperkosanya ramai-ramai." Ditrian menelan ludah. "Ya. Akan lebih baik jika aku menjadi budak."
"Alasanmu terdengar bagus. Tapi aku masih tidak percaya. Ucapanmu tidak membuktikan apa-apa," nada bicara pria itu sinis.
"Aku memakai Magi untuk mengubah wajahku."
"Aku tidak pernah mendengar omong kosong itu. Tunjukkan padaku dan aku akan percaya."
Wanita itu menggeleng. "Tidak bisa. Aku lupa mantranya. Lagi pula ... kenapa kau bersikeras untuk melihat wajah buruk rupa itu?"
"Karena ... dengan wajahmu yang sekarang, kau lebih berbahaya," ucapnya tajam.
Wanita itu hening sejenak. "Jika kau tak percaya, kau bisa mengais puing-puing istana Galdea dan mencari lukisanku. Untuk sekarang, satu-satunya pilihanmu adalah percaya bahwa akulah Sheira. Atau ... kau boleh mencari wajah buruk rupa itu di setiap sudut kekaisaran ini, Yang Mulia."
Ditrian menghela nafas. Ya. Dia tak punya pilihan lain sementara ini.
"Lalu ... kau ini sebenarnya apa? Penyihir? Aku tak pernah melihat yang sepertimu. Dan ... omong kosong apa itu Magi?"
Sheira memiringkan senyumnya. Seolah wanita itu telah menunggu-nunggu pertanyaan ini.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Perlahan wanita itu bangkit dari duduknya.
"A-Apa yang kau lakukan?!" Ditrian mengalihkan pandangannya ke samping.
Wanita yang mengaku Sheira itu telah menanggalkan gaun tidur dan melemparnya ke lantai marmer. Di sudut kamar yang gelap. Entah di mana.
Tubuhnya sudah polos tanpa ada benang sehelai pun. Berkulit putih, dengan bentuk badan yang melekuk indah. Dadanya yang bulat dan menantang, pinggang ramping, serta bagian di antara kedua pahanya.
Ditrian bisa melihat itu semua, namun ia memilih tidak. Matanya jatuh ke lantai marmer dan beberapa perabotan di sana.
Perlahan tubuh wanita itu mendekat padanya. Aroma bunga lili menguat. Aroma kesukaan Ditrian mulai sekarang.
Kedua tangan putih Sheira menangkup pada wajah pria itu. Ia merampas paksa tatapan emas Ditrian. Pria itu kini menatap wajah cantiknya begitu dekat. Kedua mata perak Sheira entah bagaimana seperti menghipnotis dirinya. Membuatnya begitu terpesona. Tubuh pria itu membeku.
Ia bisa merasakan jemari kurus yang agak dingin membelai kulit pipinya.
Ia menikmati setiap inci wajah cantik wanita itu. Semakin jelas sekarang. Pipinya yang mulus dengan bagian yang merona, bentuk wajah yang oval. Dagu mungil menggemaskan ditambah bibir merah muda yang memikat. Mungkin akan terasa manis jika dicium.
Seperti ada magnet yang super kuat di lantai marmer itu, Ditrian tak bisa bergerak. Mungkinkah ini salah satu sihirnya? Tetapi yang ia yakin, bahwa kedua mata perak misterius itu seperti sedang membaca pikiran dalam otak.
"Ditrian ... lihat aku baik-baik."
Wajah Ditrian memerah. Mata mereka bertemu. Tak terasa tubuh mereka tak lagi berjarak. Mata emasnya bertemu dengan Sheira. Pandangan mereka begitu lekat.
Nafasnya tak beraturan. Bau semerbak bunga lili memenuhi hidungnya. Pikiran-pikiran hebat memenuhi kepala. Jantungnya telah menderu dengan hebat. Nadinya mendesir kencang. Ia kalap.
Pertama kali di hidupnya setelah puluhan tahun melajang sebagai seorang Direwolf. Ia mendapati seorang wanita tanpa busana berada tepat di depannya.
"Kau bisa melihat-lihat sampai kau puas."
Ditrian menelan ludah. "A-apa maksudmu?"
Sheira melepaskan tangkupannya.
Mata Ditrian kini telah sepenuhnya menatap tubuh telanjang wanita itu. Putih, terlihat halus seperti krim susu. Dadanya bulat dan cukup besar, menggantung di sana.
Dia tahu seharusnya tak melakukan ini. Namun, entah mengapa ia menuruti semua perkataan wanita ini.
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?" lirih Ditrian. Mata emas pria itu masih menggerayangi tubuh moleknya. Mencuri-curi pandang? Mungkin bisa dibilang begitu. Sheira mengernyit. Justru kini ia kebingungan. "Kau tahu 'kan? Sebenarnya di dunia ini kita semua sama. Kita adalah manusia yang sama. Tetapi dewa menurunkan mukjizat untuk setiap mahluk. Direwolf, Vampir, Elf ... kau bisa membedakan mereka dari telinga dan gigi-gigi mereka. Manusia setengah penyihir bisa mengendalikan elemen masing-masing seperti api, air, tanah, dan udara. Dan penyihir murni bisa menjadi elemen mereka seutuhnya, seperti yang kita hadapi waktu itu." Ditrian mengangguk kecil. Dia paham kalau hanya soal itu. "Lalu?" "Kita beruntung bisa mengalahkan y
Lady Emma adalah wanita Direwolf paruh baya. Ia berasal dari keluarga bangsawan kecil di wilayah barat kerajaan. Ia telah melayani mendiang ratu, ibunda Raja Ditrian. Dari pertama kali menikah, hingga langit memanggilnya saat ia terbaring di ranjang untuk terakhir kali. Sudah bertahun-tahun lamanya, hingga Raja Ditrian menikahi seorang selir. Putri yang buruk rupa. Dayang istana, putri-putri bangsawan yang masih muda banyak mengeluh. Menggerutu. Mereka merasa kehormatannya diinjak karena harus melayani selir buruk rupa. Dari negeri jajahan pula. Lady Emma juga sedih. Tetapi ia hanya ingin melakukan yang terbaik di hari tuanya. Sebagai kepala dayang istana. Pagi ini seperti biasa
"Sebetulnya dia ingin ikut bersama kami ke istana. Namun dokter belum mengijinkan," sambung Duchess Anna. Ditrian agak merasa canggung. Ia melirik Sheira yang diam mendengarkan. "Ah begitu. Bagus kalau Lady Evelina sudah lebih baik," ucapnya berusaha tenang. "Akan menjadi sebuah kehormatan jika kami bisa membalas kebaikan Yang Mulia. Kami akan memberikan apapun," Duke Gidean tersenyum di balik kumisnya yang tebal dan rapi. "Ah itu tidak perlu, Tuan Duke," jawab Ditrian. Ingin sekali ia mengalihkan topik tentang Evelina. "Tidak. Tidak Yang Mulia. Kami benar-benar ingin membalas kebaikan Yang Mulia. Evelina adalah anak kami satu-satunya. Dia adalah nyawa dan harapan dari keluarga
"Aku berada di sini, memang ingin menemui Tuan Duke dan Duchess. Sayangnya Lady Evelina tidak hadir," ucap Putri Sheira dengan tenang dan anggun. Di meja itu, sudah tidak ada lagi yang bisa bicara. "Aku ingin meminta maaf kepada Lady Evelina karena telah memukulnya saat di pesta. Dan pastinya membuat salah paham. Semata-mata kulakukan agar racunnya bisa dimuntahkan secepatnya. Oleh karena itu, aku atas nama pribadi dan keluarga kerajaan, dari lubuk hati yang paling dalam, meminta maaf pada keluarga Duke dan Duchess Monrad, terutama Lady Evelina." Putri Sheira dengan anggun membungkuk sedikit di kursinya. Wajahnya terlihat mengiba dan prihatin, menunjukkan sebuah penyesalan. Duke Gidean telah pasi, namun ia tetap balas membungkuk.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Peter?" Pangeran Alfons kini tengah berada di ruang baca. Ruangan itu disinari beberapa lampu minyak dan lilin. Peter, ajudan kaisar yang tadi membisik ada di sana. Ia berdiri kecut tertunduk. "Bagaimana penyihirku mati? Bagaimana bisa Aken dibunuh?" tanya Pangeran Alfons lagi. Ia masih mengenakan baju yang sama saat makan besar. Baju dari beludru berwarna hitam. Lebih mirip jas panjang yang menutupi hingga belakang lututnya. Ada sulaman-sulaman emas berbentuk sulur-sulur dedaunan di kerah pria itu. Pangeran Alfons menuang segelas air dari teko emas di meja. Peter melirik kesana kemari dengan gugup. Ia menelan ludah.
Detak jam meja yang lembut bisa terdengar jelas di ruang kerja raja. Entah sudah berapa menit. Teh yang dihidangkan pelayan juga pasti dingin. Cahaya yang menyusup dari jendela telah berwarna jingga. Hari sudah mulai sore. Namun Raja Ditrian dan Sir Kedrick belum bicara apapun. Meskipun Raja Ditrian telah meminta Sir Kedrick untuk beristirahat, tetapi di saat seperti ini pun, pria itu bertanggung jawab pada majikannya untuk melapor. Wajah Sir Kedrick tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Pria itu terlihat tak berdaya. Hanya duduk beku. Tatapannya kosong seperti melihat sumur yang tak terhingga dalamnya. Padahal saat perang melawan orang-orang Galdea dulu, dia yang paling gagah berani untuk menerima semua anak panah musuh. Hari
Ditrian berdecak kesal. Ia mengalami hari yang buruk belakangan ini. Tidak butuh dikuliahi atau diteriaki seperti itu. "Jika tidak ada keperluan, pergilah. Kembali ke kamarmu," ucap Ditrian setengah mabuk. Sheira semakin dongkol. Ia berbalik dan menyibak dengan kasar setiap tirai di ruangan itu. Cahaya siang masuk membuat Ditrian menyipit dan menggunakan tangan kanan untuk menghalau sinar ke matanya. Kini ruang kerja raja menjadi terang benderang. Dia menuju ke kursi kerja Ditrian dan menamparnya dengan secepat kilat. Ditrian tak sempat menghindar. Ia terhenyak. Mulutnya menganga dan seluruh kesadarannya pulih. "Hey! Untuk apa kau lakukan itu?!" "Apa kau sudah gila?! Untuk apa k
"Wajah?" tanya Ditrian lirih. Sir George mengangguk pelan. "Lalu salah satu prajurit mulai berteriak-teriak. Dari kabut yang tebal, kami bisa mendengar langkah seseorang di atas rumput liar. Semakin lama, semakin banyak. Lalu kami merasa ada sesuatu yang bergerak di semak-semak. Kami pikir, kami diserang. Kami pun waspada. Lalu ...." Sir George menutupi matanya dan tertunduk takut. Ia mulai mengucap kalimat-kalimat doa pada dewa dengan lirih, dengan tergesa. "Lalu ... apa?" Ditrian dan Sheira menunggu. Perasaan ngeri dan penasaran memenuhi benak keduanya. Setelah Sir George selesai dengan doanya, ia menurunkan tangannya untuk menatap mereka berdua. Ia benar-benar tenang meski dengan wajah yang takut.
Ditrian meletakkan seikat bunga berwarna kuning keemasan. Ia tersenyum."Mirip kau," katanya.Empat puluh lima tahun berlalu. Empat puluh lima tahun lamanya pula Sheira terbaring di ranjang. Kini ia ditempatkan di sebuah menara tinggi. Setelah perang, raja-raja memantapkan Ditrian sebagai kaisar baru mereka. Kaisar Ditrian von Canideus. Setelah berabad-abad, akhirnya ada seorang kaisar yang adil dan bijaksana. Kekaisaran menjadi makmur. Semua makhluk hidup berdampingan dan beriringan. Bangsa Elf tak lagi begitu menutup diri mereka. Mereka membagi pengetahuan di bidang pengobatan dan sihir. Sementara para Dwarf terkadang menjual teknologi-teknologi yang mereka miliki seperti teknologi pembajak sawah otomatis dan kincir air yang bisa digunakan untuk menumbuk biji-bijian.Kekaisaran berangsur makmur semenjak pemerintahan Raja Ditrian.Meskipun rakyat kini bisa hidup damai dan bersuka cita, tidak dengan Raja Ditrian. Dia akan bersuka cita kelak, saat su
Ditrian langsung menerobos ke dalam tenda. Ada beberapa orang di sana."Sheira! Sheira!" pekik Ditrian. Ia langsung menghampiri istrinya yang telah terbujur kaku di atas ranjang. Ditrian memeluk dan memegang tangannya. "Apa yang terjadi?! Sheira! Bangunlah! Aku disini, Sheira!"Ditrian tak bisa membendung kesedihannya. Ia menangis sambil memeluk jasad Sheira. Ia menangis begitu memilukan. Tidak pernah ada seorang pun yang melihat pria itu menangis. Tidak ada. Namun di hari itu ... Ditrian begitu merana. Ia membelai rambut emas Sheira, memanggil-manggil namanya begitu putus asa.Semua yang ada di ruangan itu sangat berduka."Apa yang telah terjadi p
Keesokan harinya, setelah matahari terbit, semua orang telah bersiap di pos mereka masing-masing. Ditrian menggenggam tangan Sheira di atas bukit, raja-raja juga berada di sana. Mereka bisa memandangi keseluruhan medan perang."Kau sudah siap?"Sheira mengangguk. "Aku telah menunggu hari ini seumur hidupku. Aku akan membunuh mereka semua," kata Sheira mantap.Ditrian mengecup punggung tangannya. "Jangan terlalu memaksakan dirimu. Aku akan memenangkan peperangan ini untukmu, sayangku."Tak berapa lama kemudian, suara terompet dibunyikan. Raja Dwarf melihat dengan sebuah tongkat dari kuningan yang ditambahi sebuah kaca kecil di ujungnya. Katanya benda itu bernama teropong jarak jauh.
Ditrian membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, diantara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan racun itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah.
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa.
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dar
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-ben
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."