"Kamu mau berbulan madu ke mana, Sayang?" Pada malam pertama, Bram telah menawarkan beberapa hadiah pernikahan untuk Jihan. Saat itu, dia belum berkata jujur tentang kekayaan yang dimiliki keluarganya.Dalam setiap kesempatan, Jihan yang merupakan anak desa selalu berhemat dalam kehidupannya. Dia terbiasa menabung untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Jadi tidak heran jika Jihan tidak berharap lebih dari suaminya. "Di mana pun tempatnya, bagiku akan sama saja asal selalu bersama denganmu," Jihan menjawab."Sama sekali tidak ada tempat tujuan untuk berbulan madu?" Bram masih berharap Jihan memberi satu pilihan.Jihan langsung menggelengkan kepalanya. "Lebih baik uang buat keperluan itu kita tabung saja.""Tapi aku tetap ingin membawamu ke satu tempat yang jauh dan indah di mana hanya ada kita berdua saja."Sifat kekeuh yang dimiliki Bram membuat Jihan berpikir sejenak. "Apa tempatnya mengharuskan kita untuk menaiki pesawat?""Tentu saja," jawab Bram dengan pasti.Sedangkan Ji
Dorrrr Dorrrr Dorrrr Dalam sekali waktu, Jihan berhasil melepaskan tembakan. Kegiatan yang sangat baru untuknya, tapi semua bidikannya tepat pada sasaran. "Awesome ...." Ariel bertepuk tangan untuk keberhasilan Jihan. "Kamu hebat, Jihan, tidak heran Alex memilihmu, kamu sangat berbakat," pujinya. "Terima kasih." Jihan membungkukkan badannya. Setelah itu, Jihan kembali mengambil ancang-ancang. Sambil menyipitkan mata, dia mulai menarik pelatuk. Di depan sana, tampak sebuah objek dengan jarak ratusan meter. Dengan latihan dan pelajaran yang didapatkannya, Jihan yakin dengan feeling-nya. Benda itu harus jatuh karena satu tembakan darinya. Anggap saja benda itu adalah Bram, dan Jihan ingin fokus menjatuhkan pria itu. Duarr. Suara tembakan itu adalah bidikan terkahir Jihan. Skill yang baru digelutinya itu membuat Jihan berbangga diri. "Yes, berhasil." "Selamat , Jihan." Ariel mengulurkan tangannya. "Terima kasih," ucap Jihan sembari menjabat tangan rekannya itu.
Jihan ikut tersenyum tatkala melihat wajah ceria Mikha. Gadis di depannya kembali sumringah begitu melihat kekasihnya datang.Penasaran dengan wujud pria dambaan Mikha, Jihan segera berbalik untuk melihat penampakan pria itu. "Bram ....," Jihan bergumam dalam hati. "Jadi gadis ini adalah tunangan Bram?" Meski jarak Jihan dan Bram masih beberapa meter lagi, namun dia dapat mengenali perawakan tubuh pria itu dengan baik."Aku tahu dia pasti datang," ucap Mikha sambil memeluk lengan Jihan. "Aku akan mengenalkannya padamu."Tentu saja Jihan tidak menginginkan hal itu terjadi. Akan tetapi, dia juga tidak bisa menolak tanpa alasan. Sebelum Bram tiba, Jihan harus segera pergi dari tempat itu."Bagaimana kalau lain kali saja?" Jihan melepaskan lengannya dari pelukan Mikha. "Aku masih banyak urusan, jadi aku harus pergi sekarang juga."Sejatinya, Mikha adalah gadis yang manja dan sedikit pemaksa. Tidak peduli dengan siapapun, dia tidak terbiasa dengan penolakan. Wajahnya seketika cemberut sa
Bab 23.Tangan Ariel rasanya sudah gatal untuk menghajar seseorang. Dengan tubuhnya yang tinggi besar, dia sudah terbiasa dengan pertarungan.Sejak bertemu di dalam pesawat, Ariel sudah ingin memberi pelajaran pada Bram yang telah berani mengganggu Jihan. Biar bagaimanapun, urusan wanita itu menjadi tanggung jawabnya. Tanpa meminta izin pada Alex, Ariel bisa saja membuat perhitungan pada Bram.Jihan gelisah memikirkannya. Dia pun berkata dengan jujur. "Lupakan tentang pria tadi, ini semua hanya kesalahpahaman, dan apa yang kamu lihat tadi, semua adalah salahku. Aku yang mendatangi kekasihnya, mungkin saja dia merasa terganggu dengan kemunculanku yang tiba-tiba, jadi niat pria itu hanya untuk melindungi wanitanya," ungkap Jihan."Kamu yakin?" Ariel tidak dapat melihat hubungan kekasih antara Bram dan Mikha. "Mereka sepasang kekasih?""Itu yang dikatakan wanitanya."Di lain tempat.Bram juga sedang menginterogasi Mikha. Segala pertanyaan yang diajukannya berkaitan dengan Jihan. "Jihan
Sesampainya di rumah sakit, Bram buru-buru membukakan pintu untuk Mikha. Tak lupa, dia menyerahkan sebuah kartu pada gadis itu."Pergilah duluan, aku sudah mendaftarkanmu," kata Bram dengan buru-buru."Kamu mau ke mana?""Aku mau ke toilet sebentar, nanti aku akan datang menyusulmu."Dengan alasan itu, Mikha menurut saja. Dia berjalan menuju ruangan praktek dokter jantung yang biasa menangani kesehatannya. Selama menyusuri koridor rumah sakit, matanya tak berhenti melirik ke sana ke mari, berharap bertemu dengan Jihan di tempat tersebut.Sedang Bram langsung berlari mencari keberadaan Jihan. Dia masih ingat ke mana arah wanita itu melangkah.Tak lama setelah Jihan memasuki rumah sakit, Bram juga melihat kemunculan Ariel. Pria itu datang seorang diri. Wajahnya terlihat santai, namun cara berjalannya tampak buru-buru.Apa yang dilakukan Jihan selama ini?Apa yang disembunyikan Jihan? Bram semakin penasaran.Sementara itu, Jihan dibawa seorang pria menuju ruangan yang terbengkalai. Di s
Bram terhenyak mendengar tuduhan Jihan. Tubuhnya membeku, namun otaknya masih berputar.Meninggalkan Jihan karena salah paham? Bram tidak merasa melakukan itu.Sudah jelas Jihan yang berkhianat, kenapa masih berpikir seolah-olah menjadi korban dalam hubungan mereka. Bahkan dalam benak seorang Bram, Jihan adalah wanita yang kejam, di mana wanita itu tega mengugurkan anak dalam kandungannya sendiri. Terlepas dari siapapun ayahnya, tidak sepantasnya Jihan membunuh darah dagingnya sendiri.Tentang Mikha, itu adalah urusan pribadi Bram. Dia tidak ingin membahasnya di depan Jihan. Namun yang membuat penasaran adalah wanita-wanita yang pernah bercinta dengan Bram di waktu sebelumnya."Apa maksud kamu mengatakan wanita-wanita sebelumnya?" Sepengetahuan Bram, dia belum pernah bercerita tentang masa lalunya pada Jihan. "Siapa yang memberitahumu?" sentak Bram tidak terima. "Apa ini alasanmu berselingkuh dariku?" tuduhnya kemudian.Dengan semua itu, Bram justru berspekulasi bahwa Jihan sengaja m
"Bukankah itu Jihan?" Mikha begitu yakin. Sebelum Bram menjawab pertanyaannya, dia sudah lebih dulu mengambil keputusan. "Tolong ambil obatku, aku mau ketemu Jihan dulu.""Ah ... baiklah." Bram tampak pasrah walau sebenarnya ingin melarang pertemuan di antara kedua wanita itu.Mikha segera berjalan mendekati Jihan. Antusias gadis itu begitu tinggi. Sebelum meninggalkan negara itu, dia ingin bertukar telepon dan juga meminta alamat Jihan di tanah air. Dengan begitu, mereka masih bisa menjalin pertemanan di lain waktu.Akan tetapi, angan itu seketika buyar tatkala Mikha melihat jaket yang dikenakan oleh Jihan. Itu sama persis dengan milik Bram saat mereka memasuki rumah sakit tersebut."Kenapa Jihan memakai jaket Kak Bram? Bukannya tadi Kak Bram bilang sedang dilaundry?" Sembari berpikir, langkah Mikha terhenti sesaat. Dia ingat Bram menggunakan jaket, sedangkan Jihan hanya menggunakan kemeja berwarna abu-abu. Dia juga ingat Bram menghilangkan diri tepat ketika mereka akan memasuki ru
"Untuk apa kamu melihatnya?" Jihan menegur dengan kesal. "Apa kamu tidak pernah melihat orang yang berciuman?" "Aku hanya memastikan saja." Ariel tersenyum hambar melihat ekspresi Jihan."Memastikan apa maksudmu?" Jihan semakin geram dengan sikap rekannya itu."Aku kira pria itu sungguh-sungguh menyukaimu tadi, tapi ternyata perasaannya sangat cepat berubah." Ariel menghidupkan mesin mobil dan bersiap meluncur.Sedangkan Jihan bersandar santai sambil melipat kedua tangan di dada. "Kurang kerjaan saja." Seperti apapun perasaan Jihan saat ini, dia berusaha menekan emosinya di hadapan Ariel.Ketika hendak mendaratkan sebuah ciuman, tiba-tiba bayangan Jihan muncul dalam pikiran Bram. Segera dia menarik dirinya untuk menjauh."Maaf ...!" ucap Bram dengan suara yang lirih."Kenapa ...?" Mikha merasa kecewa.Lagi-lagi Bram merasa sangat buruk. Berkali-kali sudah dia ingin melakukan hal yang sama, tapi selalu saja gagal. Sebuah peringatan akan selalu muncul bahwa dia tidak boleh melakukan