KSIBP 71 "Pewaris siapa yang kau sebut itu, Saudara Yani?" Seorang wanita tua yang duduk di kursi roda menghampiri gadis yang tengah membanggakan dirinya itu, dengan raut wajah kesal. Yani yang mendengar pertanyaannya sangat emosi. Bagaimana tidak, semua orang tahu kalau dia adalah anak konglomerat. Namun, wanita ini malah mempertanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan. Matanya menatap lekat kepada orang yang bertanya itu dan bibirnya sungguh gatal ingin membuli wanita tua yang duduk di kursi roda itu. "Kau hanya seorang wanita tua yang duduk di kursi roda?" Yani mulai tertawa licik. "Tapi kenapa kau sampai berani berbuat masalah padaku, apa kau memang sudah bosan hidup?" tanyanya sambil melemparkan tatapan menyeringai. Sebenarnya dia bisa saja meminta orang-orang untuk memberikan nenek ini pelajaran, tapi Yani memilih untuk melakukannya sendiri karena dia berpikir kalau ini adalah kegiatan yang tidak hanya positif, tapi juga membuatnya bersemangat kembali untuk membuli
KSIBP 72 Sekeras apapun Yani berusaha untuk kabur, tapi ia tidak akan bisa melakukannya. Ditambah gerak-geriknya memang sudah dilacak. Bahkan, tempat persembunyian ibunya pun sudah ditemukan oleh bapaknya. "Tidak! Jangan bawa aku ke manapun!" teriaknya membuat semua tamu gaduh. "Bubarkan orang-orang terlebih dahulu, baru kita melakukan apapun yang diinginkan," titah Qiera kepada Diko yang hanya mengangguk. Ini hanyalah perintah, tapi anehnya hati Diko malah berbunga-bunga ketika mendengarnya. Apa mungkin karena ini adalah pertama kalinya Qiera meminta bantuannya? Diko mengambil mikrofon yang dari tadi dipegang pembawa acara, tapi dia tidak mengatakan apapun ketika kegaduhan terjadi. " Assalamu'alaikum warahmatullah .... Maaf untuk semua para tamu undangan! Berhubung kita punya masalah pribadi yang mendesak, jadi saya harap semuanya dapat pergi meninggalkan rumah ini. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya dan semoga kita semua dipertemukan kembali di acara yang akan datang di keluar
KSIBP 73 "Rupanya kau punya rasa takut, juga, ya?" Bapak mendekat ke arah Yani. "Kalau takut, harusnya kau menjadi anak yang penurut. Bukan malah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kau inginkan padahal itu tidak baik untuk kamu," ucapnya lembut. Yani menundukkan kepalanya. Dia bahkan tidak ingin mendengar suara bapaknya apalagi sampai melihat tatapan matanya. Semuanya terlalu menyakitkan. Ada penyesalan di dalam dirinya kenapa dulu tidak menjadi anak yang penurut. "Pucuk dicinta ulam pun tiba." Pak Malik mendekat ke arah bapaknya Yani dan mereka pun berpelukan sambil melepas rindu. "Maaf kalau anakmu selalu terluka oleh keluargaku," lirih Bapak, "tapi aku akan sangat bahagia kalau kau memberikan mereka pelajaran seperti yang diinginkan agar hatimu lega." "Tidak usah. Yasa sudah berubah menjadi orang yang baik, tapi aku perlu putrimu agar dia sadar dengan kesalahannya," ujarnya membuat Yasa terharu dan sangat menyesal. Andai saja dia tahu lebih awal kalau ayah Qi
KSIBP 74 Suasana kembali hening ketika tanda yang dimaksud Bapak hilang. Bahkan, Bapak sendiri bingung dengan tanda di tangan putrinya itu yang tiba-tiba menghilang. Bapak bahkan mendekat dan memeriksa tangan Yani dengan kedua matanya sendiri dan benar saja tanda itu tidak ada. Tangan kanan Yani bersih. Semua orang dibuat heran. Pak Dandi dan istrinya mendekat ke arah Yani, lalu memeluknya. "Sudah saya bilang kalau Yani memang anak saya, tapi kenapa tidak ada yang percaya?" jeritnya membuat Pak Malik heran. "Lebih baik kita mengalah, karena sepertinya ada yang janggal di sini," bisiknya pada Nenek yang ada di kursi roda. Bukan hanya Pak Malik, bahkan Om Dion, dan Riko juga sedikit curiga dengan apa yang terjadi hari ini. Ditambah semuanya terlalu kebetulan. "Baiklah, kita tunggu tes DNA keluar besok!" tegas Pak Dandi lagi. Yani tersenyum getir. Sekarang dia sendiri tidak tahu kebenarannya seperti apa dan kenapa tiba-tiba tanda di tangannya hilang, padahal jelas-jelas dia sendi
KSIBP 75 Pak Malik mengajak mereka berdua ke ruang kerjanya untuk membicarakan masalah yang serius. "Kalian berdua jaga makanan yang dibawa putriku!" titahnya kepada Om Dino dan juga Riko. "Siap!" Pak Malik, Qiera, dan Diko pun segera masuk ke ruangan itu, lalu duduk dengan suasana yang tegang. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi, Pa? Kenapa tiba-tiba Yani jadi anak Om Dandi yang jelas-jelas dia adalah anak Bapak?" tanya Qiera sungguh penasaran. Dari segi wajah pun, tidak ada kecocokan antara Yani dengan keluarganya sedikit pun. Bahkan, sama Yasa pun dia tidak mirip. "Papa juga tidak tahu. Tadi pagi orang suruhan pamanmu itu mengambil hasil tesnya di rumah sakit. Semuanya masih disegel bahkan terlihat di CCTV. Hanya saja hasilnya memang membuat Papa tidak percaya." Pak Malik memijat pelipisnya yang terasa pegal. "Apa?" Qiera sama sekali tidak percaya dengan kenyataan ini. "Sepertinya ada yang membuat permainan ini menjadi nyata, hanya saja kita tidak tahu seperti apa orangnya."
KSIBP 76 Maid itu hanya diam meski Harun bertanya beberapa kali dan hal ini membuatnya semakin curiga. Harun bergegas pergi ke kamarnya Mala, tapi tidak menemukan siapapun di sana. "Sayang, kamu di mana?" panggilnya dan dia terbatuk-batuk ketika menyadari ada aroma yang tidak sedap di kamar istrinya. "Bau apa ini?" teriaknya, lalu memanggil para maid. "Apa yang kalian lakukan di sini, hah? Cepat bersihkan kamar ini!" titahnya, lalu pergi untuk mencari Mala. Sayangnya tidak ada maid yang mengatakan kalau Mala pergi telat sebelum Harun datang, tapi mereka juga memang tidak berpapasan. Harun kembali masuk ke mobilnya dan masih beberapa kali mencoba untuk menelpon Mala, tapi nomornya masih tidak aktif, dan menjawab hanyalah operator. "Ah ... sialan! Ke mana perginya dia sebenarnya?" Harun membanting ponselnya, tapi mengambilnya kembali ketika nada telpon kembali terdengar. "Mas, rasa sakitnya meningkat berkali-kali lipat," lirih seseorang di sebrang telpon. Harun langsung tancap ga
KSIBP 77 Diko masuk kembali ke ruangan Mala dengan senyuman yang merekah, menganggap tidak ada hal yang terjadi agar Qiera tidak terlalu banyak pikiran. Mendengar Mala dirawat, istri mantan suaminya yang bernama Tiara datang menjenguk. "Mbak sakit apa, dari kapan?" tanyanya dengan wajah yang terlihat khawatir. "Mbak gapapa, cuman kecapean aja. Makasih, ya, sudah menyempatkan untuk datang." Mala menyambut Tiara dengan hangat. "Tadinya Mas Rasya mau ke sini, tapi katanya di kantor masih banyak pekerjaan." Tiara kembali bicara dan mengungkit suami masa lalu Mala. "Iya, tidak apa-apa." Mala berusaha tersenyum, padahal hatinya begitu teriris. Rasya yang berstatus sebagai mantan suami saja ada niatan untuk menjenguknya, tapi Harun ... suaminya sendiri malah tidak ada kabar, dan sibuk dengan wanita lain. Harun bahkan bersikap seolah dirinya tidak peduli dengan Mala yang sedang sakit. Beruntungnya Mala memang tidak suka berharap kepada manusia. Rasa sakit memang ada, tapi tidak untu
KSIBP 78 "Mala!" Harun membuka kamar lainnya untuk menemukan di mana keberadaan Mala, tapi tetap saja tidak dia temukan. Seorang perawat yang tadi melihat sikap gila Harun menatapnya sinis. "Kenapa, Pak? Baru sadar, ya? Tapi maaf, sekarang istrimu sudah pergi jauh," sindirnya membuat Harun semakin hancur. "Apa sebenarnya yang sudah aku lakukan?" Harun berlari ke arah parkiran. Saat ini ia sungguh tidak peduli dengan Laras yang berteriak memanggil namanya. "Aku harus menemukan dia secepatnya sebelum terlambat!" Harun melanjutkan mobilnya dengan kecepatan tinggi. "Mala, tunggu aku, Sayang," gumamnya yang selalu diucapkan di sepanjang perjalanan sampai menuju ke rumahnya. Harun bergegas turun dari mobil dan berlari ke arah rumah. "Di mana istriku?" tanyanya sambil berteriak kepada para maid, tapi di antara mereka tidak ada yang menjawabnya. "Aku sedang bertanya kepada kalian di mana istriku? Kenapa kalian hanya diam, apa kalian sudah tidak punya telinga lagi?" bentaknya emosi. H