Melia hanya bisa menangis ketika Yasa menjelaskan apa saja yang Qiera dapat dengan uang sebanyak ini hingga membuat Yasa semakin muak dan ingin marah, tapi kembali tertahan ketika mengingat kalau Amelia adalah gadis yang dicintainya. "Kenapa? Apa yang aku katakan salah?" Yasa menaikkan volume bicaranya, tapi tangisannya malah semakin keras. "Kau!" Kali ini Yasa tidak bisa menahan dirinya agar tidak membentak istrinya. Amelia bangkit dan mencoba memposisikan badan agar bisa berdiri tegak. Namun gagal, karena Yasa mendorong tubuhnya sampai terjatuh kembali. "Aku pikir kamu akan lebih baik dari Qiera dan bisa mengelola keuangan sampai aku benar-benar puas, ternyata sama saja. Malah belum apa-apa, kamu sudah banyak menuntut," terang Yasa kecewa. Mulut Amelia terbuka lebar, ia sungguh tidak menyangka lelaki yang menikahinya beberapa hari lalu berubah sangat drastis. Dari yang awalnya royal dan katanya akan melakukan apapun untuk orang yang dicintainya, tapi nyatanya semua itu diingkari
"Minta doanya lagi, ya, semoga dia menerima kode saya dan kita berjodoh." Diko terlihat semakin ceria di hadapan karyawannya. Awalnya kehidupan bos muda itu selalu suram. Bahkan para bawahannya termasuk Yasa mengira kalau hidup bosnya itu tidak baik-baik saja dan terkesan banyak masalah. Akan tetapi, akhir-akhir ini sikapnya berubah drastis. Entah, benar atau tidaknya, tapi Yasa merasa ada yang aneh dengan perubahan sikap tiba-tiba dari bosnya itu. Kalau tidak salah, semuanya bermula dariku yang mulai menceritakan tentang sikap buruk Qiera, pikir Yasa. Semua karyawan bersorak gembira atas perubahan sikap bosnya itu, apalagi Diko memang bos besar yang punya banyak perusahaan. Tempat Yasa bekerja hanya sebagian kecil saja dan berbeda jauh dengan pusatnya, tapi ada satu orang yang malah benci melihat Diko, yaitu Yasa. Ketika tempo hari di rumahnya Qiera, ia tidak sengaja melihat mobil bosnya itu dan juga sahabatnya Harun terparkir berdampingan di halaman rumah Qiera. Padahal saat it
KSIBP 41 Amelia sama sekali tidak tahu kalau menjadi istri Yasa bukanlah hal yang mudah. Apalagi dulu Qiera sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dirinya tidak bahagia dan sampai membuatnya iri. Ternyata semuanya tidak seindah apa yang dia lihat dulu, karena Yasa sangat jauh dari sosok pria idaman. "Apa anda menyesal telah masuk ke keluarga ini?" Riko mendekat ke arah Amelia dan berbisik dengan nada benci. "Apa kau pikir dulu istrinya diperlakukan seperti ratu, makanya kau masuk ke dalam kehidupan kamu?" Amelia menatap Riko dengan kesal. "Siapa yang menyuruh supir sepertimu untuk berbicara begitu tidak sopan? Kau di sini dibayar untuk kerja, bukan ustaz, ataupun orang yang menasehati." "Kenapa? Anda keberatan kalau saya panggil anda pelakor? Padahal kenyataannya memang begitu." Riko terkekeh. Menurutnya mimpi Amelia terlalu tinggi sampai menghancurkan rumah tangga orang lain. Namun, jika mengingat pernyataan sepupunya beberapa waktu lalu, ia sangat bahagia. "Cukup, ak
KSIBP 42 Ibu masuk ke kamarnya dengan kemarahan yang memuncak. Belum masalah yang satu ini selesai, masalah yang lain kembali menghampiri. Padahal ia sama sekali tidak berniat untuk kembali kabur dari suaminya, tapi melihat anak-anaknya seperti ini, ia sepertinya tidak punya pilihan lain selain tidak menunjukkan wajah di depan suaminya. "Bu!" Yani memasuki kamar, tidak lama disusul Yasa. "Apa yang mau Ibu bicara sebenarnya?" tanya Yasa membuat emosi Ibu meningkat beberapa kali. "Jelaskan apa maksudnya kamu dan Qiera berpisah?" tanya Ibu sambil menahan emosinya. "Tentu saja seperti yang Ibu dan Yani inginkan." "Apa kamu sudah siap dengan konsekwensi yang akan ditanggung nanti?" tanya Ibu lagi sambil berusaha menahan emosinya. Yasa lalu menjelaskan perjanjiannya dengan Om Dion sebelum setuju dengan semuanya, tapi hal itu tidak membuat Ibu tenang. Justru malah semakin gelisah dan khawatir. "Kenapa, Bu, apa yang aku lakukan salah?" tanya Yasa heran, karena perpisahannya dengan
Baru saja Amelia hendak melangkah, beberapa ibu-ibu yang lainnya lebih duku datang, dan menghalangi jalannya. "Waduh, aku baru tahu kalau ternyata ada orang yang olah raga pake pakaian begituan. Ini saya yang norak, apa dia?" "Sudah pasti dia, Jeng. Namanya juga orang pinggiran." "Gak bisa mendapatkan banget, sih. Pinggiran boleh, tapi bodoh jangan," desisnya, lalu mereka tertawa bersama. Amelia menutupi wajahnya yang malu bukan main. Awas saja, akan aku adukan perbuatannya ini kepada Mas Yasa, pikirnya yang ternyata sudah ketebak sama Ibu. "Sudahlah teman-teman semua, aku takut nanti dia ngadu sama anakku, terus nanti aku dimarahin Yasa." Ibu memasang wajah sedih membuat teman-temannya merasa kasihan. "Sungguh anak dan menantu durhaka. Biarkan saja, Jeng, nanti kita kasih dia pelajaran kalau berani ngadu." Ibu-ibu langsung bersiap untuk membuat rencana selanjutnya agar Amelia jera. Amelia berlari menuju ke rumahnya, tapi baru saja sampai di gerbang, ia terjatuh. "Ahhh!" jerit
"Apa-apaan bos gila itu? Sudah beruntung aku mau menghormatinya beberapa waktu ini, tapi kenapa dia kembali menjadi gila?" Yasa kembali meradang. Kali ini hanya ada rasa benci, kesal, dan kekecewaan yang mendalam di dada Yasa kepada Diko. Bahkan, Angga dan Jordi sendiri tidak tahu kenapa sahabatnya menjadi orang yang penuh kebencian seperti itu. "Sudahlah, Yas. Toh, sekarang Qiera sudah bisa memutuskannya sendiri." Jordi memberikan pendapat yang membuat Yasa kehilangan kata-kata. "Sungguh, aku tidak tahu kalau kalau ternyata bukan orang yang setia kawan." Yasa mencebik. "Bukan seperti itu, tapi yang Jordi katakan memang benar. Qiera sudah tidak berada di bawah kendalimu lagi, apalagi sekarang kau sudah punya Amelia juga," tegas Angga. Yasa pergi ke meja kerjanya. Ia kembali menghiraukan perkataan teman-temannya dan tiba-tiba saja di dalam hatinya ia memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Qiera dengan alasan menjenguk anak-anak. "Kau sih, dia 'kan memang tidak suka kalau ada
KSIBP 45Yasa sama sekali tidak mempedulikan teriakan Amelia. Ia hanya fokus menyiapkan apa saja yang akan dibawa ke rumah Qiera sebagai oleh-oleh untuk anak-anaknya. "Sebenarnya kita terlambat untuk melakukan hal ini." Yasa tiba-tiba tidak bersemangat dan kembali teringat dosanya di masa lalu. "Benar, lebih baik melupakan daripada mengingat. Karena apa? Sesuatu yang sudah terjadi tidak bisa diputar kembali," tegur Riko. Tiga orang itu kembali terdiam, tapi Amelia malah tertawa terbahak-bahak tanpa menjaga martabatnya sebagai wanita, apalagi ibunya Yasa tidak suka wanita yang tertawa berlebihan seperti ini. "Apa kau pikir kalau kami salah kau benar? Dasar tidak tahu diri!" Ibu menyentuh wajah Amelia dengan kedua tangannya, lalu menekannya sampai Amelia menjerit kesakitan. Riko tersenyum bangga ketika melihat orang-orang yang dulu menyakiti Qiera dan anak-anak saling menyakiti dan menyerang di depan matanya sendiri. "Bu, cukup. Bagaimanapun dia adalah istriku yang sekarang." Yasa
KSIBP 46 Kedua tangan Yasa mengepal, ia merasa harga dirinya sudah direndahkan di hadapan banyak orang. Terlebih Qiera yang sudah mendengar hal itu malah ikut tersenyum dan membuat amarah Yasa semakin besar. "Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?" Yasa memasang wajah tanpa malu membuat mama Qiera tersenyum sinis. "Ya, tapi anak-anak mau tidak bertemu denganmu?" Mama duduk tepat di samping Qiera dan melemparnya tatapan cuek kepada Amelia yang menatapnya dengan mata berbinar. "Ma, sudahlah." Qiera berusaha menengahi. "Sudah apanya? Selama ini Mama diam ketika melihat kamu disakiti, direndahkan, dijadikan pembantu, dimarahi terus, bahkan dikhianati," sentak Mama emosi Qiera meminta Riko agar membawa anak-anak menjauh dari orangng dewasa, karena sepertinya pertengkaran akan segera terjadi. "Sudahlah, Jeng, yang penting 'kan sekarang kita sudah menyadari kesalahan kita masing-masing, jadi lupakan saja." Ibu ikut bicara. "Lupakan?" Mama berteriak. "Mudah bagi ka