KSIBP 42 Ibu masuk ke kamarnya dengan kemarahan yang memuncak. Belum masalah yang satu ini selesai, masalah yang lain kembali menghampiri. Padahal ia sama sekali tidak berniat untuk kembali kabur dari suaminya, tapi melihat anak-anaknya seperti ini, ia sepertinya tidak punya pilihan lain selain tidak menunjukkan wajah di depan suaminya. "Bu!" Yani memasuki kamar, tidak lama disusul Yasa. "Apa yang mau Ibu bicara sebenarnya?" tanya Yasa membuat emosi Ibu meningkat beberapa kali. "Jelaskan apa maksudnya kamu dan Qiera berpisah?" tanya Ibu sambil menahan emosinya. "Tentu saja seperti yang Ibu dan Yani inginkan." "Apa kamu sudah siap dengan konsekwensi yang akan ditanggung nanti?" tanya Ibu lagi sambil berusaha menahan emosinya. Yasa lalu menjelaskan perjanjiannya dengan Om Dion sebelum setuju dengan semuanya, tapi hal itu tidak membuat Ibu tenang. Justru malah semakin gelisah dan khawatir. "Kenapa, Bu, apa yang aku lakukan salah?" tanya Yasa heran, karena perpisahannya dengan
Baru saja Amelia hendak melangkah, beberapa ibu-ibu yang lainnya lebih duku datang, dan menghalangi jalannya. "Waduh, aku baru tahu kalau ternyata ada orang yang olah raga pake pakaian begituan. Ini saya yang norak, apa dia?" "Sudah pasti dia, Jeng. Namanya juga orang pinggiran." "Gak bisa mendapatkan banget, sih. Pinggiran boleh, tapi bodoh jangan," desisnya, lalu mereka tertawa bersama. Amelia menutupi wajahnya yang malu bukan main. Awas saja, akan aku adukan perbuatannya ini kepada Mas Yasa, pikirnya yang ternyata sudah ketebak sama Ibu. "Sudahlah teman-teman semua, aku takut nanti dia ngadu sama anakku, terus nanti aku dimarahin Yasa." Ibu memasang wajah sedih membuat teman-temannya merasa kasihan. "Sungguh anak dan menantu durhaka. Biarkan saja, Jeng, nanti kita kasih dia pelajaran kalau berani ngadu." Ibu-ibu langsung bersiap untuk membuat rencana selanjutnya agar Amelia jera. Amelia berlari menuju ke rumahnya, tapi baru saja sampai di gerbang, ia terjatuh. "Ahhh!" jerit
"Apa-apaan bos gila itu? Sudah beruntung aku mau menghormatinya beberapa waktu ini, tapi kenapa dia kembali menjadi gila?" Yasa kembali meradang. Kali ini hanya ada rasa benci, kesal, dan kekecewaan yang mendalam di dada Yasa kepada Diko. Bahkan, Angga dan Jordi sendiri tidak tahu kenapa sahabatnya menjadi orang yang penuh kebencian seperti itu. "Sudahlah, Yas. Toh, sekarang Qiera sudah bisa memutuskannya sendiri." Jordi memberikan pendapat yang membuat Yasa kehilangan kata-kata. "Sungguh, aku tidak tahu kalau kalau ternyata bukan orang yang setia kawan." Yasa mencebik. "Bukan seperti itu, tapi yang Jordi katakan memang benar. Qiera sudah tidak berada di bawah kendalimu lagi, apalagi sekarang kau sudah punya Amelia juga," tegas Angga. Yasa pergi ke meja kerjanya. Ia kembali menghiraukan perkataan teman-temannya dan tiba-tiba saja di dalam hatinya ia memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Qiera dengan alasan menjenguk anak-anak. "Kau sih, dia 'kan memang tidak suka kalau ada
KSIBP 45Yasa sama sekali tidak mempedulikan teriakan Amelia. Ia hanya fokus menyiapkan apa saja yang akan dibawa ke rumah Qiera sebagai oleh-oleh untuk anak-anaknya. "Sebenarnya kita terlambat untuk melakukan hal ini." Yasa tiba-tiba tidak bersemangat dan kembali teringat dosanya di masa lalu. "Benar, lebih baik melupakan daripada mengingat. Karena apa? Sesuatu yang sudah terjadi tidak bisa diputar kembali," tegur Riko. Tiga orang itu kembali terdiam, tapi Amelia malah tertawa terbahak-bahak tanpa menjaga martabatnya sebagai wanita, apalagi ibunya Yasa tidak suka wanita yang tertawa berlebihan seperti ini. "Apa kau pikir kalau kami salah kau benar? Dasar tidak tahu diri!" Ibu menyentuh wajah Amelia dengan kedua tangannya, lalu menekannya sampai Amelia menjerit kesakitan. Riko tersenyum bangga ketika melihat orang-orang yang dulu menyakiti Qiera dan anak-anak saling menyakiti dan menyerang di depan matanya sendiri. "Bu, cukup. Bagaimanapun dia adalah istriku yang sekarang." Yasa
KSIBP 46 Kedua tangan Yasa mengepal, ia merasa harga dirinya sudah direndahkan di hadapan banyak orang. Terlebih Qiera yang sudah mendengar hal itu malah ikut tersenyum dan membuat amarah Yasa semakin besar. "Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?" Yasa memasang wajah tanpa malu membuat mama Qiera tersenyum sinis. "Ya, tapi anak-anak mau tidak bertemu denganmu?" Mama duduk tepat di samping Qiera dan melemparnya tatapan cuek kepada Amelia yang menatapnya dengan mata berbinar. "Ma, sudahlah." Qiera berusaha menengahi. "Sudah apanya? Selama ini Mama diam ketika melihat kamu disakiti, direndahkan, dijadikan pembantu, dimarahi terus, bahkan dikhianati," sentak Mama emosi Qiera meminta Riko agar membawa anak-anak menjauh dari orangng dewasa, karena sepertinya pertengkaran akan segera terjadi. "Sudahlah, Jeng, yang penting 'kan sekarang kita sudah menyadari kesalahan kita masing-masing, jadi lupakan saja." Ibu ikut bicara. "Lupakan?" Mama berteriak. "Mudah bagi ka
KSIBP 47 Belum sempat Amelia menemukan di mana Yasa dan keluarganya berada, Mala lebih dulu menunjukkan dirinya di depannya dengan wajah yang siap untuk memberikan ejekan. "Sudah kubilang kau tidak pantas bersama dengan kami," cetus Mala membuat Amelia semakin kesal. "Apa hidupmu begitu datar dan senggang sampai kau ada waktu untuk menghinaku?" "Menghina?" Mala terbahak. "Aku sama sekali tidak punya waktu untuk menghina, karena apa yang aku katakan itu adalah kenyataan." "Wah, wah, teruslah keluarkan kata-kata yang sudah kau siapkan untukku. Lihat saja, aku akan memberikan balasan yang setimpal untuk membuatmu tahu apa akibat dari menyinggungku," tegas Amelia membuat Mala semakin bahagia. "Terserah. Tentunya sebagai keturunan Prayuda dan Bagas, juga istri dari Harun, aku tidak pernah takut dengan apapun yang akan terjadi di dalam hidupku," kekeh Mala membuat Amelia semakin kesal. "Kau!" tanpa ragu, Amelia menyerang Mala dengan berubah mencopot kerudungnya, tapi Mala berhasil m
KSIBP 48 "Apa?" Amelia tertegun. Ia bingung harus menerima atau tidak uang itu. Kalau diterima, tandanya dia harus beli baju syar'i seperti Qiera, memakainya, dan menjadi bayangan Qiera. Kalau tidak sudah pasti Yasa dan ibu mertuanya akan curiga dengan alasannya meminta uang. "Kenapa, tidak mau segini?" Ibu menatap Amelia dengan lembut, tapi tatapannya tajam. "Mau, Bu." Amelia terpaksa menerimanya. Nanti sepertinya harus beli yang paling murah, pikirnya. Yasa merasa bersalah, tapi pikirannya tidak bisa berpikir jernih. Ia masih teringat dengan Qiera yang kemarin dekat dengan Deri, laki-laki yang dia sendiri tidak tahu ada orang itu. Bahkan ketika mereka menikah dulu, Yasa memang tidak pernah melihatnya. "Ya, sudah, aku pergi dulu." Yasa bangkit dari duduknya tanpa mengucapkan kata-kata indah untuk Amelia, tidak seperti biasa. Namun, Amelia juga justru tidak kepikiran untuk mengantar Yasa, saat ini yang dia pikirkan hanya cari baju yang paling murah agar dirinya masih mendapatkan
KSIBP 49 "Jangan pura-pura tidak mengerti, Mas, karena semua bukti mengarah padanya, dan menunjukkan kalau Mbak Amel memang bersalah. "Yani berusaha menyakinkan Yasa. "Benar, apalagi selama ini dia selalu berusaha untuk menipu kita semua dengan sikapnya yang pura-pura polos." Ibu ikut menambahkan. Yasa mengacak rambutnya frustasi. Sebenarnya dia sudah sedari lama menyadari ada yang salah dengan sikap Amelia, hanya saja ia tidak punya bukti dan masih tidak tega jika membiarkannya kembali luntang-lantung di jalanan. Ingin rasanya dia menentang semua ini dan menganggap tidak pernah ada yang terjadi, tapi tidak bisa dipungkiri kalau di hatinya hanya ada Qiera, dan anak-anak. Bahkan, beberapa hari ini dia selalu dihantui rasa bersalah yang dalam karena selalu tidak punya waktu kalau anak-anak mengajak untuk menghabiskan waktu bersama. "Jadi benar yang waktu itu Qiera katakan kalau kamu yang mengajak Qiera untuk bertemu?" Yasa bertanya tanpa melihat Amelia, karena hatinya sudah terlanj