Yasa "Kita menikah secepatnya, aku sudah punya uang untuk tabungan kita." Sebuah pesan singkat berhasil aku kirimkan untuk Melia. Ada rasa dalam dada yang tidak bisa aku sebutkan, tapi yang jelas bukan hanya sekadar luka biasa.Hatiku ikut sepi ketika terbayang nanti tidak akan ada lagi suara anak-anak yang memenuhi ruang demi ruang dalam rumah. Bahkan, tadi mereka tidak sudi meksi hanya sekadar mengucapkan salam perpisahan. Apakah aku adalah ayah yang buruk, yang hanya bisa memberikan kenangan dengan setumpuk luka, atau aku memang tidak menjadi seorang ayah karena aku selalu tidak ada di saat mereka membutuhkanku? Bunyi dering ponsel membuatku tersadar dari lamunan. Ternyata Melia yang melakukan panggilan di tengah gundah gulananya hatiku, mungkin dia tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja atau untuk memperjelas pesan yang baru saja kukirim untuknya. "Mas, benar apa yang kau ketik dalam pesan?" tanyanya setelah aku menekan tombol hijau. Ada rasa sakit yang tidak terlihat ke
"Sini uangnya buatku!" Laki-laki bertubuh besar dan bertato itu menarik uang yang ada di baru saja Amelia terima dari mesin ATM setelah pengambilan dua kali. Amelia menatap lelaki itu dengan mata yang nanar. "Aku tidak biasa seperti ini, Mas. Aku mau berubah," lirihnya sambil terisak. "Ngapain nangis? Dasar air mata buaya. Asal kau tahu, ya, dia gak akan mungkin mau bertahan sama kamu kalau tahu siapa kamu sebenarnya," maki lelaki itu. Wajah Amelia kembali menunduk, apa yang baru saja didengarnya adalah benar. Yasa mungkin akan langsung menghilang kalau tahu dirinya tidak sebaik yang dia kira. Apalagi Yasa adalah tipe orang yang suka menuntut pasangannya untuk sempurna. "Mas jadi ceraikan aku, kan?" tanya Amelia penuh harap. "Iya, jadi. Tapi jangan lupa untuk selalu kirim uang setiap bulannya, ya. Pokoknya sesuai perjanjian yang sudah kita sepakati." Lelaki itu kembali mengingatkan Amelia bahkan di antara mereka sudah sama-sama tanda tangan hitam di atas putih. Amelia awalnya m
"Hai, Cantik!" "Astagfirullah." Qiera segera menutup wajahnya ketika suara sapaan yang tidak asing itu menggema dan memperlihatkan sosok pria yang beberapa Minggu lalu mengeluarkan kalimat rayuan, dan beberapa hari kemudian sudah ada di rumahnya. "Keluar!" Qiera berteriak sambil menunjuk ke arah pintu, tapi lelaki itu malah tersenyum nakal dan langkahnya semakin mendekati wanita yang ingin ditujunya. "Siapa sebenarnya kau ini, kenapa ada di rumah orang, dan sembarangan kelayapan?" Qiera kembali berteriak, tetapi lelaki itu malah tertawa kecil. Niatnya untuk menjahili Qiera sebentar, malah ketagihan. Ia sama sekali tidak memedulikan teriakan Qiera yang mengatakan kalau dirinya sedang masa idah, jadi lelaki yang bukan mahramnya dilarang masuk ke dalam rumah. Karena lelaki itu tidak kunjung pergi, Qiera mengambil ponselnya, dan menghubungi Om Dion untuk meminta temannya agar segera pergi. Qiera bahkan menyebutkan ciri-ciri lelaki yang hanya melemparkan senyuman itu, tapi pamannya
Yasa Sebuah rumah yang hanya berpenghuni laki-laki? Tidak, mana mungkin Amelia berani melakukan ini. Walaupun "ya", aku yakin dia punya alasan kenapa melakukan ini ini. Benar, aku harus sabar menunggu penjelasannya karena Melia tidak mungkin melakukan hal-hal seperti yang ada di pikiranku. "Mel, kamu baru pulang?" Seorang pria berpostur tinggi dan besar muncul dari balik pintu. "Tiara nangis terus tuh dari tadi, kayaknya kangen sama mamanya." Pria itu tiba-tiba mendekat dan menarik tangan Melia. Untungnya tanganku refleks menjauhkan tangannya itu. "Maaf ya, Bang, jaga sikap." Aku memberanikan diri untuk bicara. "Jaga sikap?" Matanya yang tadi sipit, kini terbuka seluruhnya. Sungguh menakutkan. "Di sini dia melayani kami, kau siapa tiba-tiba datang dan meminta kami jaga sikap?" Melayani? Aku hanya fokus pada satu kata itu, lalu menatap Amelia dengan tajam untuk mendapatkan jawaban. "Em, maksudnya melayani makan, Mas. Di sini aku yang masak banyak makanan untuk semua orang yan
"Selamat atas pernikahannya ya, mantan suamiku. Semoga Amelia bisa menjadi istri yang jauh lebih baik daripada aku yang katanya istri durhaka. Semoga kamu juga bisa lebih betah di rumah karena bersama dengan wanita yang kamu cintai," tulis Qiera di aplikasi biru di detik-detik Yasa dan Melia di Melia melangsungkan akad pernikahan. Yasa menatap geram kata demi kata yang ditulis Qiera, apalagi ketika membaca komentar para netizen. "Matilah mantan suaminya ratuku! Kau memang tidak layak bersanding dengannya!" "Baguslah kalau dia menceraikan Qiera, ratuku. Aku memang sudah lama menantikan hal ini." "Akhirnya ... lalat memang pantas berada di tempat sampah!" Amelia yang tidak sengaja melihat ponsel Yasa dan membaca semuanya itu langsung terbawa emosi. Ia melemparkan alat makeup yang sedang dipegangnya ke lantai hingga berceceran. "Apa itu?" Yasa memutar tubuhnya dan terkejut mendapati Amelia tengah meluapkan emosi. "Ya ampun, Mel. Ada apa?" Yasa mendekat dan berusaha membuat kekasih
Amelia mulai melancarkan aksinya. Dia menyimpan nomor Qiera dengan nama 'Pelakor yang Tidak Tahu Malu' tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dia seolah lupa kalau dirinyalah yang sudah merusak rumah tangga Qiera dan Yasa, tapi sekarang dia bersikap seolah dirinya adalah korban yang harus dikasihani."Ini aku, Amelia. Ada beberapa hal yang ingin aku tahu tentang sesuatu, bisa kita bertemu?" Pesan sudah berhasil dikirimkan, sekarang saatnya dia menunggu balasan dari Qiera. Ia sangat yakin kalau ibu dari dua anak itu tidak akan menolak permintaannya. Yasa pergi bekerja seperti biasa. Ia sengaja tidak meminta cuti agar bisa mendapatkan bonus sebagai uang pengganti untuk dana yang habiskan di hati pernikahannya. "Kau rajin sekali sudah masuk lagi, apa istrimu yang sekarang tidak cukup menarik?" Diko bertanya dengan maksud memancing, tapi beruntungnya Yasa hanya menganggapnya sebagai candaan. "Sangat menarik malah, Pak. Makanya saya langsung kerja agar bisa memberikan dia hadiah yang leb
Yasa Apa-apaan Melia ini? Kenapa dia bisa melakukan hal seperti ini di depan umum? Apa dia sama sekali tidak memikirkan harga diriku yang akan tercemar karena sikapnya? Kini semua mata menatapku dan jika dilihat dari pergerakan bibirnya, mereka seperti sedang menjadikan aku bahan gosip. Jordi dan Angga menatapku penuh selidik, mereka berdua memang tidak setuju aku menikah dengan Melia. Aku juga mengatakan kepada mereka kalau Melia adalah gadis yang baik dan shalihah, dia akan menjadi istriku yang lebih baik dari Qiera. Akan tetapi apa yang terjadi sekarang benar-benar jauh dari sikap Melia yang biasanya. Belum juga menunjukkan kebaikannya, malah hal seperti ini yang pertama kali diketahui teman-temanku. "Kamu tidak juga pergi, Yas?" Pak Diko menatapku lekat, seolah memintaku untuk segera pergi. "Kalau begitu saya izin keluar sebentar ya, Pak," pamitku dan langsung pergi setelah melihatnya mengangguk. Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi agar bisa sampai di tempat itu
Melia hanya bisa menangis ketika Yasa menjelaskan apa saja yang Qiera dapat dengan uang sebanyak ini hingga membuat Yasa semakin muak dan ingin marah, tapi kembali tertahan ketika mengingat kalau Amelia adalah gadis yang dicintainya. "Kenapa? Apa yang aku katakan salah?" Yasa menaikkan volume bicaranya, tapi tangisannya malah semakin keras. "Kau!" Kali ini Yasa tidak bisa menahan dirinya agar tidak membentak istrinya. Amelia bangkit dan mencoba memposisikan badan agar bisa berdiri tegak. Namun gagal, karena Yasa mendorong tubuhnya sampai terjatuh kembali. "Aku pikir kamu akan lebih baik dari Qiera dan bisa mengelola keuangan sampai aku benar-benar puas, ternyata sama saja. Malah belum apa-apa, kamu sudah banyak menuntut," terang Yasa kecewa. Mulut Amelia terbuka lebar, ia sungguh tidak menyangka lelaki yang menikahinya beberapa hari lalu berubah sangat drastis. Dari yang awalnya royal dan katanya akan melakukan apapun untuk orang yang dicintainya, tapi nyatanya semua itu diingkari
KSIBP 137 Setelah terikat pernikahan dengan Om Dion, Mala menjalani hidup normal seperti seorang istri, tapi tetap mengurus restorannya. Mala sama seperti Qiera, mengurus semua kebutuhan Zayyan dan Om Dion oleh dirinya sendiri. Sementara Harun, dia mulai mendekati Hani. Wanita yang berhasil memikat hatinya karena semua karakter wanita yang dia butuhkan ada padanya. Harun juga mendatangi keluarga kakek Diko untuk melamarnya, tapi ternyata membuat kebencian para wanita yang ada di sama membara."Mana bisa gadis kampung dan anak pelacur itu jadi bagian dari keluarga kita?""Benar, itu tidak boleh terjadi. Sudah cukup Diko salah memilih istri, sekarang kita tidak bisa membiarkan berdebah kecil itu menjadi istri Harun," geram Marisa.Marisa sengaja menyulut emosi para wanita yang ada di kediaman kakek Diko agar membenci Hani dan melakukan banyak hal untuk mencelakainya. Namun, bagi Hani semuanya tidak mempan. Dia memang bukan bagian dari keluarga besar Diko, jadi dia sama sekali tidak ke
KSIBP 136 Waktu pernikahan Mala dan Om Dion sudah ditentukan. Meksipun Pak Bagas menantangnya, tapi dia kalah dengan Pak Malik yang langsung turun tangan."Kau cukup menjadi wali nikahnya, tapi kalau tidak mau, bisa diwakilkan dengan kakakmu," ancam Pak Malik.Kakak yang dimaksudnya adalah pria yang paling ditakuti Pak Bagas. Mereka memang kakak beradik, tapi hubungan mereka tidak sedekat Pak Malik dan Om Dion. Sangat jauh."Untuk kali ini aku memang tidak bisa melawan, tapi lihat saja, kalian tidak akan bisa hidup bahagia tanpa izin dariku," ucapnya lantang dengan penuh percaya diri."Oh, ya? Memangnya siapa kau berani berkata seperti itu? Apa kau Tuhan?" Pak Malik sudah tidak sabar untuk mencekik lehernya dan merobek bibirnya, tapi dia tahan karena bagaimanapun dia adalah ayah dari Mala.Pak Bagas tidak bicara. Dia kembali menghilang seperti ditelan bumi, begitupun dengan istrinya.Beberapa kali sudah Diko memergoki Pak Bagas yang berusaha melakukan penyuapan agar Pak Aryo dibebask
KSIBP 135 "Apapun yang kita lakukan tidak ada hubungannya denganmu!" Diko menatap tajam ke arah pamannya Qiera. Saat ini dia tidak suka diganggu karena sedang bersama istri. "Ini adalah hal yang biasa, masalahku lebih penting." Om Dion duduk di dekat mereka dan membuat Qiera merasa tidak nyaman, lalu berusaha melepaskan tangan Diko, tapi gagal."Kalian belum halal, sementara kamu sudah. Jadi, siapa yang lebih penting?" Diko berucap tenang. Sebenarnya dia ingin marah, tapi tidak bisa kalau di dekatnya ada Qiera. Dia tidak ingin membuat istrinya ketakutan karena melihat sisi gelapnya.Om Dion terdiam. Apa yang dikatakan Diko memang benar. Harusnya di ini Om Dion yang membantu masalah Diko ataupun Harun, bukan malah sebaliknya karena Om Dion lebih tua. Ditambah Diko juga hanya keponakan, tapi semuanya tidak akan berjalan kalau Diko hanya diam.Om Dion berjalan ke arah luar dan duduk di bangku taman, sementara Diko masih memeluk Qiera erat."Aku malu," lirih Qiera dengan wajahnya yang m
KSIBP 134 Laras bangkit dari lantai dengan tertatih-tatih tanpa ada bantuan dari siapapun. Dia menangis dalam diam tanpa mengatakan apapun dan Harun sama sekali tidak peduli. Dari dulu, dia memang tidak ada perasaan apapun kepada Laras. Jika bukan karena balas budi, dia juga tidak akan mau memperhatikan Laras selama ini. "Apa benar dia tidak apa-apa?" tanya Marisa khawatir. Sebenarnya dia hanya pura-pura peduli agar Harun dan kepala maid menilainya baik, tapi sayangnya niatnya itu sudah diketahui dari awal. Harun sudah tahu kalau keluarganya Diko tidak ada yang tulus, kecuali Hani. Makanya dia mau memanfaatkan wanita-wanita itu untuk dijadikan alat agar Laras tahu diri. "Kalau kau memang peduli, sana urus dia. Tapi setelah itu pergilah dari rumahku!" Harun memberikan peringatan. Marisa bergidik ngeri. Dia tidak berani mendekat sedikit saja ke arah Laras. "Kenapa dia seperti ini?" ucap Laras bertanya-tanya, lalu berjalan ke arah kamarnya, tapi segera dihadang beberapa penjaga. "
KSIBP 133 "Aku serius. Dia kenapa tidak pernah cemburu ketika aku sibuk dengan karyawan wanita, kenapa juga dia tidak pernah menelepon ketika aku sedang di kantor? Padahal, selama ini aku selalu menunggunya," jelas Diko panjang lebar. Diko ingin seperti beberapa karyawannya yang selalu diperhatikan oleh istri. Menelepon ketika makan siang atau mengantarkan bekal. Pak Malik menatapnya datar. "Serius kau datang hanya untuk mengatakan ini?" "Tentu saja. Memangnya apa lagi? Bagiku masalah ini lebih penting daripada apapun. Aku bisa menyelesaikan semua masalah dengan mudah, kecuali ini." Diko merespon cepat. Pak Malik berusaha menahan tawanya, lalu menceritakan bagaimana sifat istrinya. Qiera sama seperti mamanya yang terlihat seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan suami, padahal aslinya dia gelisah setengah mati. Namun, dia tidak berani melakukan hal-hal yang ada di pikirannya karena takut mengganggu pekerjaan Diko. "Padahal, aku suka diganggu." Diko kembali mengacak rambutny
KSIBP 132 "Kenapa tadi kamu begitu cemburu?" tanya Mama Diko heran ketika sang anak memang sengaja menemuinya. "Bukankah seorang suami memang harus punya cemburu ketika istrinya ditatap oleh wanita lain?" Diko malah kembali memberikan pertanyaan. Sang mama menghela napas panjang. Sungguh tidak menyangka anaknya menjadi pencemburu semenjak menikah, terutama dengan wanita yang dari dulu sudah diinginkannya. "Iya, Mama paham." "Kalau paham, kenapa Mama banyak bertanya?" Diko mengerutkan keningnya. "Aku ke sini untuk membicarakan beberapa hal penting. Lagi pula dia sudah banyak aku bantu, masa iya masih berani menatap istriku." Kecemburuan Diko ternyata belum reda sampai membuat mamanya angkat tangan. "Kamu ke sini mau dibujuk Mama atau sedang cari perhatian istrimu?" tanyanya heran. "Tentu saja untuk mengabarkan kalau anakmu ini sangat hebat. Semua rencana berada di bawah kendaliku," ucap Diki mulai bangga diri. "Alhamdulillah. Jangan lupa bersyukur untuk setiap kejadian karena
KSIBP 131 Laras tidak berhenti berteriak semenjak di rumah itu ada tantenya Diko. Awalnya Harun tidak setuju jika perempuan yang usianya lebih tua tiga tahun darinya itu menginap, tapi ketika mengingat Laras mulai kehilangan kendali, dia mendadak setuju. "Usir wanita itu dari rumah ini, hanya aku yang pantas menjadi istrinya Harun, dan hanya aku yang boleh ada di dalam hatinya!" teriak Laras tidak terima dan hal ini membuat kepala penjaga semakin bahagia. "Kalau kau tidak rela ada wanita lain di rumah ini, maka kau harus menjadi kuat!" Kepala penjaga mulai melancarkan aksinya. "Kuat?" Laras terdiam. "Iya. Kau harus makan setiap makanan yang dia berikan agar punya tenaga untuk membalasnya. Kemungkinan besar dia akan tinggal di rumah ini dalam waktu yang lama. Jadi, kalau kamu tidak mau kalah, kamu harus lebih unggul," jelas kepala penjaga yang sedang berusaha menjadi kompor. Harun memang hanya ingin Laras merasakan apa yang Mala rasakan dulu. Dalam artian dia ingin Laras diperlak
Setelah mendapatkan penjelasan dari Diko, Qiera segera meminta pamannya itu untuk datang ke rumah. "Ada apa? Sepertinya ada yang penting." Om Dion memasang wajah datar. "Aku ada informasi penting yang harus Om ketahui." Qiera mulai meluruskan duduknya. Sementara Diko hanya melihat tingkah istrinya dari jauh. Dia sudah tahu kalau Qiera akan memanggil pamannya ke sini. "Apa itu?" Om Dion masih bertanya dengan wajah datarnya. "Tentang Mala." Wajah datar itu langsung berubah lesu ketika mendengar nama yang selalu dia rindukan. Sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Kini Qiera yang terdiam. Dia ingin mengulur waktu agar wajah Om Dion tidak ditekuk seperti itu lagi. "Apa yang ingin dibicarakan tentang dia?" Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Om Dion bertanah karena sudah tidak sabar untuk mendengarkan kabar yang akan diceritakan keponakannya itu. "Coba Om tebak aku akan bicara apa." Qiera malah mengajaknya bermain-main. "Ayolah, Qiera, ada banyak hal yang harus aku kerjakan.
Hari pertama yang datang ke rumah Harun adalah adik ayahnya Leo. Wanita yang disebut Tante dan mengatakan kebenciannya terus terang kepada Qiera. Wanita itu datang dengan penampilan yang cetar membahana. Sungguh jauh daripada penampilan sebelumnya atau penampilan yang disukai Harun. Bahkan bertolak belakang. "Kamu yakin suka wanita seperti itu?" bisik kepala maid yang selama ini selalu ada di sampingnya sudah seperti keluarga. "Mana ada. Aku hanya ingin menjadikan dia sebagai alat saja." Harun menjawab cepat. Sekarang dia hanya memperhatikan wanita itu dari jauh, tapi perutnya sudah terasa mual, dan ingin muntah. "Terus apa yang harus kita perintahkan padanya?" tanya kepala maid dan saat ini tidak memakai pakaian pekerja, karena menyamar sebagai saudaranya Harun. "Pinta dia memasak, sama seperti yang aku perintahkan pada Mala dulu. Lalu, minta dia untuk mengantarkan makanan untuk Laras. Aku sungguh tidak sabar ingin segera tahu apa yang akan terjadi kalau mereka berdua bertemu