Aku menghela napas panjang. Bisa gi-la nih aku lama lama. Mau protes, tapi ga berani. Mas Fatan sudah kelewatan menjadikan aku babu dirumahku sendiri, eh maksudnya di rumah Tari. Ternyata, rumah ini sudah dialihkan ibunya untuk istriku, menang banyak jika aku bersabar sebentar. Setelah urusanku selesai, aku kan benar benar menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak anak."Mas, Abrar sudah tidur, susunya juga sudah saya siapkan. Saya nitip ya, Mas." Ujarku bak seorang pemba-ntu yang ijin pada majikannya."Ya! Jangan lama-lama. Kalau Abrar nangis bisa repot aku nanti. Ini laporan harus segera kelar."Aku hanya mengangguk. Entah apa pekerjaannya sekarang. Tak ada keterbukaan informasi padahal aku ini masih keluarga disini, masih adik iparnya. Tapi, serasa orang lain yang sedang mengharapkan gaji."Lama banget sih, Pa! Sampai ga ada orang lagi, mana panas lagi. Mama ga pernah telat kalau jemput. Padahal dulu bawa bawa adek pake motor." Protes Alif begitu aku sampai. Sekolah sudah hampir
Rasa lapar langsung menguap begitu saja. Aku bergegas menghampiri Mas Fatan dengan badan rasanya panas dingin. Bik asih yang tadi membereskan dapur juga ikut mendekat. Wajahnya sumringah. Jelas beda dengan wajahku yang mungkin sudah pucat pasi saat ini, tapi berusaha aku sembunyikan."Gimana, Om? Dek Ammar sudah ditemukan?" Tanya Alif yang sedari tadi juga menyimak Om nya menerima telepon. Kemungkinan dari Tari."Belum, tapi polisi sudah menemukan tempat persembunyian penculik itu." "Be-bener Mas, Ammar di culik?" Tanyaku gugup. Mas Fatan langsung menoleh."Iya! Pencu-liknya bersembunyi tak jauh dari rumah ibumu. Apa jangan jangan ada hubungannya?" Mata itu menatapku penuh selidik."Ga ... Ga mungkin lah, Mas. Masa mama saya mencu-lik cucunya sendiri." Sanggahku meski agak terbata-bata.Tak lama Elzio datang ditangannya ada bungkusan dengan merek sebuah restoran yang terkenal enak masakannya. Tentu saja restoran milik Tari."Kita makan makan dulu. Eh, Bik Asih, bibik kan baru sampai
"Mas, polisi mengetahui keberadaan aku dan anakmu. Aku telah di dalam kereta, tak tau harus kemana.""Ammar gimana? Dia aman?" Bisikku."Tenang, dia aman. Mamamu juga aman. Aku hanya butuh uang lebih banyak lagi, Mas. Kamu harus segera kirim." Suaranya terdengar cemas."Oke oke. Aku akan segera menjual perhiasan yang tersisa ini nanti aku akan transfer u4ng nya."Aku tak punya pilihan lagi. Kalung dan beberapa perhiasan Tari yang kuambil dilemari satu satunya harapan. Tanpa kata aku menuju pasar menjual kalung itu dan segera mengirimkan hasil penjualannya pada Rani.Lumayan kalung dan beberapa cincin milik Tari itu laku 20juta. Semua aku kirim pada Rani. Aku yakin dia bisa menyelesaikan semuanya.Malam menjelang, aku gelisah karena Rani belum juga mengabarkan dimana posisinya saat ini. Ponsel mama pun tak aktif. Aku mencoba menanyakan kabar Tari, tapi tak dijawab.Paginya, kakinya terasa tak menapak. Badan limbung begitu membaca pesan dari Tari.[Mamamu ditemukan dalam keadaan terikat
"Mama masih belum sadarkan diri, Mas. Tapi, kata dokter beliau sudah melewati masa kritis." Aku menutup mulut lalu mengusap wajahku gusar. "Mama banyak kehilangan darah akibat luka tu-suk di perutnya, untung saja tidak mengenai organ vital, jadi masih bisa diselamatkan. Kamu yang sabar ya, Mas." Tangis ku kini pecah. Kenapa bisa begini? Kejadian seperti ini sama sekali tak ada dalam rencana."Ammar juga dirawat disini. Keadaannya sudah membaik. Tapi, belum bisa diajak bicara." Lanjutnya.Astaghfirullah, aku baru ingat dengan anakku sendiri."Dimana Ammar, Dek? Apa dia luka luka juga?" Tanyaku panik.Tari terisak. "Di kepala nya ada memar, Mas. Sepertinya sengaja dihant-am sesuatu." "Astaga ... Siapa yang tega melakukan ini?" Lirihku. Meski aku sangat yakin pelakunya adalah Rani, perempuan yang kunikahi karena kebo-dohanku."Polisi sedang menyelidiki. Kita tunggu saja. Ada kemungkinan orang terdekat," ujarnya. Aku langsung menatap Tari yang ternyata juga sedang menatapku lekat."Apa
[Mas, ini aku Rani.] Darahku seketika mendidih membaca pesan itu. Gigi gemeratak menahan emosi. Tanpa menjawab pesan itu aku langsung melakukan itu panggilan."Kamu dimana? Kamu harus bertanggungjawab, Rani!" Bisikku penuh penekanan. Aku bangkit menjauh sedikit dari tempat itu."Aku terpaksa. Gimana Mamamu udah sembuh kan?" "Heh! Segampang itu kamu bilang terpaksa? Mama sampai saat ini belum sadarkan diri! Kamu apakan mamaku? Ammar juga masih koma!" Hardikku."Apa? Ga mungkin aku ga benar benar ingin mencelakakan ibumu, Mas! Itu kecelakaan!" Pekiknya membuatku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga."Apapun alasan kamu! Kamu harus bertanggungjawab, Ran! Aku akan melaporkan kamu ke polisi. Dan aku akan segera mengurus surat cerai kita!"Rani tertawa terbahak-bahak. "Kau lupa siapa dalang dari kejadian ini, Mas?dan kamu lupa jika Ammar akan menceritakan siapa yang pertama mengajaknya pergi dari rumah istrimu yang bo-doh itu!" Ujarnya lalu kembali tertawa lebar.Aku menghela napas panj
Dengan napas memburu aku segera mengemasi barang-barang. Satu satunya yang ada dalam benakku adalah segera bertemu Ammar. Kondisinya kritis. Ammar tiba-tiba kejang. Begitu kata Tari. Hatiku mulai dilanda cemas yang berlebihan. Jangan sampai sesuatu yang buruk menimpa Ammar. Walau jika dia sadar akan mengungkapkan kebenaran yang pasti akan menyeretku dalam jeruji besi. Tak apa aku ikhlas asal anakku selamat.Jam sudah menunjukkan angka lima sore. Aku sampai di rumah sakit. Sengaja sedikit mengulur waktu agar Tari tak curiga."Gimana Ammar, Dek?" Tanyaku begitu melihat tari yang sedang duduk dengan kedua tangan menutup wajahnya. "Ada pendarahan di dalam otaknya, Mas. Dokter sedang mengusahakan penyelamatannya." Lirih Tari yang telah mengangkat wajahnya yang penuh air mata. Aku segera meraih tubuh itu dalam dekapan. Hatiku terasa teriris mendengarnya."Semua akan baik-baik saja, sayang. Mas yakin Ammar akan sembuh." Tangis tari justru makin kencang membuatku tak sanggup menahan air mata
Dadaku berdebar kencang. Sungguh rencana yang kubuat tak seperti ini. Rani benar benar keterlaluan. Sejam kemudian aku sampai. Kakiku seakan terpaku ke bumi. Sebulan lebih rumah ini ditinggalkan Mama. Aku pikir semua akan baik-baik saja. Tapi, rupanya apa yang ditakutkan Mama terjadi juga.Aku memasuki halaman dengan mata tetap menatap sepasang lansia yang tengah duduk di kursi teras rumah itu. Mereka juga tampak terkejut. Salah satu dari mereka bangkit dan berjalan ke arahku."Nyari siapa, Nak?" Tanyanya ramah. Aku masih terdiam."Kalian siapa?" Tanyaku akhirnya. Perempuan tua itu justru terlihat bingung menoleh ke arah suaminya. "Kamu yang siapa? Masuk ke rumah saya tanpa permisi," timpalnya."Bu, ini rumah ibu saya. Kenapa ada kalian disini?" "Rumah ibumu?" Ulangnya. Aku mengangguk cepat."Saya sudah membeli pada seorang perempuan muda. Katanya ini rumah warisan Ibunya."Astaga. Pasti perempuan itu Rani."Bukan, Bu. Itu mantan istri saya. Dia mencuri sertifikat rumah Ibu saya saa
"Mama hanya merepotkan kamu ya, Ar. Mama akan menelpon Monika, semoga saja dia bisa membantu."Mama berjalan kembali ke ranjang berseprei putih itu. Meraih ponsel dan mengutak-atik sejenak."Nik, kamu dimana, Nak?""Ada apa, Ma? Mana uang kuliahku, Ma? Uang makan juga ga dikirim Mas Arsen. Aku gimana mau hidup disini!" Bentak nya membuat Mama tersentak. Seperti biasa anak itu hanya tau soal duit."Abangmu lagi kena musibah. Mama juga lagi dirawat di rumah sakit." Jelas mama. Aku hanya diam mendengar obrolan mereka yang terdengar jelas lewat speaker ponsel Mama."Ah, bohong! Bilang aja, Mas Arsen ga mau lagi mengirimkan uang kesini. Nomornya ga aktif terus." Mama langsung menoleh padaku. Aku diam saja. Memang aku sengaja mengganti nomor telepon agar tidak terus diganggu Monik dan diteror oleh Rani."Bener, Nik. Mama sedang dirawat. Ini Mama sudah diperbolehkan pulang. Tapi, butuh biaya 20 juta agar Mama bisa keluar." "Ha? 20juta? Mama becanda? Aku mana ada uang segitu?" Sentak Monik
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.
Hari itu masih pagi, tapi rumah sudah seperti pasar kecil. Tawa bercampur dengan aroma sarapan yang menggoda. Ayam goreng, nasi uduk, sambal teri, dan tahu bacem memenuhi meja makan. Ibu memang selalu tahu caranya membuat momen-momen sederhana terasa istimewa.Nayla duduk bersamaku di ruang tamu setelah kami selesai sarapan. Di tangannya, ada album foto pernikahan semalam yang sudah dicetak kilat oleh fotografer langganan. Dia membuka satu per satu, tersenyum melihat ekspresi wajahku yang katanya "kaku banget kayak patung lilin."“Lif, kamu beneran tegang banget semalam. Nih lihat, senyumnya kayak dipaksa.”Aku mengintip. “Itu namanya senyum ikhlas penuh tanggung jawab.”Nayla tergelak, “Penuh tanggung jawab atau penuh rasa takut?”Aku mencubit hidungnya pelan. “Takut kamu kabur sebelum akad.”Dia mencibir manja, lalu kembali membalik lembar demi lembar album itu. Di sela-sela itu, matanya tiba-tiba berhenti. Wajahnya berubah sedikit lebih tenang, tapi ada sesuatu yang kupahami dari t
Aku mendekat. Duduk di sampingnya.“Lelah?” bisikku.Dia angkat kepala pelan, matanya lembut menatapku. “Sedikit. Tapi hatiku senang.”Aku tersenyum. Menggenggam tangannya. “Terima kasih, Nay. Sudah mau menikah denganku. Anak sulung dari keluarga ramai, kadang ribut, kadang absurd tapi penuh cinta.”Dia tertawa kecil, lalu bersandar di bahuku. “Justru itu yang bikin aku jatuh cinta. Keluarga kamu hangat. Aku bisa lihat dari cara kamu memperlakukan adik-adikmu, cara kamu menatap ibumu, dan bahkan cara kamu bicara ke ayah walau dia bukan ayah kandungmu. kamu anak sulung yang tidak pernah lelah menjaga mereka dan menjadi panutan.”Aku menghela napas pelan. Ada haru yang menggantung di kerongkongan.“Dan kamu... adalah istirahat terbaik dari semua lelah itu,” ucapku akhirnya.Nayla tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya membawa damai yang tak bisa digambarkan. Kami tidak saling bicara lama setelah itu. Hanya saling menatap. Memeluk. Dan saling berjanji dalam diam: untuk saling menjaga,
Sudah lima tahun sejak kejadian yang sempat membuat keluarga kami trauma. Hari ketika hidup kami seolah diberi kesempatan kedua. Hari ketika akhirnya Bunda bisa bernapas tenang setelah luka-luka masa lalu terkubur bersama pelabuhan yang berasap dan nama Arsen yang merupakan papa kandungku hanya menjadi cerita bisu. Aku menyayanginya, tapi apa yang dia lakukan sudah sangat membuat kami anak anaknya kecewa.Dan hari ini... aku menikah.Aku Anak pertama dari Bunda. Tari dan Ayah Nadhif walau hanya ayah tiri. Atau lebih tepatnya, lelaki yang akhirnya memilih bertahan bersama Bunda. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi bagi kami keluarga yang pernah nyaris hancur itu seperti sekejap mata dan sekaligus ribuan langkah panjang yang melelahkan.Pagi itu, aku berdiri di depan cermin. Jas putih gading terpasang rapi di tubuhku. Rambut disisir ke belakang dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa gugup setengah mati. Bukan karena aku takut menikah. Tapi karena aku tahu hari ini bu
Sudah sebulan berlalu sejak malam penuh darah dan ledakan di pelabuhan itu. Nama Arsen akhirnya hanya menjadi baris kecil di koran: “Mantan Narapidana Tewas dalam Baku Tembak dengan Polisi di Sumatera.” Tak ada yang tahu siapa Tari, siapa keluarga yang menjadi saksi hidup kisah kelam itu. Dan memang begitu seharusnya.Tari kini hidup dalam keheningan yang damai.Ia duduk di taman kecil di belakang rumah barunya. Bunga kertas merah jambu tumbuh liar di pagar, sementara burung-burung kecil beterbangan riang di atasnya. Tak ada suara tembakan. Tak ada teriakan. Hanya napasnya sendiri, yang kini tak lagi berat.Ia menuliskan kata terakhir di buku yang sudah ia isi berbulan-bulan:"Aku pernah mengeluh. Tapi dari keluhanku, aku belajar mengenal diriku sendiri. Dan dari rasa sakitku, aku belajar... bahwa aku tak harus jadi sempurna, cukup jadi kuat. Cukup jadi aku."Pena ditutup. Buku itu disimpan.Alisa datang menghampirinya sambil membawa dua gelas es teh. “Bunda... kelihatan cantik banget