Malamnya kami sampai di Jakarta. Mama menolak untuk pulang. Karena mau ke rumah Tari saja katanya. Dengan berat aku mengikuti kemauan Mama. Rumah besar milik ibunya Tari terlihat sepi. Mobil yang kami tumpangi sampai di halaman. Mama tampak tersenyum tapi tidak denganku. Hatiku was-was karena aku pernah mencuri perhiasan Tari dan tak mungkin tidak Tari tidak tau itu.Beberapa kali aku mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Mama terduduk di kursi teras. Kondisinya yang baru sembuh membuatnya cepat lelah. Tak lama pintu terbuka. Perempuan dengan daster batik itu menatapku lekat."Nyari siapa ya, Mas?" Tanyanya. "Tarinya ada?" Tanyaku.Perempuan itu mengerutkan kening. "Tari? Tari siapa ya, Mas?" Tanyanya lagi."Aleana Lestari Jingga, istri saya. Ibunya pemilik rumah ini," jelasku."Oh, Mbak Aleana. Orangnya udah pindah toh, Mas. Rumah ini sudah dibeli majikan saya. Tapi, Ibu dan Bapak lagi Ndak ada. Lagi ada acara diluar." Aku tersentak, mata membola, begitu juga dengan mama yang langsun
"Mari, Bu. Kami buru-buru. Makasih atas infonya." Aku segera menarik tubuh mama memasuki taksi sehingga memotong ucapannya.Taksi pun segera melaju. Tapi, aku meminta untuk pulang dulu ke rumah Mama. Istirahat disana. Malam kian larut. Jalanan juga mulai sepi. Kami sampai dihalaman rumah. Setelah membangunkan mama yang sempat tertidur aku pun turun."Wah, kurang ini, Mas!" Seru supir taksi saat aku memberikan selembar uang dua puluh ribuan ke tangannya."Saya ga punya uang lagi, Pak. Habis kemalingan." Sahutku sambil memapah mama keluar."Ga bisa gitu, dong! Bayar dulu yang bener! Argonya delapan puluh lima ribu bukan dua puluh ribu."Laki-laki itu menahan tanganku. "Pak, kami tak punya uang lagi. Saya baru keluar dari rumah sakit." Mama ikut memohon."Ga, bisa!""Pak, tolonglah. Kami beneran tak punya uang." Laki-laki paruh baya itu justru menatapku tajam. "Itu jam tangan anda, bisa sebagai pengganti ongkos malam ini." Dia kini beralih ke jam tanganku yang merupakan satu satunya ba
"Harusnya kamu mendekam di penjara atas kejahatan kamu, Mas!" Cetus Tari.Setelah mama pingsan tadi malam, Tari akhirnya mau keluar rumah dan membantu membawakan mama ke rumah sakit. "Aku mohon maaf, Dek." Aku bersimpuh di kakinya. Berharap tari akan mencegah lalu mengajakku berdiri. Tapi, yang ada aku dibiarkan menjadi pusat perhatian. Untung pagi ini rumah sakit tak terlalu ramai."Aku tak akan pernah memaafkan kamu. Tapi, aku akan berusaha melupakan semuanya. Perceraian kita sedang dalam proses. Kamu ga usah khawatir dengan biaya. Aku yang menanggung semuanya. Dan kamu juga tak perlu datang dalam persidangan.""Dek, aku tak mau kita bercerai.""Heh! Tau diri, Mas. Kamu tak aku laporkan ke polisi itu sudah sangat bersyukur. Semua karena aku berhutang nyawa pada mamamu. Meski, dia tak pernah menyukaiku tapi dia pernah mendonor darahnya saat aku hampir mati karena melahirkan anakmu."Aku terdiam. Ternyata Tari masih mengingat kebaikan tak seberapa yang Mama lakukan waktu itu. "Setel
"Mau kemana lagi, Ma? Arsen tak punya uang. Tak mungkin juga Arsen kembali kepada Tari dengan keadaan seperti ini? Lagian, Tari sudah mau menikah kalau nanti kami resmi bercerai.""Ah, kamu! Selama janur kuning belum melengkung kamu masih punya harapan untuk kembali pada Tari." Mama menyemangati."Arsen pesimis, Ma." Mama mendesah, memang mau bagaimana lagi. Faktanya begitu. Aku tak mungkin bersaing dengan Remon dan dokter muda itu.Siang makin beranjak. Perutku mulai menuntut hak nya begitu juga Mama. Sementara kami sama sekali tak punya uang.Aku meraih ponsel, mungkin alat ini bisa menyelamatkan kami sementara. "Ma, Arsen akan menjual handphone ini. Walau mungkin harganya akan jatuh, tapi setidaknya bisa untuk kita bertahan hidup sehari atau dua hari ini." Mama menatapku dengan tatapan sendu."Ini kan barang kita satu satunya, Ar. Bagaimana nanti kita menghubungi Tari, menelpon Monika?" Ucapan Mama membuatku sedikit ragu. Tapi, aku tak punya pilihan lain.Aku mengutak-atik benda p
"Ran, mana sarapanku?" Pagi ini perutku terasa sangat lapar. "Sebentar, Mas!" Rani sepertinya ada di dapur. Aku bergerak turun dari ranjang berjalan menuju asal suara."Astaga, Rani! Kamu ngapain?"Perempuan itu sedang mengumpulkan tepung yang berserakan di lantai. Keramik putih itu penuh dengan taburan tepung."Aku tak sengaja, Mas.""Ga becus kamu! Belum punya anak aja sudah payah. Apalagi kalau nanti anakmu lahir. Bisa bisa dapur ini runtuh karena ulah kalian." "Arsen! Kamu bukannya bantuin aku. Malah sibuk ceramah. Kamu itu numpang dirumahku!" Alih alih diam, Rani justru menyerang dengan kata kata menyakitkan. Aku bergegas mendekat. Rambut panjang Rani kutarik kebelakang."Numpang? Kamu bilang aku numpang? Kamu yang penumpang gelap, perusak rumah tangga orang!""Lepas! Sakit, Ar!" Bahkan perempuan itu melupakan panggilan 'Mas' yang kemarin dia sematkan sebelum namaku."Kamu tau apa artinya sakit? Ketika kamu dengan tidak punya perasaan membun*h Ammar dengan tangan kotormu itu!
"Iya, karena itu aku tidak melaporkan kamu dan ibumu itu. Tapi, aku masih memburu perempuan yang bernama Rani. Dia yang memberi perintah. Dia harus mendekam di penjara seumur hidup."Aku mundur selangkah. Kaget melihat kemarahan Tari yang tiba-tiba meledak. "Sabar, sayang. Aku janji akan menemukan Rani secepatnya dan aku akan menyerahkan pada polisi." Aku beringsut mendekati Tari. "Aku sudah telat. Pergilah. Tak usah kesini lagi. Proses perceraian kita sedang diurus. Sebentar lagi tak ada lagi hubungan diantara kita.""Dek, plus, Mas mohon. Jangan lakukan ini. Kita bisa memulai kehidupan yang baru. Mas akan berubah. Mas akan ikut membantu pekerjaan kamu merawat anak-anak. Mas, janji akan membuat kamu bahagia." Aku hendak meraih tangan Tari. Namun, Tari mengibaskan tangannya ke udara."Terlambat! Kemarin kemana aja kamu! Aku tak minta yang aneh-aneh kan?""Iya, Mas tau. Mas salah.""Ehem ... Orang kalau udah jatuh miskin emang gampang taubatnya!"Aku dan tari serentak menoleh ke asal
Rani hampir saja mengalami keguguran. Untung bayi nya dapat diselamatkan. Kalau tidak berapa uang yang harus aku keluarkan untuk melakukan tindakan kur*tas. Uang membayar rumah sakit saja aku bingung mendapatkan dari mana."Ar ... Makasih ya, kamu sudah selamatkan aku dan anak kita." Rani meraih tanganku. Wajahnya masih terlihat pucat."Bukan aku. Tapi, Mama yang minta." Aku menarik tanganku sedikit kasar. Entah kenapa merasa muak melihat Rani sekarang."Husss ... Ar, sudah jangan ngomong macam-macam lagi. Rani masih belum stabil kondisinya. Kalau pendarahan kita juga yang repot." Mama mendelikkan mata. Aku membuang pandang. Dulu waktu melahirkan Abrar, Tari tak pernah seperti ini. Dia kuat. Hanya saja dia sering minta dimanja. Namun, aku selalu menghindar. Kini penyesalan itu datang."Sekarang, kita harus memikirkan cara agar mendapatkan uang untuk membayar administrasi rumah sakit ini."Mama menghela napas panjang. Mama tau persis jika aku tak bisa diandalkan karena belum ada peng
"Ini uangnya, Mas!" Aku langsung berjalan ke arah kamar. Rani yang tiduran di ranjang melempar uang lembaran merah ke arahku. Mama yang melihat hal itu pun kaget."Ran!""Apa? Kamu ga punya uang, kan? Aku bersedia menampung kamu dan Mama disini. Tapi, aku tak sudi jika kamu melakukan kekerasan atau pun mengucapkan kata kata kasar padaku lagi!" Sentaknya tak peduli dengan tatapan mataku dan Mama yang kaget."Cepat Ar. Aku lapar!" Dengan menahan kesal, aku pun mengambil uang itu. Dan bergegas keluar mencari makanan. Sial*n!***"Arsen ga bisa begini terus, Ma!" "Iya, Mama tau. Mama sedang membujuk Rani agar dia memberitahu dimana surat surat rumah dan tabungannya disembunyikan." Mama merem*s tangannya sendiri geram."Gimana jika ancam dia, Ma?""Ancam gimana?" Mama mengerutkan keningnya."Tari kan sedang mencari cari Rani sebagai pembun*h Ammar. Kita ancam Rani jika dia tak memberikan apa yang kita minta, kita adukan saja dia pada Tari."Mata mama berbinar. Tapi, kembali redup."Tapi
"Kamu ....?"Mami Karla menunjuk nunjukku dengan raut tak percaya. Tanganku terangkat begitu saja. Emosi menguasai diri. Ternyata, dia lah yang menerorku, melontarkan kata kata yang selalu merendahkan."Anda tidak punya hak untuk menghina saya. Jika anda tidak mau anak anda menikah dengan saya, tunjukkan power anda sebagai seorang ibu yang berkuasa atas anaknya. Jangan seperti anak kecil, main teror dan pakai drama murahan!"Mata mami Karla melotot lotot menahan amarah. Aku membalas tatapan itu, kemudian berlalu meninggalkan tempat yang sedari awal sudah memberikan kesan tak mengenakkan.Abrar mulai risih dalam gendongan. Aku segera memasukkan ke mobil dan menaruhnya di baby car seat. Dengan cepat aku pun pergi, melajukan mobil tanpa menengok lagi. Sudahlah, aku tak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah itu. Dan tak akan tergoda bujuk rayu, iming iming pernikahan yang indah. Tak akan. Harapan itu tak akan tercipta selama orang tua dari salah satu pihak memiliki ego yang tinggi.
"Terimakasih, Pak Nadhif. Kalau tidak ada bapak, saya tak tahu apa yang akan dia lakukan pada saya.""Bunda ..."Alir berlari dari dalam sambil menangis. "Tak apa Sayang."Aku mengusap kepala Alif yang masih terisak dalam pelukan"Tadi, Alif menelpon saya, Bu. Jadi, saya buru buru kesini.""Oh, jadi Alif juga menolong bunda?" Aku meraup wajah Alif yang masih basah karena air mata. Anak sulungku itu menganggukkan kepala."Makasih, Sayang." Berkali kali aku mencium pipi Alif. Bukannya risih, Alif malah makin mengencangkan tangis."Bunda, kalau bunda mau menikah lagi. Alif setuju, Bunda. Jangan sampai bunda disakiti papa lagi."Aku meringis. Pak Nadhif hanya tersenyum lalu menunduk.Tak lama Ibu dan Bik Inah pulang dari pasar. Pantas saja, saat Mas Arsen menyerangku, tak ada yang keluar membantu. Dan sepertinya laki-laki itu memata-matai rumahku. Sehingga tau aku hanya sama anak-anak saja dirumah. Sungguh nekat. Padahal, ada Pak Rudi di depan.***Setelah kejadian itu, aku makin khawati
"Berantem lagi, Nduk?"Ibu yang sedang duduk di sofa menatapku yang datang dengan wajah kusut. Ibu memang tidak ikut jalan jalan. Entah kenapa. Aku menjatuhkan bobot tubuh disamping Ibu."Semakin Tari rajin istikharah, semakin sering perdebatan terjadi diantara kami.""Tidak apa, jangan berhenti. Bukan sholatnya yang membuat hubungan kalian terlihat berantakan. Tapi, memang cara Allah menunjukkan langkah mana yang akan ditempuh."Ibu meraih tanganku. "Nduk, tadi Ayahnya Wildan kesini. Dia nitip salam. Sekaligus minta maaf karena sudah ngerepotin kamu.""Duh? Iya kah Bu? Tari benar-benar tak enak, Wildan tadi tak diajak gara gara Mas Elzio ga berkenan.""Udah gapapa. Elzio mungkin ingin lebih dekat dengan kamu dan anak-anak."***"Saya mau ketemu anak anak saya! Saya papanya!"Suara ribut-ribut dari luar membuatku bergegas keluar. "Maaf, Bu. Orangnya ini ngotot minta masuk ke dalam." Pak Rudi terlihat kewalahan memegang mas Arsen yang berontak dan berteriak-teriak seperti orang ga w
Mas Fatan ternyata juga memperhatikan tiga anak yang sedang berlarian di putihnya pantai sore ini. "Iya, Mas. Aku juga tiba-tiba sayang sama Wildan. Walau penasaran kemana ibunya. Tapi, itu tak penting kan?"Mas Fatan tertawa lebar."Kamu takut bapaknya duda, ya?"Aku menepuk lengan Mas Fatan kencang."Terus? Maksudnya?" Dia malah makin terkekeh."Tari, makan dulu, yuk. Ajak anak-anak." Mbak Rahma yang sedari tadi menyiapkan makanan bersama ibu menghampiri."Hayuk, kita makan dulu."Anak-anak berlarian begitu girang. Aku memvideokan lalu mengirimkan pada Pak Nadhif sebagai bukti bahwa anaknya bahagia jalan sama kami.[Terimakasih, Bu Tari. Sudah lama Wildan tak tertawa selepas itu.][Sama-sama, Pak.]Tak terasa malam mulai naik. Sekitar jam sebelas malam kami baru sampai dirumah."Bunda, Wildan nginap di rumah kita aja, Ya."Aku menoleh ke arah Wildan yang terlihat menunduk dalam."Bunda minta ijin ke ayahnya dulu, ya.""Horeee ... Wil, kita main lagi, yuk." Mereka serentak berteriak
"Mami?" Mas El menatap ibunya dengan tatapan tak percaya."Kenapa? Hayuk, ajak calon istri kamu makan. Mami tadi masak ikan pindang kesukaan kamu. Biar calon istri kamu tahu gimana rasanya. Nanti tinggal mami kasih resep supaya bisa masak sendiri."Mata Mas El berbinar, nyaris berkaca-kaca. Sementara aku serasa melayang. Badan tak ada tenaga. Kenapa jadi begini? Sama sekali tak sesuai dengan ekspektasiku. Padahal, aku berharap cuma lima menit disini lalu pulang."Ayo, Ri. Kita makan." Suara Mas El bergetar. Pasti dia terharu. Beda denganku yang syok parah. "Maaf sebelumnya, Tante.""Lho, kok Tante. Panggil mami dong. Sebentar lagi kan kamu akan menjadi anak mami." Aku meringis. Apa iya kejadiannya akan seperti itu."Eh iya, Mami." Aku gugup. "Apa, Sayang? Kamu mau nanya apa, Cantik?"Mas El menatapku dengan senyuman yang tak pernah pupus dari bibirnya. Aku tertunduk. "Hmm ... Mi, maaf kalau Mami tak berkenan dengan pertanyaan Tari nanti. Hmm ... Bukankah Mami sudah punya calon unt
"Alif, mau jalan jalan?" Alif yang termenung hanya diam saja mendengar tawaran Mas El. Seminggu ini aku meminta ijin pada pihak sekolah agar mengijinkan Alif untuk belajar di rumah saja."Ammar mau, Pa.." teriak Ammar lalu berlari ke arah Mas Elzio. Duh, kenapa Ammar bisa memanggil 'papa' gitu sih. Seharusnya anak-anak tak usah dekat dengan Mas El setelah ini. Apalagi sampai memanggilnya papa."Mas, mulai sekarang ga usah repot-repot untuk datang kesini."Wajah Mas El langsung berubah."Kenapa? Aku datang untuk Alif." "Ada baiknya kita tak lagi berhubungan, Mas. Aku tak ingin ada masalah lagi.""Masalah apa? Kamu tiba-tiba menjauh seperti ini? Salahku apa, Ri?" Matanya menatapku lekat. "Kamu baca ini, Mas." Aku menyodorkan ponselku padanya. Mas El membaca semua pesan yang dikirim orang tak dikenal itu dengan wajah serius. "Siapa yang berani mengancammu seperti ini, Ri?"Aku mengangkat bahu. Mana kutahu. Yang jelas orang itu ada sangkut pautnya dengan dokter muda itu, bukan?"Ri,
Aku memijit kepala yang terasa berdenyut."Maafkan Alif ya, Sayang." Aku mengusap wajah Wildan lembut. Dia menatapku lalu tersenyum."Gapapa, Tante. Aku juga salah sudah membalas Alif.""Tak apa, Bu Tari. Saya mohon maaf anak saya juga telah melukai anak Ibu." Aku tersenyum tipis. Tak menyangka Alif yang terlihat baik baik saja ternyata menyimpan duka atas perpisahanku dengan Mas Arsen."Saya akan mengganti biaya pengobatan Wildan, Pak. Boleh minta nomor rekeningnya.""Oh, ga usah, Bu. Wildan ga kenapa-kenapa, kok. Cuma lebam sedikit saja. Nanti biar saya kompres dengan air es."Aku memanggil Bik Inah. Minta tolong merawat luka di wajah Wildan. Meski sedikit memaksa, karena ayahnya, Mas Nadhif tadinya tak mau merepotkan dan hendak segera pulang. Tapi, tetap sebagai rasa tanggung jawabku pada anaknya aku memohon untuk tinggal sebentar.Setelah selesai, laki-laki itu pamit. Sungguh aku tak enak hati dibuatnya. Wajah Wildan lebam lebih parah dibanding Alif."Nduk, tolong hati hati bicar
Nasi udah menjadi bubur. Lelaki itu sama saja dengan Ayah. Pasti tak mau mendengar keluh kesah istri, hingga kabur tanpa jejak."Abrar kurang sehat. Kamu lihat sana gih. Biar Ibu sama Bik Inah yang masak. Kamu juga pasti mau menulis kan?""Heh, iya Bu. Tari pamit ke atas, ya. Ibu beneran gapapa tari tinggal?"Ibu malah terkekeh."Halah, biasanya tiap hari juga ditinggal sama kamu." Aku pun terkekeh. Memanglah sebagai seorang penulis yang punya dunianya sendiri aku lebih sering berduaan dengan komputer dan ponsel. Mau gimana lagi, dapat uangnya dari sana.***"Tak habis pikir Mas sama ibunya Elzio itu. Apa dia tidak tahu siapa kamu, Dek?" Mas Fatan yang baru datang menggerutu dengan wajah kesal. Tangan terulur memberikan kunci mobilku. "Gapapa, Mas. Aku ga butuh nama besar kok. Jadi, ga peduli orang mau kenal atau tidak. Yang penting aku bisa membesarkan anak-anak tanpa bantuan laki-laki yang selalu melihatku salah.""Iya, sih. Setidaknya kasih kesempatan untuk kamu menjelaskan siapa
"Lho? Kenapa naik ojek, Nduk? Mobil kamu mana?" Ibu membuka pintu dengan wajah terheran-heran."Ketinggalan di toko, Bu?" Aku menyimpan tas di atas meja lalu menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Merebahkan badan hingga punggung bersandar dengan nyamannya. Aku bahkan tadi tak kepikiran untuk kembali ke toko mengambil mobil. Saking dongkolnya hati ini."Ada apa, Nduk? Cerita ke Ibu."Ibu yang sudah duduk disampingku menatap cemas. Apa tampangku begitu kusut? Ah, perasaan aku biasa saja. Meski agak sakit hati."Ga ada apa-apa, Bu." "Jangan bohong, Tari. Ibu tahu karakter kamu. Gimana makan siangnya dengan keluarga Elzio? Lancar? Kenapa bukan dia yang mengantarkan kamu pulang?" Sederet pertanyaan yang harus aku jawab membuat aku kembali menegakkan badan.Kuhirup udara dengan rakus agar apa yang aku ceritakan bisa melegakan perasaan."Mas El, sudah dijodohkan, Bu. Seorang dokter juga. Undangan dari maminya sepertinya untuk mengenalkan perempuan itu pada Tari.""Ha? Kenapa bisa begitu? Bukanny