"Mama hanya merepotkan kamu ya, Ar. Mama akan menelpon Monika, semoga saja dia bisa membantu."Mama berjalan kembali ke ranjang berseprei putih itu. Meraih ponsel dan mengutak-atik sejenak."Nik, kamu dimana, Nak?""Ada apa, Ma? Mana uang kuliahku, Ma? Uang makan juga ga dikirim Mas Arsen. Aku gimana mau hidup disini!" Bentak nya membuat Mama tersentak. Seperti biasa anak itu hanya tau soal duit."Abangmu lagi kena musibah. Mama juga lagi dirawat di rumah sakit." Jelas mama. Aku hanya diam mendengar obrolan mereka yang terdengar jelas lewat speaker ponsel Mama."Ah, bohong! Bilang aja, Mas Arsen ga mau lagi mengirimkan uang kesini. Nomornya ga aktif terus." Mama langsung menoleh padaku. Aku diam saja. Memang aku sengaja mengganti nomor telepon agar tidak terus diganggu Monik dan diteror oleh Rani."Bener, Nik. Mama sedang dirawat. Ini Mama sudah diperbolehkan pulang. Tapi, butuh biaya 20 juta agar Mama bisa keluar." "Ha? 20juta? Mama becanda? Aku mana ada uang segitu?" Sentak Monik
Malamnya kami sampai di Jakarta. Mama menolak untuk pulang. Karena mau ke rumah Tari saja katanya. Dengan berat aku mengikuti kemauan Mama. Rumah besar milik ibunya Tari terlihat sepi. Mobil yang kami tumpangi sampai di halaman. Mama tampak tersenyum tapi tidak denganku. Hatiku was-was karena aku pernah mencuri perhiasan Tari dan tak mungkin tidak Tari tidak tau itu.Beberapa kali aku mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Mama terduduk di kursi teras. Kondisinya yang baru sembuh membuatnya cepat lelah. Tak lama pintu terbuka. Perempuan dengan daster batik itu menatapku lekat."Nyari siapa ya, Mas?" Tanyanya. "Tarinya ada?" Tanyaku.Perempuan itu mengerutkan kening. "Tari? Tari siapa ya, Mas?" Tanyanya lagi."Aleana Lestari Jingga, istri saya. Ibunya pemilik rumah ini," jelasku."Oh, Mbak Aleana. Orangnya udah pindah toh, Mas. Rumah ini sudah dibeli majikan saya. Tapi, Ibu dan Bapak lagi Ndak ada. Lagi ada acara diluar." Aku tersentak, mata membola, begitu juga dengan mama yang langsun
"Mari, Bu. Kami buru-buru. Makasih atas infonya." Aku segera menarik tubuh mama memasuki taksi sehingga memotong ucapannya.Taksi pun segera melaju. Tapi, aku meminta untuk pulang dulu ke rumah Mama. Istirahat disana. Malam kian larut. Jalanan juga mulai sepi. Kami sampai dihalaman rumah. Setelah membangunkan mama yang sempat tertidur aku pun turun."Wah, kurang ini, Mas!" Seru supir taksi saat aku memberikan selembar uang dua puluh ribuan ke tangannya."Saya ga punya uang lagi, Pak. Habis kemalingan." Sahutku sambil memapah mama keluar."Ga bisa gitu, dong! Bayar dulu yang bener! Argonya delapan puluh lima ribu bukan dua puluh ribu."Laki-laki itu menahan tanganku. "Pak, kami tak punya uang lagi. Saya baru keluar dari rumah sakit." Mama ikut memohon."Ga, bisa!""Pak, tolonglah. Kami beneran tak punya uang." Laki-laki paruh baya itu justru menatapku tajam. "Itu jam tangan anda, bisa sebagai pengganti ongkos malam ini." Dia kini beralih ke jam tanganku yang merupakan satu satunya ba
"Harusnya kamu mendekam di penjara atas kejahatan kamu, Mas!" Cetus Tari.Setelah mama pingsan tadi malam, Tari akhirnya mau keluar rumah dan membantu membawakan mama ke rumah sakit. "Aku mohon maaf, Dek." Aku bersimpuh di kakinya. Berharap tari akan mencegah lalu mengajakku berdiri. Tapi, yang ada aku dibiarkan menjadi pusat perhatian. Untung pagi ini rumah sakit tak terlalu ramai."Aku tak akan pernah memaafkan kamu. Tapi, aku akan berusaha melupakan semuanya. Perceraian kita sedang dalam proses. Kamu ga usah khawatir dengan biaya. Aku yang menanggung semuanya. Dan kamu juga tak perlu datang dalam persidangan.""Dek, aku tak mau kita bercerai.""Heh! Tau diri, Mas. Kamu tak aku laporkan ke polisi itu sudah sangat bersyukur. Semua karena aku berhutang nyawa pada mamamu. Meski, dia tak pernah menyukaiku tapi dia pernah mendonor darahnya saat aku hampir mati karena melahirkan anakmu."Aku terdiam. Ternyata Tari masih mengingat kebaikan tak seberapa yang Mama lakukan waktu itu. "Setel
"Mau kemana lagi, Ma? Arsen tak punya uang. Tak mungkin juga Arsen kembali kepada Tari dengan keadaan seperti ini? Lagian, Tari sudah mau menikah kalau nanti kami resmi bercerai.""Ah, kamu! Selama janur kuning belum melengkung kamu masih punya harapan untuk kembali pada Tari." Mama menyemangati."Arsen pesimis, Ma." Mama mendesah, memang mau bagaimana lagi. Faktanya begitu. Aku tak mungkin bersaing dengan Remon dan dokter muda itu.Siang makin beranjak. Perutku mulai menuntut hak nya begitu juga Mama. Sementara kami sama sekali tak punya uang.Aku meraih ponsel, mungkin alat ini bisa menyelamatkan kami sementara. "Ma, Arsen akan menjual handphone ini. Walau mungkin harganya akan jatuh, tapi setidaknya bisa untuk kita bertahan hidup sehari atau dua hari ini." Mama menatapku dengan tatapan sendu."Ini kan barang kita satu satunya, Ar. Bagaimana nanti kita menghubungi Tari, menelpon Monika?" Ucapan Mama membuatku sedikit ragu. Tapi, aku tak punya pilihan lain.Aku mengutak-atik benda p
"Ran, mana sarapanku?" Pagi ini perutku terasa sangat lapar. "Sebentar, Mas!" Rani sepertinya ada di dapur. Aku bergerak turun dari ranjang berjalan menuju asal suara."Astaga, Rani! Kamu ngapain?"Perempuan itu sedang mengumpulkan tepung yang berserakan di lantai. Keramik putih itu penuh dengan taburan tepung."Aku tak sengaja, Mas.""Ga becus kamu! Belum punya anak aja sudah payah. Apalagi kalau nanti anakmu lahir. Bisa bisa dapur ini runtuh karena ulah kalian." "Arsen! Kamu bukannya bantuin aku. Malah sibuk ceramah. Kamu itu numpang dirumahku!" Alih alih diam, Rani justru menyerang dengan kata kata menyakitkan. Aku bergegas mendekat. Rambut panjang Rani kutarik kebelakang."Numpang? Kamu bilang aku numpang? Kamu yang penumpang gelap, perusak rumah tangga orang!""Lepas! Sakit, Ar!" Bahkan perempuan itu melupakan panggilan 'Mas' yang kemarin dia sematkan sebelum namaku."Kamu tau apa artinya sakit? Ketika kamu dengan tidak punya perasaan membun*h Ammar dengan tangan kotormu itu!
"Iya, karena itu aku tidak melaporkan kamu dan ibumu itu. Tapi, aku masih memburu perempuan yang bernama Rani. Dia yang memberi perintah. Dia harus mendekam di penjara seumur hidup."Aku mundur selangkah. Kaget melihat kemarahan Tari yang tiba-tiba meledak. "Sabar, sayang. Aku janji akan menemukan Rani secepatnya dan aku akan menyerahkan pada polisi." Aku beringsut mendekati Tari. "Aku sudah telat. Pergilah. Tak usah kesini lagi. Proses perceraian kita sedang diurus. Sebentar lagi tak ada lagi hubungan diantara kita.""Dek, plus, Mas mohon. Jangan lakukan ini. Kita bisa memulai kehidupan yang baru. Mas akan berubah. Mas akan ikut membantu pekerjaan kamu merawat anak-anak. Mas, janji akan membuat kamu bahagia." Aku hendak meraih tangan Tari. Namun, Tari mengibaskan tangannya ke udara."Terlambat! Kemarin kemana aja kamu! Aku tak minta yang aneh-aneh kan?""Iya, Mas tau. Mas salah.""Ehem ... Orang kalau udah jatuh miskin emang gampang taubatnya!"Aku dan tari serentak menoleh ke asal
Rani hampir saja mengalami keguguran. Untung bayi nya dapat diselamatkan. Kalau tidak berapa uang yang harus aku keluarkan untuk melakukan tindakan kur*tas. Uang membayar rumah sakit saja aku bingung mendapatkan dari mana."Ar ... Makasih ya, kamu sudah selamatkan aku dan anak kita." Rani meraih tanganku. Wajahnya masih terlihat pucat."Bukan aku. Tapi, Mama yang minta." Aku menarik tanganku sedikit kasar. Entah kenapa merasa muak melihat Rani sekarang."Husss ... Ar, sudah jangan ngomong macam-macam lagi. Rani masih belum stabil kondisinya. Kalau pendarahan kita juga yang repot." Mama mendelikkan mata. Aku membuang pandang. Dulu waktu melahirkan Abrar, Tari tak pernah seperti ini. Dia kuat. Hanya saja dia sering minta dimanja. Namun, aku selalu menghindar. Kini penyesalan itu datang."Sekarang, kita harus memikirkan cara agar mendapatkan uang untuk membayar administrasi rumah sakit ini."Mama menghela napas panjang. Mama tau persis jika aku tak bisa diandalkan karena belum ada peng
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.
Hari itu masih pagi, tapi rumah sudah seperti pasar kecil. Tawa bercampur dengan aroma sarapan yang menggoda. Ayam goreng, nasi uduk, sambal teri, dan tahu bacem memenuhi meja makan. Ibu memang selalu tahu caranya membuat momen-momen sederhana terasa istimewa.Nayla duduk bersamaku di ruang tamu setelah kami selesai sarapan. Di tangannya, ada album foto pernikahan semalam yang sudah dicetak kilat oleh fotografer langganan. Dia membuka satu per satu, tersenyum melihat ekspresi wajahku yang katanya "kaku banget kayak patung lilin."“Lif, kamu beneran tegang banget semalam. Nih lihat, senyumnya kayak dipaksa.”Aku mengintip. “Itu namanya senyum ikhlas penuh tanggung jawab.”Nayla tergelak, “Penuh tanggung jawab atau penuh rasa takut?”Aku mencubit hidungnya pelan. “Takut kamu kabur sebelum akad.”Dia mencibir manja, lalu kembali membalik lembar demi lembar album itu. Di sela-sela itu, matanya tiba-tiba berhenti. Wajahnya berubah sedikit lebih tenang, tapi ada sesuatu yang kupahami dari t
Aku mendekat. Duduk di sampingnya.“Lelah?” bisikku.Dia angkat kepala pelan, matanya lembut menatapku. “Sedikit. Tapi hatiku senang.”Aku tersenyum. Menggenggam tangannya. “Terima kasih, Nay. Sudah mau menikah denganku. Anak sulung dari keluarga ramai, kadang ribut, kadang absurd tapi penuh cinta.”Dia tertawa kecil, lalu bersandar di bahuku. “Justru itu yang bikin aku jatuh cinta. Keluarga kamu hangat. Aku bisa lihat dari cara kamu memperlakukan adik-adikmu, cara kamu menatap ibumu, dan bahkan cara kamu bicara ke ayah walau dia bukan ayah kandungmu. kamu anak sulung yang tidak pernah lelah menjaga mereka dan menjadi panutan.”Aku menghela napas pelan. Ada haru yang menggantung di kerongkongan.“Dan kamu... adalah istirahat terbaik dari semua lelah itu,” ucapku akhirnya.Nayla tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya membawa damai yang tak bisa digambarkan. Kami tidak saling bicara lama setelah itu. Hanya saling menatap. Memeluk. Dan saling berjanji dalam diam: untuk saling menjaga,