[Assalamu'alaikum, Na. Hari ini pulang jam berapa?]
[Nanti biar Abang yang jemput. Tetep jaga kesehatan dan terima kasih untuk semuanya.]Pesan singkat diakhiri dengan emot senyum itu mampu membuat senyum Naomi ikut mengembang. Perlakuan Faiq tak jauh berbeda. Namun, bagi Naomi kini ada rasa spesial pada laki-laki itu.[Wa'alaikumussalaam. Abang bisa jemput Naomi jam 5 sore.][Terima kasih kembali. Tetaplah seperti sekarang, hingga esok dan seterusnya.]Senyum tak lepas dari bibir berwarna merah muda itu. Faiq terlalu spesial. Bermula dari seorang kakak sepupu yang berubah menjadi teman dekat yang paling peduli, hingga kini berubah menjadi cinta. Rasa yang luar biasa di hati Naomi.Ketukan di pintu membuat Naomi memilih mematikan layar ponselnya dan berusaha kembali fokus pada dunianya sekarang."Masuk!" seru Naomi sambil mengangkat wajah.Dari arah pintu, Raihan melanMata Faiq seketika terbuka. "Nggak—nggak ada, Na," jawabnya tergagap dengan senyum simpul kembali tercipta serta dada yang bergemuruh. Sungguh cinta di hatinya begitu dahsyat terhadap perempuan di sampingnya itu. "Lalu?" tanya Naomi tak paham. "Kau akan tahu jawabannya kelak," jawab Faiq seraya kembali mengulas senyum. "Kapan?"Bersamaan dengan itu lampu kuning jalan raya menyala. Dan Faiq kembali bersiap mengemudikan kendaraannya demi menghindari drama klakson bersahutan di belakang mobilnya. "Setelah kita menikah nanti," jawabnya sambil terkekeh. Sepuluh menit setelahnya mobil Faiq memasuki jalan komplek perumahan elit. Berbelok di ujung jalan hingga terpakir tepat di depan rumah berlantai dua.Rumah yang terlihat begitu elegan dengan warna putih mendominasi dinding rumah serta tiangnya, serta kusen dan sudut fasad rumah dengan warna abu tua. Naomi m
Naomi terdiam beberapa saat. Ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya. "Bagaimana dengan Ayah?" tanya Naomi seraya menatap Faiq dengan tatapan sendu. Ayah adalah segalanya baginya. Di dunia ini seolah tak ada yang lebih penting dari laki-laki berusia lanjut itu saat ini. Cintanya pada sang ayah seolah mengalahkan cintanya pada diri sendiri. Itu pula yang membuat Naomi hanya pasrah ketika restu orang tuanya tidak ia dapat. Ia tak ingin mengecewakan laki-laki tua itu untuk keduakalinya. "Kita ajak Ayah bersama kita," jawab Faiq dengan senyum semangat. Kata 'Ayah' yang keluar dari bibir Faiq membuat Naomi tersenyum lembut. Ini kali pertamanya Faiq menyebut Ayah Dayat dengan sebutan 'ayah'. Namun, sesaat setelahnya senyum itu kembali pudar ketika memikirkan tentang laki-laki itu. Naoim tau jika semua tak akan mudah. Rumah itu adalah kenangan terindah yang tersisa antara ayah dan ibunya. Bahkan saat ia menikah den
"Raihan baik-baik saja, Ma." Raihan sedikit berbohong. Ia tak ingin membuat sang Mama memikirkan tentang kegagalannya. Bahkan rasa bersalah pada perempuan itu pun belum mampu ia tebus hingga sekarang. Mama Maya terlihat menghela napas panjang. Melirik ke arah sang suami yang kini menyibukkan diri dengan layar TV. Sejujurnya Mama Maya cukup paham apa yang membuat Raihan terlihat gundah. "Kau keberatan dengan rencana Mama dan Papa?" tanya Mama Maya meminta persetujuan. Raihan terdiam sejenak. Saat awal menikahi Sena dulu memang ia begitu ingin semuanya kembali seperti dulu. Bahkan beberapa kali Raihan sempat memohon agar mendapatkan belas kasih dari orang tuanya. Namun, sekarang semua seolah berubah, keinginan Raihan untuk mendapatkan segalanya telah pudar seiring kian hari sikap Sena semakin membuat hatinya lelah."Lakukan apa saja yang menurut Mama dan Papa yang terbaik," jawab Raihan pasrah. Tak ada lagi jaw
Mama Maya terlihat menghela napas panjang, ada sesak yang baru saja terasa ketika mendengar apa yang baru saja Naomi katakan. Seolah ada sesuatu yang ia sayang dan akan hilang dari dirinya. Itulah yang dirasakan Mama Maya. Nyatanya, meski Raihan telah menikah lagi, tetap saja ada sudut hatinya yang keberatan ketika mendengar Naomi akan menikah lagi. Namun, ia tak boleh egois karena ia pun menginginkan Naomi bahagia meski bukan dengan Raihan. Bibir perempuan berusia lanjut itu melengkung, menciptakan senyum tipis di wajahnya. "Kau akan menikah, Na?" ulangnya dengan nada tanya. Naomi mengangguk pelan. Tangannya mengusap lembut punggung tangan Mama Maya. "Jika laki-laki itu baik menurutmu, Mama memberi restu. Semoga ini pernikahan terakhirmu, Na. Dan semoga keluarga kalian bahagia hingga menua bersama." Mama Maya berusaha mengikhlaskan apa yang ia yakini memang bukan untuknya. "Terima kasih, Ma. M
Laki-laki itu seperti begitu berpengalaman menggoda wanita. Namun, nyatanya Naomi-lah perempuan pertama dan satu-satunya yang pernah mendengar kalimat manis barusan. Faiq memiliki karakter lembut dan penyayang, jadi rasanya sangat wajar jika Naomi yang ia sayangi sejak bertahun-tahun lalu akan mendapatkan perhatian darinya hingga sedemikian rupa. Naomi tak menjawab. Bibir tipis berbalut warna merah muda itu hanya tersenyum manis, sangat manis. "Kau keberatan, Na?" tanya Faiq setelah tak mendengar jawaban dari perempuan kedua di hatinya itu. Ya, Naomi-lah perempuan kedua di hati laki-laki itu, karena posisi pertama ditempati sang mama, perempuan yang begitu ia kasihi hingga saat ini. Jika Faiq pernah bersikap dingin pada sang mama, rasanya cukup manusiawi. Ia hanya tengah memendam kekecewaan berlebih di hatinya. "Naomi nggak ngomong gitu 'kan?" tanya Naomi sambil melirik ke sebelah kanan di mana Faiq tengah menatap lurus ke jalan raya. "Nggak jawab?"
Naomi hanya mengiyakan dengan senyum simpul. Matanya tarpana dengan aneka bentuk cincin dengan harga fantastis itu. Beberapa saat ia asik memperhatikan satu persatu benda berbentuk lingkaran bermahkotakan batu bening yang tertata rapi di atas karpet warna merah dalam etalase di hadapannya, hingga ia jatuh hati pada sebuah cincin dengan model klasik. Menurutnya, model klasik memang telihat sederhana. Namun, mampu membuat mata tak pernah bosan menatapnya. Sang pelayan toko kini sibuk menjelaskan model-model cincin yang tengah Naomi lihat-lihat. Sedang tatapan Naomi tak lepas dari 2 buah cincin dengan bentuk dan model yang begitu mirip. Faiq yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Naomi, kini sedikit mencondongkan kepalanya hingga sejajar dengan Naomi yang sejak tadi menundukan kepala. "Sudah menemukannya?" tanya Faiq setengah berbisik.Naomi menoleh dengan senyum di bibirnya. Lalu beralih pada pelayan toko. "B
Naomi tersenyum simpul. Benar dugaannya jika Faiq cemburu karena ia tak sengaja membahas tentang masa lalunya barusan. "Abang cemburu?" tanya Naomi dengan senyum menggoda. "Abang hanya tak ingin patah hati lebih dalam lagi." Faiq masih bersikap dingin. Naomi bertenang sejenak, mencari kata yang tepat untuk meyakinkan Faiq tentangnya dan Raihan. "Apa menurut Abang hatiku akan sembuh dalam waktu sesingkat ini?" tanya Naomi dengan nada lirih. Faiq bergeming. Seperti tengah menunggu penjelasan selanjutnya dari Naomi. "Jika benar begitu, nyatanya Abang salah. Jujur, rasa trauma tentang laki-laki selanjutnya tetaplah masih ada hingga saat ini. Dan setiap melihat orang-orang yang telah terlibat pasti rasa sakit itu akan kembali terasa, persis pada saat ini." Nada suara Naomi berubah sendu. Ya, ketika melihat wajah Sena maupun Raihan, luka itu kembali terasa nyeri. Hati Faiq berdesir. Ka
Naomi terlihat menutupi setengah wajah dengan punggung tangannya. Ia pun ikut tertawa mendengar kalimat Tante Reni, calon mertuanya barusan. Bahkan sedari tadi Naomi pun merasakan hal serupa. Tangan Faiq yang terasa dingin dan sedikit bergetar. Sedangkan Faiq hanya tersenyum malu, memamerkan gigi-gigi putih miliknya demi menyamarkan rasa gugup hatinya. Sesaat kemudian tatapan keduanya bertemu. Segera Faiq mengalihkan pandangannya. Entahlah, ia tak sanggup dengan hatinya yang kian berdesir hebat saat menatap wajah cantik dalam balutan kerudung abu muda itu. Ah, semua terasa begitu indah, hingga membuat Faiq dan Naomi merasakan hal serupa. Rasa tak sabar tentang hari-hari selanjutnya untuk berlalu, agar hari di mana keduanya disatukan oleh janji suci pernikahan segera datang. Persis seperti pasangan pada umumnya, mereka tak sabar untuk halal satu sama lain. *"Aku masih ngerasa kayak mimpi, Na. Ini beneran nyata 'kan?"Nabilah terlihat menepuk-nepuk pi
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp