Naomi tersenyum simpul. Benar dugaannya jika Faiq cemburu karena ia tak sengaja membahas tentang masa lalunya barusan.
"Abang cemburu?" tanya Naomi dengan senyum menggoda."Abang hanya tak ingin patah hati lebih dalam lagi." Faiq masih bersikap dingin.Naomi bertenang sejenak, mencari kata yang tepat untuk meyakinkan Faiq tentangnya dan Raihan."Apa menurut Abang hatiku akan sembuh dalam waktu sesingkat ini?" tanya Naomi dengan nada lirih.Faiq bergeming. Seperti tengah menunggu penjelasan selanjutnya dari Naomi."Jika benar begitu, nyatanya Abang salah. Jujur, rasa trauma tentang laki-laki selanjutnya tetaplah masih ada hingga saat ini. Dan setiap melihat orang-orang yang telah terlibat pasti rasa sakit itu akan kembali terasa, persis pada saat ini." Nada suara Naomi berubah sendu. Ya, ketika melihat wajah Sena maupun Raihan, luka itu kembali terasa nyeri.Hati Faiq berdesir. KaNaomi terlihat menutupi setengah wajah dengan punggung tangannya. Ia pun ikut tertawa mendengar kalimat Tante Reni, calon mertuanya barusan. Bahkan sedari tadi Naomi pun merasakan hal serupa. Tangan Faiq yang terasa dingin dan sedikit bergetar. Sedangkan Faiq hanya tersenyum malu, memamerkan gigi-gigi putih miliknya demi menyamarkan rasa gugup hatinya. Sesaat kemudian tatapan keduanya bertemu. Segera Faiq mengalihkan pandangannya. Entahlah, ia tak sanggup dengan hatinya yang kian berdesir hebat saat menatap wajah cantik dalam balutan kerudung abu muda itu. Ah, semua terasa begitu indah, hingga membuat Faiq dan Naomi merasakan hal serupa. Rasa tak sabar tentang hari-hari selanjutnya untuk berlalu, agar hari di mana keduanya disatukan oleh janji suci pernikahan segera datang. Persis seperti pasangan pada umumnya, mereka tak sabar untuk halal satu sama lain. *"Aku masih ngerasa kayak mimpi, Na. Ini beneran nyata 'kan?"Nabilah terlihat menepuk-nepuk pi
"Sebentar lagi, Ma," jawab Raihan setelahnya. Mama Maya duduk tepat di samping Raihan. Terdengar helaan napas dari bibir keriputnya. Semakin sering ia melihat wajah tirus Raihan semakin ia merasa iba pada anak laki-lakinya itu. "Sudah sejak dulu Mama katakan, pikirkan sesuatu dengan matang sebelum melangkah. Mama tak pernah ingin melihat kau menyesal di kemudian hari."Meski Raihan tak pernah menceritakan bagaimana perbuatan Sena pada Mama Maya, perempuan itu seolah sangat paham apa yang dirasakan anak laki-lakinya itu. Raihan seketika tertunduk. Kalimat yang keluar membuat hatinya tercubit, hingga ia merasa tak mampu hanya untuk sekedar menatap wajah perempuan terbaiknya itu. "Jika saja sesal bisa mengubah semuanya, maka Mama akan melakukan semuanya agar semua kembali membaik."Mama Maya kembali bersuara. Membuat Raihan kian tertunduk dalam. "Sayangnya, semua hanyalah tinggal kisah. Dan sedalam apapun sesal takkan pernah bisa merubah yang telah
"Baiklah. Mama tahu kau tak akan percaya begitu saja apa yang baru saja Mama katakan. Namun, setidaknya ini bisa menjadi pertimbangan dan menjadi alasan bagimu untuk mencari tahu kebenarannya."Mama Maya beranjak dari kursinya, berjalan menuju ke arah kamarnya, meninggalkan Raihan yang kini mematung di tempat duduknya. Berbagai permasalahan memenuhi rongga kepala Rayhan, mulai dari permintaan sang mama untuk melepaskan sena, hingga rencana pernikahan Naomi. Menciptakan denyut tak nyaman di kepalanya. *Jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika Raihan terbangun dari tidur nyenyaknya karena kantung kemih yang terasa penuh. Dengan malas ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya.Sekilas ia melirik ke atas kasur di mana Sena biasanya akan tidur di sampingnya. Namun, perempuan itu tak nampak di sana. Ke mana Sena pergi? Tidur di mana perempuan itu?
Mobil sedan berwarna hitam itu melaju perlahan lalu berhenti tepat di depan rumah Raihan.Degup jantung Raihan seketika berpacu. Ia memperhatikan mobil itu dari kejauhan dengan mata tak berkedip. Namun, tak ada yang keluar dari mobil itu.Tangan laki-laki itu berkeringat dingin dengan deru napas memburu, menunggu kejutan apa yang akan ia lihat pagi ini. Kurang dari 5 menit setelahnya pintu rumah Raihan terlihat terbuka, lalu Sena keluar dari dalamnya.Dari jarak kurang dari 50 meter ini Raihan bisa melihat dandanan Sena yang ia anggap berlebih. Dengan dada yang mulai memanas Raian menarik nafas panjang, menghembusnya ke luar. Mobil yang membawa Sena keluar dari ujung gang sebelahnya. Raihan tak ingin kehilangan jejak bergegas ia masuk ke mobilnya, kendaraan beroda empat itu menuju jalan raya yang dilewati mobil itu. Tak Blbutuh waktu lama, hanya dalam waktu beberapa menit saja mobil
Sena merasakan kali ini nyalinya benar-benar ciut. Ia tak pernah melihat Raihan semarah ini sebelumnya. Bahkan berbulan-bulan menikah ini adalah kali pertamanya Raihan menyentuhnya dengan cara kasar seperti ini. Bulir-bulir bening ya tadi menggantung di pelupuk matanya ini meleleh, membuat pipi dengan polesan make up tebal itu kini basah oleh air mata. Entah itu air mata penyesalan, atau hanya sekedar cara agar Raihan mengasihani dirinya. "Aku mohon, maafkan aku, Bang," lirik Sena dengan suara bergetar. Detik ini ia merasakan ketakutan yang luar biasa ketika melihat wajah Raihan. Sena hawatir hidupnya akan berakhir hari ini di tangan suaminya sendiri. "Maaf kau bilang? Apa sebelum melakukannya kau sudah memikirkan tentang resiko dari perbuatanmu?" tanya Raihan dengan bibir menyunggingkan senyum sinis. "Kau tahu sudah berapa kali aku memberikan kesempatan itu untukmu? Hah!"Sena terdiam. Bibirnya terkunci rapat
"Benar Ternyata apa yang dikatakan Mama Tentangmu. Kau tahu, orang tuaku sebenarnya sudah ingin memberikan semua hak-hakku kembali. Namun karena kegilaanmu ini, mereka menahannya dan memintaku mencari tahu wajah aslimu yang sebenarnya. Ternyata kau memang bukan perempuan baik-baik!" Raihan kini melepaskan genggaman tangannya pada rambut Sena dengan kasar. Kini telunjuknya terarah tepat di depan wajah perempuan itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sena merutuki kebodohannya sendiri. Menyesali ketidaksabarannya menunggu waktu itu tiba. Jika saja ia bisa bersabar lebih lama lagi mungkin hidupnya tak akan senelangsa sekarang. "Sekarang kemasi barang-barangmu! Dan jangan pernah menampakan lagi wajah hinamu di hadapanku karena detik ini aku telah mentalakmu dengan talak 3!" Kalimat itu terdengar begitu lancar keluar dari bibir Raihan. Ia tak ingin kemarahannya membuat sisa kesabaran di hatinya habis. Khawatir tangannya bisa berbuat
Belum genap sepuluh menit Raihan keluar dari ruangan Naomi, kini pintu kembali diketuk. "Masuk!" seru Naomi sambil mengalihkan pandangan ke arah pintu. Deri—sekretaris Naomi muncul dari balik pintu. "Nanti sore ada jadwal meeting dengan perwakilan dari perusahaan Bumi Permai, Bu," ucap laki-laki berusia awal 25 tahun itu dengan santun. Naomi spontan menepuk pelan jidatnya. Ia sama sekali tak ingat tentang hal itu. Beberapa saat Naomi terlihat berpikir dengan jemari yang saling bertaut bertumpu di dagu, mengingat kembali pesan yang baru saja dikirimkan Faiq untuknya. "Tolong direschedule, Der. Aku ada keperluan nanti sore dan sepertinya akan pulang lebih awal hari ini," ucap Naomi akhirnya. "Baik, Bu. Saya undur diri," jawab laki-laki itu tanpa protes. Naomi hanya memberi isyarat lewat anggukan kepala. Selanjutnya ia kembali fokus pada layar PC di hadapannya.
"Maafkan aku, Na."Hanya kalimat itu yang masih mampu ia ucapkan dengan wajah yang kian tertunduk. "Aku tak pernah berniat untuk balas dendam, tapi ketahuilah, aku tak akan pernah mengulangi kebodohan serupa dengan orang yang sama. Aku harap ini adalah terakhir kalinya kau datang ke hadapanku untuk membicarakan hal senada." Naomi berucap dengan nada santai. Namun, terdengar begitu tegas. "Ini adalah pelajaran berharga buatmu, hargai sesuatu yang saat ini ada dalam genggaman, karena jika terlepas tak ada jaminan kau bisa kembali memilikinya." Lanjut Naomi penuh penekanan. Jauh di lubuk sana, Raihan membenarkan apa yang baru saja ia dengar, terlebih kini ia tengah merasakan hal itu. "Maafkan semua khilafku selama ini, Na." Raihan berucap lirih. "Semua sudah berlalu dan Allah telah memberikan kebahagiaan yang jauh lebih besar dari rasa kehilangan yang pernah menimpaku. Terima kasih telah memberiku
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp