Sena merasakan kali ini nyalinya benar-benar ciut. Ia tak pernah melihat Raihan semarah ini sebelumnya. Bahkan berbulan-bulan menikah ini adalah kali pertamanya Raihan menyentuhnya dengan cara kasar seperti ini.
Bulir-bulir bening ya tadi menggantung di pelupuk matanya ini meleleh, membuat pipi dengan polesan make up tebal itu kini basah oleh air mata. Entah itu air mata penyesalan, atau hanya sekedar cara agar Raihan mengasihani dirinya."Aku mohon, maafkan aku, Bang," lirik Sena dengan suara bergetar. Detik ini ia merasakan ketakutan yang luar biasa ketika melihat wajah Raihan. Sena hawatir hidupnya akan berakhir hari ini di tangan suaminya sendiri."Maaf kau bilang? Apa sebelum melakukannya kau sudah memikirkan tentang resiko dari perbuatanmu?" tanya Raihan dengan bibir menyunggingkan senyum sinis."Kau tahu sudah berapa kali aku memberikan kesempatan itu untukmu? Hah!"Sena terdiam. Bibirnya terkunci rapat"Benar Ternyata apa yang dikatakan Mama Tentangmu. Kau tahu, orang tuaku sebenarnya sudah ingin memberikan semua hak-hakku kembali. Namun karena kegilaanmu ini, mereka menahannya dan memintaku mencari tahu wajah aslimu yang sebenarnya. Ternyata kau memang bukan perempuan baik-baik!" Raihan kini melepaskan genggaman tangannya pada rambut Sena dengan kasar. Kini telunjuknya terarah tepat di depan wajah perempuan itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sena merutuki kebodohannya sendiri. Menyesali ketidaksabarannya menunggu waktu itu tiba. Jika saja ia bisa bersabar lebih lama lagi mungkin hidupnya tak akan senelangsa sekarang. "Sekarang kemasi barang-barangmu! Dan jangan pernah menampakan lagi wajah hinamu di hadapanku karena detik ini aku telah mentalakmu dengan talak 3!" Kalimat itu terdengar begitu lancar keluar dari bibir Raihan. Ia tak ingin kemarahannya membuat sisa kesabaran di hatinya habis. Khawatir tangannya bisa berbuat
Belum genap sepuluh menit Raihan keluar dari ruangan Naomi, kini pintu kembali diketuk. "Masuk!" seru Naomi sambil mengalihkan pandangan ke arah pintu. Deri—sekretaris Naomi muncul dari balik pintu. "Nanti sore ada jadwal meeting dengan perwakilan dari perusahaan Bumi Permai, Bu," ucap laki-laki berusia awal 25 tahun itu dengan santun. Naomi spontan menepuk pelan jidatnya. Ia sama sekali tak ingat tentang hal itu. Beberapa saat Naomi terlihat berpikir dengan jemari yang saling bertaut bertumpu di dagu, mengingat kembali pesan yang baru saja dikirimkan Faiq untuknya. "Tolong direschedule, Der. Aku ada keperluan nanti sore dan sepertinya akan pulang lebih awal hari ini," ucap Naomi akhirnya. "Baik, Bu. Saya undur diri," jawab laki-laki itu tanpa protes. Naomi hanya memberi isyarat lewat anggukan kepala. Selanjutnya ia kembali fokus pada layar PC di hadapannya.
"Maafkan aku, Na."Hanya kalimat itu yang masih mampu ia ucapkan dengan wajah yang kian tertunduk. "Aku tak pernah berniat untuk balas dendam, tapi ketahuilah, aku tak akan pernah mengulangi kebodohan serupa dengan orang yang sama. Aku harap ini adalah terakhir kalinya kau datang ke hadapanku untuk membicarakan hal senada." Naomi berucap dengan nada santai. Namun, terdengar begitu tegas. "Ini adalah pelajaran berharga buatmu, hargai sesuatu yang saat ini ada dalam genggaman, karena jika terlepas tak ada jaminan kau bisa kembali memilikinya." Lanjut Naomi penuh penekanan. Jauh di lubuk sana, Raihan membenarkan apa yang baru saja ia dengar, terlebih kini ia tengah merasakan hal itu. "Maafkan semua khilafku selama ini, Na." Raihan berucap lirih. "Semua sudah berlalu dan Allah telah memberikan kebahagiaan yang jauh lebih besar dari rasa kehilangan yang pernah menimpaku. Terima kasih telah memberiku
Ya, dirinya yang masih duduk di bangku SMA harus memendam rasa lantaran khawatir dianggap orang tuanya berlebih. Namun, perjuangannya tak sampai di situ, Faiq bahkan harus terus menahan rasanya hingga ia lulus kuliah dan bekerja. Restu itu tak kunjung ia genggam meski dirinya yang telah mampu mandiri. "Lantas, kenapa tidak mengatakannya sejak awal?" tanya Naomi menggoda Faiq. "Waktu itu Abang tak cukup nyali untuk mengatakannya padamu. Akhirnya Abang berniat untuk melupakanmu, dengan cara memendam semua rasa yang pernah hadir tanpa disadari. Namun, seiring berjalannya waktu rasa itu tak kunjung hilang, bahkan menemukan titik puncak ketika Abang sudah menyelesaikan kuliah dan bekerja. Akhirnya, Abang memberanikan diri untuk mengutarakan niat baik Abang untuk melamarmu waktu itu. Sayangnya, Mama sama Papa tak memberi restu." Faiq bercerita panjang lebar tetang perjalanan rasanya pada Naomi selama ini. "Kan, kalo Naomi tau sejak dulu kita bi
"Ish, udah, ah." Naomi berlalu sambil menahan senyum dengan wajah kembali merona. Berada dalam keadaan seperti sekarang membuatnyapun merasa hal serupa dengan laki-laki itu. Naomi berjalan masuk ketika Faiq sudah membukakan pintu untuknya. Memberi salam namun tak ada jawaban terdengar. Rumah berukuran sebesar ini sangat wajar jika salam dari pintu depan tak terdengar oleh penghuni rumah yang mungkin ada di dapur, kamar, atau di tempat yang lebih jauh jangkauannya dari pintu utama. Naomi melangkah disusul Faiq di belakangnya. Berjalan menuju ruang tengah, ruang makan dan menemukan Mama Reni di dapur bersama Bik Sita, pembantunya. Sedangkan Faiq memilih ke kamar tamu terlebih dahulu untuk menyimpan barang-barang milik Naomi di sana. Perempuan paruh baya itu tengah sibuk menyiapkan aneka menu untuk makan malam bersama calon menantunya. "Assalamualaikum, Tante!" seru Naomi kala punggung Mama Reni sudah nampak di
"Apakah impian kita berbeda?" tanya Naomi sambil menengadahkan kepalanya menatap langit malam yang tengah dihujani sinar rembulan bulat di atas cakrawala. "Impian Abang ingin menghabiskan waktu untuk membahagiakanmu, Na. Jangan bilang ini gombal, karena yang sebenarnya bahkan jauh lebih dari ini. Abang ingin menua bersamamu, sambil menikmati suara riuh tawa dari anak hingga cucu kita kelak.""Bagaimana jika seandainya kita ditakdirkan hanya berdua?" tanya Naomi lagi. "Kita nikmati nikmat yang ada. Kebahagiaan tak melulu tentang harta dan pewaris, Na. Kebahagiaan lebih pada bagaimana kita menikmati hidup, mensyukuri nikmat yang Allah titipkan untuk kita. Insya Allah Abang tak akan memaksa untuk itu. Abang hanya ingin kau persis seperti yang sudah-sudah. Mampu menjaga marwah sebagai seorang istri sebagaimana mestinya." Faiq berucap lembut. Tatapannya mengawang ke atas sana. Naomi masih bergeming dengan bibir mengulum senyum. Kurang dari dia menit setelahnya Mama Reni kembali dengan
"Om udah janji 'kan, mau beliin Sena hadiah kalo hari ini datang?." Sena bertanya dengan nada manja sambil bergelayut manja di dada dengan perut gembul itu. Marno memeluk perempuan itu sambil melirik sekeliling khawatir ada yang melihat ulah gila keduanya. "Sejak kapan Om ingkar janji sama kamu, Manis," jawab laki-laki itu dengan tatapan mesum sambil menuntun Sena untuk masuk. Baju dengan belahan dada rendah yang dikenakan Sena saat ini mampu membuat laki-laki hidung belang itu menelan ludahnya sendiri. Sebenarnya Marno memiliki istri dan 2 orang anak perempuan. Anak bungsu dan istri Marno tinggal di Kalimantan, sedangkan dirinya tinggal di Jakarta karena urusan pekerjaan dan si sulung kuliah di kota yang sama dengan tempat tinggalnya. "Ya, udah. Mana?" tanya Sena. Kali ini ia menengadah tangan kanannya di depan wajah laki-laki berusia awal 50 tahun itu. "Santai saja, Sayang. Habis layani Om, kamu bakal dapet double." Laki-laki itu terkekeh, membuat perut bergelambirnya bergerak
Dengan susah payah akhirnya Sena masuk ke dalam lemari. Hatinya begitu kesal dengan kedatangan anak sulung selingkuhannya itu. Marno bergegas mengenakan celana segi tiganya yang sedari tadi teronggok di lantai. Merapikan bentuk rambutnya yang semula acak-acakan. Dengan wajah yang masih sedikit pias ia berjalan menuju pintu depan. Membuka pintu sambil menguap panjang. "Lama banget sih, Pa, bukanya!" ketus Yeni dengan bibir mencetut. Gadis berparas manis dengan tubuh semampai itu nampak kesal. "Maaf, Kak. Papa kecapekan, jadi baru bangun," ucap Marno berbohong. Kaki Yeni tak sengaja menginjak sesuatu yang dirasa mengganjal, sebuah sandal wedges berwarna salem. Terdiam beberapa saat lalu berusaha acuh. Ia tak ingin bertindak sembrono. Marno yang mengetahui gerak-gerik sang anak kini kian getir. Kepalanya sibuk mencari alasan. "Temen Papa kemaren nitip sandal karena pas ke acara khitanan anak teman sekantor sandalnya nggak sengaja dipakai ibu-ibu waktu dia masuk rumah, jadi sandal
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp