Dengan susah payah akhirnya Sena masuk ke dalam lemari. Hatinya begitu kesal dengan kedatangan anak sulung selingkuhannya itu. Marno bergegas mengenakan celana segi tiganya yang sedari tadi teronggok di lantai. Merapikan bentuk rambutnya yang semula acak-acakan. Dengan wajah yang masih sedikit pias ia berjalan menuju pintu depan. Membuka pintu sambil menguap panjang. "Lama banget sih, Pa, bukanya!" ketus Yeni dengan bibir mencetut. Gadis berparas manis dengan tubuh semampai itu nampak kesal. "Maaf, Kak. Papa kecapekan, jadi baru bangun," ucap Marno berbohong. Kaki Yeni tak sengaja menginjak sesuatu yang dirasa mengganjal, sebuah sandal wedges berwarna salem. Terdiam beberapa saat lalu berusaha acuh. Ia tak ingin bertindak sembrono. Marno yang mengetahui gerak-gerik sang anak kini kian getir. Kepalanya sibuk mencari alasan. "Temen Papa kemaren nitip sandal karena pas ke acara khitanan anak teman sekantor sandalnya nggak sengaja dipakai ibu-ibu waktu dia masuk rumah, jadi sandal
"Apa kau sudah siap jika mamaku menggunakan jasa pembunuh bayaran untuk menghabisi mu?" tanya Yeni dengan sudut bibir terangkat membuat Sena bergidik ngeri. "Atau aku akan membuatmu meregang nyawa dengan penampilan memalukan sekalian?"Yeni menatap tajam wajah sang lawan yang kini nampak pucat. "Jangan macam-macam. Aku bisa melaporkan perbuatanmu!" "Apa kau merasa lebih berkuasa?" Yeni tak ingin kalah. Sena mati kutu. Perempuan itu kini mengambil ancang-ancang untuk kabur. Sayangnya, tangan Yeni mencekal gerakannya untuk kedua kalinya. "Kenapa buru-buru? Kau bisa bernegosiasi denganku jika kau mau," tawar Yeni dengan senyum licik. "Apa yang kau mau?" tanya Sena dengan wajah ngeri. "Uang." Yeni menjawab santai. Sejujurnya jauh di lubuk hatinya ia ingin perempuan di hadapannya itu meregang nyawa di tangannya detik ini juga. Namun, ia tak boleh gegabah, atau dirinyala
Yeni menimang-nimang uang senilai 10 juta di tangannya itu dengan senyum puas. Setidaknya ia bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi hak dirinya sebagai anak dari ayah bejatnya itu. "Siap! Jangan khawatir, aku bukan tipe perempuan yang dengan mudah ingkar janji."Yeni berucap dengan penuh penekanan. Iya tengah berusaha meyakinkan Sena melalui kalimatnya. Tanpa berucap sepatah kata lagi, sena beranjak dengan wajah makannya. Sebelumnya a sudah sangat bahagia karena kali ini ia mendapatkan bayaran double dari laki-laki hidung belang itu. Sayangnya, senyum itu kembali hambar dan kini berubah masam ketika bertemu Yeni. A*Faiq menatap lekat calon istrinya itu tanpa berkedip. Wajah cantik Naomi terlihat sempurna ketika tubuh indahnya berada dalam balutan gaun pengantin milik desainer ternama pilihan sang mama. "Calon istrimu terlihat sempurna dengan gaun ini," ucap sang desainer ta
Faiq memang belum sempat menyebarkan undangan via digital untuk teman-teman SMA-nya yang memang kebanyakan tinggal terpisah satu dengan yang lain. "Insya Allah sebentar lagi Naomi nggak jomblo lagi, Ra," ucap Faiq sambil menatap lekat wajah Naomi. Pembicaraan mereka terjeda ketika seorang pelayan mendekat. Membawa pesanan keduanya. "Oh, ya, mau pesen apa, Ra?" tanya Faiq berbasa-basi. "Nggak usah, Fa. Aku udah selesai. Barusan duduk di meja pojok sana." Aira menunjuk meja yang tadi ia tempati. "Oh, baiklah." Faiq menyodor red velvet dingin pesanan Naomi. "Minum dulu, Na," ucap Faiq dengan senyum termanisnya. Lalu mendekatkan minuman miliknya. Aira yang sedari tadi menatap lekat wajah Faiq merasakan sesuatu yang aneh saat laki-laki itu menatap pada Naomi. Tatapan itu terlihat tak biasa bagi Aira. Senyum dari bibir Faiq untuk Naomi di mata Aira terlalu
Naomi terdiam. Dulu Faiq memang sering membawanya untuk bertemu teman-temannya, termasuk Aira. Namun, ia tak pernah melihat sikap perempuan itu seperti yang diceritakan Faiq. "Apanya yang Naoni tak kenal? Sejauh penilaian naomi, Aira gadis baik-baik, cantik pula," ucap naomi sambil tersenyum tipis. Faiq tak langsung menjawab. Ia bergegas melaju kendaraan miliknya yang memang sedari tadi berada di bahu jalan karena tak ingin Aira lebih lama lagi melihat keberadaan mereka. "Itu karena Abang nggak pernah bercerita padamu bagaimana Aira mengambil langkah ketika sesuatu yang ia inginkan tak tercapai.""Maksud abang?" tanya naomi dengan wajah heran. "Kau kenal Nania?" tanya Faiq. Matanya tertuju pada jalanan aspal yang membentang lurus hingga ke depan sana. "Nggak," ucap Naomi sambil menggeleng pelan. "Kau tahu kan, jika Aira sejak dulu sudah menaruh rasa pada Abang?" tanya Faiq masih d
Beberapa saat Naomi menundukkan pandangannya, memejamkan matanya, menikmati perasaan haru yang kini menyelimuti hatinya. 'Ya, Rabb, aku hanya meminta agar Engkau jadikan ini cinta terakhirku. Cinta yang mampu mendekatkanku dengan-Mu. Cinta yang mampu membawaku ke dalam syurga-Mu,' lirih hati Naomi berbisik. Harapannya terhadap Faiq sungguh begitu besar. Harapan yang sama yang pernah ia pinta kala bersama Raihan dulu. Raihan? Laki-laki itu tak nampak ada di antara para tamu undangan. Mungkin laki-laki itu tengah merasakan patah hati yang lebih parah dari yang pernah Naomi rasakan dulu. Pun dengan Aira, perempuan itu tak menampakkan batang hidungnya meski surat undangan sudah disampaikan Faiq via online. Acara pembukaan dimulai. Seorang qori dengan suara merdu serta kaidah tajwid yang mumpuni mengalunkan kalam Tuhan itu dengan begitu indah menembus nurani. Semua khusyuk mendengarkan, menikmati ka
"Berjanjilah untuk menjaga cinta ini sampai akhir," bisik Naomi membuat Faiq membuka mata. Kedua netra laki-laki itu nampak berkaca-kaca membuat Naomi menautkan kedua alis dengan kepala bertanya-tanya. Ini adalah kali pertama ia melihat Faiq menampakan wajah sesendu ini. Sebelumnya bahkan saat ia harus kembali merantau karena tengah berusaha melupakan Naomi dulu Faiq masih bisa menahan wajah sedihnya di hadapan Naomi. Tapi bukan, ini bukanlah kesedihan, melainkan haru yang sejak di pelaminan tadi ia tahan dan kini menemukan puncak. Faiq kembali mendekap tubuh Naomi. Menikmati setiap detak jantung seirama serta desir hati yang serupa. Kini cinta keduanya menyatu dalam halal. Bibir Faiq terkunci rapat. Tangannya kini mengusap belakang kepala sang istri lembut. Begitu lama, seolah ia tak membiarkan waktu merampas rasa bahagia dan damai yang kini memenuhi relung hatinya. Naomi tak berniat melerai pelukannya, bahk
Gegas ia berjalan menuju koper, mengambil satu setel pakaian santai dari dalamnya. Meletakkan pakaian miliknya di atas tempat tidur berukuran king size itu, lalu beranjak ke kamar mandi. Dari sini Naomi bisa mendengar samar air yang mulai jatuh ke permukaan lantai kamar mandi hotel. Usai membersihkan riasan di wajahnya, Naomi menyiapkan pakaian ganti mikiknya. Berniat untuk mandi karena kulit yang sudah terasa lengket. Faiq ke luar dengan handuk tesampir di antara pusar dan lutut membuat senyum geli terukir di bibir indah Naomi. "Abang nggak ngerasa malu sama Naomi?" tanya Naomi dengan dahi berkerut. Ia sedikit heran dengan Faiq yang menurutnya begitu mudah menyesuaikan dengan status mereka yang sekarang. Faiq hanya tersenyum. Laki-laki itu berjalan mendekat."Mandilah! Setelah shalat nanti Abang akan meminta hak Abang terhadap istri Abang," ucap Faiq. Sekali lagi kecupan lembut mendarat di keni
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp