Gegas ia berjalan menuju koper, mengambil satu setel pakaian santai dari dalamnya. Meletakkan pakaian miliknya di atas tempat tidur berukuran king size itu, lalu beranjak ke kamar mandi.
Dari sini Naomi bisa mendengar samar air yang mulai jatuh ke permukaan lantai kamar mandi hotel.Usai membersihkan riasan di wajahnya, Naomi menyiapkan pakaian ganti mikiknya. Berniat untuk mandi karena kulit yang sudah terasa lengket.Faiq ke luar dengan handuk tesampir di antara pusar dan lutut membuat senyum geli terukir di bibir indah Naomi."Abang nggak ngerasa malu sama Naomi?" tanya Naomi dengan dahi berkerut. Ia sedikit heran dengan Faiq yang menurutnya begitu mudah menyesuaikan dengan status mereka yang sekarang.Faiq hanya tersenyum. Laki-laki itu berjalan mendekat."Mandilah! Setelah shalat nanti Abang akan meminta hak Abang terhadap istri Abang," ucap Faiq. Sekali lagi kecupan lembut mendarat di keniFaiq melipat tangan kirinya dengan telapak tangan menjadi penyangga wajah. Menarik tubuh Naomi supaya menghadap padanya. Menatap lekat wajah cantik yang sedari tadi tak henti mengulas senyum. "Kau tahu, apa saja yang menjadi mimpi Abang selama ini?" tanya Faiq. Tangan kanannya mengusap pelan wajah Naomi, menikmati senyuman kulit tangannya di wajah lembut yang seolah tanpa cela itu. Naomi menggeleng pelan. "Inilah salah satu dari mimpi Abang, Na," ucap Faiq lembut. Naomi mengerutkan dahi, pertanda ia tak paham. "Salah satu mimpi Abang adalah menatap wajahmu dari jarak sedekat ini," jawab Faiq dengan wajah penuh binar bahagia. Naomi hanya menjawab dengan senyum termanisnya. "Kau begitu cantik, Na," bisik Faiq dengan hati berdesir hebat. "Apakah Abang tengah berusaha menggodaku?" tanya Naomi dengan senyum menggoda. Faiq tak lagi menjawab. Kini didekatk
"Maksud Om?" tanya Sena dengan denga alis bertaut. "Fisiknya saja perempuan, tapi mentalnya laki-laki. Yeni bahkan pernah menghajar janda sebelah rumah waktu aku masih kerja di kalimantan dulu, padahal belum terbukti aku membawa perempuan itu bersamaku seperti ini." Maro berusaha menjelaskan.Sena nampak pias. Bayangan dihajar anak Marno berpenampilan tomboy itu membuatnya susah patah menelan ludahnya sendiri. Sena merenggangkan pelukannya di tubuh Marno. Menatap lekat laki-laki itu dengan gundah. "Apa lebih baik Sena pulang saja sekarang?" tanya Sena dengan mimik wajah getir. Marno berusaha mengendurkan wajah yang semula tegang, lalu tersenyum nakal. "Tenang, Sen. Untuk kali ini tak apa kita bersenang-senang terlebih dahulu karena Yeni juga sedang di kalimantan," ucap Marno tak ingin pertemuannya kali ini sia-sia mengingat hasratnya pada barang haram di sampingnya itu sejak tadi membuncah.
"Naomi nggak akan pergi jika Ayah masih tetap ingin tinggal di sini. Naomi sadar Bang Faiq adalah imam bagi Naomi, imam yang harusnya Naomi patuhi semua titahnya selagi itu tak melanggar syari'at agama kita, tapi Naomi juga tak mungkin meninggalkan Ayah dengan usia sekarang dan kesehatan seperti sekarang." Suara perempuan itu terdengar serak. Ia tak sanggup membayangkan jika hal buruk terjadi sedang sang ayah hanya sendiri. Dua laki-laki itu terdiam. Faiq menggenggam erat jemari sang istri, berusaha menguatkan perempuan yang begitu ia sayangi saat ini. "Naomi tahu, kebanyakan para orang tua memang tak suka tinggal di rumah anak-anak mereka, tapi Naomi hanya memiliki cara ini untuk menunjukkan bakti Naomi terhadap Ayah."Kedua mata itu kini berkaca-kaca, sesaat kemudian kepalanya tertunduk. Tergurat sedih di hati laki-laki tua itu karena merasa dirinyalah penyebab Naomi terluka. "Maafkan Ayah," lirih laki-lak
"Naomi bisa sendiri," jawab Naomi masih dengan wajah murung. Faiq menarik tangan sang istri. Menggandengnya masuk setelah menutup pintu mobil. Naomi merasa selalu diratu-kan kala bersama Faiq. Namun, tetap saja pikiran tentang sang ayah masih belum mampu membuat senyumnya mengembang. "Istirahatlah di sini, Sayang. Abang mau nurunin barang-barang dalam mobil terlebih dahulu," ucap Faiq sambil mengecup lembut kening sang istri. Naomi mengangguk pelan pertanda setuju, hingga akhirnya Faiq beranjak ke luar. Membaringkan tubuhnya di atas ranjang berukuran king size di kamar utama rumah itu. Memeluk guling empuk berisi itu, lalu menutupi wajah dengan ujung pashmina yang ia kenakan. Sepuluh menit berselang Faiq kembali ke kamar, tangannya menyeret dua koper milik Naomi, meletakkannya di sudut ruangan. Dengan hati-hati Faiq mendekat lalu duduk di dekat kepala sang istri. Pelan tangan kir
Belum sempat Naomi menjawab, bibir sang suami telah menyatu dengan bibirnya. Menciptakan rasa hangat penuh gairah. "Kau masih lelah?" tanya Faiq setelah melepas tautan bibirnya dari bibir sang istri. "Nggak juga, cuma 'kan, Naomi baru saja mandi," ucap Naomi dengan senyum kecut. "Kan, bisa mandinya nanti siang. Atau kau bisa meminta Abang melakukannya," bisik Faiq lalu terkekeh pelan. Naomi tertawa cukup keras mendengar kalimat barusan. Suaminya itu seolah tak kehabisan cara untuk menggodanya. "Tak perlu basa-basi jika memang mau. Atau Abang akan menyesal jika Naomi pura-pura tak berminat," balas Naomi sambil terkekeh. "Kau akan tau akibatnya jika membuat Abang gemas terhadapmu."Dengan cepat Faiq meraih tubuh Naomi. Menciumi setiap inci wajah itu. Tangannya bergerak liar menggelitiki area perut hingga area bawah dagu.Naomi berusaha menghindar, namun ia kalah kuat,
"Apakah Mama mengizinkanku untuk tinggal di sini?" tanya Raihan dengan wajah sendu. Sejak berpisah dari Sena membuat laki-laki itu kian sepi, meski hatinya kini lega karena tak ada lagi yang memasang muka masam saat dirinya pulang setelah seharian bekerja. "Lalu rumahmu?" tanya Mama Maya dengan alis bertaut. "Entahlah. Aku ingin tinggal di sini dulu," ucap Raihan tak bersemangat. "Ya sudah, nanti Mama akan sampaikan pada Papa," ucap Mama Maya. Tak sanggup ia menolak permintaan anak bungsunya itu. Suara deru mobil terdengar memasuki garasi luas yang terdapat di sisi kiri rumah itu meski samar. "Papamu sudah pulang. Sekarang kau mandilah, Mama akan menyampaikannya nanti malam. Mama rasa Papa juga tak memiliki alasan untuk tak setuju." Mama Maya bangkit, berjalan untuk menyambut kedatangan sang suami yang baru saja pulang dari kantor cabang di kota sebelah yang kini dipimpin oleh putra sulungnya.
Susah payah Marno menelan ludahnya sendiri, kedatangan Yeni di saat tak tepat ini membuat tubuh Marno yang semula terasa segar kini menjadi panas dingin. Dengan cepat ia berjalan menuju pintu, menguncinya dari dalam. Laki-laki itu gemetaran. Jika dilihat dari postur tubuh tak semestinya ia menjadi pecundang seperti sekarang. Namun, dari segi kekuasaan dalam rumah tangga, istrinya lebih segalanya. Santi istrinya adalah anak dari pengusaha tekstil tempat ia bekerja. Marno di jakarta pun atas kepercayaan mertuanya untuk mengawasi perusahaan cabang milik keluarga Santi. "Mana laki-laki itu?!" tanya Yeni dengan nada membentak. Melihat ada kesempatan, Sena bergegas berlari ke kamar di mana Marno berada. Ia tak ingin menanggung sakit ini sendiri saja tanpa melawan atau menemukan pembelaan. Sayangnya, tangan Santi mencekal kuat tangan Sena lalu menghempaskan perempuan itu kembali ke sofa. "Diam di sini
"Kumohon, ampuni aku. Aku berjanji tak akan mengulangi hal serupa," ucap Sena dengan wajah basah oleh air mata. "Seharusnya pertemuanmu dengan Yeni pertama kalinya membuat akhir dari perbuatan biadab kalian!" Santi mengeram. Tangannya menggenggam erat gunting berukuran cukup besar dengan gagang coklat itu. Emosi perempuan itu kian memuncak. Tanpa menunggu lebih lama, tangan kirinya mencengkram rambut Sena sedang tangan kanannya memanfaatkan gunting yang sejak tadi menganggur kepada pungsi semestinya. Krek! Krek! Krek! Benda tajam yang berfungsi sebagai alat pemotong itu kini dengan lihai membabat rambut berwarna tak alami itu. Sena menjerit histeris ketika menyadari gumpalan-gumpalan rambutnya teronggok di lantai. Rambut yang selalu ia rawat dengan harga mahal itu kini tak lagi berarti ketika terpisah dari akarnya. Ingin rasanya ia mengelak, berharap masih belum terlalu parah. Namun, baru saja
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp