"Kumohon, ampuni aku. Aku berjanji tak akan mengulangi hal serupa," ucap Sena dengan wajah basah oleh air mata.
"Seharusnya pertemuanmu dengan Yeni pertama kalinya membuat akhir dari perbuatan biadab kalian!" Santi mengeram. Tangannya menggenggam erat gunting berukuran cukup besar dengan gagang coklat itu.Emosi perempuan itu kian memuncak. Tanpa menunggu lebih lama, tangan kirinya mencengkram rambut Sena sedang tangan kanannya memanfaatkan gunting yang sejak tadi menganggur kepada pungsi semestinya.Krek! Krek! Krek!Benda tajam yang berfungsi sebagai alat pemotong itu kini dengan lihai membabat rambut berwarna tak alami itu.Sena menjerit histeris ketika menyadari gumpalan-gumpalan rambutnya teronggok di lantai. Rambut yang selalu ia rawat dengan harga mahal itu kini tak lagi berarti ketika terpisah dari akarnya.Ingin rasanya ia mengelak, berharap masih belum terlalu parah. Namun, baru sajaHari berlalu terasa begitu cepat bagi Naomi maupun Faiq. Indahnya memadu kasih sebagai pasangan pengantin baru membuat keduanya larut dalam perasaan serupa, hingga antara hasrat dan cinta terasa begitu sulit untuk dibedakan. Hari ini tepat sebulan sudah pernikahan mereka dan perlakuan Faiq terhadap Naomi tak ada yang berubah."Apa kau tak berniat untuk berbulan madu, Na?" tanya Faiq sambil mengangkat kepala Naomi untuk bersandar di lengannya. Keduanya tengah bersantai di balkon kamar malam ini. Menghabiskan waktu ditemani teh hangat, di bawah sinar bulan yang nampak bulat sempurna. Naomi menoleh ke arah sang suami, lalu tersenyum lembut. Saat seperti sekarang adalah saat yang paling ia rindukan. Ia tak pernah bosan melakukannya bahkan untuk setiap harinya. "Bagi Naomi tak ada bedanya di manapun, asal bersama Abang," ucapnya sambil mengerat pelukannya di tubuh Faiq. Ia bukan tengah menggoda sang suami, melainka
Naomi ikut diam, sambil menelisik raut wajah Faiq. "Kenapa baru mengatakannya sekarang?" tanya Faiq setelah beberapa saat terdiam. Senyumnya seketika mengembang. "Abang tak keberatan?" tanya Naomi dengan raut wajah sendu. Faiq meraih tangan Naomi, menangkupkan di wajahnya. "Bahkan jika kau meminta lebih dari itu Abang tak perlu merasa keberatan, Na." Faiq mengecup jemari Naomi lembut. "Apa kau tau jika ini tak sebanding dengan rasa syukur Abang karena kau telah menerima perasaan Abang dengan baik," ucap Faiq, membuat wajah Naomi bersemu merah. Keduanya asik berbincang, sesekali Faiq menggoda Naomi, hingga tanpa terasa malam kian beranjak ke tengah. Angin dingin kian menusuk tulang, terlebih Naomi yang hanya mengenakan baju tidur berbahan tipis dengan celana selutut. Di rumah ini ia memang terbiasa mengenakan pakaian pendek, karena hanya ada dirinya dan Faiq saja. N
Pintu ruangan Naomi diketuk. Wajah manis gadis berkulit kuning langsat yang kini menjadi sekretarisnya menyembul dari balik pintu. Dua minggu yang lalu Deri—sekretaris Naomi yang lama mengundurkan diri dengan alasan diminta sang ayah meneruskan perusahaan milik keluarga. Sejujurnya Naomi suka dengan kinerja pemuda itu. Deri masih sangat muda, tapi sangat telaten dalam bekerja. "Duduk!" perintah Naomi ketika Raya melangkah mendekat. Gadis dengan kemeja putih berkerudung pashmina berwarna moka itu menurut. Menarik kursi lalu duduk di atasnya. "Kamu sudah tau apa saja tugasmu sekarang?" tanya Naomi pada gadis berdarah Sunda di hadapannya. "Ibu Susi sudah menjelaskannya tadi pagi, Bu," ucapnya santun. "Baguslah. Untuk schedule hari ini apa Ibu Susi sudah menjelaskannya?" tanya Naomi lagi. Susi adalah karyawan senior yang paling ia percaya di kantor ini. Setelah Deri resign, Susi lah
Naomi meletakkan ponselnya setelah telepon berakhir. Terkadang Naomi merasa risih dengan sikap Faiq, hanya saja ia paham jika itu adalah bagian dari perhatian laki-laki itu terhadapnya. Sekali lagi Naomi melirik pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Tepat pukul setengah dua siang. Harusnya ia memang sudah menghabiskan sepiring makan siang hari ini. Selama menikah dengan Faiq, ini kali pertama Naomi merasa keadaan tubuhnya tak nyaman. Selama menikah, Faiq dengan telaten menyiapkan vitamin untuk dikonsumsi sang istri. Bahkan ia akan mengingatkan Naomi untuk meminumnya di jam-jam tertentu. Naomi merasakan hidupnya jauh berbeda sejak menikah dengan Faiq. Di awal-awal pernikahan ia pernah membandingkan antara Faiq dan Raihan dan hasilnya mereka berdua sangatlah jauh berbeda. Jika membandingkan tentang Fisik, Raihan tak kalah tampan, hanya saja sikap keduanya jauh berbeda. Raihan terkesan acuh dengan hal-hal yang ia angga
"Maksud Abang?" tanya Naomi. "Tunggu sebentar," ucap Faiq sambil mengecup pipi kanan sang istri, lalu beranjak menuju kamar. Naomi melepas kepergian Faiq dengan tatapan tak mengerti. Setelah kepergian Faiq, Naomi kembali mencoba makan. Namun, hasilnya sama saja. Rasa mual seketika datang ketika bulatan olahan daging giling itu sukses digigitnya. Aroma bumbu tumisan yang berasal dari kuahnya tak kalah menyengat, membuat mual kian menjadi-jadi. Akhirnya Naomi memilih meneguk kembali jus jambu yang tadi masih tersisa setengah, setelah tak kunjung bisa memaksa untuk makan. Beberapa menit kemudian Faiq kembali. Senyum di bibirnya masih sama seperti tadi. "Kau tau apa ini?" tanya Faiq kala memamerkan sesuatu dalam bungkusan kecil di tangannya. "Alat tes kehamilan," jawab Naomi dengan alis bertaut. "Yup, bener banget. Mau coba?" tanyanya dengan alis naik turun. Bibirnya tak henti menguar senyum. Ia berdiri dengan sebelah tangan bertumpu pada sandaran kursi jati yang Naomi duduki, sed
Haru terasa kian menyeruak memenuhi rongga dada. Beberapa saat setelahnya Faiq memejamkan mata dengan wajah menengadah. Kebahagiaannya karena memiliki Naomi kini berlipat ganda, ketika tahu jika istrinya itu positif hamil. Ia menghambur memeluk Naomi. Kembali mendekap erat tubuh yang kini mematung di hadapannya. "Kau benar-benar hamil, Na," bisiknya dengan suara bergetar. Keduanya berpelukan cukup lama. Faiq seolah enggan melepaskan sang istri, hingga akhirnya Naomi merenggangkan pelukannya. Bibir perempuan itu terkunci. Perasaan haru membuat lidahnya terasa kelu. Sejak dulu ia berharap bisa hamil. Bisa merasakan bagaimana menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu yang sempurna, hingga akhirnya semua impiannya terwujud. "Nginep di rumah Mama yuk nanti malem," pinta Faiq dengan wajah sumringah. Ia berkeinginan untuk mengatakan kabar baik ini pada orang tuanya. "Bo
Naomi tampak berpikir beberapa saat, namun akhirnya mengangguk pelan. Pekerjaan di kantor memang tengah menumpuk, tapi ia pun tak ingin mengabaikan saran Faiq selaku suaminya. Lagi pula apa yang disarankan Faiq memang benar. Masa awal kehamilan memang tak dianjurkan untuk terlalu lelah. "Baiklah, kalau begitu sholat dulu. Abang ke masjid dulu. Tunggu Abang pulang," ucap Faiq sambil mengecup kening sang istri, kemudian berlalu pergi. *Naomi beranjak setelah selesai sholat subuh. Setelah meletakkan perlengkapan sholatnya di atas nakas, ia berjalan menuju jendela yang berbatasan dengan balkon kamar. Tangan mulusnya menyibak jendela kamar yang sebelumnya menutup jendela dari plafon kamar hingga menjuntai ke lantai. Matahari mulai terbit di ufuk timur. Semburat cahaya perlahan membuat terang alam yang sebelumnya tampak masih gelap. Rembulan yang tampak bulat sempurna perlahan mengabur, kalah oleh terpaan sinar matahari yang jauh lebih terang. Naomi membuka pintu menuju balkon, memi
Dengan malas Raihan turun dari mobilnya, berjalan gontai masuk rumah. Suara tawa renyah mengurai dari arah ruang makan. Raihan memilih langsung naik ke lantai atas untuk mandi terlebih dahulu. Sayangnya, baru saja ia hendak melepas kemeja biru muda yang tadi ia pakai, pintu kamarnya diketuk. "Masuk!" seru Raihan. Ia tahu itu pasti sang mama. "Kenapa nggak langsung ke ruang makan, Han?" tanya sang mama sambil duduk di sisi ranjang. "Raihan mau mandi dulu, Ma, nggak enak kan kalo badan keringetan kayak gini," timpal Raihan. "Ya sudah, segeralah mandi, Mama tunggu di ruang makan, ya," balas Mama Maya sambil menpuk pundak putra bungsunya itu. "Iya, Ma," jawab Raihan sambil memutar bola mata malas. Mala melangkah pergi sedangkan Raihan langsung ke kamar mandi. Jujur ia tak suka jika harus dijodohkan dengan Melodi. Ia tau ini adalah cara sang mama untuk menjodohkannya dengan perempuan itu meski tak mengatakannya secara langsung. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai d
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp