Dengan malas Raihan turun dari mobilnya, berjalan gontai masuk rumah. Suara tawa renyah mengurai dari arah ruang makan. Raihan memilih langsung naik ke lantai atas untuk mandi terlebih dahulu. Sayangnya, baru saja ia hendak melepas kemeja biru muda yang tadi ia pakai, pintu kamarnya diketuk. "Masuk!" seru Raihan. Ia tahu itu pasti sang mama. "Kenapa nggak langsung ke ruang makan, Han?" tanya sang mama sambil duduk di sisi ranjang. "Raihan mau mandi dulu, Ma, nggak enak kan kalo badan keringetan kayak gini," timpal Raihan. "Ya sudah, segeralah mandi, Mama tunggu di ruang makan, ya," balas Mama Maya sambil menpuk pundak putra bungsunya itu. "Iya, Ma," jawab Raihan sambil memutar bola mata malas. Mala melangkah pergi sedangkan Raihan langsung ke kamar mandi. Jujur ia tak suka jika harus dijodohkan dengan Melodi. Ia tau ini adalah cara sang mama untuk menjodohkannya dengan perempuan itu meski tak mengatakannya secara langsung. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai d
“Maaf, Pak, saya tadi nggak liat Bapak karena lagi berbincang sama Rani,” ucap Raya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Sekilas ia melirik ke arah Rani yang kini segera berlalu dengan melempar senyum serta alis naik-turun.Bukan rahasia lagi jika sebenarnya Raihan adalah anak dari pemilik perusahaan ini, pun tentang masa lalu antara Naomi dan Raihan, bahkan Raya yang baru bekerja seminggu di sini saja sudah tau tentang itu. itu pula yang membuat gadis cantik dengan kulit seputih pualam itu segan.Raihan mengalihkan pandangannya dari Raya, lalu sibuk merapikan kertas yang berceceran di lantai tanpa sepatah katapun. Setelahnya ia bangkit, Raya pun melakukan hal serupa setelah selesai merapikan berkas miliknya.Raya melepas kepergian Raihan dengan tatapan aneh. Ya, sangat aneh menurutnya, di mana kabar yang ia dengar tentang Raihan berbanding terbalik dengan apa yang ia lihat saat ini.*Jam istirahat siang Raya memilih untuk makan di warung soto tak jauh dari kantor mereka b
"Ih, apaan, sih? Kayak nggak ada buat yang dibahas aja," protes Raya sambil mendorong mangkuk serta piring bekas makan miliknya ke tengah meja. “Nggak apa-apa, Ra, aku udah lama nggak liat Pak Raihan liatin cewek kayak gitu,” balas Rani dengan mengulum senyum.“Maksudmu, Ran?” Kali ini Raya menatap lekat pada sepupunya itu. Rani menyudahi makan siangnya kali ini dengan mengelap mulutnya dengan tisu. Setelah menyedot es teh hingga tandas dari gelasnya, ia menegakkan punggungnya dengan bibir tersenyum tipis.“Begitulah, Ra, sejak berpisah dari Ibu Naomi, Pak Raihan memang banyak berubah. Itu yang aku lihat, Ra. Awal-awal mereka berpisah Pak Raihan sering mengajak rujuk, tapi Ibu Naomi memilih untuk mengakhiri semuanya dan akhirnya menikah dengan suaminya yang sekarang,” cerita Rani.“Padahal klop banget, ya, kalo mereka sama-sama, cantik sama ganteng, satunya pimpinan perusahaan cabang, sedang satu lagi anak pimpinan perusahaan,” timpal Raya dengan mata berbinar.“Suami Ibu Naomi sek
Raya tersentak ketika menyadari kalau itu adalah Raihan. Perempuan itu tertegun di tempatnya berdiri. Hingga akhirnya suara Raihan kembali menyadarkannya.“Mau sampai kapan kamu bengong di situ?” tanya Raihan dengan nada dingin.Untuk kedua kalinya Raya tersentak, kali ini ia tersadar, lalu bergegas menuju mobil Raihan.“Aku bukan taksi online!” celetuk Raihan ketika melihat Raya membuka pintu belakang lewat kaca spion.“I–iya, Pak,” ucap Raya terbata. Lalu bergegas menutup pintu mobil bagian belakang dan membuka pintu bagian depan.Dengan perasaan canggung ia duduk tepat di samping Raihan, kemudian mobil segera melaju setelah Raya menutup pintu mobil dan mengenakan sabuk pengaman.“Katakan alamat rumahmu,” ucap Raihan bernada tanya tanpa menoleh ke aras gadis itu. Raya kemudian menyebutkan suatu alamat tempat tinggalnya sekarang. Tempat tinggal yang ia tempati sejak seminggu lalu. Bermenit-menit setelahnya suasana hanya hening. Raihan fokus melajukan mobilnya menuju alamat yang dis
Raya menatap aneh sepupunya itu. Baginya tak ada yang aneh dengan perkara Raihan mengantarnya pulang tadi. "Emangnya kenapa, sih, Ran? Perkara nebeng aja sampai segitunya," cibir Raya sambil mengambil bungkusan nasi goreng yang tadi dibeli Rani untuknya.Rani memicingkan matanya, gemas dengan sikap acuh sepupunya itu. "Heh, Pak Raihan nggak pernah lagi bersikap ramah sejak beberapa bulan terakhir, Ra. Dulu Pak Raihan terbilang ramah, Ra, tapi sejak berpisah dari istri keduanya dia berubah lebih dingin.""Kabarnya istri barunya juga ternyata selingkuh. Karena menyesal akhirnya Pak Raihan meminta untuk rujuk sama Ibu Naomi, tapi Ibu Naomi nggak mau. Akhirnya hingga kini Pak Raihan masih sendiri. Istri barunya sampai saat ini tak ada kabar. Kabar terakhir mereka sudah bercerai sejak lama." Cerita Rani dengan wajah serius. Raya duduk lesehan di atas lantai sambil menghadap nasi goreng yang sudah dibuka di atas piring beralaskan bungkusan nasi. "Kamu, kok, tau semua, Ran? Cocok banget j
Sinar matahari pagi terasa menghangat di kulit saat jam di dinding ruang makan masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Naomi tengah sibuk membuka pesanannya, berupa aneka lauk dan kue. Sejak kemarin ia sudah sibuk memesan aneka makanan yang rencananya akan dibawa untuk berkunjung ke rumah sang ayah. Sejujurnya itu bukan hanya untuk sang ayah, tapi Naomi sengaja menyiapkan untuk Bik Ira dan tetangga dekat Ayah Dayat. Setiap Minggu pagi seperti sekarang ini Noami nampak bersemangat untuk bangun pagi. Bahkan saat ini ia sudah siap dengan box-box berisi aneka makanan yang akan ia bawa. Ya, Naomi dan Faiq berniat berkunjung ke rumah Ayah Dayat hari ini, persis seperti hari-hari Minggu sebelumnya. Hampir setiap Minggu mereka melakukannya. Biasanya Naomi akan memberi kabar jika ada halangan untuk mengunjungi sang ayah. Tangannya dengan ringan menata box-box makanan yang semula di atas meja ke dalam box besar agar mudah di bawa. Meski sang ayah selalu mengatakan agar jangan repot-repot membaw
Beberapa detik setelahnya tetap tak ada jawaban. "Kok, tiba-tiba diem?" tanya Faiq sambil melirik sekilas ke arah Naomi. Terdengar helaan napas panjang dari bibir Naomi. "Semoga dia sadar kalo Abang udah nikah," lirih Naomi tanpa melihat pada lawan bicaranya. Mendengar ucapan Naomi Faiq tersenyum geli. Kalimat bernada cemburu itu membuatnya merasa dihargai. "Kau percaya Abang?" "Apakah kepercayaan cukup untuk membuat laki-laki setia pada pasangannya? Toh, nyatanya kepercayaan penuhku dulu pun dibalas pengkhianatan," keluh Naomi dengan wajah muram. "Hey, kenapa, sih? Kok, jadi sensi gini? Ini Abang, Sayang. Sudah Abang katakan, laki-laki tak semuanya sama. Memang kita tak pernah tau garis takdir, hanya saja kita bisa berusaha untuk menjaga hati agar tak berpaling." Faiq berusaha menjelaskan dengan suara pelan. "Entahlah …."Merasa tak nyaman dengan jawaban Naomi membuat Faiq akhirnya menghentikan mobilnya di sisi jalan. Diraihnya tangan Naomi, lalu menggenggamnya lembut. Sebag
Seketika degup jantungnya berkejaran kala melihat Inez yang kini tengah sibuk menyusun aneka kue dari nampan di tangannya ke etalase. Banyak yang berubah dengan perempuan itu. Pastinya tak lagi berpenampilan terbuka seperti dulu. Belum lagi kini ia lebih memilih kerja keras ketimbang memanfaatkan tubuhnya untuk mencari uang. Namun entahlah, apakah dalamnya sama seperti yang tampak dari luar. "Kenapa malah bengong?" tanya Melodi. Sejak tadi ia memperhatikan perubahan sikap Raihan setelah melihat Sena. Raihan tergagap. Segera ia memasang wajah sebiasa mungkin, meski hasilnya ia tetap tak bisa membohongi perempuan itu. "Kau saja yang turun. Bilang saja mau ambil pesanan Ibu Maya," perintah Raihan dengan wajah datar. Ia melirik sekilas ke arah Melodi yang kini menatap lekat ke arahnya. Melodi nampak mengerutkan dahi. Lalu menatap Raihan dan Sena bergantian. "Kau kenal perempuan itu?" tanya Melodi dengan wajah ingin tahu. Cara Raihan menatap Sena membuat hatinya tergelitik untuk bert
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp