Raya menatap aneh sepupunya itu. Baginya tak ada yang aneh dengan perkara Raihan mengantarnya pulang tadi. "Emangnya kenapa, sih, Ran? Perkara nebeng aja sampai segitunya," cibir Raya sambil mengambil bungkusan nasi goreng yang tadi dibeli Rani untuknya.Rani memicingkan matanya, gemas dengan sikap acuh sepupunya itu. "Heh, Pak Raihan nggak pernah lagi bersikap ramah sejak beberapa bulan terakhir, Ra. Dulu Pak Raihan terbilang ramah, Ra, tapi sejak berpisah dari istri keduanya dia berubah lebih dingin.""Kabarnya istri barunya juga ternyata selingkuh. Karena menyesal akhirnya Pak Raihan meminta untuk rujuk sama Ibu Naomi, tapi Ibu Naomi nggak mau. Akhirnya hingga kini Pak Raihan masih sendiri. Istri barunya sampai saat ini tak ada kabar. Kabar terakhir mereka sudah bercerai sejak lama." Cerita Rani dengan wajah serius. Raya duduk lesehan di atas lantai sambil menghadap nasi goreng yang sudah dibuka di atas piring beralaskan bungkusan nasi. "Kamu, kok, tau semua, Ran? Cocok banget j
Sinar matahari pagi terasa menghangat di kulit saat jam di dinding ruang makan masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Naomi tengah sibuk membuka pesanannya, berupa aneka lauk dan kue. Sejak kemarin ia sudah sibuk memesan aneka makanan yang rencananya akan dibawa untuk berkunjung ke rumah sang ayah. Sejujurnya itu bukan hanya untuk sang ayah, tapi Naomi sengaja menyiapkan untuk Bik Ira dan tetangga dekat Ayah Dayat. Setiap Minggu pagi seperti sekarang ini Noami nampak bersemangat untuk bangun pagi. Bahkan saat ini ia sudah siap dengan box-box berisi aneka makanan yang akan ia bawa. Ya, Naomi dan Faiq berniat berkunjung ke rumah Ayah Dayat hari ini, persis seperti hari-hari Minggu sebelumnya. Hampir setiap Minggu mereka melakukannya. Biasanya Naomi akan memberi kabar jika ada halangan untuk mengunjungi sang ayah. Tangannya dengan ringan menata box-box makanan yang semula di atas meja ke dalam box besar agar mudah di bawa. Meski sang ayah selalu mengatakan agar jangan repot-repot membaw
Beberapa detik setelahnya tetap tak ada jawaban. "Kok, tiba-tiba diem?" tanya Faiq sambil melirik sekilas ke arah Naomi. Terdengar helaan napas panjang dari bibir Naomi. "Semoga dia sadar kalo Abang udah nikah," lirih Naomi tanpa melihat pada lawan bicaranya. Mendengar ucapan Naomi Faiq tersenyum geli. Kalimat bernada cemburu itu membuatnya merasa dihargai. "Kau percaya Abang?" "Apakah kepercayaan cukup untuk membuat laki-laki setia pada pasangannya? Toh, nyatanya kepercayaan penuhku dulu pun dibalas pengkhianatan," keluh Naomi dengan wajah muram. "Hey, kenapa, sih? Kok, jadi sensi gini? Ini Abang, Sayang. Sudah Abang katakan, laki-laki tak semuanya sama. Memang kita tak pernah tau garis takdir, hanya saja kita bisa berusaha untuk menjaga hati agar tak berpaling." Faiq berusaha menjelaskan dengan suara pelan. "Entahlah …."Merasa tak nyaman dengan jawaban Naomi membuat Faiq akhirnya menghentikan mobilnya di sisi jalan. Diraihnya tangan Naomi, lalu menggenggamnya lembut. Sebag
Seketika degup jantungnya berkejaran kala melihat Inez yang kini tengah sibuk menyusun aneka kue dari nampan di tangannya ke etalase. Banyak yang berubah dengan perempuan itu. Pastinya tak lagi berpenampilan terbuka seperti dulu. Belum lagi kini ia lebih memilih kerja keras ketimbang memanfaatkan tubuhnya untuk mencari uang. Namun entahlah, apakah dalamnya sama seperti yang tampak dari luar. "Kenapa malah bengong?" tanya Melodi. Sejak tadi ia memperhatikan perubahan sikap Raihan setelah melihat Sena. Raihan tergagap. Segera ia memasang wajah sebiasa mungkin, meski hasilnya ia tetap tak bisa membohongi perempuan itu. "Kau saja yang turun. Bilang saja mau ambil pesanan Ibu Maya," perintah Raihan dengan wajah datar. Ia melirik sekilas ke arah Melodi yang kini menatap lekat ke arahnya. Melodi nampak mengerutkan dahi. Lalu menatap Raihan dan Sena bergantian. "Kau kenal perempuan itu?" tanya Melodi dengan wajah ingin tahu. Cara Raihan menatap Sena membuat hatinya tergelitik untuk bert
Setelah perginya Raihan ke pantry Raya sibuk menuntaskan laporan milik Rani yang semula dikerjakannya. Syukurnya memang tak banyak lagi yang harus ia kerjakan, hingga dalam waktu lima belas menit kemudian ia sudah selesai. Baru saja Raya mematikan PC di mejanya ketika Raihan kembali dengan membawa secangkir teh hangat di tangannya. Tak ada lagi sapa yang terdengar, laki-laki itu memilih langsung masuk ke ruangannya, membuat Raya menghela napas lega. Setidaknya ia hanya perlu menunggu saja laki-laki itu keluar lagi. Gadis berkulit seputih pualam itu mengedarkan pandangan ke dinding sebelah kanan lorong ruang kerja karyawan, tepat ke arah jam dinding. Jarum panjang benda itu berada di dekat angka delapan, sedang jarum pendek berada di angka sembilan. Raya memilih membereskan meja kerjanya. Ia tak berani bertanya alasan Raihan berniat mengantarnya pulang, meski di sudut hatinya tanya tengah bergelayut manja meminta untuk dipuaskan. Suasana ruang kerja di mana Raya berada kian hening
Seorang pelayan mendekat dengan buku menu di tangannya. Laki-laki muda berpakaian rapi, lengkap dengan sepatunya mengulurkan buku menu pada Raihan sambil tersenyum ramah. Beberapa detik setelahnya Raihan membolak-balik lembaran dengan aneka menu menggugah selera itu, hingga ia menemukan menu yang akan ia pesan kali ini. Cumi asam manis beserta cah kangkung seafood. "Kau mau makan apa?" tanya Raihan sambil melirik ke arah Raya. Perempuan itu tampak tak bersemangat. "Samain aja, Pak," ucap Raya dengan wajah sendu. Raihan tak lagi bertanya. Ia memilih memesankan dua porsi makanan berikut minumannya dengan jenis yang sama dengan miliknya. Laki-laki berpakaian seragam berwarna hitam putih itu berlalu setelah menerima kembali buku catatan dan buku menu dari Raihan. Meninggalkan Raihan dan Raya yang kini kembali hening. Suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring diselingi suara-suara riuh rendah terdengar teratur, dari daerah jalan raya di depan sana suara deru mesin mob
Raya hanya mematung di tempat. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Ia pun tak tahu harus berkata apa. "Jangan berpikir aku akan menggunakan kesempatan ini untuk kepentinganku!" ujar Raihan dengan nada dingin. Mendengar itu Raya spontan meraih ponsel di tangan laki-laki itu. "Maaf, Pak. Saya tak pernah berpikir demikian."Raya bergegas mengetik nomor rekening miliknya. Rekening yang hanya memiliki saldo terakhir kurang dari seratus ribu rupiah. Setelahnya ia segera mengembalikan ponsel itu pada Raihan. "Ini, Pak. Baiklah, Pak, saya akan menyicilnya setiap gajian. Maaf karena nggak bisa cash," ucap Raya dengan perasaan gugup. "Saya tidak pernah memintamu untuk membayarnya. Yang terpenting sekarang adalah ibumu, bukan hal lain," ucap Raihan masih dengan nada serupa. Raya hanya mengangguk pelan seraya menundukkan kepalanya. Susah payah ia meredam rasa haru yang kini menciptakan rasa panas di kedua matanya. Kedua tangan Raya terasa gemetaran, serta degup jantung yang be
Cepat tangan gadis itu meraih ponsel milik Raya, memicingkan matanya. Jelas di sana tertulis nama Raihan sebagai pengirim. "Kamu pinjem uang Pak Raihan, Ra?" tanya Rani sambil melirik ke arah Raya dan ponsel itu secara bergantian. "Nggak lah, Ran, mana berani aku pinjem uang Pak Raihan, emang aku siapa dia maen pinjem-pinjem duit aja," timpal Raya dengan wajah serius. "Terus ini maksudnya gimana? Nggak mungkin juga, kan, kalau Pak Raihan salah kirim? Atau kamu minta dikirimin?" Rani memberondong tanya pada sepupunya itu. "Ih, kok, ngaco banget pemikiranmu, Ran," balas Raya dengan bibir mengerucut. "Tadi itu ceritanya aku lagi sibuk bikin laporan punyamu, terus Pak Raihan keluar dari ruangannya nyuruh aku siap-siap buat pulang bareng dia lagi. Diperjalanan Bibi telepon ngasih tau kabar Ibu. Aku juga nggak tau, tiba-tiba Pak Raihan minta nomor rekening," cerita Raya dengan wajah berubah serius. "Seriusan?" Rani menautkan alis. "Ya iya lah, Ran, sejak kapan aku suka bohong, sih,"
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp