Di bawah sinar temaram lampu-lampu yang terpasang di setiap sudut pagar masjid, berpadu dengan sinar bulat di atas cakrawala membuat Naomi sedikit kesulitan mengenali wajah Sena, namun tetap saja akhirnya ia bisa mengenali perempuan itu. Seorang laki-laki menyusul langkah Sena. Laki-laki dengan perawakan kurus tinggi itu mengangguk santun ke arah Faiq dan Naomi, lalu berdiri di samping Sena. Sena terdiam, matanya kini menatap Naomi dengan sendu, seolah ada yang ingin ia katakan pada Naomi dari sorot matanya, namun bibir seolah tak berpihak. "Yuk, lanjut," ucap Faiq sambil menggamit lengan Naomi. Baru saja Naomi akan melangkah ketika sebelah pergelangan tangannya diraih Sena. Tatapan dua pasang mata perempuan itu kini bertemu, Naomi menautkan alis, seolah ingin bertanya 'ada apa?’ lewat isyarat matanya. "Maafkan aku, Na," lirih Sena dengan wajah yang tampak sedikit pucat. Laki-laki di samping Sena tampak menghela napas panjang. Naomi semakin tak paham dengan apa yang terjadi, sed
Beberapa detik kemudian Naomi hanya bergeming. Membayangkan apa yang terjadi pada Sena lewat kalimat Sena barusan membuatnya menelan ludah getir. "Apa maksudmu, Sen?" tanya Naomi setelahnya. Fajar meremas lembut jemari sang istri, berusaha memberi semangat lewat sentuhan ringan tangannya di jemari sang istri. Sedangkan Faiq hanya diam menyimak. Sejujurnya ia bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi setelah melihat penampilan Sena sejak tadi. Waktu bersamaan dua orang pelayan datang untuk mengantarkan pesanan mereka. Satu per satu piring di atas nampan yang mereka bawa berpindah ke atas meja, hingga keduanya kembali pamit setelah piring terakhir mendarat di atas meja. Suasana kembali hening, perasaan haru yang tadi sempat terasa masih tersisa hingga detik ini. Naomi memilih mengambil ponsel dalam tasnya, mengirim pesan pada sang mertua. [Ma, tolong makanan yang tadi Naomi bawa kasihkan pada Bik Ira saja. Naomi sama Bang Faiq makan di luar, kebetulan ada temen lama yang baru kete
Dua manusia berstatus mantan itu terdiam di kursi masing-masing. Naomi sengaja memanggil Riahan ke ruangannya pagi ini. Teringat pesan Sena dua hari yang lalu membuatnya tak bisa menundanya lagi. Kemarin Naomi pulang dari rumah sakit ketika keadaan sang ayah mulai membaik. Sejujurnya dengan sedikit berat hati ia meninggalkan sang ayah, mengingat laki-laki itu tetap pada pendiriannya, tak ingin tinggal di rumah Faiq. "Aku hanya ingin menyampaikan permintaan maaf dari Sena untukmu," ucap Naomi memulai kalimatnya. Raihan terdiam sejenak, ingatannya kembali pada pertemuannya dengan Sena sekitar sebulan yang lalu. "Untuk alasan apa dia meminta maaf padaku?" tanya Raihan dengan nada datar. "Sena mengidap kanker serviks stadium tiga."Kalimat Naomi membuat Raihan kesulitan menelan ludahnya sendiri. Susah payah ia mengingat pertemuannya dengan Sena waktu itu, ia tak menemukan ciri-ciri jika Sena mengidap kanker stadium tinggi. Saat pertemuan itu ia memang tidak memperhatikan Sena dengan
Matahari kian terlihat terik di waktu-waktu seperti ini. Sekilas Raihan melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya, tepat pukul sepuluh siang. Lalu kembali fokus ke jalan raya di mana kendaraan berbagai ukuran berlalu-lalang tanpa henti. Tepat lima belas menit setelahnya mobil Raihan terparkir di sisi jalan tepat di depan toko. Beberapa pengunjung tampak baru saja keluar dari dalam toko dengan menenteng kantong plastik transparan berlogo toko kue itu, sebagian pengunjung lainnya baru saja datang. Ia celingukan mencari sosok Sena. Sayangnya, Sena tak nampak di sana. Tak ingin membuang waktu Raihan melangkah masuk, berharap Sena ada di dapur toko. "Maaf, apa Ibu Diah-nya lagi sibuk?" tanya Raihan pada gadis jangkung yang waktu itu ia temui. Raihan memang sudah sangat kenal Ibu Diah, perempuan paruh baya pemilik toko kue ini, karena sejak beberapa tahun terakhir toko kue Ibu Diah menjadi langganan keluarga mereka, baik untuk konsumsi pribadi, acara kantor, maupun u
Raihan terdiam. Jantungnya berdetak cepat seiring niatnya untuk menceritakan sesuatu yang ia anggap penting pada sang ibu.Sejenak ia sibuk melegakan dada yang tiba-tiba terasa sedikit sesak. "Buruan, apa mau Mama masuk sekarang?" ancam Maya dengan dahi berkerut, sejujurnya ia hanya menggertak sang anak. Beberapa bulan terakhir hubungan keduanya jauh lebih baik. Mama Maya berusaha mengembalikan suasana yang dulu terasa begitu hangat pada anak bungsunya itu. Di antara dua kakaknya Raihan memang paling dekat dengan sang mama, mungkin karena anak bungsu hingga membuatnya lebih dekat dengan sang mama. "Ja—jangan, Ma," potong Raihan cepat. Kedua tangannya yang semula memijat sang mama kini terangkat di depan dada. "Ya sudah, ceritakan sekarang, Mama nggak suka dibuat penasaran," timpal Mama Maya dengan senyum tipis. Raihan berdehem demi menetralisir degup jantung yang sedari tadi berdegup semakin cepat. "Bagaimana seandainya jika Raihan menemukan perempuan pengganti Naomi nanti?" ta
Desau angin dari kipas angin luar ruangan yang terpasang di tengah langit-langit ruangan membelai ujung kerudung merah muda milik gadis itu. Gadis yang kini duduk dengan wajah canggung di depan Raihan. Dari sekeliling mereka terdengar suara denting sendok dan garpu yang beradu di atas piring keramik, sebagian dari pelanggan yang datang tampak sibuk mengobrol tentang urusan masing-masing. Raihan tampak meluruskan posisi duduknya setelah bosan berdiam diri menunggu hidangan tersaji. "Apa kau merasa keberatan untuk datang?" tanyanya dengan wajah datar. Sejujurnya hatinya bergejolak seiring tatapan keduanya beradu. Raya tampak menggeleng pelan. Lalu kembali meluruhkan pandangan pada jemarinya. Hidangan tersaji di atas meja mereka. Seorang pelayan kembali ke dapur restoran setelah selesai berkutat di meja nomor sembilan, tempat Raihan dan Raya tengah duduk membeku dengan perasaan canggung. "Makanlah dulu," tawar Raihan. Lalu menarik piring berisi pesanan miliknya dan segera melahapny
Sepanjang malam Raihan hampir tak bisa memejamkan mata. Suasana berselimut hujan di luaran sana tak bisa membuatnya terlelap. Kepalanya penuh dengan bayangan Raya. Jawaban yang diberikan gadis itu terdengar begitu bijak, hingga membuat Raihan kian tergila-gila padanya. Ya, laki-laki itu kian tak sabar menunggu hari di mana ia bisa berkunjung pada perempuan yang telah melahirkan gadis cantik yang kini tengah ia gilai. Hatinya ingin hari itu segera datang. Raya memintanya datang sendiri terlebih dahulu tanpa pendamping, hanya untuk melihat jawaban perempuan itu. Raya memintanya datang bulan depan. Rasanya begitu lama, namun Raya mengatakan halndemikian bukan tanpa alasan. Gadis itu menginginkan kondisi sang ibu lebih sehat saat nanti mengambil keputusan apa yang terbaik. "Aku hanya berharap jawaban yang akan aku temui mempersatukan kita, Ra. Percayalah, aku hanya ingin menebus kesalahan lamaku terhadapmu," lirih Raihan dengan mata menatap langit-langit kamarnya. Sempat terlintas se
Raihan merasakan kedua jemarinya lembab karena keringat yang tiba-tiba keluar. Kalimat-kalimat yang ia susun sejak semalam seolah menghilang dari kepalanya setelah mendapati sambutan Marina yang tak sesuai harapan. Namun, ia berusaha untuk terlihat seolah semua baik-baik saja. "Saya dan anak Ibu hanya sebatas rekan kerja awalnya, hingga akhirnya saya berniat melamar anak Ibu karena merasa Raya perempun baik-baik untuk dijadikan istri," jawab Raihan dengan yakin. "Maaf sebelumnya, apakah benar jika Anda sudah pernah dua kali gagal dalam pernikahan?" tanya Marina dengan wajah serius. Sejujurnya hati perempuan itu sedikit menciut karena sadar dari kalangan mana laki-laki yang kini berada di hadapannya. Namun, masa depan sang putri jauh lebih berharga dari apapun baginya. "Hmm, ya, itu memang benar," jawab Raihan dengan perasaan sedikit tak nyaman. "Saya selalu berpesan pada Raya jika pernikahan adalah hal sakral yang semampu dan sebisa mungkin untuk melakukannya sekali seumur hidup."
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala
"Pak Raihan yang Ibu maksud?" tanya gadis itu pelan. Ada gelenyar di relung sana ketika menyebut nama itu. Nama yang malam ini kian membuat hatinya berdesir. "Iya, Ra." Marina mendesah pelan. Raya kembali memalingkan wajah. Menatap lurus ke arah jalan raya yang kian tampak sepi. Hanya suara desau angin serta binatang malam yang terdengar di telinganya saat ini. "Lupakan saja, Bu. Raya tak ingin Ibu terpaksa melakukannya," lirihnya dengan hati berdenyut nyeri. Setelahnya ia berbalik badan dan siap melangkah masuk. "Ibu khilaf, Ra," jawab Marina tak kalah lirih. "Maafkan sikap Ibu beberapa waktu lalu," lanjutnya, membuat langkah Raya terhenti. Gadis itu terdiam. Tangannya kini memeluk tubuhnya sediri, demi menghalau dingin yang terasa menggigit kulit tubuh. "Kita ngobrol di dalam, Bu," ajak Raya. Lalu melangkah masuk. Marina menurut, mengingat suasana di luar yang kian bertambah dingin. Perempuan paruh baya itu mengekor di belakang sang anak.Raya segera mengunci pintu setelah sa
Maria menatap lekat anak bungsunya itu. Sejurus kemudian kembali merangkul tubuh Raya. Ada amarah yang tiba-tiba memanasi dada, menciptakan rasa panas menjalari tubuhnya. "Apa maksudmu, Ra?" tanya Marina dengan mama berkaca-kaca. Raya kembali terdiam beberapa saat. Melempar tatapan ke arah Raihan yang kini masih dalam posisi duduk diam. Detik selanjutnya laki-laki itu melirik ke arahnya, lalu mengangguk pelan. Seolah memberi isyarat jika sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur. "Ya, Ramon membohongiku tentang ulang tahun sepupunya. Dia membawaku ke tengah hutan, dan .... "Kalimat raya terhenti ketika air mata kembali berdesakan ke luar. Bayangan pelecehan yang dilakukan Ramon terhadapnya kembali melintas di kepala. Menciptakan rasa ngeri sekaligus jijik dalam waktu bersamaan. "Lalu apa yang dilakukan bajingan itu padamu?" Kali ini Marina tidak dapat bersikap seolah baik-baik saja. Perempuan paruh baya itu tampak histeris. Di kepalanya terbayang jelas apa yang tela
Malam kian merangkak. Angin dingin masih terus berdesir, menyapu dedaunan hingga pakaian yang mereka kenakan, menciptakan dingin yang terasa menusuk tulang. "Aku hanya tak ingin Ibu kembali bersedih," lirih raya dengan wajah sendu. Raihan memejamkan mata beberapa saat. Ada rasa kecewa dari jawaban yang ia dengar barusan, namun ia tak bisa memaksa, bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang dari seorang anak untuk sang ibu. Terdengar Raihan mendesah pelan. Niatnya yang semula ingin segera kembali melajukan motornya, ia urungkan. Laki-laki itu kembali turun dari kuda besi hitam itu. Raihan menatap ke arah gadis itu dengan tatapan kecewa. Beberapa saat ia hanya membisu dengan tatapan kosong. "Harus sampai kapan kamu lakukan ini? Menyembunyikannya dari ibumu. Lantas, buat apa aku melakukan hal barusan pada laki-laki itu?" Raihan terdengar putus asa. "Ma—maaf," lirih Raya setengah berbisik. "Tak perlu meminta maaf, aku hanya ingin kejelasan apa yang akan kau lakukan setelah ini?" timp