“Mas, kapan kamu mau beliin aku rumah!” tagih Mayang lagi ketika suaminya tak kunjung jua menepati janji.
“Aku tuh malu sama bapak, ibu,” keluhnya. “Sudah nikah masih tinggal di rumah orang tua.”
“Beli rumah itu mahal, Dek,” sahut Bambang sabar. “Mending kalau di kota kecil kita ini ada perumahan, pasti aku ambilin untuk kita satu.”
“Ya, sudah kalau kamu ga bisa beliin aku rumah, aku tinggal di rumah kamu saja,” tukas Mayang singkat.
“Serius kamu?” Bambang tak percaya kalau istri keduanya mau tinggal seatap dengan istri pertama.
“Mau gimana lagi,” sahut Mayang sewot. “Enak saja, istrimu tinggal di rumah yang besar sedang aku tetap tinggal di rumah orang tuaku sendiri.”
“Ya udah, nanti aku bilang dulu ya sama Hanum.”
“Ga usah!” potong Mayang cepat. “Nanti malah istri tuamu ga setuju, aku ga jadi pindah,” sungut Mayang.
“Ya sudah, aku nurut kamu saja.”Bambang pasrah. Entah apa yang akan dikatakannya nanti di rumah pada Hanum.
****************
Hanum sedikit heran saat mendengar deru mobil suaminya. Bambang memang jarang pulang ke rumah. Ia lebih suka pulang ke istri mudanya.
“Assalamualaikum,” salam Bambang membuat Marwah segera ke luar dan membaur memeluk ayahnya.
Raut wajah Marwah terlihat heran dengan kehadiran gadis muda yang sedang mengelus-ngelus perut besarnya.
“Mas,” sapa Hanum lalu mencium tangan suaminya.
Wajahnya tiba-tiba sedikit sewot ketika tahu madunya ada di rumah lengkap dengan koper.
“Marwah, masuk kamar dulu, ya!” titahnya pada sang anak yang menurut.
“Kenapa perempuan ini kamu bawa ke sini, Mas?” Tatapan tak bersahabat ditunjukkan Hanum pada madunya.
“Mayang akan tinggal bersama kita,” sahut Bambang jelas mengejutkan Hanum.
“Apa Mas?” Mata Hanum membulat. “Pelakor ini akan tinggal dengan kita?”
“Hey, aku bukan pelakor ya!” Mayang membela diri. “Aku ini istri kedua Mas Bambang. Jadi aku berhak dong tinggal di sini,” imbuh Mayang langsung nyolot.
“Kamu sudah menggoda suamiku!” tandas Hanum tak kalah nyolot. “Sekarang kamu mau tinggal di sini?”
“Suamimu tergoda kan karena kamu sudah tak menarik lagi saat dipandang atau di ranjang?” cibir Mayang menghadirkan amarah yang luar biasa pada diri Hanum.
Mulut wanita muda itu benar-benar tak pernah makan bangku sekolahan. Pedes dan menyayat hati.
“Kamu itu pelakor, wanita murahan. Pantas saja mulutmu itu tak ada sopan santunnya,” umpat Hanum hilang kesabaran.
Ingin rasanya, ia menjambak rambut wanita di depannya jika ia tak ingat pelakor itu sedang hamil besar.
“Kamu itu yang sudah tua, jadi Mas Bambang tak bergairah lagi sama kamu,” jawab Mayang setengah mengejek.
“Kamu…” tangan Mayang mengepal. Tak habis pikir dengan wanita yang tak punya malu menikah dengan laki-laki beristri.
“Sudah..sudah..!” bentak Bambang menghentikan pertengkaran mereka. “Aku minta kalian akur sebagai istri tua dan istri muda,” sambung Bambang dengan gampangnya.
“Apa, Mas? Kamu suruh aku berdamai dengan wanita ini?” tatap Hanum tajam. “Menerima pengkhianatanmu saja, aku belum bisa. Apalagi menerima wanita ini di rumah kita.”
“Ayolah Hanum, maklumi keadaan ini!” pinta Bambang memelas.
“Kalau Mbak Hanum ga bisa terima aku di sini, usir saja dia, Mas!” usul Mayang tanpa diduga.
“Kamu...,” kalimat Hanum menggantung karena dipotong Bambang.
“Sudah..sudah!” hardik Bambang. “Sekarang, kamu aku antar ke kamar!” Bambang menggandeng istri barunya ke kamar yang berada di samping kamar Marwah.
Tampak kamar yang sudah tak terurus. Dengan cekatan Bambang membersihkan kamar itu. Menyapu, mengepel lantai sampai kinclong. Setelah itu mengganti seprei dan sarung bantal agar bisa langsung ditempati.
“Kenapa sih, Mas, kita ga tidur di kamar utama saja!” protes Mayang.
“Kamar itu daerah kekuasannya Hanum.”
“Tapi, aku juga mau kamar yang besar dan ber-AC,”rajuknya.
“Besok, aku beliin AC,” janji Bambang untuk merayu istri mudanya.
Mayang kesal, suaminya masih memprioritaskan istri pertama. Tapi ia yakin lambat laun bisa menyingkirkan istri tua dan anaknya. Tekadnya, dia harus menjadi istri satu-satunya untuk Bambang.
**************
Mayang bak ratu di rumah suaminya. Bangun tidur siang. Makan tinggal makan. Tak pernah ikutan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kerjaannya seharian cuma ongkang-ongkang kaki sembari main ponsel atau nonton TV.
Jelas saja hal itu membuat Hanum jengah. Apalagi kebiasaan Mayang yangs selalu belanja online baik itu beli makanan atau barang. Jelas saja boros dan memberatkan suami.
“Kamu, bisa ga sih bantuin aku beres-beres rumah!” sentak Hanum yang mulai muak dengan kelakuan madunya.
“Mbak kan lihat sendiri, aku sedang hamil besar,” kilah Mayang.
“Orang hamil itu harus banyak gerak biar gampang persalinannya."
“Kalau susah lahiran normal, bisa kok nanti lahiran secar,” jawab Mayang santai. “Mas Bambang banyak duit ini.”
“Tapi aku sepet lho lihat orang yang kerjaannya malas-malasan sedang rumah berantakan, baju-baju belum digosok, makanan belum tersedia di meja makan,” imbuh Hanum.
“Ya sudah tinggal dilaundry bajunya. Tinggal pesan grab food makanannya,” sahut Mayang membuat Hanum menahan geram.
“Makanya gaul dong, Mbak!” tukas Mayang. “Zaman sudah canggih. Apa-apa bisa pakai HP," imbuhnya.
“Makanya mikir itu pakai otak!” Mayang menunjuk ke kepalanya sendiri.
*************
Rumah masih kotor dan makanan belum siap di meja makan saat Bambang pulang ke rumah. Saat membuka pintu kamar, tampak Hanum sedang terbangun saat mendengar kehadirannya.
“Kamu sudah pulang, Mas?” tanyanya berusaha bangun.
“Kok rumah masih kotor? Makanan juga belum ada?” protes Bambang.
“Maaf, Mas, aku kurang enak badan,” sahut Hanum. “Kecapekan, semenjak ada Mayang, aku kerjanya jadi double.”
“Ya, sudah kamu istirahat saja!” titah Bambang. “Aku minta Mayang aja nyiapin makanan.”
Bambang menutup kembali pintu kamar. Ia menghampiri istri mudanya yang sedang rebahan sembari main ponsel.
“Dek, kamu masakin aku dong!” pinta Bambang. “Aku lapar."
“Kenapa ga nyuruh Mbak Hanum saja sih, Mas?” jawab Mayang masih asyik dengan ponselnya. “Biasanya kan dia yang nyiapin makan.”
“Hanum lagi sakit, kecapekan,” sahut Bambang. “Udah gih masakin aku!”
“Males ah!” tolak Mayang enteng. “Aku kan lagi hamil besar, ga bisa lama-lama berdiri di depan kompor.”
“Terus aku makan apa?” tanya Bambang sedikit sewot.
“Aku pesenin grab food saja ya!” usul Mayang. “Mas, mau makan apa?”
Bambang mendengus kesal. Ia sebenarnya ga begitu suka makanan di luar. Ia lebih suka masakan rumahan. Terjamin bersih dan menghemat pengeluaran.
“Terserah kamu!” tukasnya sewot. “Yang penting bikin kenyang dan murah.”
“Oke,” sahut Mayang tampak berpikir sejenak. Kira-kira mau makan apa hari ini.
Tak lama ia mengetik sesuatu di ponselnya. Tak mempedulikan suaminya yang ke luar dengan wajah kusut menahan kesal.
Mayang sudah terlihat cantik dalam balutan dress seatas lutut. Meski sedang hamil, Mayang masih terlihat modis, jadi begitu sedap dipandang mata. Hari ini ia akan bersiap belanja perlengkapan bayi bersama suaminya.“Pa, aku ikut jalan-jalan, ya!” rengek Marwah saat Mayang dan Bambang sudah di samping mobil.“Ga usah, nanti ngrepotin lagi!” sentak Mayang langsung tanpa basa-basi. Seketika mata Marwah langsung memerah menahan tangis.“Marwah di rumah saja ya, sama Mama,” hibur Bambang menenangkan anaknya.“Diajak kenapa sih, Mas? Sekalian jalan-jalan,” ucap Hanum yang langsung ke luar dari rumah.“Ga ah, nanti bikin repot,” tolak Mayang kasar. “Ayo Mas, nanti keburu siang!”Tanpa rasa berdosa Mayang langsung masuk ke mobil yang kemudian diikuti oleh Bambang. Terlihat mobil meninggalkan Hanum dan Marwah yang mematung.“Kenapa sih, Ma, Papa s
Mayang terbebani tugas sebagai ibu muda saat Hanum tak mau lagi membantunya mengurus Putra. Anaknya yang siang malam selalu rewel membuatnya lelah. Lama-lama ia tak kuat sehingga mengadu kepada orang tuanya.Tak pelak, hal ini membuat orang tua Mayang murka. Dengan tatapan marah Pak Mamad dan Ibu Entin menyidang Bambang dan Hanum.“Kenapa kamu tega membiarkan anak saya kerepotan mengurus anaknya!” Hardik Bu Entin pada Hanum. “Kalau anak saya kelelahan dan jatuh sakit, bagaimana?” tatapan Bu Entin melotot.Tak mau disalahkan dengan sikap manja madunya, seketika Hanum membela diri.“Saya sudah enam bulan bantu anak ibu mengurus bayinya, ya,” tukas Hanum dengan tatapan tajam.“Mayang itu kan belum pengalaman mengurus bayi, jadi wajar jika dia masih perlu bantuan kamu.” Bu Entin tak mau kalah.“Itu kan anaknya Mayang, kenapa saya yang harus repot,” sahut Hanum ketus.
Rasa lelah mendera. Mayang baru selesai mencuci bajunya dan Putra yang sudah empat hari menumpuk di keranjang. Orang tuanya termasuk oramg biasa saja, jadi tak ada mesin cuci untuk mempermudah proses mencuci.Dulu, waktu masih kerja, semua baju kotornya dicuci dan digosok oleh sang ibu. Jadi, ia tak perlu repot-repot berjibaku dengan detergen yang bikin tangan kasar. Namun, sekarang, semenjak ia punya anak dan menumpang hidup, mau tak mau ia harus mencuci sendiri.“Duh, gini amat sih hidup!” umpatnya dengan duduk kasar di kursi panjang, di bawah pohon mangga.Ia mengenang beberapa bulan saat di rumah suaminya. Nyaris ia tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Pekerjaannya hanya makan , tidur, ongkang-ongkang kaki sambil nonton televisn dan main ponsel. Semua pekerjaan rumah tangga beres oleh Hanum.“Ini semua gara-gara Mbak Hanum!” umpatnya kesal. “Hidupku jadi susah kan?”“Hai, bengong aja
Malam merambat. Putra sudah terlelap di box bayi. Mayang mengganti gaun tidur transparan di depan suaminya sehingga membuat Bambang menelan saliva. Dengan manja. Mayang mendekati sang suami yang sedang duduk di tepi ranjang.“Mas, kamu ceraian Mbak Hanum, ya!” Sebuah permintaan yang begitu mengejutkan Bambang.Tak ada mendung, tak ada hujan, tiba-tiba istri mudanya menyuruhnya untuk menceraikan istri pertama.“Aku ga mau dimadu, Mas,” ucapnya manja. “Aku hanya ingin jadi istrimu satu-satunya.”“Kalau aku ceraikan Hanum, bagaimana nasib Marwah?” Pertanyaan Bambang membuat senyum di wajah Mayang memudar.“Marwah kan udah gede,” sahut Mayang dengan cemberut. “Sudah bisa ditinggal nyari duit.”“Tapi…” ucapan Bambang menggantung.“Ayolah, Mas!” potong Mayang bergelayut manja. “Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik
Setelah surat perceraian resmi dikeluarkan Pengadilan Agama, Hanum dan Marwah harus rela meninggalkan rumah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Dengan berat Hanum menatap rumah yang nyaman itu untuk terakhir kalinya.“Ma, kenapa kita harus pergi?” tanya Marwah yang tak paham jika kedua orang tuanya berpisah.“Rumah ini bukan hak kita lagi,” sahut Hanum tersenyum dengan genangan air mata.“Kenapa?” Marwah ingin tahu. “Bukankah ini rumah Papa?” tanyanya. “Kalau ini rumah Papa berarti ini rumah Mama dan Marwah juga dong?”Hanum berjongkok guna mensejajari anaknya. Sudah seharusnya ia mengatakan keadaan sebenarnya agar kelak di kemudian hari Marwah tak pernah bertanya lagi tentang ayahnya.“Dengar, Sayang! Mama dan Papa sekarang tak bisa hidup bersama lagi.”“Karena Papa sudah punya Tante Mayang dan dedek Putra ya, Ma?” tanya Marwah membuat ib
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu
Hanum berusaha ikhlas menjalani takdirnya. Berprasangka baik jika semua akan baik-baik saja. Namun kata-kata kasar yang ditorehkan oleh iparnya menyayat hati.“Mbak, sini dong patungan buat beli beras, bayar listrik dan makan sehari-hari!” pinta Desi kasar di depan mertua dan suaminya.“Masa iya pakai uang Mas Hari mlulu!” cecarnya. “Rugi dong.”“Tapi aku bisa apa, Des?” tampik Hanum. “Kamu tahu sendiri, jualan kue sepi. Cuma cukup buat beli jajan Marwah saja.”“Cari kek kerja juga!” hardik Desi, sedang suaminya hanya jadi penonton. “Buruh cuci, kerja di toko, pembantu.”“Maklumi keadaan kakakmu ya, Har!” pinta Bu Narti minta belas kasihan. “Rezekinya sedang seret.”“Sampai kapan, Bu?” tanya Desi ketus. “Kalau masih nanggung makan ibu sih kami masih bisa karena ibu memang kewajiban Mas Hari,”
Bu Narti menuntun cucunya, Marwah untuk pergi ke pasar. Hari ini ia akan membelikan seragam untuk Marwah karena seragam yang lama sudah kekecilan. Saat di tengah jalan, ia kebetulan bertemu majikannya dulu yang memakai jasanya cuci gosok selama puluhan tahun.“Bu Narti,” sapa Yuli membuat langkah nenek tua itu terhenti.“Bu Yuli,” jawab Bu Narti dengan senyum.“Mau ke mana?”“Mau ke pasar, beliin seragam untuk cucu,” sahut Bu Narti membuat Yuli melirik Marwah.“Kelas berapa?” tanya Yuli pada Marwah.“Lima SD, Tante,” sahut Marwah sopan.“Ga usah beli!” cegah Yuli. “Seragam anak saya masih bagus-bagus tapi ya itu sudah ga muat lagi. Sepatu dan tas juga ada.”“Mau Tante,” sahut Marwah langsung dengan mata berbinar.“Ya sudah, ayo masuk!” titah Yuli mempersilahkan tamunya masuk ke rumah. &ldq
Marwah_gadis kecil itu menanti kedatangan sang ibu hingga magrib menjelang. Matanya selalu berlinang air mata saat wanita yang begitu ia rindukan tak jua menampakan batang hidungnya. Berulang kali ia percaya pada ucapan sang nenek jika esok ibunya akan datang sehingga ia selalu menanti di depan pintu setiap hari.“Ayo Nak, kita masuk, sudah magrib!” ajak Bu Narti.“Aku kangen Mama, Nek,” sahutnya dengan mata berembun.“Besok pasti Mamamu datang.” Lagi-lagi Bu Narti memberinya janji yang sama.“Nenek selalu bilang begitu, tapi kenapa Mama ga pernah datang?” Kali ini Marwah tak percaya dengan janji neneknya. “Nenek bohong ya?” tanyanya mulai berurai air mata.Bu Narti menatap nanar ke wajah cucunya. Wajah yang menyiratkan banyak rindu untuk sang ibu dan rasa perihnya dibuang oleh kedua orang tua. Dada perempuan tua itu bergemuruh. Sesak menyelimuti melihat pedihnya hidup
Doni memarkir Brio putih tepat di depan pintu. Dengan senyun mengembang dan langkah riang, ia masuk ke dalam rumah.“Sayang,” sapanya langsung mencium kening sang istri yang sedang menyiapkan makan.“Kamu sudah pulang, Mas?” sapa Hanum dengan senyum manisnya.“Iya dong,” sahut Dobi. “Di hari ulang tahun istriku tercinta aku harus pulang cepat.”“Ah, Mas bisa saja.” Hanum mencubit manja perut suaminya yang mulai buncit karena senang masakannya.“Aku punya hadiah untuk kamu.”“Apa?” Mata Hanum mengerling, penasaran.“Tutup mata ya!” perintah Doni makin membuat Hanum penasaran.“Kadonya apa sih?” tanya Hanum dengan mata yang tertutup.Bukannya menjawab, Doni malah menutup mata sang istri dengan kain tipis. Lalu menuntunnya ke luar rumah.“Sudah siap?” tanya Doni makin membuat Hanum tak
Hanum diboyong Doni ke rumah mewahnya. Rumah dua lantai itu tampak elegan dan rapi tertata. Taman di halaman depan. Tak lupa kolam renang di belakang rumah, menambah kebahagiaan Hanum sebagai ratu di rumah itu. Serta kamar utama yang indah, membuatnya menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.“Kamu suka, Sayang?” tanya Doni tentang perasaan istrinya.“Suka banget,” sahut Hanum manja.“Besok kita pergi ke Bali,” ucap Doni membuat Hanum memicingkan mata.“Ke Bali?” tanya Hanum. “Ngapain, Mas?”“Bulan madu dong, Sayang,” sahut Doni mesra membuat Hanum merasa tersanjung karena baru kali ini ia merasakan namanya bulan madu.“Makasih ya, Sayang,” sahut Hanum memeluk erat suami barunya.Esok harinya, pengantin baru itu terbang ke Bali untuk honeymoon selama tiga hari. Mereka menghabiskan malam di hotel bintang lima. Memanjakakan mata dengan m
“Aku akan menikahimu dengan satu syarat,” imbuh Doni membuat Hanum penasaran.“Apa syaratnya, Mas?”“Setelah menikah, aku tak ingin tinggal bersama Marwah,” jawaban Doni membuat senyum Hanum memudar.“Tapi kan Marwah anakku, Mas,” sahut Hanum. “Darah dagingku.”“Tapi bukan darah dagingku,” timpal Doni cepat.“Aku mencintaimu tapi tidak dengan anakmu,” imbuh Doni membuat hati Hanum perih.Teganya laki-laki yang ia cintai berkata seperti itu. Menolak anaknya secara terang-terangan tanpa peduli perasaannya sebagai seorang ibu.“Cintaku padamu tak diragukan lagi. Aku akan mencintaimu sepenuh hati hingga kita menua bersama,” janji Doni sedikit puitis masih membuat Hanum terdiam.“Aku tak memaksamu untuk memilihku,” imbuhnya. “Tapi percayalah, aku akan membahagiankanmu seumur hidupmu.”Han
Hari ini cattering Yuli mendapat kunjungan dari pabrik, tempat biasa yang memesan catteringnya. Tampak seorang laki-laki memakai jas hitam tampak sedap dipandang mata.“Kamu belum berubah ya, Don?” komentar Yuli pada kawan lamanya yang ternyata manager di pabrik tempatnya mengirim cattering.“Ya, beginilah aku,” sahutnya dengan tawa. “Bersih ya catteringmu!” pujinya.“Harus dong,” sahut Yuli. “Itu salah satu kunci awet untuk sebuah usaha makanan.”“Pinter kamu,”puji Doni lagi.“Silahkan duduk!” Yuli dan Doni duduk di sofa. “Kamu sudah punya anak berapa?”“Sampai saat ini aku belum bisa move on dari Saras,” sahut Doni mengenang masa lalu.“Serius kamu?” sahut Yuli tak percaya. “Saras sudah menikah lima tahun yang lalu lho.”“Bener, Yul,” sahut Doni mantap. “Aku
Tanggal gajian tiba. Dengan suka cita Hanum menerima amplop dari majikannya. Ia sudah ga sabar untuk membeli beberapa baju baru untuk dipakai sehari-hari di rumah. Setelah berpisah dengan Bambang belum sekalipun ia membeli baju.“Udah, gajian kan, Mbak?” todong Desi pada Hanum yang baru saja ikut duduk di meja makan.“Sudah, Des,” sahut Hanum dengan rasa lelah.“Sini, bagi duitnya untuk bayar listrik, beli beras dan lain-lain!” pinta Desi paksa.Hanum membuka tasnya. Lalu memberikan tiga ratus ribu kepada adik iparnya.“Kok, cuma tiga ratus ribu terus sih, Mbak?” sentak Desi.“Kan gajiku cuma satu juta, Des,” keluh Hanum. “Jadi aku cuma bisa ngasih segithu.”“Ini sih ga cukup untuk beli gula dan sabun!” tukas Desi emosi. “Listrik aja seratus lima puluh ribu. Beras untuk satu keluarga seratus lima puluh ribu. Belum beli sabun, rinso,
Bu Narti menuntun cucunya, Marwah untuk pergi ke pasar. Hari ini ia akan membelikan seragam untuk Marwah karena seragam yang lama sudah kekecilan. Saat di tengah jalan, ia kebetulan bertemu majikannya dulu yang memakai jasanya cuci gosok selama puluhan tahun.“Bu Narti,” sapa Yuli membuat langkah nenek tua itu terhenti.“Bu Yuli,” jawab Bu Narti dengan senyum.“Mau ke mana?”“Mau ke pasar, beliin seragam untuk cucu,” sahut Bu Narti membuat Yuli melirik Marwah.“Kelas berapa?” tanya Yuli pada Marwah.“Lima SD, Tante,” sahut Marwah sopan.“Ga usah beli!” cegah Yuli. “Seragam anak saya masih bagus-bagus tapi ya itu sudah ga muat lagi. Sepatu dan tas juga ada.”“Mau Tante,” sahut Marwah langsung dengan mata berbinar.“Ya sudah, ayo masuk!” titah Yuli mempersilahkan tamunya masuk ke rumah. &ldq
Hanum berusaha ikhlas menjalani takdirnya. Berprasangka baik jika semua akan baik-baik saja. Namun kata-kata kasar yang ditorehkan oleh iparnya menyayat hati.“Mbak, sini dong patungan buat beli beras, bayar listrik dan makan sehari-hari!” pinta Desi kasar di depan mertua dan suaminya.“Masa iya pakai uang Mas Hari mlulu!” cecarnya. “Rugi dong.”“Tapi aku bisa apa, Des?” tampik Hanum. “Kamu tahu sendiri, jualan kue sepi. Cuma cukup buat beli jajan Marwah saja.”“Cari kek kerja juga!” hardik Desi, sedang suaminya hanya jadi penonton. “Buruh cuci, kerja di toko, pembantu.”“Maklumi keadaan kakakmu ya, Har!” pinta Bu Narti minta belas kasihan. “Rezekinya sedang seret.”“Sampai kapan, Bu?” tanya Desi ketus. “Kalau masih nanggung makan ibu sih kami masih bisa karena ibu memang kewajiban Mas Hari,”
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu