Mayang terbebani tugas sebagai ibu muda saat Hanum tak mau lagi membantunya mengurus Putra. Anaknya yang siang malam selalu rewel membuatnya lelah. Lama-lama ia tak kuat sehingga mengadu kepada orang tuanya.
Tak pelak, hal ini membuat orang tua Mayang murka. Dengan tatapan marah Pak Mamad dan Ibu Entin menyidang Bambang dan Hanum.
“Kenapa kamu tega membiarkan anak saya kerepotan mengurus anaknya!” Hardik Bu Entin pada Hanum. “Kalau anak saya kelelahan dan jatuh sakit, bagaimana?” tatapan Bu Entin melotot.
Tak mau disalahkan dengan sikap manja madunya, seketika Hanum membela diri.
“Saya sudah enam bulan bantu anak ibu mengurus bayinya, ya,” tukas Hanum dengan tatapan tajam.
“Mayang itu kan belum pengalaman mengurus bayi, jadi wajar jika dia masih perlu bantuan kamu.” Bu Entin tak mau kalah.
“Itu kan anaknya Mayang, kenapa saya yang harus repot,” sahut Hanum ketus.
“Sudah!” sentak Pak Mamad. “Mending kamu ceraikan saja istri tuamu ini, Bang, kalau dia ga mau bantuin anak saya!”
Ucapan Pak Mamad itu mengejutkan semua orang, termasuk Hanum dan Bambang. Untuk beberapa saat pasutri itu saling pandang. Wajah Hanum seketika menahan geram.
“Iya, Mas, ceraikan saja Mbak Hanum!” imbuh Mayang. “Jadikan aku istrimu satu-satunya.”
“Ingat Mas, kalau kita bercerai, bagaimana nasib Marwah?” ucap Hanum bergetar. Ada ketakutan di hati wanita tiga puluh dua tahun itu jika suaminya menurut ucapan mertua dan istri keduanya.
“Marwah sudah gede ini!” tukas Mayang cepat. “Sudah bisa ditinggal cari kerja.”
“Lagian, anak perempuan itu nantinya juga akan ikut suaminya kalau dipelihara,” sambung Ibu Entin. “Beda sama anak laki-laki. Kelak akan menopang hidup orang tuanya saat sudah tua.”
“Tapi, bagaimanapun juga Marwah butuh sosok seorang ayah!” Hanum mulai mengiba. Butiran bening mulai menggenangi kelopak mata.
“Sudah, ceraikan saja dia!” paksa Ibu Entin.
“Kalau aku menceraikan Hanum, siapa yang akan mengurusiku?” ucap Bambang mengejutkan Mayang dan kedua orang tuanya.
“Aku Mas yang akan mengurusimu,” sahut Mayang. “Aku kan istrimu.”
“Bagaimana kamu mau ngurusin aku?" tanya Bambang. “Jika pekerjaanmu saja cuma makan, tidur, nonton TV, main ponsel, belanja online.”
“Boro-boro nyapu, ngepel, cuci baju, gosok, masak, semua Hanum yang mengerjakan.”
“Sekalinya disuruh masakin saja pas Hanum sakit, malah pesen makanan online,” cecar Bambang membuat Mayang salah tingkah di depan orang tuanya.
“Ya, nanti aku berubah, asal kamu ceraikan Mbak Hanum,” sahut Mayang menyakinkan suaminya.
“Aku sangsi kamu berubah!” tukas Bambang.
Hanum lega. Di depan istri kedua dan mertuanya, Bambang membelanya habis-habisan. Ia yakin masih ada cinta di hati Bambang untuknya.
“Ya sudah, Mas, kalau kamu tak menuruti permintaanku, lebih baik aku pulang ke rumah bapak dan ibu!” ancam Mayang berharap sang suami mencegahnya.
“Terserah,” sahut Bambang tak peduli dengan ancaman sang istri muda.
Bambang hanyalah manusia biasa. Ia hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Dulu ia menikahi Mayang memang karena gadis muda itu cantik, pintar dandan sehingga sedap dipandang. Dan juga tergiur dengan kepiawaian Mayang dalam memuaskan hasrat biologisnya yang tak ia dapatkan dari Hanum.
Tapi di balik semua itu, ada kelemahan Mayang yang dilengkapi oleh kelebihan Hanum. Hanum itu pandai memasak, mengurus anak, mengurus suami, mengurus rumah dan hemat dalam membelanjakan uang. Kebalikan dari Mayang.
**************
Rumah kembali damai sepeninggalan Mayang. Seperti biasa Bambang bercengkerama kembali dengan Marwah. Anak yang duduk di bangku SD itu senang sekali bisa kembali bermain dengan sang ayah setelah sekian lama Bambang acuh padanya.
Hanum terlihat bahagia menikmati momen-momen indahnya kembali bersama sang suami. Bambang juga lebih mesra padanya. Tiap malam selalu memadu kasih. Surga duniawi yang hampir tak pernah ia rasakan semenjak suaminya menikah lagi dengan Mayang.
Sedang di rumah orang tuanya, Mayang kerepotan sendirian mengurus Putra. Anak semata wayangnya ini selalu rewel setiap waktu. Hari-harinya hanya direpotkan mengurus anak dan anak.
“Oek..oek..oek…”
Lagi-lagi tiap malam Putra selalu terbangun. Dengan setengah terbangun dan rasa jengkel ia menggendong anaknya dan menyeduh susu. Susu sudah habis tapi tetap saja Putra masih menangis. Malah tangisannya makin keras terdengar.
“Brisik banget sih anakmu, May!” hardik Yoyo keluar kamar. “Sudah tahu aku capek kerja, mau tidur malah dibuat marah gara-gara tangis bayimu itu.”
“Namanya juga bayi, Mas,” sahut Mayang masih sibuk menenangkan bayinya.
“Sudah, kamu pulang ke rumah Bambang saja!” tukas Yoyo kesal. “Daripada disini bikin rusuh saja!” umpatnya kembali ke kamar.
Mayang terus menenangkan sang anak hingga ia kelelahan. Namun, entah mengapa Putra terus saja menangis.
“Bisa diem ga sih?” hardik Mayang kesal. “Bisanya bikin susah saja! Nangis terus bisanya.”
Bayi enam bulan itu terus menangis. Tak menggubris amarah ibunya. Tangisnya reda saat terdengar adzan subuh.
***********
Mayang baru terbangun saat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Saat keluar kamar, tampak ibunya sudah beberes nasi uduk. Untuk membantu perekonomian keluarga, Ibu Entin sudah jualan semenjak Mayang berumur lima tahun. Maklum pekerjaan Pak Mamad sebagai kuli bangunan tak menentu.
“Bu, sarapanku mana?” tanya Mayang tanpa malu.
“Tuh,” sahut Ibu Entin menunjuk dengan dagunya.
Dengan lahap Mayang menikmati sisa nasi uduk dan segelas teh manis yang sudah dingin. Ibu Entin menikmati teh panasnya dengan sepiring kue.
“Itu bajumu dan Putra masih numpuk. Buruan dicuci!” Ibu Entin mengingatkan pakaian anaknya yanga belum dicuci selama empat hari.
“Kirain sudah ibu cuci,” sahut Mayang enteng.
“Pantas saja kalau Bambang marah sama kamu,” ucap Bu Entin kemudian. “Kamu itu males banget jadi orang.”
“Aku kan capek, Bu, habis melahirkan,”tepis Mayang.
“Sebaiknya kamu pulang gih ke rumah suamimu!” nasihat sang ibu membuat Mayang sewot. “Daripada kamu nanti nyesel.”
“Ga ah!” tolak Mayang kasar. “Aku mau cerai saja.”
“Cerai?” Ibu Entin memastikan dengan dahi berkerut.
“Nanti kalau kamu cerai, siapa yang akan ngasih makan anakmu?”
“Gampang, nanti aku cari kerja,” jawab Mayang enteng.
“Terus yang ngasuh Putra siapa?”
“Ibu sama bapaklah,” tukas Mayang sewot.
“Ibu ga sanggup kalau sudah jualan masih ngurus anakmu!” tolak Bu Entin. “Apalagi Bapakmu. Dari Yoyo dan kamu bayi saja, ga pernah mau gantian momong,” imbuhnya. “Mana mau dia momong anakmu.”
“Ya, sudah nanti cari pengasuh deh.” Mayang masih menjawab.
“Yakin?” cecar Ibu Entin. “Zaman sekarang susah lho cari pengasuh plus bayarnya mahal.”
Mayang dibuat kesal dengan semua penuturan ibunya. Harusnya di saat seperti ini, sang ibu membesarkan hatinya dan mendukung semua keputusan yang akan ia ambil. Bukan menyudutkannya seperti ini.
Kembali ke rumah Bambang, sama saja menjilat ludahnya sendiri. Harusnya Bambang yang menjempuntnya dan meminta maaf. Bukan dia sendiri yang datang kembali ke rumah.
Rasa lelah mendera. Mayang baru selesai mencuci bajunya dan Putra yang sudah empat hari menumpuk di keranjang. Orang tuanya termasuk oramg biasa saja, jadi tak ada mesin cuci untuk mempermudah proses mencuci.Dulu, waktu masih kerja, semua baju kotornya dicuci dan digosok oleh sang ibu. Jadi, ia tak perlu repot-repot berjibaku dengan detergen yang bikin tangan kasar. Namun, sekarang, semenjak ia punya anak dan menumpang hidup, mau tak mau ia harus mencuci sendiri.“Duh, gini amat sih hidup!” umpatnya dengan duduk kasar di kursi panjang, di bawah pohon mangga.Ia mengenang beberapa bulan saat di rumah suaminya. Nyaris ia tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Pekerjaannya hanya makan , tidur, ongkang-ongkang kaki sambil nonton televisn dan main ponsel. Semua pekerjaan rumah tangga beres oleh Hanum.“Ini semua gara-gara Mbak Hanum!” umpatnya kesal. “Hidupku jadi susah kan?”“Hai, bengong aja
Malam merambat. Putra sudah terlelap di box bayi. Mayang mengganti gaun tidur transparan di depan suaminya sehingga membuat Bambang menelan saliva. Dengan manja. Mayang mendekati sang suami yang sedang duduk di tepi ranjang.“Mas, kamu ceraian Mbak Hanum, ya!” Sebuah permintaan yang begitu mengejutkan Bambang.Tak ada mendung, tak ada hujan, tiba-tiba istri mudanya menyuruhnya untuk menceraikan istri pertama.“Aku ga mau dimadu, Mas,” ucapnya manja. “Aku hanya ingin jadi istrimu satu-satunya.”“Kalau aku ceraikan Hanum, bagaimana nasib Marwah?” Pertanyaan Bambang membuat senyum di wajah Mayang memudar.“Marwah kan udah gede,” sahut Mayang dengan cemberut. “Sudah bisa ditinggal nyari duit.”“Tapi…” ucapan Bambang menggantung.“Ayolah, Mas!” potong Mayang bergelayut manja. “Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik
Setelah surat perceraian resmi dikeluarkan Pengadilan Agama, Hanum dan Marwah harus rela meninggalkan rumah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Dengan berat Hanum menatap rumah yang nyaman itu untuk terakhir kalinya.“Ma, kenapa kita harus pergi?” tanya Marwah yang tak paham jika kedua orang tuanya berpisah.“Rumah ini bukan hak kita lagi,” sahut Hanum tersenyum dengan genangan air mata.“Kenapa?” Marwah ingin tahu. “Bukankah ini rumah Papa?” tanyanya. “Kalau ini rumah Papa berarti ini rumah Mama dan Marwah juga dong?”Hanum berjongkok guna mensejajari anaknya. Sudah seharusnya ia mengatakan keadaan sebenarnya agar kelak di kemudian hari Marwah tak pernah bertanya lagi tentang ayahnya.“Dengar, Sayang! Mama dan Papa sekarang tak bisa hidup bersama lagi.”“Karena Papa sudah punya Tante Mayang dan dedek Putra ya, Ma?” tanya Marwah membuat ib
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu
Hanum berusaha ikhlas menjalani takdirnya. Berprasangka baik jika semua akan baik-baik saja. Namun kata-kata kasar yang ditorehkan oleh iparnya menyayat hati.“Mbak, sini dong patungan buat beli beras, bayar listrik dan makan sehari-hari!” pinta Desi kasar di depan mertua dan suaminya.“Masa iya pakai uang Mas Hari mlulu!” cecarnya. “Rugi dong.”“Tapi aku bisa apa, Des?” tampik Hanum. “Kamu tahu sendiri, jualan kue sepi. Cuma cukup buat beli jajan Marwah saja.”“Cari kek kerja juga!” hardik Desi, sedang suaminya hanya jadi penonton. “Buruh cuci, kerja di toko, pembantu.”“Maklumi keadaan kakakmu ya, Har!” pinta Bu Narti minta belas kasihan. “Rezekinya sedang seret.”“Sampai kapan, Bu?” tanya Desi ketus. “Kalau masih nanggung makan ibu sih kami masih bisa karena ibu memang kewajiban Mas Hari,”
Bu Narti menuntun cucunya, Marwah untuk pergi ke pasar. Hari ini ia akan membelikan seragam untuk Marwah karena seragam yang lama sudah kekecilan. Saat di tengah jalan, ia kebetulan bertemu majikannya dulu yang memakai jasanya cuci gosok selama puluhan tahun.“Bu Narti,” sapa Yuli membuat langkah nenek tua itu terhenti.“Bu Yuli,” jawab Bu Narti dengan senyum.“Mau ke mana?”“Mau ke pasar, beliin seragam untuk cucu,” sahut Bu Narti membuat Yuli melirik Marwah.“Kelas berapa?” tanya Yuli pada Marwah.“Lima SD, Tante,” sahut Marwah sopan.“Ga usah beli!” cegah Yuli. “Seragam anak saya masih bagus-bagus tapi ya itu sudah ga muat lagi. Sepatu dan tas juga ada.”“Mau Tante,” sahut Marwah langsung dengan mata berbinar.“Ya sudah, ayo masuk!” titah Yuli mempersilahkan tamunya masuk ke rumah. &ldq
Tanggal gajian tiba. Dengan suka cita Hanum menerima amplop dari majikannya. Ia sudah ga sabar untuk membeli beberapa baju baru untuk dipakai sehari-hari di rumah. Setelah berpisah dengan Bambang belum sekalipun ia membeli baju.“Udah, gajian kan, Mbak?” todong Desi pada Hanum yang baru saja ikut duduk di meja makan.“Sudah, Des,” sahut Hanum dengan rasa lelah.“Sini, bagi duitnya untuk bayar listrik, beli beras dan lain-lain!” pinta Desi paksa.Hanum membuka tasnya. Lalu memberikan tiga ratus ribu kepada adik iparnya.“Kok, cuma tiga ratus ribu terus sih, Mbak?” sentak Desi.“Kan gajiku cuma satu juta, Des,” keluh Hanum. “Jadi aku cuma bisa ngasih segithu.”“Ini sih ga cukup untuk beli gula dan sabun!” tukas Desi emosi. “Listrik aja seratus lima puluh ribu. Beras untuk satu keluarga seratus lima puluh ribu. Belum beli sabun, rinso,
Hari ini cattering Yuli mendapat kunjungan dari pabrik, tempat biasa yang memesan catteringnya. Tampak seorang laki-laki memakai jas hitam tampak sedap dipandang mata.“Kamu belum berubah ya, Don?” komentar Yuli pada kawan lamanya yang ternyata manager di pabrik tempatnya mengirim cattering.“Ya, beginilah aku,” sahutnya dengan tawa. “Bersih ya catteringmu!” pujinya.“Harus dong,” sahut Yuli. “Itu salah satu kunci awet untuk sebuah usaha makanan.”“Pinter kamu,”puji Doni lagi.“Silahkan duduk!” Yuli dan Doni duduk di sofa. “Kamu sudah punya anak berapa?”“Sampai saat ini aku belum bisa move on dari Saras,” sahut Doni mengenang masa lalu.“Serius kamu?” sahut Yuli tak percaya. “Saras sudah menikah lima tahun yang lalu lho.”“Bener, Yul,” sahut Doni mantap. “Aku
Marwah_gadis kecil itu menanti kedatangan sang ibu hingga magrib menjelang. Matanya selalu berlinang air mata saat wanita yang begitu ia rindukan tak jua menampakan batang hidungnya. Berulang kali ia percaya pada ucapan sang nenek jika esok ibunya akan datang sehingga ia selalu menanti di depan pintu setiap hari.“Ayo Nak, kita masuk, sudah magrib!” ajak Bu Narti.“Aku kangen Mama, Nek,” sahutnya dengan mata berembun.“Besok pasti Mamamu datang.” Lagi-lagi Bu Narti memberinya janji yang sama.“Nenek selalu bilang begitu, tapi kenapa Mama ga pernah datang?” Kali ini Marwah tak percaya dengan janji neneknya. “Nenek bohong ya?” tanyanya mulai berurai air mata.Bu Narti menatap nanar ke wajah cucunya. Wajah yang menyiratkan banyak rindu untuk sang ibu dan rasa perihnya dibuang oleh kedua orang tua. Dada perempuan tua itu bergemuruh. Sesak menyelimuti melihat pedihnya hidup
Doni memarkir Brio putih tepat di depan pintu. Dengan senyun mengembang dan langkah riang, ia masuk ke dalam rumah.“Sayang,” sapanya langsung mencium kening sang istri yang sedang menyiapkan makan.“Kamu sudah pulang, Mas?” sapa Hanum dengan senyum manisnya.“Iya dong,” sahut Dobi. “Di hari ulang tahun istriku tercinta aku harus pulang cepat.”“Ah, Mas bisa saja.” Hanum mencubit manja perut suaminya yang mulai buncit karena senang masakannya.“Aku punya hadiah untuk kamu.”“Apa?” Mata Hanum mengerling, penasaran.“Tutup mata ya!” perintah Doni makin membuat Hanum penasaran.“Kadonya apa sih?” tanya Hanum dengan mata yang tertutup.Bukannya menjawab, Doni malah menutup mata sang istri dengan kain tipis. Lalu menuntunnya ke luar rumah.“Sudah siap?” tanya Doni makin membuat Hanum tak
Hanum diboyong Doni ke rumah mewahnya. Rumah dua lantai itu tampak elegan dan rapi tertata. Taman di halaman depan. Tak lupa kolam renang di belakang rumah, menambah kebahagiaan Hanum sebagai ratu di rumah itu. Serta kamar utama yang indah, membuatnya menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.“Kamu suka, Sayang?” tanya Doni tentang perasaan istrinya.“Suka banget,” sahut Hanum manja.“Besok kita pergi ke Bali,” ucap Doni membuat Hanum memicingkan mata.“Ke Bali?” tanya Hanum. “Ngapain, Mas?”“Bulan madu dong, Sayang,” sahut Doni mesra membuat Hanum merasa tersanjung karena baru kali ini ia merasakan namanya bulan madu.“Makasih ya, Sayang,” sahut Hanum memeluk erat suami barunya.Esok harinya, pengantin baru itu terbang ke Bali untuk honeymoon selama tiga hari. Mereka menghabiskan malam di hotel bintang lima. Memanjakakan mata dengan m
“Aku akan menikahimu dengan satu syarat,” imbuh Doni membuat Hanum penasaran.“Apa syaratnya, Mas?”“Setelah menikah, aku tak ingin tinggal bersama Marwah,” jawaban Doni membuat senyum Hanum memudar.“Tapi kan Marwah anakku, Mas,” sahut Hanum. “Darah dagingku.”“Tapi bukan darah dagingku,” timpal Doni cepat.“Aku mencintaimu tapi tidak dengan anakmu,” imbuh Doni membuat hati Hanum perih.Teganya laki-laki yang ia cintai berkata seperti itu. Menolak anaknya secara terang-terangan tanpa peduli perasaannya sebagai seorang ibu.“Cintaku padamu tak diragukan lagi. Aku akan mencintaimu sepenuh hati hingga kita menua bersama,” janji Doni sedikit puitis masih membuat Hanum terdiam.“Aku tak memaksamu untuk memilihku,” imbuhnya. “Tapi percayalah, aku akan membahagiankanmu seumur hidupmu.”Han
Hari ini cattering Yuli mendapat kunjungan dari pabrik, tempat biasa yang memesan catteringnya. Tampak seorang laki-laki memakai jas hitam tampak sedap dipandang mata.“Kamu belum berubah ya, Don?” komentar Yuli pada kawan lamanya yang ternyata manager di pabrik tempatnya mengirim cattering.“Ya, beginilah aku,” sahutnya dengan tawa. “Bersih ya catteringmu!” pujinya.“Harus dong,” sahut Yuli. “Itu salah satu kunci awet untuk sebuah usaha makanan.”“Pinter kamu,”puji Doni lagi.“Silahkan duduk!” Yuli dan Doni duduk di sofa. “Kamu sudah punya anak berapa?”“Sampai saat ini aku belum bisa move on dari Saras,” sahut Doni mengenang masa lalu.“Serius kamu?” sahut Yuli tak percaya. “Saras sudah menikah lima tahun yang lalu lho.”“Bener, Yul,” sahut Doni mantap. “Aku
Tanggal gajian tiba. Dengan suka cita Hanum menerima amplop dari majikannya. Ia sudah ga sabar untuk membeli beberapa baju baru untuk dipakai sehari-hari di rumah. Setelah berpisah dengan Bambang belum sekalipun ia membeli baju.“Udah, gajian kan, Mbak?” todong Desi pada Hanum yang baru saja ikut duduk di meja makan.“Sudah, Des,” sahut Hanum dengan rasa lelah.“Sini, bagi duitnya untuk bayar listrik, beli beras dan lain-lain!” pinta Desi paksa.Hanum membuka tasnya. Lalu memberikan tiga ratus ribu kepada adik iparnya.“Kok, cuma tiga ratus ribu terus sih, Mbak?” sentak Desi.“Kan gajiku cuma satu juta, Des,” keluh Hanum. “Jadi aku cuma bisa ngasih segithu.”“Ini sih ga cukup untuk beli gula dan sabun!” tukas Desi emosi. “Listrik aja seratus lima puluh ribu. Beras untuk satu keluarga seratus lima puluh ribu. Belum beli sabun, rinso,
Bu Narti menuntun cucunya, Marwah untuk pergi ke pasar. Hari ini ia akan membelikan seragam untuk Marwah karena seragam yang lama sudah kekecilan. Saat di tengah jalan, ia kebetulan bertemu majikannya dulu yang memakai jasanya cuci gosok selama puluhan tahun.“Bu Narti,” sapa Yuli membuat langkah nenek tua itu terhenti.“Bu Yuli,” jawab Bu Narti dengan senyum.“Mau ke mana?”“Mau ke pasar, beliin seragam untuk cucu,” sahut Bu Narti membuat Yuli melirik Marwah.“Kelas berapa?” tanya Yuli pada Marwah.“Lima SD, Tante,” sahut Marwah sopan.“Ga usah beli!” cegah Yuli. “Seragam anak saya masih bagus-bagus tapi ya itu sudah ga muat lagi. Sepatu dan tas juga ada.”“Mau Tante,” sahut Marwah langsung dengan mata berbinar.“Ya sudah, ayo masuk!” titah Yuli mempersilahkan tamunya masuk ke rumah. &ldq
Hanum berusaha ikhlas menjalani takdirnya. Berprasangka baik jika semua akan baik-baik saja. Namun kata-kata kasar yang ditorehkan oleh iparnya menyayat hati.“Mbak, sini dong patungan buat beli beras, bayar listrik dan makan sehari-hari!” pinta Desi kasar di depan mertua dan suaminya.“Masa iya pakai uang Mas Hari mlulu!” cecarnya. “Rugi dong.”“Tapi aku bisa apa, Des?” tampik Hanum. “Kamu tahu sendiri, jualan kue sepi. Cuma cukup buat beli jajan Marwah saja.”“Cari kek kerja juga!” hardik Desi, sedang suaminya hanya jadi penonton. “Buruh cuci, kerja di toko, pembantu.”“Maklumi keadaan kakakmu ya, Har!” pinta Bu Narti minta belas kasihan. “Rezekinya sedang seret.”“Sampai kapan, Bu?” tanya Desi ketus. “Kalau masih nanggung makan ibu sih kami masih bisa karena ibu memang kewajiban Mas Hari,”
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu