Mayang sudah terlihat cantik dalam balutan dress seatas lutut. Meski sedang hamil, Mayang masih terlihat modis, jadi begitu sedap dipandang mata. Hari ini ia akan bersiap belanja perlengkapan bayi bersama suaminya.
“Pa, aku ikut jalan-jalan, ya!” rengek Marwah saat Mayang dan Bambang sudah di samping mobil.
“Ga usah, nanti ngrepotin lagi!” sentak Mayang langsung tanpa basa-basi. Seketika mata Marwah langsung memerah menahan tangis.
“Marwah di rumah saja ya, sama Mama,” hibur Bambang menenangkan anaknya.
“Diajak kenapa sih, Mas? Sekalian jalan-jalan,” ucap Hanum yang langsung ke luar dari rumah.
“Ga ah, nanti bikin repot,” tolak Mayang kasar. “Ayo Mas, nanti keburu siang!”
Tanpa rasa berdosa Mayang langsung masuk ke mobil yang kemudian diikuti oleh Bambang. Terlihat mobil meninggalkan Hanum dan Marwah yang mematung.
“Kenapa sih, Ma, Papa sekarang lebih sayang sama tante Mayang daripada Marwah?” tanya Marwah berurai air mata.
Hanum berjongkok. Membelai lembut rambut sang anak. Memberikan senyum termanis untuk mengurangi rasa sakit hati anaknya karena perubahan sikap sang ayah.
“Itu cuma perasaan Marwah saja!” hibur Hanum. “Papa tetep kok sayang Marwah.”
“Itu tadi, Papa lebih milih pergi sama Tante Mayang.”
Hati Hanum teriris. Marwah, anak kecil inipun harus rela berbagi kasih sayang dengan istri muda sang ayah. Tanpa ia tahu kalau Mayang itu adalah ibu tirinya.
*************
Pagi ini Mayang dilarikan ke rumah sakit. Dari semalam perutnya selalu kontraksi tak beraturan. Sesampainya di rumah sakit, Mayang langsung ditangani. Berkali-kali mengejan, tetap saja bayinya tak mau lahir padahal sudah perih mendera.
“Mas, aku minta secar saja!” pinta Mayang sudah ga kuat.
“Tapi secar itu mahal, Dek,” kilah Bambang.
“Tapi aku sudah ga kuat!” sentaknya dengan napas tersengal. “Aku sudah capek ini.”
“Tapi, Bu, masih bisa kok lahiran normal,” sahut Dokter. “Air ketuban ibu masih bagus.”
“Tapi aku sudah ga kuat, Dok!” Mayang malah melotot ke Dokter. “Sakitnya ga ketulungan.”
“Ayo dicoba sekali lagi!” paksa Dokter. “Itu sudah nongol rambutnya.”
Mau tidak mau karena terdorong rasa sakit akhirnya Mayang mendorong bayinya sekuat tenaga. Tak lama terdengar suara tangis bayi.
“Oek..oek..oek…”
“Alhamdulillah,” terdengar rasa lega di ruangan itu. Seketika rasa sakit yang mendera Mayangpun hilang.
“Bayinya laki-laki, Bu, sehat dan ganteng,” ujar Dokter membuat tangis bahagia Mayang pecah. Rasa haru menyelimuti Bambang dan Mayang.
****************
Mempunyai anak di usia dini, rupanya membebani Mayang. Tangis bayi tiap malam jelas mengganggu tidurnya.
“Dek, bangun!” Bambang menggoyang-goyang tubuh istri mudanya yang terlelap. “Itu bayinya minta ASI.”
Mayang menggeliat. Sedikit geram melihat bayi itu. “Aku capek, Mas, ngantuk.” Ia kembali tidur.
“Tapi bayinya nangis terus.”
“Suruh saja Mbak Hanum bikin susu formula dan suruh digendong sebentar, nanti juga tidur,” ucapnya datar.
Tak ingin mengganggu tidur istri mudanya, akhirnya Bambang ke kamar utama. Dengan pelan-pelan membangunkan Hanum.
“Ma, tolong bikinin susu Putra dong!” pintanya saat Hanum sudah membuka mata. “Dari tadi rewel terus.”
“Emang Mayang kemana, Mas?” tanya Hanum setengah tersadar.
“Dia tidur, katanya capek.”
Hanum menarik napas kasar. Meski terpaksa, akhirnya dia bangun daripada harus terus-terusan mendenagr suara tangisan bayi.
Setelah memberi susu, ia menimang-nimang Putra untuk bebebrapa saat hingga bayi mungil itu terlelap.
Begitulah setiap malam Hanum harus terbangun dan terjaga saat Putra rewel di malam hari. Mayang benar-benar tak mau menyentuh anaknya jika sudah lewat dari jam dua belas malam.
Belum lagi, subuh-subuh ia harus mencuci semua pakaian kotor satu rumah, termasuk popok Putra yang bersimbah kotoran bayi. Mengepel, menyapu. Selepas mengantar Marwah sekolah, ia langsung masak untuk makan siang. Sorenya ia harus masak lagi karena Bambang suka dengan masakan yang masih hangat.
Lalu bagaimana dengan Mayang? Ibu muda itu jika siang hanya sibuk mengurusi bayinya sambil rebahan nonton televisi dan bermain ponsel. Keluar kamar hanya saat makan saja. Untuk urusan melipat jemuran keringpun, semua dilakukan oleh Hanum.
Hal itu terus terulang hingga Putra berumur enam bulan. Hanum yang merasa seperti pembantu di rumah sendiri, akhirnya habis kesabaran. Ia tak pernah lagi mencucikan baju milik Mayang dan bayinya. Ia hanya mencuci bajunya sendiri, Bambang dan Marwah.
Belum lagi jika siang, ia tak pernah masak. Ia lebih sering beli lauk di luar untuknya dan Marwah makan.“Kok baju-bajuku dan popoknya putra belum dicuci, Mbak?” sentak Mayang saat pakaiannya dan Putra menumpuk di keranjang baju kotor.
“Cuci saja sendiri,” sahut Hanum santai sembari membawa cucian bersih yang siap dijemur di depan.
Bukannya mengurusi cucian, Mayang malah beranjak ke ruang makan. Mencari makanan di atas meja makan.
“Mbak, ga masak?” sungutnya.
“Nanti sore masaknya,” sahut Hanum saat mengambil hanger.
“Tapi aku laper, Mbak.” Keluh Mayang.
“Kamu kan bisa pesan grab food,” sahut Hanum membalikkan kata-kata madunya tempo dulu.
“Awas kamu, Mbak! Aku aduin sama Mas Bambang,” umpat Mayang kesal tak dilayani.
Benar saja, sepulang kerja Mayang langsung mengadu panjang lebar dengan ditambahin bumbu penyedap api amarah kepada Bambang.
“Tahu ga Mas, aku seharian kelaperan gara-gara Mbak Hanum ga masak,” adunya. “Aku kan lagi menyusui, jadi harus banyak makan.”
“Kok kamu ga masak, Ma?” Bambang termakan curhatan istri muda.
“Aku capek, enam bulan jadi pembantu di rumah sendiri,” tukas Hanum ketus.
“Bajuku dan popok Putra juga ga dicuciin,” sambung Mayang.
“Kan kamu tahu, Mayang habis lahiran. Jadi kamu bantu dong sediain makan buat dia dan cuci bajunya dan baju Putra!” cecar Bambang habis-habisan membuat Mayang tersenyum puas.
“Dulu, aku saat melahirkan Marwah, dari hari pertama juga masak dan cuci baju sendiri.” Hanum menatap tajam Mayang.
“Pasti Mayang juga bisa dong,” sindirnya. “Kan dia lebih muda, tenaganya lebih kuat dari yang tua,” imbuhnya. “Mas iya, kuat di ranjang saja tapi KO untuk urusan masak dan cuci baju.”
Seketika wajah Mayang jadi pias. Sindiran itu benar-benar menohok. Sedang Bambang, ia tak menimpali ucapan istri tuanya. Ia malah asyik menikmati sayur bayam dan ayam goreng yang dimasak Hanum.
***********
Memang sudah jadi kebiasaan, setiap tengah malam Putra pasti terbangun dan nangis kencang. Lagi-lagi Bambang yang harus bangun. Segera bapak dua anak dari istri berbeda itu menghampiri istri tua di kamar utama.
“Ma, Putra bangun tuh!” Bambang membangunkan Hanum yang kemudian membuka mata.
“Suruh Mayang saja. Dia kan ibunya,” sahut Hanum.
“Tahu sendiri, Mayang kalau sudah tidur ga mau dibangunin,” keluh Bambang.
“Aku ga mau lagi jadi baby sisternya Putra.” Hanum melanjutkan tidur. Tak peduli dengan paksaaan Bambang yang terus mengganggunya.
Karena tangis Putra makin kencang, akhirnya Bambang kembali ke kamar Mayang. Tampak istri mudanya masih terlelap tidur.
“Dek, bangun!” Dengan kasar Bambang menggoyang-goyangkan tubuh Mayang biar cepat terbangun.
“Apaan sih, Mas?” sentaknya dengan menyikut lengan suaminya.
“Ini, Putranya dari tadi nangis.”
“Bangunin Mbak Hanum saja!” titahnya kasar. “Kan biasanya dia juga yang ngurusin Putra kalau bangun.”
“Hanum ga mau,” tukasnya galak. “Buruan bangun!”
“Mas saja, ah!” sentak Mayang yang masih mau melanjutkan tidur.
“Kalau kamu ga bangun jangan harap ada uang belanja dariku!” Ancam Bambang sudah kelewat marah dengan kelakuan istri mudanya.
Dengan terpaksa. Mayang bangun dan meraih bayinya lalu menggendongnya ke dapur untuk membuat susu.
*********
Mayang terbebani tugas sebagai ibu muda saat Hanum tak mau lagi membantunya mengurus Putra. Anaknya yang siang malam selalu rewel membuatnya lelah. Lama-lama ia tak kuat sehingga mengadu kepada orang tuanya.Tak pelak, hal ini membuat orang tua Mayang murka. Dengan tatapan marah Pak Mamad dan Ibu Entin menyidang Bambang dan Hanum.“Kenapa kamu tega membiarkan anak saya kerepotan mengurus anaknya!” Hardik Bu Entin pada Hanum. “Kalau anak saya kelelahan dan jatuh sakit, bagaimana?” tatapan Bu Entin melotot.Tak mau disalahkan dengan sikap manja madunya, seketika Hanum membela diri.“Saya sudah enam bulan bantu anak ibu mengurus bayinya, ya,” tukas Hanum dengan tatapan tajam.“Mayang itu kan belum pengalaman mengurus bayi, jadi wajar jika dia masih perlu bantuan kamu.” Bu Entin tak mau kalah.“Itu kan anaknya Mayang, kenapa saya yang harus repot,” sahut Hanum ketus.
Rasa lelah mendera. Mayang baru selesai mencuci bajunya dan Putra yang sudah empat hari menumpuk di keranjang. Orang tuanya termasuk oramg biasa saja, jadi tak ada mesin cuci untuk mempermudah proses mencuci.Dulu, waktu masih kerja, semua baju kotornya dicuci dan digosok oleh sang ibu. Jadi, ia tak perlu repot-repot berjibaku dengan detergen yang bikin tangan kasar. Namun, sekarang, semenjak ia punya anak dan menumpang hidup, mau tak mau ia harus mencuci sendiri.“Duh, gini amat sih hidup!” umpatnya dengan duduk kasar di kursi panjang, di bawah pohon mangga.Ia mengenang beberapa bulan saat di rumah suaminya. Nyaris ia tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Pekerjaannya hanya makan , tidur, ongkang-ongkang kaki sambil nonton televisn dan main ponsel. Semua pekerjaan rumah tangga beres oleh Hanum.“Ini semua gara-gara Mbak Hanum!” umpatnya kesal. “Hidupku jadi susah kan?”“Hai, bengong aja
Malam merambat. Putra sudah terlelap di box bayi. Mayang mengganti gaun tidur transparan di depan suaminya sehingga membuat Bambang menelan saliva. Dengan manja. Mayang mendekati sang suami yang sedang duduk di tepi ranjang.“Mas, kamu ceraian Mbak Hanum, ya!” Sebuah permintaan yang begitu mengejutkan Bambang.Tak ada mendung, tak ada hujan, tiba-tiba istri mudanya menyuruhnya untuk menceraikan istri pertama.“Aku ga mau dimadu, Mas,” ucapnya manja. “Aku hanya ingin jadi istrimu satu-satunya.”“Kalau aku ceraikan Hanum, bagaimana nasib Marwah?” Pertanyaan Bambang membuat senyum di wajah Mayang memudar.“Marwah kan udah gede,” sahut Mayang dengan cemberut. “Sudah bisa ditinggal nyari duit.”“Tapi…” ucapan Bambang menggantung.“Ayolah, Mas!” potong Mayang bergelayut manja. “Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik
Setelah surat perceraian resmi dikeluarkan Pengadilan Agama, Hanum dan Marwah harus rela meninggalkan rumah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Dengan berat Hanum menatap rumah yang nyaman itu untuk terakhir kalinya.“Ma, kenapa kita harus pergi?” tanya Marwah yang tak paham jika kedua orang tuanya berpisah.“Rumah ini bukan hak kita lagi,” sahut Hanum tersenyum dengan genangan air mata.“Kenapa?” Marwah ingin tahu. “Bukankah ini rumah Papa?” tanyanya. “Kalau ini rumah Papa berarti ini rumah Mama dan Marwah juga dong?”Hanum berjongkok guna mensejajari anaknya. Sudah seharusnya ia mengatakan keadaan sebenarnya agar kelak di kemudian hari Marwah tak pernah bertanya lagi tentang ayahnya.“Dengar, Sayang! Mama dan Papa sekarang tak bisa hidup bersama lagi.”“Karena Papa sudah punya Tante Mayang dan dedek Putra ya, Ma?” tanya Marwah membuat ib
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu
Hanum berusaha ikhlas menjalani takdirnya. Berprasangka baik jika semua akan baik-baik saja. Namun kata-kata kasar yang ditorehkan oleh iparnya menyayat hati.“Mbak, sini dong patungan buat beli beras, bayar listrik dan makan sehari-hari!” pinta Desi kasar di depan mertua dan suaminya.“Masa iya pakai uang Mas Hari mlulu!” cecarnya. “Rugi dong.”“Tapi aku bisa apa, Des?” tampik Hanum. “Kamu tahu sendiri, jualan kue sepi. Cuma cukup buat beli jajan Marwah saja.”“Cari kek kerja juga!” hardik Desi, sedang suaminya hanya jadi penonton. “Buruh cuci, kerja di toko, pembantu.”“Maklumi keadaan kakakmu ya, Har!” pinta Bu Narti minta belas kasihan. “Rezekinya sedang seret.”“Sampai kapan, Bu?” tanya Desi ketus. “Kalau masih nanggung makan ibu sih kami masih bisa karena ibu memang kewajiban Mas Hari,”
Bu Narti menuntun cucunya, Marwah untuk pergi ke pasar. Hari ini ia akan membelikan seragam untuk Marwah karena seragam yang lama sudah kekecilan. Saat di tengah jalan, ia kebetulan bertemu majikannya dulu yang memakai jasanya cuci gosok selama puluhan tahun.“Bu Narti,” sapa Yuli membuat langkah nenek tua itu terhenti.“Bu Yuli,” jawab Bu Narti dengan senyum.“Mau ke mana?”“Mau ke pasar, beliin seragam untuk cucu,” sahut Bu Narti membuat Yuli melirik Marwah.“Kelas berapa?” tanya Yuli pada Marwah.“Lima SD, Tante,” sahut Marwah sopan.“Ga usah beli!” cegah Yuli. “Seragam anak saya masih bagus-bagus tapi ya itu sudah ga muat lagi. Sepatu dan tas juga ada.”“Mau Tante,” sahut Marwah langsung dengan mata berbinar.“Ya sudah, ayo masuk!” titah Yuli mempersilahkan tamunya masuk ke rumah. &ldq
Tanggal gajian tiba. Dengan suka cita Hanum menerima amplop dari majikannya. Ia sudah ga sabar untuk membeli beberapa baju baru untuk dipakai sehari-hari di rumah. Setelah berpisah dengan Bambang belum sekalipun ia membeli baju.“Udah, gajian kan, Mbak?” todong Desi pada Hanum yang baru saja ikut duduk di meja makan.“Sudah, Des,” sahut Hanum dengan rasa lelah.“Sini, bagi duitnya untuk bayar listrik, beli beras dan lain-lain!” pinta Desi paksa.Hanum membuka tasnya. Lalu memberikan tiga ratus ribu kepada adik iparnya.“Kok, cuma tiga ratus ribu terus sih, Mbak?” sentak Desi.“Kan gajiku cuma satu juta, Des,” keluh Hanum. “Jadi aku cuma bisa ngasih segithu.”“Ini sih ga cukup untuk beli gula dan sabun!” tukas Desi emosi. “Listrik aja seratus lima puluh ribu. Beras untuk satu keluarga seratus lima puluh ribu. Belum beli sabun, rinso,
Marwah_gadis kecil itu menanti kedatangan sang ibu hingga magrib menjelang. Matanya selalu berlinang air mata saat wanita yang begitu ia rindukan tak jua menampakan batang hidungnya. Berulang kali ia percaya pada ucapan sang nenek jika esok ibunya akan datang sehingga ia selalu menanti di depan pintu setiap hari.“Ayo Nak, kita masuk, sudah magrib!” ajak Bu Narti.“Aku kangen Mama, Nek,” sahutnya dengan mata berembun.“Besok pasti Mamamu datang.” Lagi-lagi Bu Narti memberinya janji yang sama.“Nenek selalu bilang begitu, tapi kenapa Mama ga pernah datang?” Kali ini Marwah tak percaya dengan janji neneknya. “Nenek bohong ya?” tanyanya mulai berurai air mata.Bu Narti menatap nanar ke wajah cucunya. Wajah yang menyiratkan banyak rindu untuk sang ibu dan rasa perihnya dibuang oleh kedua orang tua. Dada perempuan tua itu bergemuruh. Sesak menyelimuti melihat pedihnya hidup
Doni memarkir Brio putih tepat di depan pintu. Dengan senyun mengembang dan langkah riang, ia masuk ke dalam rumah.“Sayang,” sapanya langsung mencium kening sang istri yang sedang menyiapkan makan.“Kamu sudah pulang, Mas?” sapa Hanum dengan senyum manisnya.“Iya dong,” sahut Dobi. “Di hari ulang tahun istriku tercinta aku harus pulang cepat.”“Ah, Mas bisa saja.” Hanum mencubit manja perut suaminya yang mulai buncit karena senang masakannya.“Aku punya hadiah untuk kamu.”“Apa?” Mata Hanum mengerling, penasaran.“Tutup mata ya!” perintah Doni makin membuat Hanum penasaran.“Kadonya apa sih?” tanya Hanum dengan mata yang tertutup.Bukannya menjawab, Doni malah menutup mata sang istri dengan kain tipis. Lalu menuntunnya ke luar rumah.“Sudah siap?” tanya Doni makin membuat Hanum tak
Hanum diboyong Doni ke rumah mewahnya. Rumah dua lantai itu tampak elegan dan rapi tertata. Taman di halaman depan. Tak lupa kolam renang di belakang rumah, menambah kebahagiaan Hanum sebagai ratu di rumah itu. Serta kamar utama yang indah, membuatnya menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.“Kamu suka, Sayang?” tanya Doni tentang perasaan istrinya.“Suka banget,” sahut Hanum manja.“Besok kita pergi ke Bali,” ucap Doni membuat Hanum memicingkan mata.“Ke Bali?” tanya Hanum. “Ngapain, Mas?”“Bulan madu dong, Sayang,” sahut Doni mesra membuat Hanum merasa tersanjung karena baru kali ini ia merasakan namanya bulan madu.“Makasih ya, Sayang,” sahut Hanum memeluk erat suami barunya.Esok harinya, pengantin baru itu terbang ke Bali untuk honeymoon selama tiga hari. Mereka menghabiskan malam di hotel bintang lima. Memanjakakan mata dengan m
“Aku akan menikahimu dengan satu syarat,” imbuh Doni membuat Hanum penasaran.“Apa syaratnya, Mas?”“Setelah menikah, aku tak ingin tinggal bersama Marwah,” jawaban Doni membuat senyum Hanum memudar.“Tapi kan Marwah anakku, Mas,” sahut Hanum. “Darah dagingku.”“Tapi bukan darah dagingku,” timpal Doni cepat.“Aku mencintaimu tapi tidak dengan anakmu,” imbuh Doni membuat hati Hanum perih.Teganya laki-laki yang ia cintai berkata seperti itu. Menolak anaknya secara terang-terangan tanpa peduli perasaannya sebagai seorang ibu.“Cintaku padamu tak diragukan lagi. Aku akan mencintaimu sepenuh hati hingga kita menua bersama,” janji Doni sedikit puitis masih membuat Hanum terdiam.“Aku tak memaksamu untuk memilihku,” imbuhnya. “Tapi percayalah, aku akan membahagiankanmu seumur hidupmu.”Han
Hari ini cattering Yuli mendapat kunjungan dari pabrik, tempat biasa yang memesan catteringnya. Tampak seorang laki-laki memakai jas hitam tampak sedap dipandang mata.“Kamu belum berubah ya, Don?” komentar Yuli pada kawan lamanya yang ternyata manager di pabrik tempatnya mengirim cattering.“Ya, beginilah aku,” sahutnya dengan tawa. “Bersih ya catteringmu!” pujinya.“Harus dong,” sahut Yuli. “Itu salah satu kunci awet untuk sebuah usaha makanan.”“Pinter kamu,”puji Doni lagi.“Silahkan duduk!” Yuli dan Doni duduk di sofa. “Kamu sudah punya anak berapa?”“Sampai saat ini aku belum bisa move on dari Saras,” sahut Doni mengenang masa lalu.“Serius kamu?” sahut Yuli tak percaya. “Saras sudah menikah lima tahun yang lalu lho.”“Bener, Yul,” sahut Doni mantap. “Aku
Tanggal gajian tiba. Dengan suka cita Hanum menerima amplop dari majikannya. Ia sudah ga sabar untuk membeli beberapa baju baru untuk dipakai sehari-hari di rumah. Setelah berpisah dengan Bambang belum sekalipun ia membeli baju.“Udah, gajian kan, Mbak?” todong Desi pada Hanum yang baru saja ikut duduk di meja makan.“Sudah, Des,” sahut Hanum dengan rasa lelah.“Sini, bagi duitnya untuk bayar listrik, beli beras dan lain-lain!” pinta Desi paksa.Hanum membuka tasnya. Lalu memberikan tiga ratus ribu kepada adik iparnya.“Kok, cuma tiga ratus ribu terus sih, Mbak?” sentak Desi.“Kan gajiku cuma satu juta, Des,” keluh Hanum. “Jadi aku cuma bisa ngasih segithu.”“Ini sih ga cukup untuk beli gula dan sabun!” tukas Desi emosi. “Listrik aja seratus lima puluh ribu. Beras untuk satu keluarga seratus lima puluh ribu. Belum beli sabun, rinso,
Bu Narti menuntun cucunya, Marwah untuk pergi ke pasar. Hari ini ia akan membelikan seragam untuk Marwah karena seragam yang lama sudah kekecilan. Saat di tengah jalan, ia kebetulan bertemu majikannya dulu yang memakai jasanya cuci gosok selama puluhan tahun.“Bu Narti,” sapa Yuli membuat langkah nenek tua itu terhenti.“Bu Yuli,” jawab Bu Narti dengan senyum.“Mau ke mana?”“Mau ke pasar, beliin seragam untuk cucu,” sahut Bu Narti membuat Yuli melirik Marwah.“Kelas berapa?” tanya Yuli pada Marwah.“Lima SD, Tante,” sahut Marwah sopan.“Ga usah beli!” cegah Yuli. “Seragam anak saya masih bagus-bagus tapi ya itu sudah ga muat lagi. Sepatu dan tas juga ada.”“Mau Tante,” sahut Marwah langsung dengan mata berbinar.“Ya sudah, ayo masuk!” titah Yuli mempersilahkan tamunya masuk ke rumah. &ldq
Hanum berusaha ikhlas menjalani takdirnya. Berprasangka baik jika semua akan baik-baik saja. Namun kata-kata kasar yang ditorehkan oleh iparnya menyayat hati.“Mbak, sini dong patungan buat beli beras, bayar listrik dan makan sehari-hari!” pinta Desi kasar di depan mertua dan suaminya.“Masa iya pakai uang Mas Hari mlulu!” cecarnya. “Rugi dong.”“Tapi aku bisa apa, Des?” tampik Hanum. “Kamu tahu sendiri, jualan kue sepi. Cuma cukup buat beli jajan Marwah saja.”“Cari kek kerja juga!” hardik Desi, sedang suaminya hanya jadi penonton. “Buruh cuci, kerja di toko, pembantu.”“Maklumi keadaan kakakmu ya, Har!” pinta Bu Narti minta belas kasihan. “Rezekinya sedang seret.”“Sampai kapan, Bu?” tanya Desi ketus. “Kalau masih nanggung makan ibu sih kami masih bisa karena ibu memang kewajiban Mas Hari,”
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu