Satu Minggu Megan dirawat, kondisinya jauh membaik. Ia semakin manja dan tak mau jauh dari suaminya. Danang full menginap menemani Megan. Sama sekali dia tak pulang ke rumah. Di kantor pun dia hanya sebentar lalu kembali ke rumah sakit karena Megan selalu mengeluh sakit. "Mas, janji sama aku, kamu gakkan meninggalkanku." "Iya, Sayang. Sekali lagi, Maaf, kemarin aku datang terlambat." "Gak apa-apa, Mas. Aku seneng kamu datang. Ikatan batin kita ternyata kuat. Aku bahagia." "Ibu mertuaku kelewatan. Rasanya ingin kubawa saja ini ke pengadilan," ujar Danang memburu. "Jangan, Mas. Aku dan anak kita baik-baik saja. Kuanggap ini sebagai resikoku merebut menantunya," ujar Megan. Sebenarnya ia pun ingin melaporkan Bu Sartini ke polisi tapi dia takut, justru akan menyulut emosi ibunya. Mbok Mar sudah memperingatinya dan memintanya untuk bersabar. **"
Flash Back Chat via WA [Tolong aku, Cit. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Apa pun resikonya, aku tanggung. Ini demi anak-anakku.] Safira [Ini beresiko, Fir. Aku gak berani] [Aku akan bayar kamu, Cit. 10 juta.] Cukup lama tak ada balasan dari Citra dan itu membuat Safira mondar mandir, menarik napasnya tak lega. Ia harus bisa mengalihkan isi rekening Danang ke rekeningnya. Meskipun dengan cara yang culas. Yah, seperti dia menganggap pria itu sudah mati dan meninggalkan warisan. Sejauh itu Safira berani bertindak. Tiba-tiba ponselnya bergetar. [Asal kamu bisa menyiapkan semua berkasnya. Aku siap, Fir.] Citra [Oke. Kirimkan saja berkas apa saja yang dibutuhkan.] balas Safira dengan penuh semangat. Ia tahu, Citra akan sulit menolak tawarannya. [KTP ahli waris dan KTP pemilik rekening, buku tabungan, surat kematian, dan surat keterangan ahli waris.] Citra Safira mengangguk-angguk membaca berkas-berkas yang dia butuhkan untuk memindahkan isi rekening suaminya ke rekeningnya. Ta
"Mana ini, dimana buku itu?" tanya Danang pada dirinya sendiri. Dia tahu, Safira belum pulang. Kedua anaknya pasti di rumah nenek mereka. Ia melihat jam tangannya. Sudah jam dua siang. Bank tutup biasanya jam 4 sore. Tanpa buku rekening, ia tidak akan bisa mengadukan keluhan. Semua isi laci dihamburkan oleh Danang, tumpukan buku, pernak pernik bahkan di setiap kantung tas ranselnya ia cek, namun nihil. Dingin kulit tubuh Danang membayangkan uang hampir setengah milyar miliknya tak bisa diakses. "Dimana buku rekeningku?" Tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Seharusnya di laci ini, memang ada buku rekeningnya dan .... "Rekening Safira. Dimana? Dimana rekening Safira? Apa itu artinya ...?" Danang berpikiran cepat tapi ia menyangkal. Safira tidak akan bisa melakukan apa pun dengan buku rekeningnya. Namun terlepas dari itu, ia harus memastikannya. Segera Danang menelpon nomor istrinya itu. Be
"Apa hubunganmu dengan pria itu?" "Dia bosku," jawab Safira mantap. "Jadi begini aslinya, ya. Kamu ada main dengan bosmu sendiri. Memalukan." "Jaga ucapanmu, Mas!" "Oh ya?! Dengan menggenggam lengan pria itu, kamu meminta aku untuk berpikir bahwa itu biasa-biasa saja?" Safira mengabaikan ucapan suaminya. Percakapan itu baginya sangat lucu. Pria yang menikahinya berlagak sok cemburu sedangkan dia sendiri sudah jelas-jelas buat hamil seorang pembantu. Safira makin dibuat hambar. Ia memilih melangkah mendekati mobilnya. Danang langsung menarik bahu istrinya itu. "Jangan belajar untuk terus kurang ajar pada suamimu, Safira!" "Baiklah. Karena statusmu masih suamiku, jadi aku jelaskan bahwa aku tidak ada hubungannya dengan pria itu. Hari ini aku dihukum. Gajiku akan dipotong 20% dan aku barusan sedang berusah
*Esok pagi* "Bu, Mbah Akung dan Mbah Utynya anak-anak sudah di depan!" Safira mengulum kedua bibirnya sembari memperhatikan dandananya di depan kaca. Sejak semalam dia tidak mau keluar kamar meskipun suaminya memaksanya. Memang di dalam kamarnya sudah tersedia aneka buah dan roti. Di ruang tamu, Danang mondar-mandir gelisah. Semalaman ia tak tidur nyenyak apalagi hari ini bank juga tidak beroperasi karena hari Minggu. Ketenangannya terenggut sangat cepat. Di dalam otaknya hanya tentang isi rekeningnya. Ia tak punya nyali untuk menceritakan itu pada ayah dan ibunya yang sekarang duduk tak jauh darinya. Sedangkan Bu Andin, hanya bisa mendengkus, masih kesal dengan putranya itu. "Jadi kamu belum ceraikan anak pembantu itu?" "Megan, namanya. Dia istriku. Menantu Mama juga." "Menantuku hanya Safira. Tak sudi aku punya menantu lain apalagi anak dari babu."
"Kembalikan uangku atau kita tidak pernah saling kenal lagi?" Safira tersenyum sinis. "Cepat jatuhkan talakmu padaku, Mas. Bila perlu, talak tiga sekaligus!" Bergetar mulut Danang namun tiba-tiba tubuhnya diseret ayahnya. "Tahan emosimu. Jangan terbawa! Ingat Rio dan Amaira!" "Istri tidak tahu adab! Kamu mengalihkan saldo rekeningku dengan cara licik!" "Kamu juga suami biadab. Tak sudi aku bersuamikan laki-laki sepertimu, Mas." "Cukup, Safira! Kamu, juga! Tutup dulu mulutmu! Apa kamu tidak memperhatikan nasib anak-anak kalian hah?! Berhenti bicara kataku!" Pak Rahmat melotot pada menantu kesayangannya itu. Safira membuang wajah, mengusap cepat air matanya. Ibu mana yang tak mau anak-anaknya tumbuh dengan orang tua yang lengkap. Tapi kenyataannya, kepala rumah tangga yang telah berkhianat. "Kalau dia mau menyelamatkan rumah tangga ini, dia harus mengembalikan uangku tanpa kurang sepersen pun. "Memangnya berapa saldomu yang dipindahkan?" tanya Bu Andin menyelah. "Kurang
"Dalam hidup berumah tangga, tidak ada uang istri dan uang suami. Semua sama-sama. Aku juga begitu dengan suamiku," sambut Bu Andin. "Ya ... kalau suaminya kayak Pak Rahmat boleh lah. Sepertinya tak akan ada masalah. Tapi anak gak mesti sama dengan bapaknya. Bapaknya lurus, anaknya bisa bengkok kemana-mana. Enak-enak pake uang istri, dia asik umpan pelakor," timpal Bu Sartini tanpa rasa takut. "Kalian sendiri yang undang pelakor itu ke rumah ini. Jangan lupakan itu. Kalau begini caranya, aku tidak ridho!" seru Bu Andin marah. "Ya aku juga tak ridho anakku dipoligami setelah diperas suaminya!" timpal Bu Sartini tak kalah beringasnya. "Tidak begitu konsepnya! Jangan melebihkan. Dalam rumah tangga, semua milik bersama. Termasuk harta yang diusahakan Safira juga. Itu semua milik mereka bersama meskipun atas nama Danang!" Baru saja mulut Bu Sartini akan terbuka untuk menimpali Bu Andin, tiba-tiba Pak Burhan ma
"Bagaimana dengan cucumu ini, Mbok? Dia butuh sosok nenek! Bagaimana bisa Mbok meninggalkanku dalam keadaan seperti ini? Mbooook! Bangun Mbok!" Seperti tertusuk ribuan belati sekaligus saat suara Megan masuk ke dalam gendang telinga Safira. "Maafkan aku, Nak. Ibu tahu dia sedang hamil bahkan saat aku melabraknya. Hampir saja aku menginjak perutnya tepat ketika kamu dan Danang muncul." Safira hanya diam. Tak rasa sakit melebihi yang saat ini dia rasakan. Meskipun hal yang wajar bahkan seharusnya memang begitu, jika sudah bersuami istri. Tapi mendengar langsung pembantunya itu hamil anak suaminya, tak ada kalimat yang bisa mengurai sedikit saja rasa sakit di dada wanita itu. "Lebih baik kita pulang, Fir. Ayo. Yang penting ibu sudah melihat Mar untuk terakhir kalinya." "Kita tidak akan pergi sampai aku sedikit bermain dalam takdir ini, Bu. Tunggulah di sini." "Apa kamu yakin?" tanya Bu Surtini r
Sedangkan di sisi lain, Danang sedang berbinar senang karena proyek yang dia kejar bersama teamnya akhirnya berhasil goal. Ia tersenyum puas melihat secarik kertas pemberitahuan atas keberhasilan perusahaan. Ini artinya, uang puluhan juta akan segera masuk ke rekening barunya. "Aku akan segera membawa Megan keluar dari rumah agar tidak terjadi konflik dengan Safira," lirihnya membayangkan semua akan baik-baik saja. Saat dia asik dengn khayalannya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Diana muncul dengan wajah tegang. "Permisi, Pak." "Ya, Diana. Masuk saja. Bagaimana? Apa acara menyambut kesuksesan kita di proyek kali ini?" Makin tegang wajah Diana melihat pendar binar kebahagiaan terpancar dari atasannya itu. "Pak, maaf, ini titipan dari Pak Boss." "Baiklah. Letakkan saja di situ. Oh ya, atur saja aca
"Apa katamu, Mas?!!!" Memilih tak menjawab, Danang mendengkus dan membawa Amira ke kamar Megan. Dengan wajah merah padam, Safira sudah melangkah satu langkah berniat mengejar, tapi ia menarik kembali kakinya. Ia melihat Amira tersenyum pada Megan, saat wanita itu meraih Amira dari pelukan suaminya. 'Amira ...," desis hatinya sedih bersamaan dengab emosinya yang langsung mereda. Pandangan Safira berkeliling karena gelisah tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. "Ini gila. Setelah mengambil suamiku, wanita itu mengambil putriku. Ini tidak bisa dibiarkan," lirih Safira sendirian. Tiba-tiba sesuatu terpikirkan di dalam otaknya. Segera dia menelpon nomor mertuanya. "Kenapa, Fir?" "Mama gak ke Cemara Indah?" "Ka
"Kalau kamu menentangku, kita bisa bicara di pengadilan biar jelas. Ibu bapakmu sudah menganggapku anak jadi jangan macam-macam kamu. Aku masih bertahan dalam pernikahan ini karena mereka. Tapi jika aku sudah tak sanggup, tak ada seorang pun bisa mencegahku. Aku wanita merdeka, Mas. Ingat itu." Safira meraih handuk yang bersusun di laci tempel di dinding dekat kamar mandi. Ia lalu meletakkannya di atas dada suaminya dengan sentakan hingga pria itu sedikit terdorong. Danang hanya bisa menangkap handuk itu dan berusaha berdiri tegak. Pria itu menoleh pada Safira yang melenggang keluar kamar. 'Ooh Allah, seharusnya semua berjalan mulus. Aku memilih poligami daripada berzina. Aku memilih yang halal tapi kenapa makin dipersulit?' batin Danang mengerutu masih mematung. Pria itu tidak sadar bahwa pertanyaan hatinya itu bukan hanya dua itu yang menjadi pilihan. Tapi ada yang ke-tiga. Mengapa tidak menundukkan pandangan?
"Safira!" seru Danang tak terima dengan ucapan istri pertamanya itu. "Jangan berteriak memanggil namaku, Mas. Kalau kamu tidak setuju dengan perintahku, silahkan bawa dia pergi dari sini." "Jangan asal kamu bicara. Ini juga rumahku dan aku berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh tinggal di sini." "Ooh jelas. Tapi ingat, ada uangku di rumah ini juga. Posisiku lebih kuat di sini karena aku lah istri pertamamu dan sudah 13 tahun berada di rumah ini. Kamu mau bawa ke pengadilan? Ayo. Aku jabanin." "Pakailah hatimu, Safira," desis Danang berusaha melembut. Dia sungguh nelangsa. "Kan kamu yang mengajariku tak punya hati, Mas. Andai kamu punya hati, tak akan kamu seperti ini. Dan satu lagi, jika kamu menentangku maka aku akan mengadukan ini pada kedua orang tuamu. Menurutmu bagaimana?" Danang kikuk kebingungan. Melawan Safira saat
Rio langsung menggeret tangan adiknya agar mau masuk ke dalam kamar. Meski terpaksa, Amira mau mengikuti langkah Abangnya. Bell rumah berdenting dan Safira sudah berada di depan pintu. Ia menarik napasnya kuat-kuat. Safira membuka pintu dengan wajah yang datar. "Assalamu'alaikum, Bun." "Waalaikumsalam." Danang menoleh ke belakang, ke arah mobil. "Bun ...." "Tak ada tempat dia di sini. Pergi bawa gundikmu dari sini, Mas." "Aku minta tolong, Bun. Aku gak pegang uang sama sekali dan semua uang, kamu yang pegang. Aku gak bisa sewain Megan tempat tinggal." "Ya itu urusanmu. Kamu yang punya istri, kok bebani aku?" Safira langsung menutup pintu. Danang segera menahannya dengan tangannya. "Bund ... Jangan gini apa, Bun. Please." "Pergi kamu, Mas! Jangan mentang-mentang kemarin kita tidur bersama, kamu merasa aku nerima kamu apalagi nerima pelacur itu. Tidak seperti yang kamu pikirkan." "Ya. Aku sudah tahu. Kamu gak tulus layanin aku. Kamu sengaja, hanya buat manasin Megan. Dia
"Jangan pergi Safira. Papa mohon. Bertahanlah demi Rio dan Amira. Mereka butuh orang tua yang utuh. Melihat kamu dan Danang satu kamar lagi, mereka senang sekali. Tidur mereka pun nyenyak." "Tapi aku tak pernah tidur nyenyak sejak Mas Danang ketahuan menikah lagi, Pa." Safira menengadah menatap langit-langit ruang tamu. Dia sedang di rumah mertuanya, menjemput kedua anaknya yang ingin bermain di rumah mbah. "Kami paham perasaanmu, Nak. Mungkin kalau Mama di posisimu tak akan setegar kamu. Bisa langsung gila, Mama. Tapi Mama minta banget sama kamu, Safira. Pertahankan putraku jadi suamimu." Bu Andin ikut bicara menahan kesedihan. Salah satu do'anya adalah melihat anak-anaknya harmonis tapi justru doanya jadi ujiannya. Pernikahan putra kesayangannya di ambang kehancuran. Ia tahu, menjadi Safira memang sangat sulit. "Aku gak bisa, Ma. Aku akan tetap melaya
"Kenapa kamu marah-marah padaku, Mas? Kamu yang gila! Kenapa gak peduli padaku lagi?! Sekedar menelpon atau membalas cepat WA ku kamu gak bisa. Biarkan saja aku mati. " "Sinting. Benar-benar sinting. Aku sibuk mencari nafkah! Kamu tahu kondisiku saat ini. Uangku di Safira, sekarang aku harus mendapatkan uang baru untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Kamu malah seperti anak kecil begini!" Sekali lagi, Danang meraih kursi plastik hijau itu lalu melemparkannya ke arah dinding lagi hingga menimbulkan suara yang cukup memekak. Sekarang, dia baru ingat, dia telah meninggalkan rapat yang penting dan dia tahu, banyak konsekuensi buruk yang sedang dia timbulkan. Hanya karena istri mudanya yang merajuk tanpa pikir. Danang frustasi dan dia merasa sangat nelangsa. "Kamu tega sama aku, Mas. Teganya kamu mengabaikanku!" "Aku kerja! Paham bahasa tidak?" "Tidak! Kamu sibuk tidur sama Mbah Safira. Ini fotomu! Apa maksudnya i
Bergetar bibir Megan membaca pesan itu. Dia langsung membuang hp itu, bersamaan dengan jantungnya yang bergemuruh hebat. Hanya gemeletuk giginya yang terdengar karena menahan amarah. Bagaimana bisa Mas Danangnya bisa sepulas itu tidur? Servis seperti apa yang kakak madunya telah berikan. "Kurang ajar. Tak ada malu. Perempuan sialan!" Hati Megan benar-benar seperti dibakar hidup-hidup. Panas luar biasa. Sakit luar biasa sakit, sampai-sampai merah matanya. Menggenang air mata Megan menahan sakit hati. Logikanya tahu bahwa Safira adalah istri Danang, tapi melihat pria itu telanjang begitu membuatnya membara. Dia merasa sedang dikhianati, sedang dipermainkan dan diejek. "Seharusnya aku tak perlu sesakit ini. Seharusnya ...." Megan berusaha mengafirmasi dirinya bahwa semua itu bukan menjadi masalah namun susah sekali baginya. Kelebat bayangan saat Danang sangat bernafsu mencumbunya tanpa jeda, membuat M
"Abang jangan mikir yang aneh-aneh. Abang fokus sembuh aja ya, Nak. Biar cepat bisa main sama teman-temannya lagi," ucap Safira sekuat tenaga menahan perasaannya yang hancur. "Kami baik-baik saja, Nak. Tidak ada yang berubah," tambah Danang. "Kalian tidur bersama-sama lagi. Jangan pisah kamar lagi." "Iya. Nanti Papa tidur sama Bundamu. Kamu tenang saja." "Tidur di sini," ucap Rio lagi. "Bunda harus temani adek, kan, Nak? Adek juga lagi sakit." Safira menyanggah dengan cepat. Sama sekali tak ada minatnya seranjang lagi dengan suaminya. Malah ia merasa jijik karena tubuh Danang sudah tersentuh Megan. Bahkan membayangkan dirinya disentuh suaminya lagi, itu cukup membuatnya mual. "Adek bawa ke sini. Kita tidur sama-sama lagi." Tak punya pilihan, Danang dan Safira mengikuti keinginan putra mereka. Mereka menggelar hamb