Nami mendorong cukup keras tubuh tambun yang berdiri di hadapannya. Membuat tangan yang mencengkeram rahangnya terlepas dan ia dapat cepat berlari menjauh dari pria aneh tersebut.
"Sayang... kok kamu lama jemput aku? ada masalah lagi ya?" tanya Nami sambil merangkul lengan kekar seorang lelaki yang sedang berjalan dengan seorang temannya.Lelaki yang tidak mengenal Nami, segera menarik tangannya kembali, tetapi Nami erat merangkul lengan pria tersebut hingga gerak tangan pria itu tertahan.Tatapan penuh tanya tampak jelas di wajah pria itu dan temannya, "Hei, Bro! Kamu nggak pernah cerita punya pacar secantik ini?" tanya pria cepak di sampingnya.Pria itu hendak menggeleng sambil melotot tajam memandang temannya, tapi gerak Nami lebih cepat. "Iya, Kak! kami baru kemarin jadian, saat aku baru saja pulang dari rumah sakit," jelas Nami. "Iya, 'kan sayang?" imbuh Nami sambil mengedipkan sebelah matanya kepada pria yang ada di sisinya kini.Pria itu hanya dapat tersenyum canggung karena tidak mengerti apa yang terjadi kepadanya, sedangkan pria tambun yang sedari tadi menunggu Nami dan hendak mencelakai Nami kini perlahan berjalan mundur dan menjauh.Nami masih bersikap manja kepada pria itu, sambil sesekali melirik kearah pria tambun yang hendak mencelakainya. Ia dapat sedikit bernafas lega kini, karena pria itu tak lagi berbuat nekat."Traktir-traktir dong, Jhon kalau udah punya cewek." ledek teman pria yang dipanggil Jhon."Ummh... Nanti aku traktir deh, Bang. Tapi, boleh nggak bang Jhon-nya antar aku pulang dulu?" ucap Nami yang lagi-lagi mengambil jatah Jhon untuk bicara."Dianter pulang aja, Neng? nggak sambil macem-macem, kan?" goda teman Jhon sambil memainkan kedua alisnya.Nami tersenyum malu, sejenak ia menatap Jhon yang kini salah tingkah. "Ihh, abang. Bang Jhon nggak nakal kok orangnya!" jawab Nami sekenanya."Ya udah, sana anter cewekmu pulang dulu, Jhon. Tapi habis itu ke sini lagi ya? temenin aku." pinta teman Jhon yang bernama Boni. "Bolehkan, Neng?" kali ini ia bertanya kepada Nami."Boleh Bang, tapi jangan diajari nakal ya pacar eneng?" ledek Nami, ia masih betah berlendotan di lengan kekar Jhon."Nggak kebalik, Neng? dia mah rajanya! hahaha..." Boni berkelakar.Kali ini Jhon tidak diam saja, tangan kirinya cepat berayun hendak menjitak kepala Boni yang banyak ketombenya."Ya udah kalau gitu, kami duluan yan, Bang." pamit Nami kepada Boni."iya, Neng. tiati yak!"Boni lalu berjalan menuju klub Zoi seorang diri, sedangkan Nami dan Jhon kini berjalan masing-masing. Tak lagi Nami terlihat bermanja kepada Jhon.Jhon yang melihat perubahan Nami, kembali bernafas lega, ia dapat mengatur detak jantungnya yang sejak tadi tak terkendali. Karena ini kali pertama Jhon di tempel oleh seorang wanita.Walau terlihat seperti pria brengsek, sesungguhnya Jhon sama sekali belum pernah 'menyentuh' wanita. Ia bahkan belum pernah mempunyai pacar.Sampai di sebuah warung, Nami mengajak Jhon yang mempunyai nama asli Jhonatan untuk mampir di sebuah warung yang masih buka di luar pasar tradisional tempat Jhon bekerja sebagai preman di sana."Kita mampir di sana dulu ya, Bang. Ada yang mau aku omongin soal perlakuan ku yang tadi tiba-tiba..." Nami menghentikan ucapannya, ia malu untuk mengatakannya."Iya, aku juga mau tanya hal itu, tapi aku liat orang yang tadi sempet sama kamu masih merhatiin kamu, jadi aku tahan." jelas Jhon.Nami bernafas lega, ternyata Jhon peka terhadap apa yang terjadi kepadanya tadi. Sampai di warung yang ditunjuk Nami, Kedua duduk dan memesan segelas teh hangat dan segelas kopi pahit.Sambil menunggu pesanan datang, ternyata Nami tidak langsung membicarakan apa yang ingin ia katakan. Membuat Jhon tidak sabaran dan semakin geram karena Nami hanya diam saja."Hei. Mau sampai kapan diam saja? bagaimana aku tahu kalau kau ada masalah atau butuh bantuan?" bisik Jhon tepat di telinga Nami yang terlihat seperti sedang melamun.Mendengar suara Jhon, Nami kembali tersadar dari lamunannya, ia lalu menatap wajah Jhon yang terlihat seram karena banyak tatto yang menghiasi wajah dan bagian tubuh lainnya yang dapat Nami lihat."Abang tahu lelaki yang tadi bersama saya?" tanya Nami tiba-tiba.Jhon yang telah kesal, semakin kesal mendengar pertanyaan Nami. Ia berdecak lalu meludah kesembarang tempat. Sebuah tusuk gigi ia ambil dari tempatnya yang terletak di atas meja. "Kalau aku tahu, aku tidak akan bertanya kepada mu!" desis Jhon yang suaranya hampir tidak terdengar oleh Nami."Pria tadi adalah penguntit. Ia sudah lama menguntit aku, bahkan mungkin saja yang meracuni aku pun dia, karena sakit hati." jelas Nami."Emang aku perduli," ucap Jhon ketus."Ini minumannya, Neng. Bang." ucap pemilik warung menyela pembicaraan Nami dan Jhon.Nami menyunggingkan senyum manis kepada pemilik warung tersebut sambil menganggukkan kepalanya perlahan, "terima kasih Bu." ucap Nami lembut."Sama-sama, Neng cantik." balas ibu pemilik warung tak kalah ramah. "Bang, ini pacarnya ya?" tanya pemilik warung kepada Jhon. "Kok nggak pernah cerita kalau udah punya pacar?" imbuhnya lagi.Jhon yang kesal mendengar pertanyaan pemilik warung memilih untuk segera berdiri dari tempatnya duduk lalu pergi dari warung itu meninggalkan Nami seorang diri. Nami yang terkejut dengan reaksi Jhon pun segera turut berdiri dari duduknya dan menyusul Jhon."Maaf, Bu. Dia sedang marah kepada saya. Ini uang untuk teh dan kopinya. Maaf belum sempat saya minum." ucap Nami sambil merogoh tas selempang miliknya mencari uang lalu memberikannya kepada ibu warung."Ya sudah atuh,Neng. Kejar dulu Abang Jhon-nya, jangan sampai ia ngambek terus. Hidupnya selama ini sulit." Pemilik warung merasa iba dengan perlakuan Jhon kepada Nami. Tapi ia hanya dapat memberi nasehat sekedarnya saja.Nami pun berusaha secepatnya menyusul langkah Jhon yang cepat. Walau terengah, akhirnya Nami dapat menyeimbangi langkah Jhon. "Bang, Jhon. Tunggu! aku belum selesai ngomong lho?" ucap Nami, nafasnya terdengar telah sati-satu.Terlebih ia belum makan sejak siang tadi, tenaganya yang sempat terkumpul tadi kini kembali habis terkuras demi menyeimbangkan langkahnya dengan Jhon.Tak mendapat respon, Nami memegang tangan Jhon lalu berhenti berjalan. Secara otomatis, tubuh Jhon tertarik ke belakang. Hampir saja Jhon menabrak tubuh Nami yang mungil jika ia tidak mempunyai kekuatan dan reflek kaki yang bagus."Kau..." Jhon hampir saja memukul Nami, yang kini tengah memejamkan mata, bersiap menerima pukulan dari tangan yang sudah diayunkan Jhon hendak memukulnya.Lama menunggu, tapi tak kunjung mendapat pukulan. Nami memberanikan diri untuk membuka mata, tangannya masih memegang sebelah tangan Jhon, "Tolong aku, Bang. Jadi pacar aku. Pleasee...." ucap Nami memelas."Nggak mau!" tolak Jhon tegas."Tapi semua udah tahu kalau kita pacaran," Nami kembali membujuk Jhon."Nggak ya Nggak! jangan maksa!" Jhon masih tetap kekeuh dengan keputusannya."Pacar pura-pura aja. Kita buat perjanjiannya, gimana?"Jhon menepis tangan Nami. Ia berjalan meninggalkan Nami yang masih terdiam memandang tubuh Jhon yang berjalan menjauh darinya. Setelah tubuh Jhon tak lagi terlihat, Nami menghela nafas lalu berjalan menuju kos tempat ia tinggal. 'Setidaknya hari ini aku aman.' ucap Nami dalam hati. Sampai di rumah kosnya, Nami membuka pagar kayu yang tertutup rapat. Suasana lengang dan sepi karena hari telah masuk larut malam. Sebagian besar penghuni kos tentu sudah tidur.Nami berjalan menuju kamar kosnya, setelah sampai di depan pintu, Nami mengambil kunci kamarnya yang ia simpan di dalam tas. Tangannya lincah memutar kunci yang telah tertancap di lubang kunci. Perlahan pintu kamar terbuka. Nami melangkahkan kakinya masuk ke dalam setelah membuka sepatu hak nya lalu menutup dan mengunci pintu kamarnya. Dengan asal Nami melempar tas kecil yang ia bawa dan menaruh sepatu haknya di rak sepatu. Nami menghempaskan tubuhnya di kasur empuk yang ia beli dari hasilnya bekerja sebagai Geisha di klub Zoi
Nami memasang muka masam, malu yang ia rasa lebih besar dari pada rasa nyeri yang ada di kakinya karena tersandung batu. Jhon langsung memeluk Nami setelah keduanya berdiri dari jatuhnya.Jhon lalu memeriksa setiap bagian tubuh Nami yang dirasa terluka saat jatuh tadi, "Kamu nggak apa 'kan Sayang?" ucap Jhon sambil menatap Nami penuh rasa cemas.Nami yang mendengar ucapan Jhon terheran, apalagi mendengar ucapan Jhon yang penuh perhatian kepadanya.Tak ayal Nami sempat tersipu malu mendapat perhatian dari Jhon. Senyum tipis tersungging di wajah Nami. "Nggak apa-apa kok,"Rasanya Nami hendak memanggil dengan sebutan sayang juga, tapi rasa malu Nami lebih besar saat ini. Dirasa Jhon lengah, pria tersebut berusaha kembali hendak menarik tangan Nami agar kembali kepadanya dan menjauh dari jangkauan Jhon.Tapi mata Jhon yang jeli, segera menahan tangan pria tersebut agar tidak kembali menyentuh Nami, "Berhenti di sana Pak Jaya!" Jhon menyebut nama pria gempal itu sambil tersenyum sinis.Men
Selesai membersihkan diri, Nami pergi ke dapur membuatkan kopi untuk Jhon yang kini tengah mandi di dalam kamar mandi kos Nami.Selesai membuat Kopi dan teh untuk dirinya, Nami mengeluarkan camilan dan roti yang ia beli setelah pulang dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dalam satu nampan, Nami berjalan ke ruang depan kamar kosnya.Tepat setelah Nami menyusun minuman dan makanan di atas meja, Jhon keluar dari kamar mandi sambil menarik-narik baju yang ia kenakan."Ini... Nggak ada baju yang lebih gede lagi apa?" protes Jhon.Selama ini, Jhon lebih suka memakai baju over size dari pada baju yang pres body seperti yang Jhon pakai saat ini. Nami yang melihat bentuk tubuh Jhon cukup terkagum karena pahatan di tubuh Jhon cukup sempurna untuk ukuran preman pasar yang tidak ada kerjanya selain membuat onar dan tidur."Pakai aja si! itu udah baju yang paling besar punya aku." ucap Nami, senyum tipisnya nampak tersungging mengagumi tubuh Jhon. "Dah, duduk sini! kita omongin selanjutnya ur
Nami mendorong pintu kaca sebuah salon yang letaknya tak jauh dari jalan besar. Lokasi dengan deretan toko berbagai macam jenis barang yang dijual, membuat jalanan tersebut selalu ramai oleh para pengunjung, apalagi daerah tersebut terkenal dengan harga yang miring namun berkualitas. Salah satu tim preman yang menjaga keamanan di daerah tersebut adalah Jhonatan yang mendapuk sebagai ketua preman di sana. Seorang pria tampan tampak terkejut melihat seorang Jhonatan memasuki salonnya bersama seorang wanita cantik.Wajah takut serta canggung tampak jelas Jhonatan lihat di raut wajah pria tersebut. Tapi pria itu segera menghampiri Jhonatan dan Nami yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. "Maaf, Boss... Rasanya baru kemarin kami-"Ucapan pria tersebut seketika berhenti saat Jhonatan menggelengkan kepalanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Pemilik salon tersebut bertambah bingung saat melihat ekspresi wajah Nami yang tampak kebingungan. "Apa kau baru saja memotong rambutmu di salon
Mata Nami terpejam. Entah menghindari tatapan mata Jhonatan yang begitu dekat dengan wajahnya, atau menanti sebuah peristiwa yang ia bayangkan tanpa peringatan lebih dulu.Melihat Nami menutup matanya, Jhonatan tersenyum tengil. Ia sudah menyangka gadis dihadapannya akan menutup matanya, berpikir jika Jhonatan akan mendaratkan ciuman manis di wajah Nami.Jari Jhonatan bergerak. membentuk pola bulat antara jari jempol dan jari telunjuknya. Dengan satu hentakan, sebuah sentilan yang cukup keras mendarat di dahi Nami yang tertutupi poni.Suara benturan kulit tangan dan kulit wajah terdengar cukup nyaring di ruangan yang kecil itu, rasa sakit mulai menjalar di area yang terkena sentilan jemari Jhonatan. Mata Nami terbuka lebar. Tatapannya nyalang penuh amarah karena apa yang dilakukan oleh Jhonatan baru saja.Nami mengelus dahinya, tatapan matanya tak lepas dari gerakan yang Jhonatan lakukan, "Sa-""Udah tau!" ucap Jhonatan sambil menoyor kepala Nami, membuat Nami menghentikan ucapannya
"Kamu kenapa, Nami? apa aku membuatmu takut?" Suara merdu bagai hipnotis merasuk ke dalam gendang telinga Nami. Namun ada rasa aneh saat melihat wajah pria tampan yang ada di hadapannya saat ini.Jemari lembut namun terlihat kekar itu kini membelai lembut wajah Nami, "Wajahmu terlihat pucat, apa kamu belum sempat makan atau meminum teh yang aku kirimkan untukmu? aku lihat gelas di atas meja sama sekali tidak tersentuh," cerca pria tersebut dengan Nada lembut.Nami memaksakan senyuman di wajahnya, matanya menatap ragu pada sosok di hadapannya saat ini. "Tadi terlalu sibuk untuk bersiap, aku sampai lupa kalau ada minuman di atas meja." kilah Nami."Kak Luki sejak kapan ada di dalam ruanganku?" tanya Nami menyelidik."Kenapa? kamu keberatan aku ada di sini?" bukan menjawab, pria itu malah bertanya balik."Bukan begitu, Kak! diluar sedang banyak tamu penting. Bukankah sebaiknya Kakak menemui mereka? siapa tahu mereka mau menanamkan saham di klub Kakak?" ujar Nami beralasan.Luki berpikir
Nami dan Jhonatan kini telah berada di depan halaman kos Nami. Jhonatan membuka pintu pagar lalu mempersilahkan Nami untuk masuk terlebih dahulu."Udah sampai! aku pulang duluan ya?!" ucap Jhonatan sambil melambaikan tangan.Nami dengan cepat meraih tangan Jhonatan dan menghentikan langkah Jhonatan, "mau kemana? kan tadi mau kasi tau, isi obrolan boss ku sama seseorang?" tanya Nami.Perlahan Jhonatan melepas pegangan tangan Nami, "Besok aja deh. Udah malam, kamu butuh istirahat!" Jhonatan mengacak rambut Nami gemas, lalu ia pergi meninggalkan Nami yang masih dilanda rasa penasaran tentang hal apa yang diketahui oleh Jhonatan namun ia memilih untuk menyimpannya sendiri. Nami ingin mendesak Jhonatan untuk bicara, tapi apa yang dikatakan Jhonatan ada benarnya. Ia harus beristirahat. Membicarakan hal rahasia tidak cukup dengan waktu yang sebentar.Nami hanya dapat melihat punggung Jhonatan yang perlahan pergi menjauh hingga tak nampak di pelupuk mata Nami, baru Nami masuk ke dalam kamar
Satu minggu berlalu. Nami masih belum juga bertemu dengan Jhonatan. Entah pergi kemana Nami juga tidak mendapat kabar dari Jhonatan. Ia bagai hilang ditelan bumi.Pernah Nami sengaja mampir di warung makan dan barber shop tempat Nami dan Jhonatan datang, tapi para pemilik toko tersebut tidak tahu kemana Jhonatan pergi. Mereka melihat Jhonatan terakhir kalinya saat ia d atang bersama Nami tempo hari.Jaya memang sudah tidak lagi mengganggu Nami, ada sedikit rasa lega. Tapi rasa penasaran Nami tentang apa yang akan di katakan oleh Jhonatan namun pada akhirnya hingga saat ini Jhonatan tidak terlihat batang hidungnya.Hari ini Nami tidak ada jadwal pentas, ia menggunakan seharian untuk mencari di mana Jhonatan berada. Tapi hingga sore hari, Nami tidak dapat menemukan di mana Jhonatan berada. Lelah mencari, Nami menenggak minuman isotonik yang ia beli di warung pinggir jalan hingga habis. Setelah membuang botol bekasnya ke tempat sampah, Nami memutuskan untuk pulang ke tempat kosnya. Di s
telah menutup teleponnya, Novi lalu berjalan ke arah Anto dan Ahmad. Melupakan rasa malu karena meminta tolong pada orang asing yang belum tentu dapat dipercaya, tapi berdasarkan cerita Ratu dan Raja, Anto adalah orang baik, mungkin Novi akan mencoba mempercayainya."Permisi?" Novi membungkukkan sedikit tubuhnya, setelah Anto dan Ahmad menoleh, ia kembali menegakkan posisi tubuhnya. Ahmad sedikit salah tingkah melihat Novi ada dihadapannya."Boleh minta tolong?" tanya Novi lagi."Minta tolong apa, Tante?" tanya Anto.Novi cemberut. mengumpat dalam hati, apa pemuda itu lupa? jika Novi pernah marah saat ia dipanggil dengan sebutan tante? ingin sekali Novi mencak-mencak. Tapi kali ini, Novi membutuhkan bantuan Anto. Dengan sedikit gengsi dan sedikit malu-malu, Novi akhirnya memendam rasa kesalnya kepada Anto."Aku minta tolong, temani Raja menonton film. Aku ada pekerjaan dadakan, tidak mungkin dibatalkan. Kamu bisa kan bantu saya?" tanya Novi."Oh, begitu?" Anto menatap Raja yang tenga
Jhonatan telah sampai di depan kos Nami. Ia membawa Nami dengan mengikat tubuh Nami dengan sebuah kain panjang yang ia temukan saat hendak membawa Nami pergi dari gudang kosong tempat Nami disekap. Walau selama perjalanan menuju tempat kos, Nami selalu berusaha berontak dan mengeluh panas tubuhnya semakin tak tertahankan, tapi Jhonatan pada akhirnya mampu membawa Nami selamat sampai tempat kosnya. Tanpa membuka ikatan kain yang membuat tubuh Nami dan Jhonatan tak berjarak, Jhonatan menggendong Nami di punggungnya. Kali ini, Nami berhasil melepaskan ikatan pada kedua tangannya. "Jhon... Lepaskan akuu... Aku bisa berjalan sendiri!" desah Nami."Aku nggak akan lepasin kamu! Diamlah, jangan berulah! nanti semua orang datang lalu menuduhku berbuat tak senonoh padamu!" Hardik Jhonatan tak tahan dengan racauan Nami. Tanpa kesulitan Jhonatan berhasil mendobrak pintu kamar kos Nami dengan satu kaki. Jhonatan lalu menyeret Nami masuk ke dalam kos lalu mengunci kos tersebut, barulah Jhonatan
"Apa yang kalian berikan kepadaku?" teriak Nami histeris. Tubuhnya mulai merasa panas dan berkeringat, ada sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya yang belum pernah ia rasakan sebesar ini sebelumnya. "Sebentar lagi bos besar datang, jadi... Saat ia sampai, kau pun telah siap untuk melayaninya. Hahaha..." ucap pria tersebut lalu tergelak riang. Keduanya pun meninggalkan Nami seorang diri kembali. Sedangkan Nami sudah mulai gelisah dengan apa yang ia rasa di tubuhnya. Tak lama, suara deru mobil terdengar mendekat lalu suara mesin mati. Mobil terparkir tepat di depan bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Pintu terbuka, seorang pria paruh baya keluar dari dalam mobil dengan menggunakan kemeja putih di padu dengan celana bahan berwarna hitam. Sepatu pantofel hitam mengkilat tampak pas di kakinya. "Boss!" ucap pria berambut panjang sedikit berlari, mendekat ke arah pria paruh baya tersebut, menyambut kedatangannya. Di susul oleh teman yang menemaninya berjaga malam ini. "Selamat d
Jhonatan langsung berbalik, tinju yang ia layangkan cepat bergerak menuju ulu hati Hendrik yang terbuka, namun Kali ini, Hendrik tidak diam saja. Gerakannya dapat menahan tinju yang Jhonatan layangkan untuknya. Senyum kemenangan terlihat jelas di wajah Hendrik.Perlahan tapi pasti, Hendrik meremas kepalan tangan Jhonatan hingga Jonatan meringis kesakitan. "Jangan kau bertindak bagai pahlawan kesiangan! Nami itu milikku sejak awal. Jadi jangan kau bertingkah seolah-olah dia adalah milikmu!" bisik Hendrik di telinga Jhonatan. "Aku tahu kalian hanyalah sebatas kerbau dan buruk jalak! Jadi tetaplah seperti itu!" imbuh Hendrik. "Pergilah! Kau tidak akan mendapatkan apapun di sini!" ucap Hendrik lalu melepaskan cengkeramannya. Tanpa sepatah kata pun, Jhonatan meninggalkan ibu dan rumah besar tersebut. Elis, sang ibu hendak menghentikan Jhonatan, namun di cegah oleh Hendrik. "Biarkan saja dia, Sayang. Anak yang sedang jatuh cinta memang sering kali kehilangan kesabaran dan akal sehatny
Jhonatan sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Halaman yang luas dengan hiasan air mancur di bagian tengah halaman dengan lampu yang menyala terang menghiasi halaman yang ditata apik. Tidak lagi mengetuk. Jhonatan langsung mendobrak pintu rumah yang tinggi menjulang berbahan kayu jati dengan detail ukiran yang bagus. Langkahnya terdengar berat karena hentakan kaki yang penuh amarah melangkah masuk ke dalam rumah. Raut penuh amarah nampak jelas di wajah Jhonatan. Tangannya meraih sebuah guci kecil yang terletak di atas meja hias tempat dimana banyak hiasan dari keramik dengan berbagai bentuk tertata rapi. "Hendrik! Keluar kau bangsat!" Teriak Jhonatan. Tangannya melempar guci yang ia pegang ke sembarang arah. "Gua tau kalau Lo ada di rumah! Keluar bangsat!" Suara Jhonatan yang menggema di dalam rumah berlantai dua tersebut. Mendengar keributan, seorang wanita keluar dari dalam kamar yang terletak tak jauh dari tangga yang dibangun cukup megah. "Natan?!" pekik wanita berusia
"Nunu!" ucap Jhonatan sambil memasang wajah datar."Nggak-"Jhonatan langsung membungkam mulut Nami, "tak ada lagi penolakan! aku akan buktikan apa yang aku katakan padamu adalah kebenaran. tegas Jhonatan.Nami terdiam. Ia tahu tidak seharusnya meragukan apa yang dikatakan oleh Jhonatan, tapi Nami masih tidak dapat percaya jika Nunu yang melakukan semuanya. Beberapa waktu, tidak ada lagi percakapan antara Nami dan Jhonatan. Hingga dering ponsel milik Nami terdengar. Jhonatan hanya melirik gerak gerik Nami, sementara Nami mengambil ponsel dan menerima telepon yang masuk. "Hallo..." ucap Nami setelah mengangkat panggilan. [...]"Kapan?" [...]Nami terlihat melirik kearah Jhonatan yang sedang menyeruput kopinya, "iya. Dia di sini, kenapa?" Ucapan Nami membuat Jhonatan seketika menoleh ke arahnya. Dahi Jhonatan. Mengkerut menatap Nami. [...]"Oh... Begitu?" ucap Nami lemah. [...]"Baiklah... Sampai jumpa?!" ujar Nami lalu meletakkan ponselnya di atas meja. "Siapa?" tanya Jhonatan
Nami menendang beberapa kali kaki yang membuatnya terjatuh tadi, namun tubuh itu masih tidak bergerak. Nami mengintip, mencoba melihat wajah siapa pemilik tubuh yang tergeletak di depan kosnya.Walau takut-takut, Nami memberanikan diri menyingkirkan tangan yang menutupi wajah si pemilik tubuh. "Jhon?" pekik Nami.Tahu pemilik tubuh itu adalah Jhon, Nami segera mengguncang tubuh Jhonatan agar terbangun. Merasa tak ada hasil, Nami menaruh jari telunjuknya di depan hidung bangir milik Jhonatan, memastikan bahwa Jhonatan masih hidup.Nami bernafas lega, Karena Jhonatan masih bernafas. Rasa paniknya berubah menjadi rasa kesal. Ia lalu memencet hidung bangir Jhonatan hingga Jhonatan terbangun karena tidak dapat bernafas."Woy! apa sih! mau bunuh orang?" pekik Jhonatan emosi."Kamu yang mau bunuh orang gara-gara jantungan, ngerti nggak?!" ucap Nami tak kalah keras. tangannya memukul paha Jhonatan, hingga membuat Jhonatan meringis kesakitan.Jhonatan terpaku sejenak melihat Nami ada di hadapa
Nami melihat Jhonatan begitu asyik berbincang dengan seorang wanita cantik yang entah siapa Nami tidak mengetahuinya. Ia tidak pernah berpikir jika Jhonatan mempunyai kenalan wanita begitu cantiknya. Air wajah yang sedari tadi tersenyum sambil menggerakkan tubuhnya, kini berubah masam. Wajah Nami tak berekspresi seperti sebelumnya.Apalagi ketika melihat Jhonatan berdiri sambil menarik tangan si wanita dengan tergesa-gesa, seketika mendung membayang di atas kepala Nami.Waktu menunjukkan pukul satu malam. Pekerjaan Nami telah selesai. Make up dan pakaian telah Nami ganti dengan pakaian yang ia kenakan saat ia berangkat tadi sore. Tubuh Nami terasa lelah, tidak seperti hari biasanya.Sesekali ia memijit bahunya saat berjalan keluar dari lobby klub. "Namii!... Nek! tunggu akikaaa!" teriakan khas suara Nunu menggema di area lobby klub.Nami menoleh kebelakang sambil tersenyum menatap Nunu yang terlihat kesulitan berlari. Gaya melambai Nunu membuatnya kesulitan jika dalam keadaan berlari
Nami mengedipkan matanya beberapa kali. Tatapannya tak lepas dari wajah Jhonatan yang perlahan menjauh dari wajahnya. Senyum teramat manis dari bibir manis yang baru saja mengecup bibirnya membuat wajah Nami memerah. "Dah! masuklah. Aku tunggu di depan! semangat sayang..." ucap Jhonatan, tangannya tak henti mengelus pipi mulus Nami.Nami hanya dapat mengangguk patuh, Jantungnya saat ini sudah terasa akan meledak jika ia tidak cepat-cepat menjauh dari Jhonatan. Perlahan tubuhnya berbalik, matanya sempat melihat sosok pria paruh baya yang sempat mengecup pipinya beberapa minggu lalu, namun Nami tak ingin menyapanya. Ia langsung masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu ruangan tersebut.Jhonatan melangkahkan kakinya berjalan meninggalkan ruangan Nami, ia hendak keluar tapi pria paruh baya itu masih berdiri di tempatnya, sehingga mau tak mau Jhonatan harus melewatinya."Kau sengaja melakukannya" ucap pria itu saat Jhonatan melewatinya.Jhonatan menghentikan langkahnya, ia melirik sejena