Selesai membersihkan diri, Nami pergi ke dapur membuatkan kopi untuk Jhon yang kini tengah mandi di dalam kamar mandi kos Nami.
Selesai membuat Kopi dan teh untuk dirinya, Nami mengeluarkan camilan dan roti yang ia beli setelah pulang dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dalam satu nampan, Nami berjalan ke ruang depan kamar kosnya.Tepat setelah Nami menyusun minuman dan makanan di atas meja, Jhon keluar dari kamar mandi sambil menarik-narik baju yang ia kenakan."Ini... Nggak ada baju yang lebih gede lagi apa?" protes Jhon.Selama ini, Jhon lebih suka memakai baju over size dari pada baju yang pres body seperti yang Jhon pakai saat ini. Nami yang melihat bentuk tubuh Jhon cukup terkagum karena pahatan di tubuh Jhon cukup sempurna untuk ukuran preman pasar yang tidak ada kerjanya selain membuat onar dan tidur."Pakai aja si! itu udah baju yang paling besar punya aku." ucap Nami, senyum tipisnya nampak tersungging mengagumi tubuh Jhon. "Dah, duduk sini! kita omongin selanjutnya urusan kita," imbuh Nami."Urusan kita? urusan Lu! kenapa gua jadi kebawa-bawa?" protes Jhon. JHon duduk di lantai, karena memang di ruang itu hanya terdapat meja untuk makanan dan minuman dengan besar yang relatif sedang dengan kaki pendek. Pas untuk mode lesehan di dalam ruangan. Nami tidak begitu menyukai banyak barang di dalam kamar kosnya, ia pun lebih menyukai duduk lesehan di lantai dari pada duduk di kursi."Iya deh urusan aku." Nami mengalah."Kita beneran pacaran ya?" tembak Nami."Wah gila! agresif apa ngebet? enggak kalau pacaran beneran, aku nggak minat!" ucap Jhon.Tangannya mengambil cangkir berisi kopi yang dibuat oleh Nami lalu menyeruputnya, matanya sedikit melebar karena rasa kopi yang Nami buat sesuai dengan seleranya, satu banding satu dengan takaran kopi sedikit lebih banyak. "Pinter juga lu bikin kopi," puji Jhon."Ck... Kamu tuh. labil banget si! sebentar ngomong pake lo gua, sebentar pake aku kamu! yang berprinsip dong!" protes Nami, ia merasa aneh dengan carabicara Jhon. Membuat Nami bingung ingin mengimbanginya."Aku memang begini, jadi terserah kamu, kamu mau pakai bahasa apa. Senyamannya aja," seloroh Jhon cuek."tapi denger ya! kita cuma pacaran bohongan! selesai masalahmu, kita langsung putus." Jhon memperingati Nami."Yah. Kalau untuk masalah sebenarnya cuma om gendut tadi yang lebih merepotkan. Selebihnya aku bisa atasi sendiri," jawab Nami lirih. Namun wajah sedihnya dapat Jhon tangkap cukup baik."Yakin?" tanya Jhon meyakinkan.Nami hanya menganggukkan kepalanya perlahan lalu menyeruput gelas berisi teh hangat yang ia buat tadi."Gimana kalau kamu berhenti kerja di klub itu? bukannya bos mu sendiri yang jual kamu ke om om jelek tadi? itu artinya, bos mu udah nggak mau kamu ada di klub itu kan?" usul Jhon.Nami menggelengkan kepalanya, "nggak! aku yakin bukan bos ku yang jual aku," Nami bersi keras.Ia tahu, bagaimana bos nya amat perhatian dan menyayangi dirinya seperti adiknya sendiri. Bos nya tidak pernah melakukan hal yang membuat Nami sakit hati atau pun kecewa, makanya, ketika pria bernama Jaya mengatakan bahwa bosnya lah yang menjual dirinya kepada pria jelek itu, Nami sama sekali tidak percaya.Tiba-tiba Nami menggenggam tangan Jhon yang masih memegang cangkir berisi kopi yang masih panas, membuat isi di dalam cangkir tersebut tumpah di tangan keduanya. Jhon yang kaget dengan sikap Nami memekik karena kopi di cangkirnya tumpah mengenai tangannya."Aduh! yang bener dong pakai otakmu!" pekik Jhon.Nami yang juga merasakan panas di tangannya segera ,mengambil serbet yang masih ada di pangkuannya dan mengelap tempat yang terkena air kopi. "Maaf! maaf... Aku reflek tadi. Kalau ada ide tiba-tiba suka gitu. Hehehe..." ucap Nami sambil nyengir."Masih bisa ketawa lu!" ucap Jhon sambil geleng-geleng kepala.Setelah selesai membersihkan semuanya, Nami kembali menatap Jhon dengan tajam, "Kita pacaran sampai pelaku yang jual aku ke om jelek tadi ketangkap. Aku yakin dia nggak bakal diem kalau tau aku nggak berhasil dibawa pergi sama om-om jelek itu," ucap Nami."Hahaha... Yang kaya gitu mah sehari selesai gua tanganin! jadi nggak perlu lah pake pacaran segala. tinggal gua obrak abrik itu klub busuk, gua suruh ngaku, selesai!" ucap Jhon congkak.Kesal mendengar ucapan Jhon, Nami menggeplak kepala Jhon hingga berbunyi nyaring. "Kalau ngomong asal njeplak si. Yang ada kamu yang dilaporin ke polisi karena buat onar!" Nami memberitahu.Jhon mengusap kepalanya yang terasa sakit karena pukulan Nami cukup keras ia rasa. Walau begitu, Jhon merasa ucapan Nami ada benarnya sehingga ia pun kembali berpikir tentang apa yang akan ia lakukan selanjutnya."Terus... Tugas ku jadi pacarmu itu apa?" tanya Jhon, tangannya mencomot roti yang ada di piring lalu mengunyahnya."Yaa... Selayaknya pacar pada umumnya, antar jemput aku kerja, nungguin aku selesai kerja. Tapi kalau di luar lingkungan kerjaan bebas deh kamu mau ngapain aja." jelas Nami."Anter jemput doang mah kecil!" Jhon menjentikkan jarinya di depan muka Nami.Nami menepis tangan Jhon yang penuh dengan remah-remah roti kering. "Jauh-jauh ih! Mau meper ya?" Sergah Nami."Nggak gitu doang! Kamu juga wajib memata-matai siapapun yang mencurigakan. Yang berpotensi kalau orang itulah biang dari kesialan aku beberapa Minggu ini. Aku yakin, orang yang jual aku dan yang meracuni aku itu adalah orang yang sama!" imbuh Nami menggebu."Ya udah. Ayo sekarang aja kita grebek tu klub Zoi!" Jhon berdiri dengan menggebu, ia sudah lama tidak membuat keributan dan bertengkar dengan seseorang selain tadi dengan om om gendut yang tidak ada perlawanan sama sekali.Jhon sudah gatal ingin mengasah kemampuan bela diri yang ia miliki, lebih tepatnya... Ia ingin menghajar seseorang. Melampiaskan rasa kesal di hatinya."Heh! Nggak sekarang! Aku kerja nanti malam! Jadi nanti malam kamu antar aku kerja! Ini masih pagi, mending kita ke salon deh. Potong rambutmu, benerin penampilanmu! Kalau kamu menarik, para cewek di klub bakal banyak yang nempel sama kamu, dari sana kamu bisa ngorek berbagai informasi yang dia tahu. Siapa tahu kan... Salah satu diantaranya adalah pelaku yang nggak sengaja keceplosan?" ucap Nami santai.Tatapan Nami tak lepas dari penampilan Jhon saat ini. Rambut gondrong tak teratur. Baju ketat yang walau dirasa aneh, tetapi bagi Nami itu sangat cocok untuk Jhon. Dengan baju itu, Jhon terlihat lebih macho dari sebelumnya."Yuk Lah, kita ke salon dulu! Baru cari baju yang cocok untuk style mu ke klub malam. Yang pasti, kamu harus keliatan kayak mafia keren yang sulit buat dirayu!" Jelas Nami.Nami menarik tangan Jhon. Membuat Jhon terpaksa mengikuti langkah Nami. Keduanya keluar kos dan berjalan kaki bersama menuju tempat salon yang tempatnya tidak jauh dari tempat kos Nami.Nami mendorong pintu kaca sebuah salon yang letaknya tak jauh dari jalan besar. Lokasi dengan deretan toko berbagai macam jenis barang yang dijual, membuat jalanan tersebut selalu ramai oleh para pengunjung, apalagi daerah tersebut terkenal dengan harga yang miring namun berkualitas. Salah satu tim preman yang menjaga keamanan di daerah tersebut adalah Jhonatan yang mendapuk sebagai ketua preman di sana. Seorang pria tampan tampak terkejut melihat seorang Jhonatan memasuki salonnya bersama seorang wanita cantik.Wajah takut serta canggung tampak jelas Jhonatan lihat di raut wajah pria tersebut. Tapi pria itu segera menghampiri Jhonatan dan Nami yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. "Maaf, Boss... Rasanya baru kemarin kami-"Ucapan pria tersebut seketika berhenti saat Jhonatan menggelengkan kepalanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Pemilik salon tersebut bertambah bingung saat melihat ekspresi wajah Nami yang tampak kebingungan. "Apa kau baru saja memotong rambutmu di salon
Mata Nami terpejam. Entah menghindari tatapan mata Jhonatan yang begitu dekat dengan wajahnya, atau menanti sebuah peristiwa yang ia bayangkan tanpa peringatan lebih dulu.Melihat Nami menutup matanya, Jhonatan tersenyum tengil. Ia sudah menyangka gadis dihadapannya akan menutup matanya, berpikir jika Jhonatan akan mendaratkan ciuman manis di wajah Nami.Jari Jhonatan bergerak. membentuk pola bulat antara jari jempol dan jari telunjuknya. Dengan satu hentakan, sebuah sentilan yang cukup keras mendarat di dahi Nami yang tertutupi poni.Suara benturan kulit tangan dan kulit wajah terdengar cukup nyaring di ruangan yang kecil itu, rasa sakit mulai menjalar di area yang terkena sentilan jemari Jhonatan. Mata Nami terbuka lebar. Tatapannya nyalang penuh amarah karena apa yang dilakukan oleh Jhonatan baru saja.Nami mengelus dahinya, tatapan matanya tak lepas dari gerakan yang Jhonatan lakukan, "Sa-""Udah tau!" ucap Jhonatan sambil menoyor kepala Nami, membuat Nami menghentikan ucapannya
"Kamu kenapa, Nami? apa aku membuatmu takut?" Suara merdu bagai hipnotis merasuk ke dalam gendang telinga Nami. Namun ada rasa aneh saat melihat wajah pria tampan yang ada di hadapannya saat ini.Jemari lembut namun terlihat kekar itu kini membelai lembut wajah Nami, "Wajahmu terlihat pucat, apa kamu belum sempat makan atau meminum teh yang aku kirimkan untukmu? aku lihat gelas di atas meja sama sekali tidak tersentuh," cerca pria tersebut dengan Nada lembut.Nami memaksakan senyuman di wajahnya, matanya menatap ragu pada sosok di hadapannya saat ini. "Tadi terlalu sibuk untuk bersiap, aku sampai lupa kalau ada minuman di atas meja." kilah Nami."Kak Luki sejak kapan ada di dalam ruanganku?" tanya Nami menyelidik."Kenapa? kamu keberatan aku ada di sini?" bukan menjawab, pria itu malah bertanya balik."Bukan begitu, Kak! diluar sedang banyak tamu penting. Bukankah sebaiknya Kakak menemui mereka? siapa tahu mereka mau menanamkan saham di klub Kakak?" ujar Nami beralasan.Luki berpikir
Nami dan Jhonatan kini telah berada di depan halaman kos Nami. Jhonatan membuka pintu pagar lalu mempersilahkan Nami untuk masuk terlebih dahulu."Udah sampai! aku pulang duluan ya?!" ucap Jhonatan sambil melambaikan tangan.Nami dengan cepat meraih tangan Jhonatan dan menghentikan langkah Jhonatan, "mau kemana? kan tadi mau kasi tau, isi obrolan boss ku sama seseorang?" tanya Nami.Perlahan Jhonatan melepas pegangan tangan Nami, "Besok aja deh. Udah malam, kamu butuh istirahat!" Jhonatan mengacak rambut Nami gemas, lalu ia pergi meninggalkan Nami yang masih dilanda rasa penasaran tentang hal apa yang diketahui oleh Jhonatan namun ia memilih untuk menyimpannya sendiri. Nami ingin mendesak Jhonatan untuk bicara, tapi apa yang dikatakan Jhonatan ada benarnya. Ia harus beristirahat. Membicarakan hal rahasia tidak cukup dengan waktu yang sebentar.Nami hanya dapat melihat punggung Jhonatan yang perlahan pergi menjauh hingga tak nampak di pelupuk mata Nami, baru Nami masuk ke dalam kamar
Satu minggu berlalu. Nami masih belum juga bertemu dengan Jhonatan. Entah pergi kemana Nami juga tidak mendapat kabar dari Jhonatan. Ia bagai hilang ditelan bumi.Pernah Nami sengaja mampir di warung makan dan barber shop tempat Nami dan Jhonatan datang, tapi para pemilik toko tersebut tidak tahu kemana Jhonatan pergi. Mereka melihat Jhonatan terakhir kalinya saat ia d atang bersama Nami tempo hari.Jaya memang sudah tidak lagi mengganggu Nami, ada sedikit rasa lega. Tapi rasa penasaran Nami tentang apa yang akan di katakan oleh Jhonatan namun pada akhirnya hingga saat ini Jhonatan tidak terlihat batang hidungnya.Hari ini Nami tidak ada jadwal pentas, ia menggunakan seharian untuk mencari di mana Jhonatan berada. Tapi hingga sore hari, Nami tidak dapat menemukan di mana Jhonatan berada. Lelah mencari, Nami menenggak minuman isotonik yang ia beli di warung pinggir jalan hingga habis. Setelah membuang botol bekasnya ke tempat sampah, Nami memutuskan untuk pulang ke tempat kosnya. Di s
Nami melempar tas selempangnya kesembarang arah. Ia lalu menghempaskan tubuhnya asal di atas kasurnya yang empuk. Rasa kesalnya masih menjalari hatinya karena perlakuan Jhonatan yang tiba-tiba menjadi aneh.Guling yang menjadi samsak kekesalan Nami kini ia peluk erat, "Apa dia cemburu liat aku dicium sama om-om tadi?" gumam Nami.Otaknya masih mencoba berpikir, "tapi masak iya dia cemburu?"Nami mengacak rambutnya kasar. Ia masih tidak mengerti, baru saja mereka bertemu tapi Jhonatan malah marah tidak jelas kepadanya.Di sisi lain. Jhonatan berjalan masuk ke dalam klub Zoi. kakinya melangkah ke arah di mana Nami menunjukkan arah toilet kepada pria paruh baya tersebut.Sampai di toilet, Jhonatan berdiri di depan pintu masuk toilet. Tak lama keluarlah pria paruh baya tadi. Ia terkejut melihat Jhonatan ada di sana."Sedang apa kamu di sini?" tanya pria itu."Sedang apa? seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepada pria tua sepertimu!" ucap Jhonatan ketus."Sedang apa? tentu saja berb
Nami berjalan menuju klub sore hari ini. Jadwal Nami Nami setiap sabtu dan minggu lebih awal dari hari yang lain."Neng!" Suara teriakan seorang pria yang cukup Nami kenal membuat Nami menolehkan pandangannya yang sedari tadi tertunduk lesu."Eh, Bang Boni?" sapa Nami saat mengetahui orang yang memanggilnya adalah Boni, teman Jhonatan."Kok sendirian, Neng? Jhon nya mana?" Tanya Boni sambil celingukan mencari sosok Jhonatan yang memang tidak ada di sekitar Nami. Nami hanya dapat menggelengkan kepala sambil memanyunkan bibirnya. "Berantem lagi sama Jhon?" selidik Boni.Nami menganggukkan kepala kali ini sambil memasang wajah sedih. Boni hanya dapat menggaruk kepalanya yang tidak gatal, 'rumit sekali pacaran ternyata.' Ucapnya dalam hati."Neng tampil awal kan? biar nanti abang bantu cari Jhon deh. Tapi janji ya, ini abang bantu, kalian jangan marah-marahan lagi!" Boni menyodorkan jari kelingkingnya.Isyarat janji kelingking yang Boni berikan ditanggapi oleh Nami dengan tersenyum. IOa
Nami keluar dari klub sambil melambaikan tangannya ke arah Jhonatan yang sedang menunggunya di gerbang keluar area klub. Senyumnya tampak lebar, hatinya senang sekali karena Jhonatan mau menemuinya kembali.Jhonatan hanya satu kali membalas lambaian tangan Nami, senyum simpul tampak setipis tisu. Tapi penampilan Nami malam ini mampu membuat wajah Jhonatan memerah. Nami tampak cantik sekali dengan dress sepanjang lutut dengan hiasan bunga-bunga besar di bajunya, lengan balon membuat Nami terlihat semakin menggemaskan. Saat Nami sudah mendekat pada Jhonatan yang masih tetap berdiri di tempatnya, Jhonatan mengacak sedikit rambut Nami, "Cantik banget si!" ucap Jhonatan polos.Nami yang dipuji Jhonatan seketika memerah wajahnya, Senyum tak lepas dari bibirnya walau Jhonatan tidak dapat melihat perubahan wajah Nami. "Makasih ya... Udah nggak marah lagi," Tidak ada ucapan lain yang yang dapat Nami keluarkan dari bibirnya. Jhonatan mau menemuinya setelah ucapan Nami kemarin pagi membuat Na
telah menutup teleponnya, Novi lalu berjalan ke arah Anto dan Ahmad. Melupakan rasa malu karena meminta tolong pada orang asing yang belum tentu dapat dipercaya, tapi berdasarkan cerita Ratu dan Raja, Anto adalah orang baik, mungkin Novi akan mencoba mempercayainya."Permisi?" Novi membungkukkan sedikit tubuhnya, setelah Anto dan Ahmad menoleh, ia kembali menegakkan posisi tubuhnya. Ahmad sedikit salah tingkah melihat Novi ada dihadapannya."Boleh minta tolong?" tanya Novi lagi."Minta tolong apa, Tante?" tanya Anto.Novi cemberut. mengumpat dalam hati, apa pemuda itu lupa? jika Novi pernah marah saat ia dipanggil dengan sebutan tante? ingin sekali Novi mencak-mencak. Tapi kali ini, Novi membutuhkan bantuan Anto. Dengan sedikit gengsi dan sedikit malu-malu, Novi akhirnya memendam rasa kesalnya kepada Anto."Aku minta tolong, temani Raja menonton film. Aku ada pekerjaan dadakan, tidak mungkin dibatalkan. Kamu bisa kan bantu saya?" tanya Novi."Oh, begitu?" Anto menatap Raja yang tenga
Jhonatan telah sampai di depan kos Nami. Ia membawa Nami dengan mengikat tubuh Nami dengan sebuah kain panjang yang ia temukan saat hendak membawa Nami pergi dari gudang kosong tempat Nami disekap. Walau selama perjalanan menuju tempat kos, Nami selalu berusaha berontak dan mengeluh panas tubuhnya semakin tak tertahankan, tapi Jhonatan pada akhirnya mampu membawa Nami selamat sampai tempat kosnya. Tanpa membuka ikatan kain yang membuat tubuh Nami dan Jhonatan tak berjarak, Jhonatan menggendong Nami di punggungnya. Kali ini, Nami berhasil melepaskan ikatan pada kedua tangannya. "Jhon... Lepaskan akuu... Aku bisa berjalan sendiri!" desah Nami."Aku nggak akan lepasin kamu! Diamlah, jangan berulah! nanti semua orang datang lalu menuduhku berbuat tak senonoh padamu!" Hardik Jhonatan tak tahan dengan racauan Nami. Tanpa kesulitan Jhonatan berhasil mendobrak pintu kamar kos Nami dengan satu kaki. Jhonatan lalu menyeret Nami masuk ke dalam kos lalu mengunci kos tersebut, barulah Jhonatan
"Apa yang kalian berikan kepadaku?" teriak Nami histeris. Tubuhnya mulai merasa panas dan berkeringat, ada sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya yang belum pernah ia rasakan sebesar ini sebelumnya. "Sebentar lagi bos besar datang, jadi... Saat ia sampai, kau pun telah siap untuk melayaninya. Hahaha..." ucap pria tersebut lalu tergelak riang. Keduanya pun meninggalkan Nami seorang diri kembali. Sedangkan Nami sudah mulai gelisah dengan apa yang ia rasa di tubuhnya. Tak lama, suara deru mobil terdengar mendekat lalu suara mesin mati. Mobil terparkir tepat di depan bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Pintu terbuka, seorang pria paruh baya keluar dari dalam mobil dengan menggunakan kemeja putih di padu dengan celana bahan berwarna hitam. Sepatu pantofel hitam mengkilat tampak pas di kakinya. "Boss!" ucap pria berambut panjang sedikit berlari, mendekat ke arah pria paruh baya tersebut, menyambut kedatangannya. Di susul oleh teman yang menemaninya berjaga malam ini. "Selamat d
Jhonatan langsung berbalik, tinju yang ia layangkan cepat bergerak menuju ulu hati Hendrik yang terbuka, namun Kali ini, Hendrik tidak diam saja. Gerakannya dapat menahan tinju yang Jhonatan layangkan untuknya. Senyum kemenangan terlihat jelas di wajah Hendrik.Perlahan tapi pasti, Hendrik meremas kepalan tangan Jhonatan hingga Jonatan meringis kesakitan. "Jangan kau bertindak bagai pahlawan kesiangan! Nami itu milikku sejak awal. Jadi jangan kau bertingkah seolah-olah dia adalah milikmu!" bisik Hendrik di telinga Jhonatan. "Aku tahu kalian hanyalah sebatas kerbau dan buruk jalak! Jadi tetaplah seperti itu!" imbuh Hendrik. "Pergilah! Kau tidak akan mendapatkan apapun di sini!" ucap Hendrik lalu melepaskan cengkeramannya. Tanpa sepatah kata pun, Jhonatan meninggalkan ibu dan rumah besar tersebut. Elis, sang ibu hendak menghentikan Jhonatan, namun di cegah oleh Hendrik. "Biarkan saja dia, Sayang. Anak yang sedang jatuh cinta memang sering kali kehilangan kesabaran dan akal sehatny
Jhonatan sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Halaman yang luas dengan hiasan air mancur di bagian tengah halaman dengan lampu yang menyala terang menghiasi halaman yang ditata apik. Tidak lagi mengetuk. Jhonatan langsung mendobrak pintu rumah yang tinggi menjulang berbahan kayu jati dengan detail ukiran yang bagus. Langkahnya terdengar berat karena hentakan kaki yang penuh amarah melangkah masuk ke dalam rumah. Raut penuh amarah nampak jelas di wajah Jhonatan. Tangannya meraih sebuah guci kecil yang terletak di atas meja hias tempat dimana banyak hiasan dari keramik dengan berbagai bentuk tertata rapi. "Hendrik! Keluar kau bangsat!" Teriak Jhonatan. Tangannya melempar guci yang ia pegang ke sembarang arah. "Gua tau kalau Lo ada di rumah! Keluar bangsat!" Suara Jhonatan yang menggema di dalam rumah berlantai dua tersebut. Mendengar keributan, seorang wanita keluar dari dalam kamar yang terletak tak jauh dari tangga yang dibangun cukup megah. "Natan?!" pekik wanita berusia
"Nunu!" ucap Jhonatan sambil memasang wajah datar."Nggak-"Jhonatan langsung membungkam mulut Nami, "tak ada lagi penolakan! aku akan buktikan apa yang aku katakan padamu adalah kebenaran. tegas Jhonatan.Nami terdiam. Ia tahu tidak seharusnya meragukan apa yang dikatakan oleh Jhonatan, tapi Nami masih tidak dapat percaya jika Nunu yang melakukan semuanya. Beberapa waktu, tidak ada lagi percakapan antara Nami dan Jhonatan. Hingga dering ponsel milik Nami terdengar. Jhonatan hanya melirik gerak gerik Nami, sementara Nami mengambil ponsel dan menerima telepon yang masuk. "Hallo..." ucap Nami setelah mengangkat panggilan. [...]"Kapan?" [...]Nami terlihat melirik kearah Jhonatan yang sedang menyeruput kopinya, "iya. Dia di sini, kenapa?" Ucapan Nami membuat Jhonatan seketika menoleh ke arahnya. Dahi Jhonatan. Mengkerut menatap Nami. [...]"Oh... Begitu?" ucap Nami lemah. [...]"Baiklah... Sampai jumpa?!" ujar Nami lalu meletakkan ponselnya di atas meja. "Siapa?" tanya Jhonatan
Nami menendang beberapa kali kaki yang membuatnya terjatuh tadi, namun tubuh itu masih tidak bergerak. Nami mengintip, mencoba melihat wajah siapa pemilik tubuh yang tergeletak di depan kosnya.Walau takut-takut, Nami memberanikan diri menyingkirkan tangan yang menutupi wajah si pemilik tubuh. "Jhon?" pekik Nami.Tahu pemilik tubuh itu adalah Jhon, Nami segera mengguncang tubuh Jhonatan agar terbangun. Merasa tak ada hasil, Nami menaruh jari telunjuknya di depan hidung bangir milik Jhonatan, memastikan bahwa Jhonatan masih hidup.Nami bernafas lega, Karena Jhonatan masih bernafas. Rasa paniknya berubah menjadi rasa kesal. Ia lalu memencet hidung bangir Jhonatan hingga Jhonatan terbangun karena tidak dapat bernafas."Woy! apa sih! mau bunuh orang?" pekik Jhonatan emosi."Kamu yang mau bunuh orang gara-gara jantungan, ngerti nggak?!" ucap Nami tak kalah keras. tangannya memukul paha Jhonatan, hingga membuat Jhonatan meringis kesakitan.Jhonatan terpaku sejenak melihat Nami ada di hadapa
Nami melihat Jhonatan begitu asyik berbincang dengan seorang wanita cantik yang entah siapa Nami tidak mengetahuinya. Ia tidak pernah berpikir jika Jhonatan mempunyai kenalan wanita begitu cantiknya. Air wajah yang sedari tadi tersenyum sambil menggerakkan tubuhnya, kini berubah masam. Wajah Nami tak berekspresi seperti sebelumnya.Apalagi ketika melihat Jhonatan berdiri sambil menarik tangan si wanita dengan tergesa-gesa, seketika mendung membayang di atas kepala Nami.Waktu menunjukkan pukul satu malam. Pekerjaan Nami telah selesai. Make up dan pakaian telah Nami ganti dengan pakaian yang ia kenakan saat ia berangkat tadi sore. Tubuh Nami terasa lelah, tidak seperti hari biasanya.Sesekali ia memijit bahunya saat berjalan keluar dari lobby klub. "Namii!... Nek! tunggu akikaaa!" teriakan khas suara Nunu menggema di area lobby klub.Nami menoleh kebelakang sambil tersenyum menatap Nunu yang terlihat kesulitan berlari. Gaya melambai Nunu membuatnya kesulitan jika dalam keadaan berlari
Nami mengedipkan matanya beberapa kali. Tatapannya tak lepas dari wajah Jhonatan yang perlahan menjauh dari wajahnya. Senyum teramat manis dari bibir manis yang baru saja mengecup bibirnya membuat wajah Nami memerah. "Dah! masuklah. Aku tunggu di depan! semangat sayang..." ucap Jhonatan, tangannya tak henti mengelus pipi mulus Nami.Nami hanya dapat mengangguk patuh, Jantungnya saat ini sudah terasa akan meledak jika ia tidak cepat-cepat menjauh dari Jhonatan. Perlahan tubuhnya berbalik, matanya sempat melihat sosok pria paruh baya yang sempat mengecup pipinya beberapa minggu lalu, namun Nami tak ingin menyapanya. Ia langsung masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu ruangan tersebut.Jhonatan melangkahkan kakinya berjalan meninggalkan ruangan Nami, ia hendak keluar tapi pria paruh baya itu masih berdiri di tempatnya, sehingga mau tak mau Jhonatan harus melewatinya."Kau sengaja melakukannya" ucap pria itu saat Jhonatan melewatinya.Jhonatan menghentikan langkahnya, ia melirik sejena