"Kamu kenapa, Nami? apa aku membuatmu takut?"
Suara merdu bagai hipnotis merasuk ke dalam gendang telinga Nami. Namun ada rasa aneh saat melihat wajah pria tampan yang ada di hadapannya saat ini.Jemari lembut namun terlihat kekar itu kini membelai lembut wajah Nami, "Wajahmu terlihat pucat, apa kamu belum sempat makan atau meminum teh yang aku kirimkan untukmu? aku lihat gelas di atas meja sama sekali tidak tersentuh," cerca pria tersebut dengan Nada lembut.Nami memaksakan senyuman di wajahnya, matanya menatap ragu pada sosok di hadapannya saat ini. "Tadi terlalu sibuk untuk bersiap, aku sampai lupa kalau ada minuman di atas meja." kilah Nami."Kak Luki sejak kapan ada di dalam ruanganku?" tanya Nami menyelidik."Kenapa? kamu keberatan aku ada di sini?" bukan menjawab, pria itu malah bertanya balik."Bukan begitu, Kak! diluar sedang banyak tamu penting. Bukankah sebaiknya Kakak menemui mereka? siapa tahu mereka mau menanamkan saham di klub Kakak?" ujar Nami beralasan.Luki berpikir sejenak, menyetujui ucapan Nami ada benarnya. Luki bersedekap dada sambil mengamati penampilan Nami saat ini. "Kau tampil cantik sekali malam ini, Nami. Sepanjang pertunjukanmu, tak satupun pengunjung yang mengeluh kecewa. Mereka semua tampak begitu puas dengan penampilanmu. Oleh karena itu, Aku sengaja membeli buket mawar ini untuk mengapresiasi apa yang kau lakukan malam ini. " Luki memberi alasan mengapa ia ada di ruangan Nami malam ini.Jarang sekali Luki berada di klub. Tapi malam ini adalah malam dimana jadwal Nami melakukan pertunjukan, dan biasanya, banyak pengunjung kelas atas maupun pengusaha yang datang. Hal tersebut sering kali dimanfaatkan oleh Luki untuk merayu para pengusaha untuk menanamkan saham di klub miliknya."Terima kasih, Kak! Kakak tidak perlu repot-repot begitu. Aku hanya takut, jika Kakak terlalu perhatian kepadaku, pegawai Kakak yang lain akan iri." jelas Nami.Luki berdecih, Ia sudah hapal hal semacam ini akan terjadi. Luki menepuk bahu Nami beberapa kali. "Tenanglah. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Jika mereka iri melihatmu yang aku perlakukan istimewa, setidaknya mereka juga harus berusaha menarik banyak pelanggan seperti yang kamu lakukan.Seseorang berbuat baik kepada orang lain itu karena orang lain menguntungkan untuk dirinya. Bukan karena percuma!" Luki beranjak meninggalkan ruangan Nami."Kak! apakah benar..." Nami menelan ludahnya kasar, apakah bertanya kepada Luki langsung adalah pilihan yang terbaik?Luki menghentikan langkahnya, ia berbalik menoleh ke arah Nami yang kini menatapnya ragu. "Apa?" tanya Luki."Apakah benar, Kakak yang menjual aku kepada pria gempal bernama Jaya?" tanya Nami terbata.Luki mengerutkan keningnya, "hah? aku menjual mu? sudah gila?" Luki tertawa remeh. "Jika aku menjual mu, aku sendiri yang akan rugi karena kamu adalah aset berharga dari klub milikku ini!" imbuhnya.Nami sedikit bernafas lega karena apa yang dikatakan Jaya adalah sebuah kebohongan, dan Nami meyakini hal itu."Apa kau meragukan aku, Nami?" tanya Luki dengan tatapan menyelidik."O-oh... Bukan seperti itu, Kak! aku hanya tidak ingin berpikiran buruk tentang Kakak, karena aku yakin, Kakak bukan orang yang seperti itu!" ucap Nami sambil menyilangkan beberapa kali kedua tangannya di depan dada."Jangan dengarkan omongan buruk orang-orang. Fokus saja dengan pekerjaanmu dan cari cara agar setiap kau tampil dapat menarik lebih banyak pelanggan!"Tak berapa lama, pintu di tutup dengan dorongan yang cukup keras, membuat bunyi debaman memekakkan telinga Nami. Tampak wajah Luki yang berubah kesal dan marah atas pertanyaan Nami tadi.Nami menjadi merasa bersalah kepada Luki. Bagaimana pun jika orang yang sangat kita percayai namun pada akhirnya mereka meragukan kita, rasa sakit yang ditimbulkan lebih menyesakkan dari pada diragukan oleh musuh sendiri.*Nami melangkahkan kakinya menuruni tangga. Jadwal malam ini telah selesai dan ia masih belum dapat melihat batang hidung Jhonatan hingga saat ini. Mata Nami melihat ke sekeliling area klub malam yang terlihat sepi di luar, tapi yakinlah! di dalam klub hingar bingar para pengunjung serta music yang di setel kencang mampu memekakkan telinga siapapun yang tidak terbiasa dengan suasana semacam itu.Nami menghela nafasnya panjang. Setidaknya di dalam pikiran Nami, Jaya sudah tidak terlihat lagi di sekitarnya, ia merasa aman untuk sementara waktu. Wajah Nami terlihat murung, ia lebih suka menundukkan pandangannya dari pada terlalu berharap melihat Jhonatan sedang berdiri menunggunya pulang di kejauhan.Beberapa kali Nami memukul kepalanya kesal, "Mikir apa sih aku ini?"Keluar dari area klub, Nami masih sibuk berjalan menunduk. Tiba-tiba pandangannya tertutup oleh sebuah bungkusan coklat yang amat ia kenal. "Awas nabrak!"Nami reflek menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah tempat seseorang yang tengah berdiri di sampingnya saat ini. "Jhon?" pekik Nami saat melihat sosok Jhonatan di sampingnya."Kangen ya sama aku?" tanya Jhonatan sambil meledek Nami. "Nih! buat kamu! biar moodmu membaik. Kata orang, coklat bisa memperbaiki mood cewek yang lagi jelek!" imbuh Jhonatan."Ih! Ge-er! enggak ya!" kilah Nami, namun wajahnya berubah bersemu merah."Tuh kan keliatan! bilang aja kangen! dari keluar klub sampe di sini, muka mu ku perhatiin asem aja, nggak ada semangat-semangatnya!" ledek Jhonatan.Kini Nami bertolak pinggang, wajahnya marah melihat Jhonatan yang cengengesan. "Kan kamu sendiri yang bilang mau lihat aku performance? katanya mau lihat siapa yang-"Jhonatan mencomot mulut Nami hingga mengerucut seperti bebek, "Diem! nggak perlu diperjelas! semua udah aku lakuin!"Nami yang tidak terima pun akhirnya berontak. Setelah beberapa kali usaha akhirnya Jhonatan melepas tangannya dari bibir Nami, "Makanya jangan ngoceh terus!" omel Jhonatan."Terus? gimana hasilnya?" selidik Nami."Aku liat boss kamu ngobrol sama seseorang. Tapi aku nggak lihat lawan bicaranya soalnya ketutupan tembok!" jawab Jhonatan."Ngobrol apa mereka?" tanya Nami penasaran.Jhonatan terlihat berpikir sejenak, apakah ia harus mengatakan informasi yang ia dapat dari kepada Nami atau ia simpan sendiri saja informasi tersebut."Kok diem aja sih?!" protes Nami yang lama tidak mendapat jawaban Jhonatan."Nanti aja deh! aku capek nih, berdiri terus. Aku anter kamu pulang dulu deh! nanti ngobrolnya di sana aja!"Nami pun mengiyakan ucapan Jhonatan. Keduanya lalu berjalan menuju tempat kos Nami. Tangan Jhonatan merangkul pinggang Nami, membuat tubuh Nami semakin merapat pada tubuh Jhonatan.Nami yang merasa sungkan berusaha melepas tangan Jhonatan yang melingkar di pinggangnya, tapi bukannya lepas, Jhonatan malah semakin erat memeluk pinggang Nami. Pada akhirnya Nami pasrah dengan apa yang dilakukan Jhonatan.Dari kejauhan, tampak Luki menatap interaksi antara Nami dan Jhonatan. Tangannya sebelah kanan yang membawa gelas berisi minuman beralkohol sesekali memutar-mutar gelas tersebut, membuat isi di dalam gelas gelas itu bergejolak lalu meminumnya.Nami dan Jhonatan kini telah berada di depan halaman kos Nami. Jhonatan membuka pintu pagar lalu mempersilahkan Nami untuk masuk terlebih dahulu."Udah sampai! aku pulang duluan ya?!" ucap Jhonatan sambil melambaikan tangan.Nami dengan cepat meraih tangan Jhonatan dan menghentikan langkah Jhonatan, "mau kemana? kan tadi mau kasi tau, isi obrolan boss ku sama seseorang?" tanya Nami.Perlahan Jhonatan melepas pegangan tangan Nami, "Besok aja deh. Udah malam, kamu butuh istirahat!" Jhonatan mengacak rambut Nami gemas, lalu ia pergi meninggalkan Nami yang masih dilanda rasa penasaran tentang hal apa yang diketahui oleh Jhonatan namun ia memilih untuk menyimpannya sendiri. Nami ingin mendesak Jhonatan untuk bicara, tapi apa yang dikatakan Jhonatan ada benarnya. Ia harus beristirahat. Membicarakan hal rahasia tidak cukup dengan waktu yang sebentar.Nami hanya dapat melihat punggung Jhonatan yang perlahan pergi menjauh hingga tak nampak di pelupuk mata Nami, baru Nami masuk ke dalam kamar
Satu minggu berlalu. Nami masih belum juga bertemu dengan Jhonatan. Entah pergi kemana Nami juga tidak mendapat kabar dari Jhonatan. Ia bagai hilang ditelan bumi.Pernah Nami sengaja mampir di warung makan dan barber shop tempat Nami dan Jhonatan datang, tapi para pemilik toko tersebut tidak tahu kemana Jhonatan pergi. Mereka melihat Jhonatan terakhir kalinya saat ia d atang bersama Nami tempo hari.Jaya memang sudah tidak lagi mengganggu Nami, ada sedikit rasa lega. Tapi rasa penasaran Nami tentang apa yang akan di katakan oleh Jhonatan namun pada akhirnya hingga saat ini Jhonatan tidak terlihat batang hidungnya.Hari ini Nami tidak ada jadwal pentas, ia menggunakan seharian untuk mencari di mana Jhonatan berada. Tapi hingga sore hari, Nami tidak dapat menemukan di mana Jhonatan berada. Lelah mencari, Nami menenggak minuman isotonik yang ia beli di warung pinggir jalan hingga habis. Setelah membuang botol bekasnya ke tempat sampah, Nami memutuskan untuk pulang ke tempat kosnya. Di s
Nami melempar tas selempangnya kesembarang arah. Ia lalu menghempaskan tubuhnya asal di atas kasurnya yang empuk. Rasa kesalnya masih menjalari hatinya karena perlakuan Jhonatan yang tiba-tiba menjadi aneh.Guling yang menjadi samsak kekesalan Nami kini ia peluk erat, "Apa dia cemburu liat aku dicium sama om-om tadi?" gumam Nami.Otaknya masih mencoba berpikir, "tapi masak iya dia cemburu?"Nami mengacak rambutnya kasar. Ia masih tidak mengerti, baru saja mereka bertemu tapi Jhonatan malah marah tidak jelas kepadanya.Di sisi lain. Jhonatan berjalan masuk ke dalam klub Zoi. kakinya melangkah ke arah di mana Nami menunjukkan arah toilet kepada pria paruh baya tersebut.Sampai di toilet, Jhonatan berdiri di depan pintu masuk toilet. Tak lama keluarlah pria paruh baya tadi. Ia terkejut melihat Jhonatan ada di sana."Sedang apa kamu di sini?" tanya pria itu."Sedang apa? seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepada pria tua sepertimu!" ucap Jhonatan ketus."Sedang apa? tentu saja berb
Nami berjalan menuju klub sore hari ini. Jadwal Nami Nami setiap sabtu dan minggu lebih awal dari hari yang lain."Neng!" Suara teriakan seorang pria yang cukup Nami kenal membuat Nami menolehkan pandangannya yang sedari tadi tertunduk lesu."Eh, Bang Boni?" sapa Nami saat mengetahui orang yang memanggilnya adalah Boni, teman Jhonatan."Kok sendirian, Neng? Jhon nya mana?" Tanya Boni sambil celingukan mencari sosok Jhonatan yang memang tidak ada di sekitar Nami. Nami hanya dapat menggelengkan kepala sambil memanyunkan bibirnya. "Berantem lagi sama Jhon?" selidik Boni.Nami menganggukkan kepala kali ini sambil memasang wajah sedih. Boni hanya dapat menggaruk kepalanya yang tidak gatal, 'rumit sekali pacaran ternyata.' Ucapnya dalam hati."Neng tampil awal kan? biar nanti abang bantu cari Jhon deh. Tapi janji ya, ini abang bantu, kalian jangan marah-marahan lagi!" Boni menyodorkan jari kelingkingnya.Isyarat janji kelingking yang Boni berikan ditanggapi oleh Nami dengan tersenyum. IOa
Nami keluar dari klub sambil melambaikan tangannya ke arah Jhonatan yang sedang menunggunya di gerbang keluar area klub. Senyumnya tampak lebar, hatinya senang sekali karena Jhonatan mau menemuinya kembali.Jhonatan hanya satu kali membalas lambaian tangan Nami, senyum simpul tampak setipis tisu. Tapi penampilan Nami malam ini mampu membuat wajah Jhonatan memerah. Nami tampak cantik sekali dengan dress sepanjang lutut dengan hiasan bunga-bunga besar di bajunya, lengan balon membuat Nami terlihat semakin menggemaskan. Saat Nami sudah mendekat pada Jhonatan yang masih tetap berdiri di tempatnya, Jhonatan mengacak sedikit rambut Nami, "Cantik banget si!" ucap Jhonatan polos.Nami yang dipuji Jhonatan seketika memerah wajahnya, Senyum tak lepas dari bibirnya walau Jhonatan tidak dapat melihat perubahan wajah Nami. "Makasih ya... Udah nggak marah lagi," Tidak ada ucapan lain yang yang dapat Nami keluarkan dari bibirnya. Jhonatan mau menemuinya setelah ucapan Nami kemarin pagi membuat Na
Tapi kali ini, Jhonatan tidak langsung pergi meninggalkan Nami begitu saja. Ia lebih mempercepat makannya. Melihat Jhonatan sudah selesai makan, dan menyalakan sebatang rokok, Nami mempercepat makannya sambil beberapa kali melirik mengamati perubahan mimik wajah Jhonatan yang masih saja datar."Dengar, aku sama sekali tidak bermaksud...""Aku tahu! kau tidak akan percaya semua ucapan ku sebelum kau mengetahuinya sendiri bukan. Ini memang terdengar tidak masuk akal. Tapi percayalah dunia yang sedang kau geluti tidak semudah yang kau perkirakan. Banyak hal-hal yang lebih besar dari hanya sebuah pekerjaan.Banyak hal gelap yang tersembunyi. Hal yang tidak akan pernah kau sangka sebelumnya. Jadi... Percaya saja padaku, aku tidak akan pernah mengkhianatimu walau kenyataan yang terlihat nantinya akan sangat menyakitkan, baik untukmu maupun untukku." Nami menghentikan makanya, ia menatap wajah Jhonatan yang tampak menatap hampa pada langit-langit warteg yang mulai banyak sarang laba-labanya
Pria berbadan besar itu hendak menarik kerah baju Jhonatan, tapi kawannya yang berdiri tepat di belakangnya menahan bahu pria tersebut. Ia memberi isyarat agar tidak melakukan tindakan di luar perintah.Pria bertubuh besar itu menghela nafasnya kasar. Matanya nyalang menatap Jhonatan yang menatapnya dengan pandangan remeh. "Kalau ketemu lagi, habis Lo sama gue!" desis pria bertubuh besar tersebut, jari telunjuknya menunjuk muka Jhonatan.Beberapa orang yang datang bersama pria besar tersebut perlahan mengundurkan diri. Jhonatan menghela nafas perlahan, Boni yang sedari tadi memperhatikan situasi, kini berdiri di samping Jhonatan.Tangannya menepuk bahu Jhonatan. Jhonatan yang merasa bahunya di sentuh menoleh ke arah Boni yang kini berada di sampingnya. "Jujur deh Lu sama kita-kita, lagi ada masalah sama siapa? nggak biasanya Lo kena ancem begini?" tanya Boni to the point.Jhonatan menepis tangan Boni, "Bukan masalah berat, kalian santai aja! biar gua urus sendiri." ucap Jhonatan. Jho
Jhonatan merenungkan semua ucapan Satria, jika ingin mengusik klub Zoi, memang diperlukan perhitungan yang matang. Salah-salah jika Jhonatan salah mengambil jalan, yang paling dirugikan disini adalah Nami. Karena Nami orang yang bersangkutan langsung dengan klub Zoi dan Nami mengenal Jhonatan.Pikiran Jhonatan melayang hingga ia tidak melihat seorang gadis tengah menyeberang jalan. Jhonatan sontak membanting motornya ke sebelah kiri lalu menghentikan laju motornya kemudian mematikan mesin motornya. Beruntung Jhonatan tidak terjatuh dari motornya.Setelah memarkirkan motornya, Jhonatan segera berlari ke arah gadis yang hampir saja tertabrak olehnya. "Maaf! apa ada yang terluka?" tanya Jhonatan sambil melihat-lihat bagian tubuh gadis itu yang Jhonatan pikir dapat terluka karena peristiwa barusan.Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil memasang muka masam. Setelah merasa tidak ada yang terluka, Jhonatan melepaskan pegangan tangannya dan sedikit memberi jarak antara dirinya dan gadis it
telah menutup teleponnya, Novi lalu berjalan ke arah Anto dan Ahmad. Melupakan rasa malu karena meminta tolong pada orang asing yang belum tentu dapat dipercaya, tapi berdasarkan cerita Ratu dan Raja, Anto adalah orang baik, mungkin Novi akan mencoba mempercayainya."Permisi?" Novi membungkukkan sedikit tubuhnya, setelah Anto dan Ahmad menoleh, ia kembali menegakkan posisi tubuhnya. Ahmad sedikit salah tingkah melihat Novi ada dihadapannya."Boleh minta tolong?" tanya Novi lagi."Minta tolong apa, Tante?" tanya Anto.Novi cemberut. mengumpat dalam hati, apa pemuda itu lupa? jika Novi pernah marah saat ia dipanggil dengan sebutan tante? ingin sekali Novi mencak-mencak. Tapi kali ini, Novi membutuhkan bantuan Anto. Dengan sedikit gengsi dan sedikit malu-malu, Novi akhirnya memendam rasa kesalnya kepada Anto."Aku minta tolong, temani Raja menonton film. Aku ada pekerjaan dadakan, tidak mungkin dibatalkan. Kamu bisa kan bantu saya?" tanya Novi."Oh, begitu?" Anto menatap Raja yang tenga
Jhonatan telah sampai di depan kos Nami. Ia membawa Nami dengan mengikat tubuh Nami dengan sebuah kain panjang yang ia temukan saat hendak membawa Nami pergi dari gudang kosong tempat Nami disekap. Walau selama perjalanan menuju tempat kos, Nami selalu berusaha berontak dan mengeluh panas tubuhnya semakin tak tertahankan, tapi Jhonatan pada akhirnya mampu membawa Nami selamat sampai tempat kosnya. Tanpa membuka ikatan kain yang membuat tubuh Nami dan Jhonatan tak berjarak, Jhonatan menggendong Nami di punggungnya. Kali ini, Nami berhasil melepaskan ikatan pada kedua tangannya. "Jhon... Lepaskan akuu... Aku bisa berjalan sendiri!" desah Nami."Aku nggak akan lepasin kamu! Diamlah, jangan berulah! nanti semua orang datang lalu menuduhku berbuat tak senonoh padamu!" Hardik Jhonatan tak tahan dengan racauan Nami. Tanpa kesulitan Jhonatan berhasil mendobrak pintu kamar kos Nami dengan satu kaki. Jhonatan lalu menyeret Nami masuk ke dalam kos lalu mengunci kos tersebut, barulah Jhonatan
"Apa yang kalian berikan kepadaku?" teriak Nami histeris. Tubuhnya mulai merasa panas dan berkeringat, ada sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya yang belum pernah ia rasakan sebesar ini sebelumnya. "Sebentar lagi bos besar datang, jadi... Saat ia sampai, kau pun telah siap untuk melayaninya. Hahaha..." ucap pria tersebut lalu tergelak riang. Keduanya pun meninggalkan Nami seorang diri kembali. Sedangkan Nami sudah mulai gelisah dengan apa yang ia rasa di tubuhnya. Tak lama, suara deru mobil terdengar mendekat lalu suara mesin mati. Mobil terparkir tepat di depan bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Pintu terbuka, seorang pria paruh baya keluar dari dalam mobil dengan menggunakan kemeja putih di padu dengan celana bahan berwarna hitam. Sepatu pantofel hitam mengkilat tampak pas di kakinya. "Boss!" ucap pria berambut panjang sedikit berlari, mendekat ke arah pria paruh baya tersebut, menyambut kedatangannya. Di susul oleh teman yang menemaninya berjaga malam ini. "Selamat d
Jhonatan langsung berbalik, tinju yang ia layangkan cepat bergerak menuju ulu hati Hendrik yang terbuka, namun Kali ini, Hendrik tidak diam saja. Gerakannya dapat menahan tinju yang Jhonatan layangkan untuknya. Senyum kemenangan terlihat jelas di wajah Hendrik.Perlahan tapi pasti, Hendrik meremas kepalan tangan Jhonatan hingga Jonatan meringis kesakitan. "Jangan kau bertindak bagai pahlawan kesiangan! Nami itu milikku sejak awal. Jadi jangan kau bertingkah seolah-olah dia adalah milikmu!" bisik Hendrik di telinga Jhonatan. "Aku tahu kalian hanyalah sebatas kerbau dan buruk jalak! Jadi tetaplah seperti itu!" imbuh Hendrik. "Pergilah! Kau tidak akan mendapatkan apapun di sini!" ucap Hendrik lalu melepaskan cengkeramannya. Tanpa sepatah kata pun, Jhonatan meninggalkan ibu dan rumah besar tersebut. Elis, sang ibu hendak menghentikan Jhonatan, namun di cegah oleh Hendrik. "Biarkan saja dia, Sayang. Anak yang sedang jatuh cinta memang sering kali kehilangan kesabaran dan akal sehatny
Jhonatan sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Halaman yang luas dengan hiasan air mancur di bagian tengah halaman dengan lampu yang menyala terang menghiasi halaman yang ditata apik. Tidak lagi mengetuk. Jhonatan langsung mendobrak pintu rumah yang tinggi menjulang berbahan kayu jati dengan detail ukiran yang bagus. Langkahnya terdengar berat karena hentakan kaki yang penuh amarah melangkah masuk ke dalam rumah. Raut penuh amarah nampak jelas di wajah Jhonatan. Tangannya meraih sebuah guci kecil yang terletak di atas meja hias tempat dimana banyak hiasan dari keramik dengan berbagai bentuk tertata rapi. "Hendrik! Keluar kau bangsat!" Teriak Jhonatan. Tangannya melempar guci yang ia pegang ke sembarang arah. "Gua tau kalau Lo ada di rumah! Keluar bangsat!" Suara Jhonatan yang menggema di dalam rumah berlantai dua tersebut. Mendengar keributan, seorang wanita keluar dari dalam kamar yang terletak tak jauh dari tangga yang dibangun cukup megah. "Natan?!" pekik wanita berusia
"Nunu!" ucap Jhonatan sambil memasang wajah datar."Nggak-"Jhonatan langsung membungkam mulut Nami, "tak ada lagi penolakan! aku akan buktikan apa yang aku katakan padamu adalah kebenaran. tegas Jhonatan.Nami terdiam. Ia tahu tidak seharusnya meragukan apa yang dikatakan oleh Jhonatan, tapi Nami masih tidak dapat percaya jika Nunu yang melakukan semuanya. Beberapa waktu, tidak ada lagi percakapan antara Nami dan Jhonatan. Hingga dering ponsel milik Nami terdengar. Jhonatan hanya melirik gerak gerik Nami, sementara Nami mengambil ponsel dan menerima telepon yang masuk. "Hallo..." ucap Nami setelah mengangkat panggilan. [...]"Kapan?" [...]Nami terlihat melirik kearah Jhonatan yang sedang menyeruput kopinya, "iya. Dia di sini, kenapa?" Ucapan Nami membuat Jhonatan seketika menoleh ke arahnya. Dahi Jhonatan. Mengkerut menatap Nami. [...]"Oh... Begitu?" ucap Nami lemah. [...]"Baiklah... Sampai jumpa?!" ujar Nami lalu meletakkan ponselnya di atas meja. "Siapa?" tanya Jhonatan
Nami menendang beberapa kali kaki yang membuatnya terjatuh tadi, namun tubuh itu masih tidak bergerak. Nami mengintip, mencoba melihat wajah siapa pemilik tubuh yang tergeletak di depan kosnya.Walau takut-takut, Nami memberanikan diri menyingkirkan tangan yang menutupi wajah si pemilik tubuh. "Jhon?" pekik Nami.Tahu pemilik tubuh itu adalah Jhon, Nami segera mengguncang tubuh Jhonatan agar terbangun. Merasa tak ada hasil, Nami menaruh jari telunjuknya di depan hidung bangir milik Jhonatan, memastikan bahwa Jhonatan masih hidup.Nami bernafas lega, Karena Jhonatan masih bernafas. Rasa paniknya berubah menjadi rasa kesal. Ia lalu memencet hidung bangir Jhonatan hingga Jhonatan terbangun karena tidak dapat bernafas."Woy! apa sih! mau bunuh orang?" pekik Jhonatan emosi."Kamu yang mau bunuh orang gara-gara jantungan, ngerti nggak?!" ucap Nami tak kalah keras. tangannya memukul paha Jhonatan, hingga membuat Jhonatan meringis kesakitan.Jhonatan terpaku sejenak melihat Nami ada di hadapa
Nami melihat Jhonatan begitu asyik berbincang dengan seorang wanita cantik yang entah siapa Nami tidak mengetahuinya. Ia tidak pernah berpikir jika Jhonatan mempunyai kenalan wanita begitu cantiknya. Air wajah yang sedari tadi tersenyum sambil menggerakkan tubuhnya, kini berubah masam. Wajah Nami tak berekspresi seperti sebelumnya.Apalagi ketika melihat Jhonatan berdiri sambil menarik tangan si wanita dengan tergesa-gesa, seketika mendung membayang di atas kepala Nami.Waktu menunjukkan pukul satu malam. Pekerjaan Nami telah selesai. Make up dan pakaian telah Nami ganti dengan pakaian yang ia kenakan saat ia berangkat tadi sore. Tubuh Nami terasa lelah, tidak seperti hari biasanya.Sesekali ia memijit bahunya saat berjalan keluar dari lobby klub. "Namii!... Nek! tunggu akikaaa!" teriakan khas suara Nunu menggema di area lobby klub.Nami menoleh kebelakang sambil tersenyum menatap Nunu yang terlihat kesulitan berlari. Gaya melambai Nunu membuatnya kesulitan jika dalam keadaan berlari
Nami mengedipkan matanya beberapa kali. Tatapannya tak lepas dari wajah Jhonatan yang perlahan menjauh dari wajahnya. Senyum teramat manis dari bibir manis yang baru saja mengecup bibirnya membuat wajah Nami memerah. "Dah! masuklah. Aku tunggu di depan! semangat sayang..." ucap Jhonatan, tangannya tak henti mengelus pipi mulus Nami.Nami hanya dapat mengangguk patuh, Jantungnya saat ini sudah terasa akan meledak jika ia tidak cepat-cepat menjauh dari Jhonatan. Perlahan tubuhnya berbalik, matanya sempat melihat sosok pria paruh baya yang sempat mengecup pipinya beberapa minggu lalu, namun Nami tak ingin menyapanya. Ia langsung masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu ruangan tersebut.Jhonatan melangkahkan kakinya berjalan meninggalkan ruangan Nami, ia hendak keluar tapi pria paruh baya itu masih berdiri di tempatnya, sehingga mau tak mau Jhonatan harus melewatinya."Kau sengaja melakukannya" ucap pria itu saat Jhonatan melewatinya.Jhonatan menghentikan langkahnya, ia melirik sejena