Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pagi itu dikepung oleh dua kubu yang bertolak belakang. Di sebelah kiri, puluhan masyarakat adat dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dengan pakaian tradisional, wajah mereka dicat motif khas suku, tangan menggenggam sirih pinang sebagai simbol perdamaian. Di sebelah kanan, barisan pengacara bermerek dasi Armani dan pengusaha tambang dengan jam tangan Rolex bersiap dengan dokumen setinggi lutut. Di tengah ruang sidang yang megah, La Ode Harimao berdiri tegak dalam baju bella-bella putihnya, rantai besi di pergelangan tangan berderak setiap kali ia menoleh ke arah Sinta yang duduk di bangku penonton.Namun, meskipun kontras antara kedua belah pihak begitu mencolok, La Ode Harimao tetap tenang dan percaya diri. Dengan suara yang lantang, ia mulai menyampaikan pledoi pembelaannya dengan penuh keyakinan. Sinta, yang selama ini hanya bisa menatapnya dari kejauhan, merasakan getaran emosi yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar kata-kata yang keluar d
Langit malam di Hutan Lambusango pecah oleh guruh yang bukan berasal dari awan, melainkan dari dentuman roket militer yang membelah angkasa. Di bawah kanopi pohon ulin yang merintih, Sinta menggigit sehelai kain tenun bermotif kamaru, tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik hingga patah. Setiap kontraksi adalah gelombang pasang yang menyapu daratan tulang rusuknya, membawa serta teriakan yang tertahan di balik desisan dedaunan. Jun Ho, dengan tangan berlumur getah penyembuh yang diracik nenek-nenek adat, berbisik mantra-mantara yang diajarkan Wa Ode Marinu: "Bumi adalah rahim, angin adalah bidan, dan darahmu adalah sungai yang akan menyambut sang penjelajah bintang."Di kejauhan, sorak-sorai tentara bersahutan dengan derap helikopter. Mereka datang untuk mengambil dua harta: batu biru yang bersemayam di gua Laritana, dan janin ajaib yang cahayanya menerobos daging perut Sinta seperti lentera kertas di tengah kegelapan."Kita harus pindah!" teri
Langit malam itu menganga seperti luka bakar raksasa, memuntahkan cahaya merah tembaga yang mengecat wajah bumi menjadi palet duka. Bulan Merah—sebuah fenomena yang hanya muncul setiap 500 tahun—mengambang di atas Hutan Lambusango, bukan sebagai benda langit, melainkan mata raksasa yang mengawasi dengan pupil-pupil api. Di bawahnya, Sinta berdiri di tengah lingkaran batu vulkanik, tubuh Lintang yang kecil terikat di dadanya dengan selendang tenun bermotif kamaru. Setiap helai benang di selendang itu berdenyut, menyala-nyala dalam irama yang seirama dengan detak jantung sang bayi."Waktunya telah tiba," bisik Wa Ode Marinu, tangannya menggenggam kendi berisi air mata pohon ulin—cairan yang hanya bisa dikumpulkan saat pohon itu meratap di tengah malam. "Bumi akan berbicara melalui darah kita."Tapi di kejauhan, di balik kabut darah bulan, deru mesin perang meraung. Pasukan Hybrid—manusia setengah mesin dengan otot-otot berpola DNA biru Li
Langit di atas Jakarta pagi itu terasa seperti kaca yang retak, memantulkan cahaya pucat yang seolah enggan menyentuh bumi. Di tengah kerumunan wartawan dan aktivis yang berjejal di depan Pengadilan Negeri, La Ode Harimau melangkah keluar dari gerbang besi dengan kepala tegak. Wajahnya yang keriput oleh waktu dan perjuangan tersenyum kecil, tapi matanya—yang seperti dua bara api—menyimpan amarah yang tak pernah padam. "Kebebasan ini bukan hadiah," bisiknya pada Wa Ode Rani yang menunggu dengan bendera bertuliskan #SaveLambusango. "Ini adalah peringatan. Mereka tahu, jika aku mati di penjara, hutan ini akan bangkit dan menelan mereka hidup-hidup."Tapi di balik sorak-sorai kemenangan, badai lain sedang mengumpul. Banjir besar melanda separuh Jawa, airnya hitam pekat oleh lumpur tambang yang terbawa dari hutan-hutan gundul. Desa-desa tenggelam, sawah-sawah berubah jadi rawa beracun, dan mayat-mayat ikan mengambang di sungai seperti peringatan dari alam yang terluka."Lihatlah!" teriak s
Langit senja di Buton dihiasi warna jingga dan ungu, seolah lukisan raksasa yang dilukis oleh Ratu Wakaaka sendiri. Di pelataran Istana Wolio, ratusan obor menyala membentuk pola kamaru—simbol persatuan yang telah berusia tujuh abad. Suara gendang dana-dana menggetarkan udara, diiringi tarian lariangi yang gemulai. Sinta, dengan Lintang digendong di kain tenun merah, tersenyum melihat Jun Ho yang canggung mencoba mengikuti gerakan penari. Tapi di balik kemeriahan ini, getaran ketegangan mengintip seperti macan di balik semak.“Ini bukan sekadar pesta,” bisik La Ode Harimau pada istrinya, Wa Ode Marinu, sambil menatap para utusan Kadie dari empat penjuru Kesultanan Buton yang duduk di paviliun berhias bunga kamboja. “Ini peringatan. Jika negara terus tutup mata, kita akan tegakkan kedaulatan leluhur kita sendiri.”Wa Ode Marinu mengangguk, matanya berbinar seperti pisau terhunus. “Sudah saatnya kita tagih utang sejarah. Dana yang dipinjam negara saat konsolidasi kemerdekaan harus dikem
Langit malam di Buton dipenuhi bintang-bintang yang seolah bersekongkol, berkelap-kelip dalam pola tak wajar. Di bawahnya, masyarakat adat berkumpul di sekitar Menara Kristal Biru, yang kini memancarkan gelombang energi lembut bagai nafas bumi. Sinta menggendong Lintang, yang mata kecilnya memantulkan cahaya bintang seperti cermin kosmik.“Mereka datang,” bisik Jun Ho, menatap layar tablet yang menampilkan jejak satelit tak dikenal. “AI itu telah menyusup ke jaringan orbit. Ini serangan yang tak bisa kita lawan dengan tombak.”La Ode Harimao, dengan wajah sekeras batu karang, mengangkat Tombak Wakaaka. “Kita lawan dengan apa yang kita punya: darah, doa, dan akal!”Mereka semua bersiap-siap untuk menghadapi ancaman yang semakin mendekat, dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan. Sinta merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi ia tahu bahwa mereka harus bertahan demi keberlangsung
Langit di atas New York berselimut awan kelabu, mencerminkan dinginnya ruang sidang PBB yang dipenuhi wajah-wajah tak bernyawa. Di layar raksasa, bendera Buton kuno—kain tenun berlubang dihiasi motif kamaru—terkoyak oleh animasi digital yang memperlihatkan hutan-hutan yang diklaim "tak produktif." La Ode Harimao berdiri di podium, tangannya menggenggam Perjanjian Wolio 1624 yang lapuk, kertasnya berderak seperti suara tulang leluhur yang menggugat. Dia melangkah maju dengan langkah tegap, suaranya bergema di ruang sidang yang sunyi. Dengan penuh keyakinan, ia mulai membacakan isi perjanjian tersebut, mengingatkan para delegasi tentang hak-hak tradisional masyarakat Buton yang telah terabaikan selama bertahun-tahun. Matanya bersinar dengan determinasi, menuntut pengakuan dan penghormatan atas warisan budaya mereka. Seluruh ruangan terdiam, terpaku pada kata-kata yang keluar dari mulut La Ode Harimao."Yang Mulia," suaranya menggema, memecah kesunyian ruang berlapis marmer, "kami tidak
Langit di atas Jenewa memuntahkan hujan es, butiran kristal tajam yang menari di atas kaca gedung PBB bagai air mata bintang yang membeku. Di dalam ruang sidang, La Ode Harimao berdiri di antara dua dunia: di sebelah kirinya, bendera Buton yang dijahit dari kain tenun berlubang; di kanannya, layar hologram raksasa yang memproyeksikan data pertambangan seperti ular naga bermata rubi. Suaranya menggema, merobek kesunyian yang dibungkus bahasa diplomasi:"Kalian menyebut kami terbelakang karena kami memilih berbicara dengan angin daripada spreadsheet. Tapi lihatlah—" Tangannya menunjuk ke jendela, di mana rekaman drone menunjukkan pulau alien selatan yang kini berpendar seperti mutiara terlempar dari sabuk Orion. "—bahkan bintang-bintang pun memilih berpihak pada yang tak bersuara!"Di layar, gambar berganti: kapal alien purba setinggi gunung, tubuhnya diselimuti lumut bioluminesen, panel-panel logamnya diukir hieroglif cahaya biru. Lintang, dalam rekaman itu, menyentuh dinding kapal deng
Bumi dalam Demam KosmisDi pesisir Buton, langit terbelah oleh dua matahari yang saling memangsa. Yang kuning keemasan mencakar cakrawala dengan sinar beku, membekukan gelombang laut jadi pahatan kaca retak. Sementara yang ungu kebiruan melingkari daratan seperti ular naga rakus, lidah apinya menjilat permukaan air hingga mendidih dalam gelembung-gelembung racun. Ikan-ikan pari melompat ke darat, insangnya mengeras jadi kristal kuarsa yang berderai seperti tangisan. Di antara dua kekuatan kosmis ini, bayangan manusia terbelah—satu hitam pekat menjalar di tanah, satu transparan melayang di udara, seakan jiwa-jiwa terpisah dari daging yang terjebak di rimba logam dan darah.Wa Ode Rani berlutut di tanah retak, jemarinya menggali lumpur yang berbau besi terbakar. "Alam sedang menggigil," bisiknya pada angin yang menyayat, "dan kita adalah virus yang harus dimuntahkannya." Sebatang pohon kelapa tua di depannya mendadak bergetar, getahnya mengalir
Pesta Kemenangan yang PahitPelataran Istana Wolio malam itu diterangi bulan purnama yang pucat, seakan enggan menyinari kegelisahan yang merayap di antara tawa. Kembang api melesat ke langit, ledakannya menyemburkan cahaya hijau fosfor dari minyak Mala-Mala. Namun, asapnya tak menghilang—ia berkerumun, membelit, hingga membentuk wajah Ratu Wakaaka yang mata arwahnya menyala merah. La Ode Harimau berdiri di pinggir kerumunan, jemarinya menggenggam pecahan keramik kuno."Kemenangan ini seperti pisau bermata dua," bisiknya pada angin, suaranya parau seperti akar yang tercabik. "Kita terbang bebas, tapi sayap kita berdarah."Di kejauhan, Lintang merasakan tarikan di pelipisnya—bisikan berirama dari kapal alien yang bersembunyi di pulau selatan. Ia melangkah mundur, bayangannya lenyap ditelan kegelapan lorong istana, meninggalkan jejak aroma garam dan ketakutan.Ibunya Sinta menatapnya dengan energi cinta yang murni, mem
Langit di atas Jenewa memuntahkan hujan es, butiran kristal tajam yang menari di atas kaca gedung PBB bagai air mata bintang yang membeku. Di dalam ruang sidang, La Ode Harimao berdiri di antara dua dunia: di sebelah kirinya, bendera Buton yang dijahit dari kain tenun berlubang; di kanannya, layar hologram raksasa yang memproyeksikan data pertambangan seperti ular naga bermata rubi. Suaranya menggema, merobek kesunyian yang dibungkus bahasa diplomasi:"Kalian menyebut kami terbelakang karena kami memilih berbicara dengan angin daripada spreadsheet. Tapi lihatlah—" Tangannya menunjuk ke jendela, di mana rekaman drone menunjukkan pulau alien selatan yang kini berpendar seperti mutiara terlempar dari sabuk Orion. "—bahkan bintang-bintang pun memilih berpihak pada yang tak bersuara!"Di layar, gambar berganti: kapal alien purba setinggi gunung, tubuhnya diselimuti lumut bioluminesen, panel-panel logamnya diukir hieroglif cahaya biru. Lintang, dalam rekaman itu, menyentuh dinding kapal deng
Langit di atas New York berselimut awan kelabu, mencerminkan dinginnya ruang sidang PBB yang dipenuhi wajah-wajah tak bernyawa. Di layar raksasa, bendera Buton kuno—kain tenun berlubang dihiasi motif kamaru—terkoyak oleh animasi digital yang memperlihatkan hutan-hutan yang diklaim "tak produktif." La Ode Harimao berdiri di podium, tangannya menggenggam Perjanjian Wolio 1624 yang lapuk, kertasnya berderak seperti suara tulang leluhur yang menggugat. Dia melangkah maju dengan langkah tegap, suaranya bergema di ruang sidang yang sunyi. Dengan penuh keyakinan, ia mulai membacakan isi perjanjian tersebut, mengingatkan para delegasi tentang hak-hak tradisional masyarakat Buton yang telah terabaikan selama bertahun-tahun. Matanya bersinar dengan determinasi, menuntut pengakuan dan penghormatan atas warisan budaya mereka. Seluruh ruangan terdiam, terpaku pada kata-kata yang keluar dari mulut La Ode Harimao."Yang Mulia," suaranya menggema, memecah kesunyian ruang berlapis marmer, "kami tidak
Langit malam di Buton dipenuhi bintang-bintang yang seolah bersekongkol, berkelap-kelip dalam pola tak wajar. Di bawahnya, masyarakat adat berkumpul di sekitar Menara Kristal Biru, yang kini memancarkan gelombang energi lembut bagai nafas bumi. Sinta menggendong Lintang, yang mata kecilnya memantulkan cahaya bintang seperti cermin kosmik.“Mereka datang,” bisik Jun Ho, menatap layar tablet yang menampilkan jejak satelit tak dikenal. “AI itu telah menyusup ke jaringan orbit. Ini serangan yang tak bisa kita lawan dengan tombak.”La Ode Harimao, dengan wajah sekeras batu karang, mengangkat Tombak Wakaaka. “Kita lawan dengan apa yang kita punya: darah, doa, dan akal!”Mereka semua bersiap-siap untuk menghadapi ancaman yang semakin mendekat, dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan. Sinta merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi ia tahu bahwa mereka harus bertahan demi keberlangsung
Langit senja di Buton dihiasi warna jingga dan ungu, seolah lukisan raksasa yang dilukis oleh Ratu Wakaaka sendiri. Di pelataran Istana Wolio, ratusan obor menyala membentuk pola kamaru—simbol persatuan yang telah berusia tujuh abad. Suara gendang dana-dana menggetarkan udara, diiringi tarian lariangi yang gemulai. Sinta, dengan Lintang digendong di kain tenun merah, tersenyum melihat Jun Ho yang canggung mencoba mengikuti gerakan penari. Tapi di balik kemeriahan ini, getaran ketegangan mengintip seperti macan di balik semak.“Ini bukan sekadar pesta,” bisik La Ode Harimau pada istrinya, Wa Ode Marinu, sambil menatap para utusan Kadie dari empat penjuru Kesultanan Buton yang duduk di paviliun berhias bunga kamboja. “Ini peringatan. Jika negara terus tutup mata, kita akan tegakkan kedaulatan leluhur kita sendiri.”Wa Ode Marinu mengangguk, matanya berbinar seperti pisau terhunus. “Sudah saatnya kita tagih utang sejarah. Dana yang dipinjam negara saat konsolidasi kemerdekaan harus dikem
Langit di atas Jakarta pagi itu terasa seperti kaca yang retak, memantulkan cahaya pucat yang seolah enggan menyentuh bumi. Di tengah kerumunan wartawan dan aktivis yang berjejal di depan Pengadilan Negeri, La Ode Harimau melangkah keluar dari gerbang besi dengan kepala tegak. Wajahnya yang keriput oleh waktu dan perjuangan tersenyum kecil, tapi matanya—yang seperti dua bara api—menyimpan amarah yang tak pernah padam. "Kebebasan ini bukan hadiah," bisiknya pada Wa Ode Rani yang menunggu dengan bendera bertuliskan #SaveLambusango. "Ini adalah peringatan. Mereka tahu, jika aku mati di penjara, hutan ini akan bangkit dan menelan mereka hidup-hidup."Tapi di balik sorak-sorai kemenangan, badai lain sedang mengumpul. Banjir besar melanda separuh Jawa, airnya hitam pekat oleh lumpur tambang yang terbawa dari hutan-hutan gundul. Desa-desa tenggelam, sawah-sawah berubah jadi rawa beracun, dan mayat-mayat ikan mengambang di sungai seperti peringatan dari alam yang terluka."Lihatlah!" teriak s
Langit malam itu menganga seperti luka bakar raksasa, memuntahkan cahaya merah tembaga yang mengecat wajah bumi menjadi palet duka. Bulan Merah—sebuah fenomena yang hanya muncul setiap 500 tahun—mengambang di atas Hutan Lambusango, bukan sebagai benda langit, melainkan mata raksasa yang mengawasi dengan pupil-pupil api. Di bawahnya, Sinta berdiri di tengah lingkaran batu vulkanik, tubuh Lintang yang kecil terikat di dadanya dengan selendang tenun bermotif kamaru. Setiap helai benang di selendang itu berdenyut, menyala-nyala dalam irama yang seirama dengan detak jantung sang bayi."Waktunya telah tiba," bisik Wa Ode Marinu, tangannya menggenggam kendi berisi air mata pohon ulin—cairan yang hanya bisa dikumpulkan saat pohon itu meratap di tengah malam. "Bumi akan berbicara melalui darah kita."Tapi di kejauhan, di balik kabut darah bulan, deru mesin perang meraung. Pasukan Hybrid—manusia setengah mesin dengan otot-otot berpola DNA biru Li
Langit malam di Hutan Lambusango pecah oleh guruh yang bukan berasal dari awan, melainkan dari dentuman roket militer yang membelah angkasa. Di bawah kanopi pohon ulin yang merintih, Sinta menggigit sehelai kain tenun bermotif kamaru, tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik hingga patah. Setiap kontraksi adalah gelombang pasang yang menyapu daratan tulang rusuknya, membawa serta teriakan yang tertahan di balik desisan dedaunan. Jun Ho, dengan tangan berlumur getah penyembuh yang diracik nenek-nenek adat, berbisik mantra-mantara yang diajarkan Wa Ode Marinu: "Bumi adalah rahim, angin adalah bidan, dan darahmu adalah sungai yang akan menyambut sang penjelajah bintang."Di kejauhan, sorak-sorai tentara bersahutan dengan derap helikopter. Mereka datang untuk mengambil dua harta: batu biru yang bersemayam di gua Laritana, dan janin ajaib yang cahayanya menerobos daging perut Sinta seperti lentera kertas di tengah kegelapan."Kita harus pindah!" teri