Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 75: Simfoni Bumi dan Langit yang Berdarah

Share

Bab 75: Simfoni Bumi dan Langit yang Berdarah

Author: Oceania
last update Last Updated: 2025-03-15 11:58:51

Langit di atas Jenewa memuntahkan hujan es, butiran kristal tajam yang menari di atas kaca gedung PBB bagai air mata bintang yang membeku. Di dalam ruang sidang, La Ode Harimao berdiri di antara dua dunia: di sebelah kirinya, bendera Buton yang dijahit dari kain tenun berlubang; di kanannya, layar hologram raksasa yang memproyeksikan data pertambangan seperti ular naga bermata rubi. Suaranya menggema, merobek kesunyian yang dibungkus bahasa diplomasi:

"Kalian menyebut kami terbelakang karena kami memilih berbicara dengan angin daripada spreadsheet. Tapi lihatlah—" Tangannya menunjuk ke jendela, di mana rekaman drone menunjukkan pulau alien selatan yang kini berpendar seperti mutiara terlempar dari sabuk Orion. "—bahkan bintang-bintang pun memilih berpihak pada yang tak bersuara!"

Di layar, gambar berganti: kapal alien purba setinggi gunung, tubuhnya diselimuti lumut bioluminesen, panel-panel logamnya diukir hieroglif cahaya biru. Lintang, dalam rekaman itu, menyentuh dinding kapal den
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 1: Kembali ke Akar

    Angin sepoi-sepoi membawa aroma harum damar dan tanah basah. Hutan Lambusango, yang konon menjadi saksi bisu kelahiran para raja di Pulau Buton, kini terasa lebih hidup dari biasanya. Sinar matahari pagi menembus dedaunan, menciptakan corak-corak indah di lantai hutan yang dipenuhi lumut hijau. Di tengah hutan yang masih asri itu, berdiri seorang perempuan dengan kecantikan yang memukau. Rambut hitam panjangnya berkibar tertiup angin, matanya berkilau memancarkan cahaya biru lembut. Dialah Ratu Wakaaka, penguasa legendaris Pulau Buton yang kembali ke dunia fana.Sejak kedatangannya, Wakaaka merasakan ada ikatan yang kuat menariknya ke Hutan Lambusango. Ia merasakan kehadiran sesuatu yang familiar, sebuah energi yang membuatnya tenang namun juga rasa penasaran. Dengan langkah ringan, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah lama tidak terjamak. Di tengah perjalanan, Wakaaka tiba-tiba terhenti. Di depannya, berdiri sebuah pohon bambu tua yang sangat besar. Pohonnya tampak berbeda

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 2: Di Antara Dua Dunia

    Wakaaka duduk termenung di bawah pohon beringin tua di halaman istana. Cahaya rembulan memantulkan bayangannya yang memanjang di atas tanah. Pikirannya melayang jauh, mengingat kembali semua kejadian yang telah dialaminya. Ia merasa terjebak di antara dua dunia: dunia manusia yang penuh dengan tanggung jawab dan dunia magis yang penuh misteri. Dari atas bukit itu, ia memandang ke arah barat menjelang matahari terbenam.Sebagai ratu, ia harus menjaga keseimbangan dan keharmonisan di pulau Buton. Namun, sebagai seorang wanita biasa, ia juga memiliki keinginan untuk memahami dirinya sendiri dan kekuatan magis yang dimilikinya. Konflik batin ini membuatnya terasa terombang-ambing."Apa yang harus kulakukan?" gumamnya lirih.Tiba-tiba, ia mendengar suara lembut memanggil namanya. "Wakaaka, jangan terlalu bersantai."Wakaaka menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua dengan rambut putih panjang sedang berdiri di belakangnya. Wanita itu memiliki mata yang bersinar terang, seolah-olah meny

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 3: Bayangan di Balik Cinta

    Wakaaka berdiri di puncak bukit, memandang keindahan Pulau Buton yang perlahan mulai pulih dari kehancuran. Namun, di balik wajahnya yang tenang, hatinya penuh dengan kegelisahan. Meskipun rakyatnya mulai menyambut upayanya dengan rasa syukur, ada bisik-bisik ketidakpuasan di antara beberapa golongan. Wakaaka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tetapi juga menyatukan hati yang terpecah.Dalam perjalanan tur ke desa-desa, ia menyadari perbedaan yang mencolok antara generasi tua dan muda. Generasi tua masih memegang teguh adat dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad, sementara generasi muda ingin membawa perubahan, memanfaatkan teknologi, dan mengadopsi cara hidup yang lebih modern.Di sebuah desa kecil di dekat pesisir, Wakaaka bertemu dengan Aji. Pemuda itu bukan hanya cerdas dan peduli, tetapi juga memiliki pandangan yang seimbang tentang bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan. Saat Wakaaka berbicara dengan Aji, ia merasa menemukan t

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

    Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 5: MALAM BAYANGAN

    Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.Bayangan Lautan Memulai SeranganDi dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kek

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

    Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.“Sinta, saya

    Last Updated : 2024-11-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 7: Pertemuan di Hutan

    Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi de

    Last Updated : 2024-11-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 8: Di Persimpangan Jalan

    “Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti,

    Last Updated : 2024-11-27

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 75: Simfoni Bumi dan Langit yang Berdarah

    Langit di atas Jenewa memuntahkan hujan es, butiran kristal tajam yang menari di atas kaca gedung PBB bagai air mata bintang yang membeku. Di dalam ruang sidang, La Ode Harimao berdiri di antara dua dunia: di sebelah kirinya, bendera Buton yang dijahit dari kain tenun berlubang; di kanannya, layar hologram raksasa yang memproyeksikan data pertambangan seperti ular naga bermata rubi. Suaranya menggema, merobek kesunyian yang dibungkus bahasa diplomasi:"Kalian menyebut kami terbelakang karena kami memilih berbicara dengan angin daripada spreadsheet. Tapi lihatlah—" Tangannya menunjuk ke jendela, di mana rekaman drone menunjukkan pulau alien selatan yang kini berpendar seperti mutiara terlempar dari sabuk Orion. "—bahkan bintang-bintang pun memilih berpihak pada yang tak bersuara!"Di layar, gambar berganti: kapal alien purba setinggi gunung, tubuhnya diselimuti lumut bioluminesen, panel-panel logamnya diukir hieroglif cahaya biru. Lintang, dalam rekaman itu, menyentuh dinding kapal den

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 73: Bulan Retak di Langit Buton

    Langit di atas New York berselimut awan kelabu, mencerminkan dinginnya ruang sidang PBB yang dipenuhi wajah-wajah tak bernyawa. Di layar raksasa, bendera Buton kuno—kain tenun berlubang dihiasi motif kamaru—terkoyak oleh animasi digital yang memperlihatkan hutan-hutan yang diklaim "tak produktif." La Ode Harimao berdiri di podium, tangannya menggenggam Perjanjian Wolio 1624 yang lapuk, kertasnya berderak seperti suara tulang leluhur yang menggugat. Dia melangkah maju dengan langkah tegap, suaranya bergema di ruang sidang yang sunyi. Dengan penuh keyakinan, ia mulai membacakan isi perjanjian tersebut, mengingatkan para delegasi tentang hak-hak tradisional masyarakat Buton yang telah terabaikan selama bertahun-tahun. Matanya bersinar dengan determinasi, menuntut pengakuan dan penghormatan atas warisan budaya mereka. Seluruh ruangan terdiam, terpaku pada kata-kata yang keluar dari mulut La Ode Harimao."Yang Mulia," suaranya menggema, memecah kesunyian ruang berlapis marmer, "kami tidak

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 72: Perisai Langit dan Pengkhianat di Kegelapan

    Langit malam di Buton dipenuhi bintang-bintang yang seolah bersekongkol, berkelap-kelip dalam pola tak wajar. Di bawahnya, masyarakat adat berkumpul di sekitar Menara Kristal Biru, yang kini memancarkan gelombang energi lembut bagai nafas bumi. Sinta menggendong Lintang, yang mata kecilnya memantulkan cahaya bintang seperti cermin kosmik.“Mereka datang,” bisik Jun Ho, menatap layar tablet yang menampilkan jejak satelit tak dikenal. “AI itu telah menyusup ke jaringan orbit. Ini serangan yang tak bisa kita lawan dengan tombak.”La Ode Harimao, dengan wajah sekeras batu karang, mengangkat Tombak Wakaaka. “Kita lawan dengan apa yang kita punya: darah, doa, dan akal!”Mereka semua bersiap-siap untuk menghadapi ancaman yang semakin mendekat, dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan. Sinta merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi ia tahu bahwa mereka harus bertahan demi keberlangsung

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 71: Pesta Bumi dan Dendam Bintang

    Langit senja di Buton dihiasi warna jingga dan ungu, seolah lukisan raksasa yang dilukis oleh Ratu Wakaaka sendiri. Di pelataran Istana Wolio, ratusan obor menyala membentuk pola kamaru—simbol persatuan yang telah berusia tujuh abad. Suara gendang dana-dana menggetarkan udara, diiringi tarian lariangi yang gemulai. Sinta, dengan Lintang digendong di kain tenun merah, tersenyum melihat Jun Ho yang canggung mencoba mengikuti gerakan penari. Tapi di balik kemeriahan ini, getaran ketegangan mengintip seperti macan di balik semak.“Ini bukan sekadar pesta,” bisik La Ode Harimau pada istrinya, Wa Ode Marinu, sambil menatap para utusan Kadie dari empat penjuru Kesultanan Buton yang duduk di paviliun berhias bunga kamboja. “Ini peringatan. Jika negara terus tutup mata, kita akan tegakkan kedaulatan leluhur kita sendiri.”Wa Ode Marinu mengangguk, matanya berbinar seperti pisau terhunus. “Sudah saatnya kita tagih utang sejarah. Dana yang dipinjam negara saat konsolidasi kemerdekaan harus dikem

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 70: Darah, Batu, dan Kode yang Berdarah

    Langit di atas Jakarta pagi itu terasa seperti kaca yang retak, memantulkan cahaya pucat yang seolah enggan menyentuh bumi. Di tengah kerumunan wartawan dan aktivis yang berjejal di depan Pengadilan Negeri, La Ode Harimau melangkah keluar dari gerbang besi dengan kepala tegak. Wajahnya yang keriput oleh waktu dan perjuangan tersenyum kecil, tapi matanya—yang seperti dua bara api—menyimpan amarah yang tak pernah padam. "Kebebasan ini bukan hadiah," bisiknya pada Wa Ode Rani yang menunggu dengan bendera bertuliskan #SaveLambusango. "Ini adalah peringatan. Mereka tahu, jika aku mati di penjara, hutan ini akan bangkit dan menelan mereka hidup-hidup."Tapi di balik sorak-sorai kemenangan, badai lain sedang mengumpul. Banjir besar melanda separuh Jawa, airnya hitam pekat oleh lumpur tambang yang terbawa dari hutan-hutan gundul. Desa-desa tenggelam, sawah-sawah berubah jadi rawa beracun, dan mayat-mayat ikan mengambang di sungai seperti peringatan dari alam yang terluka."Lihatlah!" teriak s

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 69: Bulan Darah dan Tarian Rantai yang Terputus

    Langit malam itu menganga seperti luka bakar raksasa, memuntahkan cahaya merah tembaga yang mengecat wajah bumi menjadi palet duka. Bulan Merah—sebuah fenomena yang hanya muncul setiap 500 tahun—mengambang di atas Hutan Lambusango, bukan sebagai benda langit, melainkan mata raksasa yang mengawasi dengan pupil-pupil api. Di bawahnya, Sinta berdiri di tengah lingkaran batu vulkanik, tubuh Lintang yang kecil terikat di dadanya dengan selendang tenun bermotif kamaru. Setiap helai benang di selendang itu berdenyut, menyala-nyala dalam irama yang seirama dengan detak jantung sang bayi."Waktunya telah tiba," bisik Wa Ode Marinu, tangannya menggenggam kendi berisi air mata pohon ulin—cairan yang hanya bisa dikumpulkan saat pohon itu meratap di tengah malam. "Bumi akan berbicara melalui darah kita."Tapi di kejauhan, di balik kabut darah bulan, deru mesin perang meraung. Pasukan Hybrid—manusia setengah mesin dengan otot-otot berpola DNA biru Li

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 68: Leluhur Menari di Atas Darah dan Bintang

    Langit malam di Hutan Lambusango pecah oleh guruh yang bukan berasal dari awan, melainkan dari dentuman roket militer yang membelah angkasa. Di bawah kanopi pohon ulin yang merintih, Sinta menggigit sehelai kain tenun bermotif kamaru, tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik hingga patah. Setiap kontraksi adalah gelombang pasang yang menyapu daratan tulang rusuknya, membawa serta teriakan yang tertahan di balik desisan dedaunan. Jun Ho, dengan tangan berlumur getah penyembuh yang diracik nenek-nenek adat, berbisik mantra-mantara yang diajarkan Wa Ode Marinu: "Bumi adalah rahim, angin adalah bidan, dan darahmu adalah sungai yang akan menyambut sang penjelajah bintang."Di kejauhan, sorak-sorai tentara bersahutan dengan derap helikopter. Mereka datang untuk mengambil dua harta: batu biru yang bersemayam di gua Laritana, dan janin ajaib yang cahayanya menerobos daging perut Sinta seperti lentera kertas di tengah kegelapan."Kita harus pindah!" teri

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 67: Cahaya Biru dan Jerat Dua Dunia

    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pagi itu dikepung oleh dua kubu yang bertolak belakang. Di sebelah kiri, puluhan masyarakat adat dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dengan pakaian tradisional, wajah mereka dicat motif khas suku, tangan menggenggam sirih pinang sebagai simbol perdamaian. Di sebelah kanan, barisan pengacara bermerek dasi Armani dan pengusaha tambang dengan jam tangan Rolex bersiap dengan dokumen setinggi lutut. Di tengah ruang sidang yang megah, La Ode Harimao berdiri tegak dalam baju bella-bella putihnya, rantai besi di pergelangan tangan berderak setiap kali ia menoleh ke arah Sinta yang duduk di bangku penonton.Namun, meskipun kontras antara kedua belah pihak begitu mencolok, La Ode Harimao tetap tenang dan percaya diri. Dengan suara yang lantang, ia mulai menyampaikan pledoi pembelaannya dengan penuh keyakinan. Sinta, yang selama ini hanya bisa menatapnya dari kejauhan, merasakan getaran emosi yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar kata-kata yang keluar d

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 65: Ancaman di Balik Keindahan

    Hutan Lambusango pagi itu terlihat begitu tenang. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, dan sinar matahari yang menembus dedaunan menciptakan pola cahaya yang menari-nari di tanah. Tapi ketenangan itu hanyalah ilusi. Di balik keindahannya, ada badai yang sedang mengumpul.Sinta duduk di beranda rumah kayu kecil milik keluarganya, secangkir teh hangat di tangannya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah petualangannya di dunia spiritual, tapi pikirannya tidak bisa beristirahat. Matanya menatap jauh ke arah hutan, seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon. "Ini ancaman untuk kelestarian Hutan Lambusango," bisiknya pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Jun Ho, yang duduk di sampingnya, mengangguk perlahan. "Aku baru saja mendapat email dari ibuku di Seoul," katanya sambil membuka laptopnya. "Dia bertanya apakah sudah ada calon cucu untuknya."Sinta tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat menghilang. "Kita bahkan belum bisa melindungi hutan ini, Jun. Bagai

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status