SRETT. "Aaa!" Gaun tipis Ayana seketika robek. Terpampang jelas bahu dan sebagian dadanya. Segera dia menutupi dadanya dengan tangan.
"Ha ha ha ha! Kita nikmati malam ini gadis manis." Pria yang hanya berbalut celana pendek itu segera mengukung Ayana."Jangan! Kumohon jangan!" teriak Ayana. Dia terus meronta, mendorong paruh baya berperut buncit itu.Pria itu terus berusaha menguasai Ayana. "Diam kamu! Aku sudah membayar mahal, sekarang lakukan tugasmu dengan baik!"Pria itu memegang dua tangan Ayana yang terus melawan. Dia letakkan di atas dengan satu tangan kuatnya. "Diam, dan layani aku dengan baik, jika kamu masih ingin hidup!" geram pria itu."Cuihh!" Ayana meludah. "Bunuh saja aku!" teriaknya dengan mata nyalang."Ini pilihanmu. Aku sangat suka bermain dengan gadis manis agresif. Berteriaklah sekuatmu! Ha ha ha ha ha ha!"Paruh baya itu menekan kaki Ayana kuat dengan kakinya. Kini dia mulai merebahkan di atas tubuh Ayana."Baumu wangi sekali." Pria itu mulai mengendus bagian ceruk leher Ayana.Ayana memutar otak, dia harus bisa lepas dari pria ini."Aaarrggghh!"Ayana menggigit telinga paruh baya itu. Dia langsung mendorong kuat, dan berlari meski hanya di sekitar kamar itu."Mau kemana kamu?!" Paruh baya itu murka, dia terus mengikis jarak dengan wajah merah."Kumohon jangan! Tolong lepaskan aku." Ayana merangkup tangannya memohon."Ha ha ha ha ha!" Pria itu malah tertawa mengerikan.--Sedang di lantai bawah.BRAKKKK!!!Pintu itu dibuka kasar oleh 5 pria. Wajah mereka ditutup masker. Sekelompok pemburu yang mencari kemenangan di malam hari.Black Skull. Mereka selalu datang membawa ketakutan bagi musuhnya.Kaget. Para penghuni Villa memberi perlawanan. "Penyusup!" teriak salah satu mereka.Mereka langsung maju melawan.Serangan mereka ditangkis. Bugh. Bugh. Prang! Seorang terlempar, sebuah guci pecah, dia tersungkur.Mereka tidak siap akan kedatangan Black Skull. Sekuat tenaga mereka melawan.Villa seorang koruptor sebuah perusahaan, yang sulit dilumpuhkan kliennya. Kini mereka mendapat pesanan membawa koruptor itu ke hadapan klien. Dan membawa bukti korupsinya.Bugh. Duk. Bugh. Bugh.Duk. Bugh. Prang!Rumah itu kini riuh dengan suara hantaman, dan barang pecah. Sisi Black Skull tetap memimpin kemenangan, meski jumlahnya lebih sedikit."Yaakk!" Bruk. Satu tendangan melempar musuh di depan. Bugh. Vincent juga menghantam sisi kanannya.Set. Pukulan ditangkis Leo, lalu dia putar dan melemparkan hingga menghantam tembok. Duk. Menendang keras di sisi kirinya.Duk. Robin menendang melempar seorang lagi. Bugh. Bugh. Juga hantaman untuk dua orang lain yang menghadang.Bugh. Duk. Bugh. Hantaman Brox dan tendangan beruntun, untuk mereka yang maju bersama dari berbagai sisi.Dor! Sebuah peluru berhasil dihindari Jovan. Dia lantas melempar mata pisau ke arah tangan penembak itu. Pistol terlempar tangannya terluka."Aaisshh!" teriak pria itu memegang tangannya."Brox!" teriak Jovan.Brox melompat, mengambil pistol itu.Satu pria bertubuh tinggi dan atletis masih menonton. Sambil mengibas kuat, mereka yang datang. Brak. Prang!!Mata elangnya kini menatap tajam lantai atas. Jovan kini siap beraksi. Dia meninggalkan temannya yang masih menikmati pesta meriah itu.Dia berlari, melompat bagai Leopard pada railing tangga. Memegang railing atas, bergelantung lalu salto, melompat ke lantai atas. Set, dia mendarat sempurnya.Kini matanya menghunus ke berbagai arah mencari targetnya. Menuju pada suatu kamar yang dia yakini itu kamar target."S*al!" Kamar menggunakan kunci sandi.Jovan mengambil jarak, dia berlari dan ... Buk. Buk. Buk. Dia mendorong kuat dengan bahunya. Bruk! Pintu itu roboh.Seketika mata Jovan membulat. "Dasar bandot tua!""Siapa kamu?!" teriak Paruh baya. "Pengawal!" Menebar pandangan."Jangan buang tenagamu, Pak tua! Anak buahmu sedang berpesta di bawah.""Tolong aku, kumohon!" teriak Ayana.Paruh baya itu berlari, dan segera membuka laci nakas."Jangan berani maju, jika masih ingin hidup!" teriak paruh baya itu. Dia berdiri menodongkan pistol gemetar pada Jovan."Benarkah? Tembak saja!" Jovan melangkah santai.Jovan semakin maju, dengan tatapan nyalang.DOR!! Satu tembakan melesat hampir mengenai Jovan."Aaaa!" teriak Ayana takut. Dia menunduk bersembunyi di belakang sofa.Jovan terkekeh. "Kamu salah memegang senjata, Pak Tua!"Pria itu masih bersiap menembak, dia melangkah mundur seiring Jovan melangkah maju.Menarik pelatuk. DOR. Jovan menghindar dan langsung mengambil pijakan, lalu melompat tinggi.Brakkk. Jovan menendang keras pria itu.Pria itu langsung tersungkur. Jovan menendang kuat pistol itu, hingga masuk dalam celah sempit.Paruh baya itu, menggeser tubuhnya hingga pojok nakas. Dia makin gemetar.Jovan maju, dia lantas berjongkok di depan pria itu.Mata Jovan menghunus menyiratkan banyak tekanan. Jovan memegang rahang pria itu, menekan kuat lalu dia hempaskan."Auw!" teriak pria itu, kesakitan."Berani kamu jadi tikus pengerat!" Suara Jovan berat menggetarkan lawan."Tolong lepaskan aku. Aku bisa membayarmu lebih dari mereka. Katakan berapa yang kamu minta!" takut pria itu mengatakan.Jovan menarik satu sudut bibirnya di balik masker hitam itu. "Berapa harga nyawamu? Berikan padaku!" Suara Jovan semakin menakutkan. Jovan tidak pernah mengecewakan klien.Jovan berdiri, lalu duduk di sisi king size. Sedikit menunduk, dengan dua tangan menyatu di tengah. "Apa aku harus membuatmu sekarat, baru kamu buka mulut?" tenang dan berat, suara itu menggoyahkan pikiran pria itu.Pria itu mengangguk gemetar. "Katakan saja apa yang kamu butuhkan!""Bukti bahwa kamu seorang tikus pengerat. Berikan padaku filenya!" bentak Jovan.Pria itu kaget dan bergetar. Dia lantas merangkak menuju laci meja, ditekannya tombol, lalu diambilnya flash disk, dan dia serahkan pada Jovan."Ambillah, lalu lepaskan aku!" Pria itu memohon.Jovan masih memandangi flash disk itu."Aku tidak menipumu. Bukankah kamu bisa datang lagi, jika itu palsu," takut pria itu."Kalau begitu, kamu juga harus ikut denganku." Buk. Jovan memukul tengkuk pria itu. Lalu dia pingsan.Dari belakang sofa itu, Ayana meringkuk ketakutan."Siapa kamu?!""Ah!" Ayana tersentak, dia berbalik dan mendongak. "Aku hanya wanita yang dijual oleh Pamanku. Tolong selamatkan aku. Kumohon, jika kamu musuhnya berarti kamu orang baik."Jovan menatap kondisi gadis mungil yang mengenaskan itu. Wajahnya berbalur make up luntur, dengan baju yang tipis robek.Jovan melepas blazernya. "Pakailah!" Menyodorkan."Terima kasih." Ayana langsung menyambarnya."Tempat ini sudah aman, silahkan kamu pergi!" Jovan berbalik, dia melangkah."Aku tidak punya tujuan. Aku tidak tau tempat ini!" seru Ayana.Langkah Jovan berhenti, sebentar berpikir lalu berbalik. Kembali memandangi wajah gadis malang itu."Kumohon, aku janji tidak akan merepotkanmu. Kamu bisa menjadikanku pembantu, atau apa saja. Kumohon, selamatkan aku."Jovan masih bergeming, dia belum pernah dekat dengan wanita manapun."Apa aku harus kembali pada Pamanku?""Dimana rumahmu, kamu pasti punya orang tua."Ayana menangis mendengar kata itu. "Kamu bisa membuangku nanti. Kumohon bawa aku keluar dari tempat ini. Aku pasti akan dikejar suruhan Mami Febby nanti."Jovan masih ragu."Mereka akan menjualku lagi." Semakin lirih dan sendu.Jovan menarik nafas, dan menatap gadis mungil itu.Mata sendu yang basah itu, dengan suara serak lirih mampu menghunus hati dingin Jovan."Ikut denganku!" Jo berbalik dan melepas maskernya.Ayana bernafas lega. Dia hendak bangkit. "Aaaaahh!" teriaknya. Tubuh lemah itu lunglai ke lantai. Dia terlalu lama meringkuk.Jovan langsung sigap. Dia menangkap Ayana. Paham dengan keadaannya, Jovan langsung mengangkat ala bridal style."Aaahh!" Ayana mengaduh saat punggungnya tersentuh. Jovan membawanya menuruni tangga, dengan langkah tegas dan tanpa menoleh wajah Ayana.Ayana hanya termangu. Dia menatap lekat wajah tampan dengan mata elang itu.Di bawah. Jovan melihat musuhnya telah tersungkur tergeletak dan terikat di pojok sana."Sepertinya kalian sangat menikmati malam ini," seru Jovan pada temannya."Mereka terlalu lemah." Brox terkekeh. "Wow, siapa yang kamu bawa?""Jo, apa dia ...?" Vincent membolakan mata, dia tidak pernah melihat Jovan peduli dengan urusan wanita."Klien membayar harga tinggi hanya untuk para pecundang ini. Apa itu bonu
"Aku hampir melupakan gadis itu. Haishh!"Suara tangisan yang mengganggu telinga Jovan. Tangisan itu semakin jelas. Jovan masuk ke kamar Ayana, dia menjumpai Ayana sedang meringkuk di atas tempat tidur. Dia menangis bertopang lutut."Aku tidak terbiasa memelihara wanita. Apa yang terjadi?" Jovan berdiri di depan ranjang.Ayana sedikit mereda, dia menghapus air matanya. Namun, dia masih diam menunduk."Lihatlah aku, dengar! Di sini tidak ada yang akan menyakitimu." Jovan melihat Ayana ketakutan.'Apa dia mengalami trauma fisik atau serangan?' batin Jovan.Saat ini Ayana baru percaya pada Jovan. Ayana pelan mendongak, dia melihat wajah Jovan.Jovan kini melihat jelas wajah Ayana, meski matanya agak bengkak, tapi Jovan tahu kalau Ayana cantik dan manis."Cobalah percaya!" Jovan kembali meyakinkan.Ayana mengangguk kecil."Siapa namamu?"Ayana diam menunduk."Baiklah, jika kamu belum mau mengatakannya. Apa kamu sudah sarapan?"Ayana menggeleng pelan."Di luar ada pantry, di bawah ada dapu
Di sebuah tempat pemakaman umum bagi kalangan elit. Seorang paruh baya mengenakan pakaian serba hitam, juga berkaca mata hitam. Ada seorang ajudan yang membawakan payung hitam untuk memberinya keteduhan.Dia berjongkok di antara dua nisan. Satu nisan bertuliskan Addy dan satu lagi Jelita.Dia menaburkan bunga pada keduanya."Sudah 20 tahun. Kamu tidak bisa memberi tahuku di mana anakmu sekarang. Seharusnya kamu datang padaku, dan memberiku penerangan," lirih paruh baya itu.Dia menarik nafas dalam."Seandainya saja kamu mendengarkan apa kataku. Kita masih bisa tetap bersama."Pria itu sebentar mengusap nisan Addy. Lalu berdiri meninggalkan tempat itu.Berjalan dengan iringan beberapa pria tegap dan kekar. Kanigara nama itu. Nama dan wajah yang selalu Jovan ingat.Satu ajudan membukakan pintu mobil mewah. Kanigara duduk tegap penuh wibawa di dalam sana."Jalan!" tegasnya.Mobil melaju. Di dalam mobil, sang Asisten yang duduk di kursi depan sebelah kemudi, mulai membacakan jadwal sang k
"Misi baru!"Seketika semua menatap. Mereka menggunakan komunikasi lewat email, dengan semua klien. Hanya beberapa saja yang tahu pekerjaan mereka, yang pasti kalangan elit yang mampu membayar."Apa kali ini?" tanya Vincent."Sengketa Tahta." Leo menaikan alisnya."Jelaskan!" ujar Jovan."Orang tua mereka, pemilik perusahaan besar yang sudah tua, dibawa pergi sang menantu yang mereka bilang ketua Gangster yang cukup besar. Menantu itu juga membawa banyak document aset perusahaan.""Kenapa tidak lapor polisi? Pasal menculikan." Brox heran."Menantu itu mengancam akan menghabisi Papanya seketika, jika sampai polisi datang.""Kita terima. Berapa dia kasih kita waktu?" tanya Jovan."3 hari.""Cukup. Kita mulai pengintaian nanti malam," ujar Vincent."Berapa dia berani bayar?" tanya Brox."1 milyar.""Kita lihat dulu bagaimana situasinya. Nanti baru kita minta tawaran harga." Jovan masih ragu."Minta titik target!" ujar Vincent."Siap!" sahut Leo."Fix. Nanti malam kita beraksi!" Robin mer
Ayana meringkuk, pikirannya kembali mengulas kejadian malangnya.Jika kamu ingin terus melangkah, kamu harus bisa keluar dari jeratan pikiranmu sendiri. Ketakutanmu jangan kamu jadikan cengkraman pijakan untuk menopang langkahmu. Percayalah, tidak ada cerita kelam yang abadi.Saat itu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Belum kering gundukan tanah kubur kedua orang tuanya. Ayana didatangi rentenir."Sertifikat tanah dan bangunan ada padaku. Surat perjanjian juga sah. Kalau kamu mau menuntutku, silahkan bawa pengacara!" teriak sang Rentenir.Ayana menelan ludah. Dia termasuk gadis kurang pintar. Dia hanya bisa takut. "Aku tidak tahu soal itu.""Harga rumah ini tidak bisa menutup utang Ayahmu. Jadi, kamu masih punya tanggungan, 50 juta."Ayana membelalakkan mata. "Kenapa banyak sekali?""Aku kasih waktu 1 bulan, atau kamu aku masukkan penjara!" ancam Rentenir.Ayana merupakan anak semata wayang. Di dekatnya hanya ada Paman serta Bibinya yang tinggal agak jauh.Entah untuk apa oran
Ayana tak bisa keluar dari rasa gelisah, dan takut yang teramat di rumah sepi itu. Apalagi Jovan belum kembali saat matahari telah nampak. Ayana memutuskan untuk menunggu di lantai bawah "Wow, dia keluar dari sangkar," celetuk Brox."Apa dia menunggu kita pulang?" ragu Leo."Menunggu, Jo. Bukan kita." Vincent menepuk pundak Jovan."Dia menunggu sang majikan pulang, peliharaan yang patuh. Good job, Baby girl," sahut Robin.Jovan mendekat, dia hendak mengangkat Ayana, dan bermaksud memindahkannya ke kamar.Ayana masih sensitif. Dia merasa ada yang menyentuhnya. Sontak saja dia membuka mata lebar, meloncat dan menghindar."Aaaaa ....!!" Ayana menjerit. Dia menebar pandangan. Dia melihat Jovan telah pulang.Ayana langsung mendekat, mencengkeram lengan Jovan, lalu bersembunyi di sisi bahu Jovan, karna melihat 4 pria lainnya. Nafas Ayana menderu. Dia masih ingat kata-kata mereka yang butuh hiburan.Jovan memegang pelan tangan Ayana yang mencengkeram, agar tenang. "Tidak ada yang akan menyak
Sedang di kamar sebelah. Kejadian itu tidak masuk pada bagian pikiran Jovan. Dia kini masih malas menutup mata. Dia enggan kembali pada mimpi buruknya.Insomnia, dia susah untuk tidur. Saat dia sangat lelah, dia bisa terlelap. Namun, tidak akan menghindarkannya dari mimpi buruk.Mimpi buruk itu akan selalu hadir saat Jovan tidur.Jovan membuka laptopnya. Dia lekas mencari informasi tentang Kanigara.*J Company akan bekerja sama dengan Perusahaan Asing.*Jovan membaca berita itu. Tangannya mengepal kuat. Meski dia tidak menahu saat itu, tapi Jovan paham. J Company adalah Perusahaan yang dirintis 3 sekawan. Papanya serta dua teman lainnya, yang salah satunya adalah Kanigara.Sayang sekali, dulu Mamanya tidak suka dengan sosialita. Dia jarang bergaul dengan para Istri pengusaha. Hingga Jovan baru bertemu Kanigara sekali, dan belum pernah bertemu oleh satu teman Papanya yang lain."Nikmati sisa hidupmu saat ini. Aku pastikan akan menghabisimu dengan tanganku sediri!" geram Jovan. Dia melih
Jovan menyodorkan air putih. "Pelan-pelan!" seru Jovan.Ayana mengatur nafasnya. "Huh huh huh. Tt-tiga miliar?" Ayana bergetar tak percaya."Ada apa, kenapa dengan nominal itu?" Jovan mengernyit.Mata Ayana mulai berembun, teringat 50 juta sisa utangnya. "Tt-ti-tidak!" Ayana menggeleng."Katakan saja, kita akan mendengarnya!" sahut Vincent.Ayana menunduk mengatur rasa hati. "Huhhh ...." Mengatur nafas. "A ... aku punya utang," lirihnya menunduk."Berapa? Kita siap bantu," sahut Robin."50 juta," lirih Ayana."Hanya itu, kenapa kamu takut?" Brox heran.Ayana terisak. "Hikz hikz. Aku tidak bisa membayar.""Aku pasti membantumu. Namun, aku ingin mendengar tentang alasan hutang itu." Jovan mencoba menggali informasi.Ayana mendongak, dia menatap Jovan dengan mata sembab. "Tidak tahu," serak Ayana, dia menggeleng.Jovan melepas nafas berat. "Jangan katakan jika belum bisa!""Ceritakan saja di mana rumahmu, dan orang tuamu. Apa mereka tidak mencarimu?" Vincent mengikuti alur pikiran Jovan.
Ditinggal hampir satu bulan oleh Jovan. Ayana jadi semakin kurus. Dia susah tidur dan makan, suami hanya vc sehari satu kali."Kamu harus makan, Ayana. Kalau Jovan pulang dan kamu terlihat seperti ini, kami yang akan jadi sasaran utama," ucap Leo."Apa dia sangat sibuk di sana, sampai tidak bisa sering menghubungiku? Kan hanya jaga saja, nggak kerja?""Jovan tidak di sini bukan berarti dia tidak bekerja. Justru dia sangat sibuk di sana," ucap Brox."Benar, jangan sampai saat suamimu di sana sibuk, kamu di sini malah membuat dia cemas," sahut Robin.Ayana diam sejenak, dia lantas mengambil piring itu dan makan banyak.Masih pagi di depan rumah Jovan. Sasmita dan Alex sudah berada di sana."Ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan dan Nyonya," kata penjaga."Siapa?" tanya Ayana."Ibu Sasmita dan Alex."Semua jadi saling pandang."Bawa masuk!" suruh Vincent.Penjaga pergi."Aku takut." Wajah Ayana jadi pucat."Kami pastikan dia tidak akan bisa menyakitimu," ucap Brox.Alex dan Sasmita masu
Vincent hampir terhuyung saat Arabella menelponnya."Ada apa, Vinc?" tanya Jovan."Terjadi sesuatu pada tuan Kanigara."Mata Jovan melebar. "Katakan dengan benar!""Kita ke rumah sakit untuk tahu kebenarannya. Arabella tidak bilang secara detail.""Aku ikut, Jo." Mata berkaca Ayana menatap harap."Aku akan kabari kamu nanti. Ini sudah malam, kamu harus istirahat."Ayana terpaksa menurut, dan para pria lekas pergi ke rumah sakit."Jovan cepat berlari ke ruang penanganan."Vinc!" Arabella menghambur memeluk Vincent sambil terisak. "Papa, Vinc."Vincent membawa duduk dan tetap mendekap."Apa yang terjadi, Rey?" seru Jovan.Rey hanya menggeleng. Dia meremas tangan di depan, dan terus menoleh pada pintu ruang tindakan.Jovan mulai membuat praduga. "Apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini, Rey?" Rasa gelisah membuat Jovan menyentak.Rey terdengar menghela nafas. "Dokter yang akan menjelaskan nanti.""Jika nanti kamu terbukti sengaja membuat kekacauan, aku akan membuat perhitungan padamu
Bagaimana tidak kembali terguncang. Sasmita merasa dirinya benar-benar sendiri dan sangat takut."Alex, kamu di mana, Nak!" teriak Sasmita, dia berlari ke tengah jalan raya.Sebuah kendaraan melaju cepat tepat di arah Sasmita."Bu, awas ...!!" teriak anak buah Rey.Sasmita berjongkok saat mobil itu sangat dekat."Aaaa ....." Jantung Sasmita berdetak sangat kencang. Mobil itu berhenti di depan Sasmita, hampir menabrak."Hey, jangan gila dong. Kalau ketabrak kita yang disalahin!" teriak pengemudi itu.Pandangan Sasmita kabur dan pusing, dia pingsan."Bu!" Anak buah Rey mengangkat Sasmita. -"Ibu Sasmita berada di rumah sakit."Kabar itu telah sampai pada Kanigara dan Jovan. Mereka segera melihat kondisi wanita malang itu.Di kamar rawat. Sasmita telah terbaring belum sadar. Kanigara dan Jovan tidak tega melihatnya."Bagaimana Alex?" tanya Kanigara."Aku bisa melepaskannya. Sepertinya dia sudah tidak menjadi ancaman." Jovan menatap brankar Sasmita.Kanigara menoleh pada Rey. "Bawa dia b
"Jadi kamu sudah menikah, anak baik?" tanya Sasmita. Mereka sudah berada di mobil."Istriku sedang mengandung.""Aku berdo'a untuk kalian, semoga selalu diberi kebahagiaan. Anak kalian juga akan sukses seperti kalian. "Terima kasih.""Aku juga berharap bisa mendapat cucu dari Alex, pasti sangat lucu. Ah, aku berpikir terlalu tinggi." Sasmita menyeka buliran yang kembali jatuh dengan kekehan kaku.Jovan menatap arah jalan. Dia mengatur nafasnya dan mengurai rasa yang terus mendesak di dada.Tiba di lapas."Anak naik, Alex?" Mata Sasmita melebar sambil menunjuk arah bangunan itu."Om Gara memilih jalan tengah. Semoga anak Anda dapat mengerti kebaikan hati Om Gara.""Terima kasih anakku telah diberi keringanan." Karena Sasmita paham dunia mereka yang tidak segan akan menggunakan hukum nyawa dibayar nyawa.Mereka masuk. Menunggu beberapa saat."Alex!" seru Samita, dia menghambur pada anaknya."Ma."Dua insan itu berpelukan dengan sahutan tangis.Jovan mendongak, dia teringat kedua orang
Kini semua berpindah dari meja makan. Ayana bersama Arabella sedang para lelaki sebagian bermain catur."Om, papa ingin bertemu dengan Anda dalam waktu dekat ini. Saya ingin membuat janji dengan Anda terkait hal itu," ucap Fabian."Kamu atur saja bersama Rey," jawab Kanigara.Jovan mendoyongkan kepala pada Vincent di sisinya."Jangan sampai kalah sama pria jelek itu. Aku tidak sabar menunggu IQmu jatuh ke dasar jurang," bisik Jovan."Cepat, setelah itu giliranku,' Leo juga menyahut dengan bisikan di sisi Vincent."Diam kalian!" gumam lirih Vincent.Robin dan Brox menendang kaki Leo dan Vincent. Sambil mengedip mata pada mereka."Ada yang ingin kalian katakan?" tanya Kanigara."Vincent mau ngajak Arabella makan malam besok, tapi dia takut tidak dapat izin," sahut Jovan.Vincent menginjak kaki Jovan kuat sambil tersenyum malu pada Kanigara."Bukankah kemarin kamu juga mengajak dia makan?" jawab Kanigara membuat Vincent gugup."Maaf, Tuan. Arabella memaksa." Vincent melipat bibirnya."S
Di dapur masih sepi, Jovan bingung dan tidak tega membangunkan pembantu. Akhirnya dengan modal tutorial vidio medsos Jovan membuat dengan tangannya sendiri.Sekian saat berkutat di dapur, dengan bukti peluh yang terus mengucur. Bibir Jovan juga terus menghembus nafas, yang ternyata kepedesan."Tuan, kenapa masak pagi sekali?" Sudah ada satu pembantu yang bangun karena mencium bau tajam.Jovan terbatuk. "Aku buat seblak, kamu lanjutkan!" Jovan tidak tahan dan mundur.Pembantu itu melihat kondisi dapur. Kerupuk berceceran, mie, sayur, semua berantakan dalam wadah. Berantakan dan salah.Akhirnya pembantu itu mulai dari langkah awal.Jovan kembali ke kamar. "Jo, mana seblaknya?" Ayana sudah wangi.Jovan tersenyum jahil. "Baru disiapkan sama bibi." Dia maju dan mengendus ceruk leher Ayana. "Jo, kamu bau!" Ayana menggeser wajah Jovan."Aku tahu, mandiin aku bentar dong, Ay.""Nggak mau. Mandi sama kamu bakalan lama." Ayana terkekeh geli."Olah raga pagi bagus untuk kesehatan dan ibu hamil
Berangkat dengan beberapa mobil. Mereka menempuh jarak sekitar 1 jam. Hingga tiba di sebuah tempat di tengah bangunan tinggi. Dari depan tidak terlalu ramai dan tidak ada penjaga di pintu depan. Hanya tertulis tempat karaoke biasa. "Anak buahku sudah berjaga mengepung. Kita masuk!" ucap Rey.Mereka memakai pakaian serba hitam tanpa identitas. Masuk pintu utama, baru ada penjaga yang duduk sambil bermain kartu."Siapa kalian!" Para penjaga menghadang.Hanya tiga pria kekar. Adu hantam tidak memakan waktu lama.Masuk ke pintu kedua, melewati lorong gelap."Ini bukan tempat karaoke, jelas perdagangan wanita malam," ucap Robin."Tapi, di mana tempat parkir dan sebelah mana pintu masuk pelanggan?" bingung Brox."Pasti ada dan akan kita cari!" sahut Leo.Tiba di area dalam. Seperti pusat hiburan para sultan. Meja bertender terbentang panjang. Ada yang memandu karaoke di sana, tapi masih ada lorong-lorong di sana."Ada penyusup!" teriak satu penjaga di dalam.Seketika berhambur mereka yan
Memicing dan begidik, Arabella tidak habis pikir dengan ide Vincent untuk makan di tempat seperti itu."Ini bersih?" bisik Arabella memajukan wajah pada Vincent.Vincent menahan nafas sekian detik, karena tersapu nafas Arabella."Kita serius mau makan tempat ini?" Arabella menoleh pada para pengunjung lain.Vincent agak memundurkan kursi plastik tanpa punggung itu. "Kamu boleh tunggu di mobil kalau tidak mau makan," ucap Vincent.Terdengar desahan kesal dari Arabella.Makanan datang. Aneka olahan seafood yang menggunggah selera. Vincent memesan lumayan banyak.Vincent memakai sarung tangan plastik. Dia mengambil lobster dan menyuapi Arabella."Coba dulu baru komentar. Jangan terbiasa membuat kesimpulan tanpa mengetahui isi masalah."Arabella menerima suapan yang agak dipaksa itu. Mengunyah pelan dengan merasakan ...."Lumayan!" Arabella kini memakai sarung tangan plastik dan segera merebut makanan itu.Pedas enak. Arabella dan Vincent menikmati sambil tertawa dan berebut."Vinc!" ser
Anak Tuan Kanigara jadi karyawan biasa? Apa tidak salah? Itu yang ada dalam pikiran para karyawan saat Vincent mengantar Arabella ke meja kerjanya."Pak, Vincent.""Pak, Vinc."Banyak yang menyapa Vincent dengan senyum ramah. Namun, Vincent tetap berwajah datar.Tidak dengan Arabella. Dia mencebik dan mengumpat dalam hati."Ini meja kerjamu, soal tugas pekerjaanmu akan dijelaskan oleh manajer nanti. Aku pergi dulu, di luar sana sudah ada pengawal yang mengawasimu," jelas Vincent."Nanti makan siang aku ke ruanganmu."Vincent mengangguk, dia pergi."Mana manajernya, cepat bilang apa tugasku!" seru Arabella, tetap saja dia tidak bisa melepas identitas anak petinggi perusahaan ini.Yang katanya manajer malah takut dan sungkan pada Arabella. Dia menjelaskan dengan terbata dan gugup.Suasana ruangan menjadi tegang dan Arabella tidak peduli hal itu, dia hanya ingin cepat naik jabatan jadi manajer dalam waktu satu bulan dan membuat Vincent puas. Arabella fokus pada layar komputernya.Di rum