Ayana meringkuk, pikirannya kembali mengulas kejadian malangnya.
Jika kamu ingin terus melangkah, kamu harus bisa keluar dari jeratan pikiranmu sendiri. Ketakutanmu jangan kamu jadikan cengkraman pijakan untuk menopang langkahmu. Percayalah, tidak ada cerita kelam yang abadi.Saat itu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Belum kering gundukan tanah kubur kedua orang tuanya. Ayana didatangi rentenir."Sertifikat tanah dan bangunan ada padaku. Surat perjanjian juga sah. Kalau kamu mau menuntutku, silahkan bawa pengacara!" teriak sang Rentenir.Ayana menelan ludah. Dia termasuk gadis kurang pintar. Dia hanya bisa takut. "Aku tidak tahu soal itu.""Harga rumah ini tidak bisa menutup utang Ayahmu. Jadi, kamu masih punya tanggungan, 50 juta."Ayana membelalakkan mata. "Kenapa banyak sekali?""Aku kasih waktu 1 bulan, atau kamu aku masukkan penjara!" ancam Rentenir.Ayana merupakan anak semata wayang. Di dekatnya hanya ada Paman serta Bibinya yang tinggal agak jauh.Entah untuk apa orang tuanya menggunakannya, sekarang Ayana harus rela melepas rumah peninggalan orang tua. Juga harus berpikir agar bisa lepas dari kejaran Rentenir itu, dengan melunasi utang.Pamannya datang menawarkan bantuan. Ayana diajak tinggal di rumahnya."Kamu kerja di tempat teman Paman saja. Gajinya lumayan besar. Kamu bisa cepat melunasi utang." Pamannya lembut dan melebarkan senyum."Ayana ikut saja. Aku hanya punya Paman dan Bibi sekarang. Terima kasih masih mau membantuku." Ayana membalas senyum. Dia tidak tahu ukiran senyum culas di hati Pamannya.Ternyata Ayana telah dibodohi. Dia dibawa ke Kota lain, dan ditinggal begitu saja. Dia ditinggal di tempat seorang mucikari, lebih tepatnya dia dijual.Tidak bisa lari, di sana banyak penjaga. Ayana hanya bisa mengikuti alur.Beberapa kali dia dibawa ke tempat hiburan malam, tapi dia membuat kekacauan. Menjerit, berteriak, juga menyerang para pria yang hendak ingin menjajagi tubuhnya. Sehingga, Ayana tidak lagi di bawa ke sana.Di booking di hotel beberapa kali. Ayana juga berkali-kali mencoba ingin mengakhiri hidupnya. Menyayat urat nadi, sampai mengancam ingin meloncat dari balkon hotel.Akibat ulahnya, Ayana berhasil mempertahankan keperawanan. Namun, juga karna hal itu, Ayana dikirim ke Villa tempat pengusaha yang memesan perawan.Di sana Ayana diawasi ketat, hingga tak bisa kabur dan bertindak bodoh.*****Di basecamp lawan pinggir pantai. Mereka mulai beraksi melakukan pengintaian. Mereka pasang tajam pendengaran.Leo fokus pada kamera yang mereka pasang serta memblokir kamera pengawas di rumah itu. Brox fokus pada situasi dengan bantuan drone, yang juga tersambung ke Leo.Mengendap. Jovan ada di depan, Vincent dan Robin di belakangnya."Sekarang!" seru Leo.Jovan berlari cepat, memanjat dinding tinggi. Tangannya menggapai ujung tembok, Jovan mengayun tubuh. Set. Dia mendarat di dalam, Jovan langsung mencari tempat bersembunyi."Vinc, arah kanan akan ada celah. Sekarang!" seru Leo.Vincent berlari, dia masuk di sisi lain."Hati-hati, ada yang sedang menuju taman belakang. Kemungkinan dia target utama. Tidak jelas dari pantauan drone," ujar Brox."Robin, kamu ganti posisi. Sekitar 25 meter ke arah kiri, ada pohon besar. Jangan masuk, kamu siap jaga situasi luar," jelas Leo."Huff. Aku jadi pemain cadangan sekarang." Robin menggerutu kesal.Jovan mengendap menghindari para penjaga yang melintas. Semakin masuk ke area dalam."Aku akan masuk ke dalam. Leo, matikan kamera mereka!" bisik Jovan.Kamera pengawas di sekitar Jovan telah dimatikan Leo.Di taman belakang. Jovan mengendap, dia melihat pria yang mungkin sang menantu, ketua Gangster itu.Jovan menajamkan telinga dua arah, satu pada earphone, satu pada pria itu. Juga mengarahkan kamera pada titik pria itu.Terlihat pria sedang duduk di gazebo dengan menikmati rok*k juga minumam ber*lkohol di meja. Jovan menarik satu sudut bibirnya.Datang satu pria menghampirinya, ada percakapan. Jovan sedikit lebih dekat."Orang tua itu masih menolak makan. Dia bilang lebih baik mati, jika harus mengalihkan semua hartanya," ucap sang ajudan."Biarkan saja dia mati. Aku sudah memegang banyak document penting." Pria itu tersenyum sinis."Pindahkan dia ke kamar kemarin!" lanjutnya.Ajudan berlalu pergi. Jovan mundur, dia melaporkan pada yang lain."Aku dapat poin. Brox, kamu ikuti arah ajudan yang baru keluar dari taman belakang. Dia akan ke tempat orang tua itu," bisik Jovan."Jo, kamu cari titik document itu! Aku akan menerobos pertahanan kamera mereka," ucap Leo"Hem." Jovan masuk lebih dalam.Brox monitoring. "Ketemu. Vinc, ini dekat posisimu. Jalan ke kiri, kamu akan mendapati lorong. Kamar nomor 3," jelas Brox."Haish, kapan aku beraksi?" kesal Robin. Dia masih mematung pada posisinya."Leo, cek kamera sekitar," pinta Vincent.""Ok!" sahut Leo.Vincent mulai mengendap ke arah kamar itu. Beberapa kali kembali mundur, karna penjagaan yang ketat."Terlalu ketat. Aku minta waktu sebentar lagi," bisik Vincent.Menunggu sang penjaga lengah. Vincent nekat. Menerobos mengendap di belakang dua pria yang sedang berjaga.Dua pria berhenti, mereka merasa ada yang mengikuti. Dua pria itu, saling berkedip, dan langsung menoleh.Vincent paham gerakan mereka. Dia melihat atap tanpa plafon, lalu dia naik, mengayun dan meloncat, hingga berpegang pada batang kayu penyangga. "Huh." Vincent membuang nafas."Vinc, are you okay?" tanya Leo.Tuk. Vincent memberi tanda ok, dengan kode satu ketukan."Masih bisa maju?" tanya Jovan."Hem," bisik Vincent."Kalau Vinc mundur, aku akan masuk," sahut santai Robin."Diam, kamu! Mau masuk kemana? Ke toilet saja nyasar!" sahut Leo terkekeh."Heeerrrgghhh!" Robin menggeram.Vincent merambat pada kayu di atas. Dia bisa menghindari penjaga. Sampai di kamar yang dimaksud. Vincent, melihat jendela kamar itu terbuka. Dia turun dan segera mengambil gambar dalam kamar itu.Bersembunyi, dia melepas kacamata, dan mengarahkan ke dalam. Tidak lama, terdengar hentakan sepatu mendekat. Vincent kembali mengayun ke atas. Set. Dia merambat pergi.Jovan juga sudah merambat menelisik di sekitar tempat itu.Vincent mulai kuwalahan. Dia tidak punya tempat mendarat. Vincent telah sampai pada ujung, tidak ada lagi tempat merambat. Sedang di bawah entah kenapa tiba-tiba saja penjaga berkerumun banyak."Ada penyelinap, tadi ada yang sempat melihat!" seru salah satu mereka."Bantuan!" bisik Vincent.Di sisi Jovan. Dia sudah menemukan ruang kerja yang diduga tempat menyimpan document, dia masuk ke dalam sana. Mencari lebih spesifik di mana kira-kira mereka menyimpannya.Jovan sudah mengantongi dugaan. Dia harus keluar. Kini terdengar banyak penjaga di luar, dan sangat gaduh.Hampir bersamaan. Jovan dan Vincent mengetuk 3 kali pada earphone. Tanda peringatan bantuan."Bantuan siap. Robin, kamu siap buat keributan!" ujar Leo."Akhirnya aku berguna." Robin terkekeh.Robin mengeluarkan banyak mercon asap warna putih. Robin melemparnya di dalam basecamp itu. BUUNG. Seketika di dalam riuh.Tidak hanya itu. Robin juga melempar di sekitar penjaga di luar."Keluar saja lewat jalan tadi, Robin akan mengalihkan perhatian," jelas Brox.Bukan api besar, tapi asap putih tebal yang membumbung membuat mereka panik."Kebakaran!!!!" teriak Robin, lalu berlari ke mobil.Seketika para penjaga berlari ke titik asap itu. Mereka berkerumun melihat situasi.Di saat mereka lengah. Jovan dan Vincent melesat keluar dari sana.Tidak berselang lama. 5 Pria kini lengkap berada di dalam mobil."Bagaimana, ada yang terluka?" Jovan menatap semuanya."Aku hanya sedikit kram, terlalu lama bergelantungan, menahan di atas plafon." Vincent terkekeh."Ha ha ha. Generasi monkey." Robin tertawa."Jalan, kita bahas di rumah!" titah Jovan.Mobil melaju. Brox ada di kursi kemudi. Mereka mengisi obrolan dalam laju mobil."Mereka lumayan banyak, tapi sepertinya kekuatan mereka tidak begitu kuat," ujar Jovan."Aku penasaran dengan wajah mereka, saat aku prank kebakaran. Mereka pasti sangat marah. Ha ha ha." Robin tertawa."Apa mereka akan lebih waspada? Sepertinya ada yang merasakan kehadiran kita tadi. Mereka bergerombol di bawahku, sampai aku tidak bisa turun." Vincent mendesah."Kita serang pakai rencana, biar tidak banyak membuang waktu dan tenaga," sahut Brox."Sepertinya kita harus minta 2 kali lipat." Leo mengangkat jempolnya."Kita bahas nanti, kita lihat bagaimana keadaan orang tua itu!" ujar Jovan.Jarak dengan rumah lumayan jauh. Matahari mulai menampakkan sinarnya, tapi mereka masih harus menempuh jarak 2 jam."Jo, wanitamu, apa dia akan baik-baik saja sendiri?" celetuk Brox."Wanitaku? Dia hanya aku pungut, koreksi kata-katamu!" Jovan tak suka."Aku sarankan, kamu pasang kamera pengawas. Kamu bisa selalu awasi dia, ingat! Dia berbahaya saat berteriak." Leo terkekeh.Jovan tidak menanggapi, dia bersandar dan menutup mata.Lama melaju, akhirnya mereka sampai di rumah. Matahari sudah cukup menyengat."Aaahhh." Robin merentangkan tangan. "Seharusnya kita punya beberapa rumah singgah. Kita tidak perlu menempuh perjalanan jauh seperti ini.""Ide bagus, bagaimana yang lain?" sahut Leo."Kita bisa cari apartemen." Brox melebarkan senyum.Jovan dan Vincent belum menyahut. Mereka lalu masuk bersamaan.Pintu dibuka. Mereka melihat wanita itu tertidur di meja kayu panjang, bertopang lengannya. Rambutnya menjuntai ke sembarang arah, hingga wajahnya tidak terlihat.Ayana tak bisa keluar dari rasa gelisah, dan takut yang teramat di rumah sepi itu. Apalagi Jovan belum kembali saat matahari telah nampak. Ayana memutuskan untuk menunggu di lantai bawah "Wow, dia keluar dari sangkar," celetuk Brox."Apa dia menunggu kita pulang?" ragu Leo."Menunggu, Jo. Bukan kita." Vincent menepuk pundak Jovan."Dia menunggu sang majikan pulang, peliharaan yang patuh. Good job, Baby girl," sahut Robin.Jovan mendekat, dia hendak mengangkat Ayana, dan bermaksud memindahkannya ke kamar.Ayana masih sensitif. Dia merasa ada yang menyentuhnya. Sontak saja dia membuka mata lebar, meloncat dan menghindar."Aaaaa ....!!" Ayana menjerit. Dia menebar pandangan. Dia melihat Jovan telah pulang.Ayana langsung mendekat, mencengkeram lengan Jovan, lalu bersembunyi di sisi bahu Jovan, karna melihat 4 pria lainnya. Nafas Ayana menderu. Dia masih ingat kata-kata mereka yang butuh hiburan.Jovan memegang pelan tangan Ayana yang mencengkeram, agar tenang. "Tidak ada yang akan menyak
Sedang di kamar sebelah. Kejadian itu tidak masuk pada bagian pikiran Jovan. Dia kini masih malas menutup mata. Dia enggan kembali pada mimpi buruknya.Insomnia, dia susah untuk tidur. Saat dia sangat lelah, dia bisa terlelap. Namun, tidak akan menghindarkannya dari mimpi buruk.Mimpi buruk itu akan selalu hadir saat Jovan tidur.Jovan membuka laptopnya. Dia lekas mencari informasi tentang Kanigara.*J Company akan bekerja sama dengan Perusahaan Asing.*Jovan membaca berita itu. Tangannya mengepal kuat. Meski dia tidak menahu saat itu, tapi Jovan paham. J Company adalah Perusahaan yang dirintis 3 sekawan. Papanya serta dua teman lainnya, yang salah satunya adalah Kanigara.Sayang sekali, dulu Mamanya tidak suka dengan sosialita. Dia jarang bergaul dengan para Istri pengusaha. Hingga Jovan baru bertemu Kanigara sekali, dan belum pernah bertemu oleh satu teman Papanya yang lain."Nikmati sisa hidupmu saat ini. Aku pastikan akan menghabisimu dengan tanganku sediri!" geram Jovan. Dia melih
Jovan menyodorkan air putih. "Pelan-pelan!" seru Jovan.Ayana mengatur nafasnya. "Huh huh huh. Tt-tiga miliar?" Ayana bergetar tak percaya."Ada apa, kenapa dengan nominal itu?" Jovan mengernyit.Mata Ayana mulai berembun, teringat 50 juta sisa utangnya. "Tt-ti-tidak!" Ayana menggeleng."Katakan saja, kita akan mendengarnya!" sahut Vincent.Ayana menunduk mengatur rasa hati. "Huhhh ...." Mengatur nafas. "A ... aku punya utang," lirihnya menunduk."Berapa? Kita siap bantu," sahut Robin."50 juta," lirih Ayana."Hanya itu, kenapa kamu takut?" Brox heran.Ayana terisak. "Hikz hikz. Aku tidak bisa membayar.""Aku pasti membantumu. Namun, aku ingin mendengar tentang alasan hutang itu." Jovan mencoba menggali informasi.Ayana mendongak, dia menatap Jovan dengan mata sembab. "Tidak tahu," serak Ayana, dia menggeleng.Jovan melepas nafas berat. "Jangan katakan jika belum bisa!""Ceritakan saja di mana rumahmu, dan orang tuamu. Apa mereka tidak mencarimu?" Vincent mengikuti alur pikiran Jovan.
Tanpa mengendap Brox dan Leo langsung maju.Brox melempar batu di tengah para penjaga memancing emosi.BRAK. Salah seorang mereka menendang tong hingga terjungkal. "Siapa yang berani berulah di tempat ini!" Meradang.Prok. Prok. Prok. Leo dan Brox memberi tepukan."Hey hey hey. Siapa tadi yang ingin bertemu dengan kami?" santai Leo.Sisi mereka ada yang mengenali. "Black Skull! Lapor pada Bos! Kita diserang.""Apa tujuan kalian kemari?" seru dari mereka."Panggil Bos kalian, bilang aku ingin menghabisinya!" seru Leo."Kurang ajar!" Para preman langsung menyerang."Sekarang!' seru Leo pada mereka yang di dalam.Yang di dalam menajamkan mata dan telinga. Mereka melihat sebagian penjaga menghambur keluar. Mereka lekas beraksi.Bugh. Bugh. Bugh. Leo belum mengeluarkan banyak tenaga.Duk. Bugh. Brox menghantam dan menendang.Leo menghantam dan melempar serangan. BRAK. Mereka terlempar.Suasana di luar makin riuh, ditambah yang di dalam juga banyak yang keluar. Hanya 2 orang, mereka melawan
Sebuah ketulusan. Ayana hanya menata Sandwinch itu dengan hatinya. Hati yang terpaku pada Jovan saat menyusun lapisan itu. Dia terus mengulas kebaikan, perlindungan Jovan padanya."Yang aku masukkan di sini?" bingung Ayana.Jovan mengangguk."Roti panggang, aku masukkan slada, telur, tomat, keju slice, saus, lada bubuk. Tidak ada yang lain. Aku pernah melihat di vidio dulu."'Aman,' batin Jovan. Jovan tersenyum tipis pada Ayana "Makanlah, aku sudah berusaha membuat yang terbaik!" binar Ayana."Jo, jangan siakan yang terbaik!" ujar Vincent."Buat kami mana?" seru Brox.Ayana lantas meletakkan dua tangan di sisi nampan. "Jangan berani ambil, ini spesial buat, Jo!"Seketika mereka tertawa. "Ha ha ha ha." ruangan menjadi riuh."Spesial, Jo. Habiskan! Jangan sampai ada sisa!" seru Leo.Jovan segera mengambil potongan sandwich, dia menarik nafas panjang dan segera menyuap."Apa buatanku tidak enak?" Ayana melihat Jovan menelan terpaksa."Lumayan." Jovan tidak mau membuat gaduh dengan air ma
Disebuah bangunan, bukan di tempat terpencil. Namun sengaja dibangun di tengah area luas, yang ditanami banyak pohon. Tempat untuk menampung banyak asuhan Febby."Hey, kalian!" teriak Febby pada pengawalnya. Matanya masih membelalak menatap ponselnya. Dia baru saja menerima sebuah foto dan lokasi tempat dimana Ayana berada."Ada apa, Mami?" Serentak beberapa pria di depan Febby."Cari wanita ini di Kota Pesisir! Bawa dia hidup-hidup! Beraninya dia kabur!" Febby meletakkan ponselnya di meja.Semua pria itu melihatnya."Dia yang kemarin kita kirim ke Villa itu, dan tidak kita temukan lagi di sana!""Seseorang telah membawanya pergi! Berani dia membawa tawananku!" geram Febby."Kami akan membawanya kemari, Mami.""Cepat kalian pergi! Wanita itu bahkan belum melunasi harganya! Aku tidak mau rugi!"Semua pria itu mengangguk.------Masih di gerai kosmetik.Ayana masih kagum dengan jajaran kosmetik."Mari Nona, silahkan ikut saya. Kami akan memeriksa jenis dan keadaan kulit Anda, dulu.""Aya
Bagai badai petir yang datang bergemuruh tercekat dalam dada.Ayana masih gemetar membayangkan wajah dan ekspresi Jovan. 'Kenapa dia, kenapa semua juga diam?' batinnya.Dia mondar mandir sejak tadi. Bingung, takut. "Apa aku harus bertanya padanya, atau pada yang lain?" Gelisah, mencemaskan Jovan. "Dia sudah peduli padaku, aku juga harus peduli padanya. Aku tidak boleh hanya diam!" Meyakinkan diri.Melangkah hendak keluar, dia berhenti saat memegang handle pintu. "Haisshh!" Ayana mengurungkan niatnya.Dia mencoba memejamkan mata, tapi nihil. Bayangan Jovan masih jelas dalam pikirannya. 'Apa dia sudah membaik?' batinnya masih bergelut.Hingga semakin larut, Ayana hanya mengganti posisi berbaringnya.Larut malam. Terdengar suara gaduh di lantai bawah. Ayana mendengar jelas. "Suara apa itu? Jovan?"Lalu dia beranjak, menajamkan telinga di pintu kamar.Bugh. Bugh. Bugh.Seperti orang berkelahi bagi telinga Ayana. "Bagaimana ini, bagaimana jika terjadi sesuatu pada Jovan?" takut cemas dan b
Tak berpikir panjang, Ayana hanya paham jika Jovan keluar rumah. Ya di sekitar rumah itu.Dia nekat pergi meninggalkan para pria yang sedang fokus bermain game. Ayana keluar rumah.Ketakutan yang selama ini membelengu Ayana seketika menguap karena kekhawatitannya pada Jovan."Di mana dia? Tempat ini hanya ada banyak pohon, aku harus mencarinya ke mana dulu?"Dia terus berjalan, mencari di area sekitar sambil berteriak, "Jo ... Jovan, apa kamu di sana?!"Gadis ini terus berjalan, melewati jalan di tengah pohon, kini Ayana telah sampai di jalan besar. Saat tiba di sana dia baru sadar."Aku harus mencari Jovan kemana lagi? Aku bahkan tidak tahu tempat yang sering dia datangi. Ah! Kenapa aku bodoh sekali?!" Ayana memukul pelan kepalanya.Kendaraan lalu lalang, dia kini hanya berjongkok di pinggir jalan. Lelah, lapar kini dia menyesal telah pergi tanpa berpikir lebih dulu."Jo, kamu dimana? Aku sudah pergi jauh sekali. Aku selalu saja begini, otakku tidak bisa berfungsi dengan baik." Ayana
Ditinggal hampir satu bulan oleh Jovan. Ayana jadi semakin kurus. Dia susah tidur dan makan, suami hanya vc sehari satu kali."Kamu harus makan, Ayana. Kalau Jovan pulang dan kamu terlihat seperti ini, kami yang akan jadi sasaran utama," ucap Leo."Apa dia sangat sibuk di sana, sampai tidak bisa sering menghubungiku? Kan hanya jaga saja, nggak kerja?""Jovan tidak di sini bukan berarti dia tidak bekerja. Justru dia sangat sibuk di sana," ucap Brox."Benar, jangan sampai saat suamimu di sana sibuk, kamu di sini malah membuat dia cemas," sahut Robin.Ayana diam sejenak, dia lantas mengambil piring itu dan makan banyak.Masih pagi di depan rumah Jovan. Sasmita dan Alex sudah berada di sana."Ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan dan Nyonya," kata penjaga."Siapa?" tanya Ayana."Ibu Sasmita dan Alex."Semua jadi saling pandang."Bawa masuk!" suruh Vincent.Penjaga pergi."Aku takut." Wajah Ayana jadi pucat."Kami pastikan dia tidak akan bisa menyakitimu," ucap Brox.Alex dan Sasmita masu
Vincent hampir terhuyung saat Arabella menelponnya."Ada apa, Vinc?" tanya Jovan."Terjadi sesuatu pada tuan Kanigara."Mata Jovan melebar. "Katakan dengan benar!""Kita ke rumah sakit untuk tahu kebenarannya. Arabella tidak bilang secara detail.""Aku ikut, Jo." Mata berkaca Ayana menatap harap."Aku akan kabari kamu nanti. Ini sudah malam, kamu harus istirahat."Ayana terpaksa menurut, dan para pria lekas pergi ke rumah sakit."Jovan cepat berlari ke ruang penanganan."Vinc!" Arabella menghambur memeluk Vincent sambil terisak. "Papa, Vinc."Vincent membawa duduk dan tetap mendekap."Apa yang terjadi, Rey?" seru Jovan.Rey hanya menggeleng. Dia meremas tangan di depan, dan terus menoleh pada pintu ruang tindakan.Jovan mulai membuat praduga. "Apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini, Rey?" Rasa gelisah membuat Jovan menyentak.Rey terdengar menghela nafas. "Dokter yang akan menjelaskan nanti.""Jika nanti kamu terbukti sengaja membuat kekacauan, aku akan membuat perhitungan padamu
Bagaimana tidak kembali terguncang. Sasmita merasa dirinya benar-benar sendiri dan sangat takut."Alex, kamu di mana, Nak!" teriak Sasmita, dia berlari ke tengah jalan raya.Sebuah kendaraan melaju cepat tepat di arah Sasmita."Bu, awas ...!!" teriak anak buah Rey.Sasmita berjongkok saat mobil itu sangat dekat."Aaaa ....." Jantung Sasmita berdetak sangat kencang. Mobil itu berhenti di depan Sasmita, hampir menabrak."Hey, jangan gila dong. Kalau ketabrak kita yang disalahin!" teriak pengemudi itu.Pandangan Sasmita kabur dan pusing, dia pingsan."Bu!" Anak buah Rey mengangkat Sasmita. -"Ibu Sasmita berada di rumah sakit."Kabar itu telah sampai pada Kanigara dan Jovan. Mereka segera melihat kondisi wanita malang itu.Di kamar rawat. Sasmita telah terbaring belum sadar. Kanigara dan Jovan tidak tega melihatnya."Bagaimana Alex?" tanya Kanigara."Aku bisa melepaskannya. Sepertinya dia sudah tidak menjadi ancaman." Jovan menatap brankar Sasmita.Kanigara menoleh pada Rey. "Bawa dia b
"Jadi kamu sudah menikah, anak baik?" tanya Sasmita. Mereka sudah berada di mobil."Istriku sedang mengandung.""Aku berdo'a untuk kalian, semoga selalu diberi kebahagiaan. Anak kalian juga akan sukses seperti kalian. "Terima kasih.""Aku juga berharap bisa mendapat cucu dari Alex, pasti sangat lucu. Ah, aku berpikir terlalu tinggi." Sasmita menyeka buliran yang kembali jatuh dengan kekehan kaku.Jovan menatap arah jalan. Dia mengatur nafasnya dan mengurai rasa yang terus mendesak di dada.Tiba di lapas."Anak naik, Alex?" Mata Sasmita melebar sambil menunjuk arah bangunan itu."Om Gara memilih jalan tengah. Semoga anak Anda dapat mengerti kebaikan hati Om Gara.""Terima kasih anakku telah diberi keringanan." Karena Sasmita paham dunia mereka yang tidak segan akan menggunakan hukum nyawa dibayar nyawa.Mereka masuk. Menunggu beberapa saat."Alex!" seru Samita, dia menghambur pada anaknya."Ma."Dua insan itu berpelukan dengan sahutan tangis.Jovan mendongak, dia teringat kedua orang
Kini semua berpindah dari meja makan. Ayana bersama Arabella sedang para lelaki sebagian bermain catur."Om, papa ingin bertemu dengan Anda dalam waktu dekat ini. Saya ingin membuat janji dengan Anda terkait hal itu," ucap Fabian."Kamu atur saja bersama Rey," jawab Kanigara.Jovan mendoyongkan kepala pada Vincent di sisinya."Jangan sampai kalah sama pria jelek itu. Aku tidak sabar menunggu IQmu jatuh ke dasar jurang," bisik Jovan."Cepat, setelah itu giliranku,' Leo juga menyahut dengan bisikan di sisi Vincent."Diam kalian!" gumam lirih Vincent.Robin dan Brox menendang kaki Leo dan Vincent. Sambil mengedip mata pada mereka."Ada yang ingin kalian katakan?" tanya Kanigara."Vincent mau ngajak Arabella makan malam besok, tapi dia takut tidak dapat izin," sahut Jovan.Vincent menginjak kaki Jovan kuat sambil tersenyum malu pada Kanigara."Bukankah kemarin kamu juga mengajak dia makan?" jawab Kanigara membuat Vincent gugup."Maaf, Tuan. Arabella memaksa." Vincent melipat bibirnya."S
Di dapur masih sepi, Jovan bingung dan tidak tega membangunkan pembantu. Akhirnya dengan modal tutorial vidio medsos Jovan membuat dengan tangannya sendiri.Sekian saat berkutat di dapur, dengan bukti peluh yang terus mengucur. Bibir Jovan juga terus menghembus nafas, yang ternyata kepedesan."Tuan, kenapa masak pagi sekali?" Sudah ada satu pembantu yang bangun karena mencium bau tajam.Jovan terbatuk. "Aku buat seblak, kamu lanjutkan!" Jovan tidak tahan dan mundur.Pembantu itu melihat kondisi dapur. Kerupuk berceceran, mie, sayur, semua berantakan dalam wadah. Berantakan dan salah.Akhirnya pembantu itu mulai dari langkah awal.Jovan kembali ke kamar. "Jo, mana seblaknya?" Ayana sudah wangi.Jovan tersenyum jahil. "Baru disiapkan sama bibi." Dia maju dan mengendus ceruk leher Ayana. "Jo, kamu bau!" Ayana menggeser wajah Jovan."Aku tahu, mandiin aku bentar dong, Ay.""Nggak mau. Mandi sama kamu bakalan lama." Ayana terkekeh geli."Olah raga pagi bagus untuk kesehatan dan ibu hamil
Berangkat dengan beberapa mobil. Mereka menempuh jarak sekitar 1 jam. Hingga tiba di sebuah tempat di tengah bangunan tinggi. Dari depan tidak terlalu ramai dan tidak ada penjaga di pintu depan. Hanya tertulis tempat karaoke biasa. "Anak buahku sudah berjaga mengepung. Kita masuk!" ucap Rey.Mereka memakai pakaian serba hitam tanpa identitas. Masuk pintu utama, baru ada penjaga yang duduk sambil bermain kartu."Siapa kalian!" Para penjaga menghadang.Hanya tiga pria kekar. Adu hantam tidak memakan waktu lama.Masuk ke pintu kedua, melewati lorong gelap."Ini bukan tempat karaoke, jelas perdagangan wanita malam," ucap Robin."Tapi, di mana tempat parkir dan sebelah mana pintu masuk pelanggan?" bingung Brox."Pasti ada dan akan kita cari!" sahut Leo.Tiba di area dalam. Seperti pusat hiburan para sultan. Meja bertender terbentang panjang. Ada yang memandu karaoke di sana, tapi masih ada lorong-lorong di sana."Ada penyusup!" teriak satu penjaga di dalam.Seketika berhambur mereka yan
Memicing dan begidik, Arabella tidak habis pikir dengan ide Vincent untuk makan di tempat seperti itu."Ini bersih?" bisik Arabella memajukan wajah pada Vincent.Vincent menahan nafas sekian detik, karena tersapu nafas Arabella."Kita serius mau makan tempat ini?" Arabella menoleh pada para pengunjung lain.Vincent agak memundurkan kursi plastik tanpa punggung itu. "Kamu boleh tunggu di mobil kalau tidak mau makan," ucap Vincent.Terdengar desahan kesal dari Arabella.Makanan datang. Aneka olahan seafood yang menggunggah selera. Vincent memesan lumayan banyak.Vincent memakai sarung tangan plastik. Dia mengambil lobster dan menyuapi Arabella."Coba dulu baru komentar. Jangan terbiasa membuat kesimpulan tanpa mengetahui isi masalah."Arabella menerima suapan yang agak dipaksa itu. Mengunyah pelan dengan merasakan ...."Lumayan!" Arabella kini memakai sarung tangan plastik dan segera merebut makanan itu.Pedas enak. Arabella dan Vincent menikmati sambil tertawa dan berebut."Vinc!" ser
Anak Tuan Kanigara jadi karyawan biasa? Apa tidak salah? Itu yang ada dalam pikiran para karyawan saat Vincent mengantar Arabella ke meja kerjanya."Pak, Vincent.""Pak, Vinc."Banyak yang menyapa Vincent dengan senyum ramah. Namun, Vincent tetap berwajah datar.Tidak dengan Arabella. Dia mencebik dan mengumpat dalam hati."Ini meja kerjamu, soal tugas pekerjaanmu akan dijelaskan oleh manajer nanti. Aku pergi dulu, di luar sana sudah ada pengawal yang mengawasimu," jelas Vincent."Nanti makan siang aku ke ruanganmu."Vincent mengangguk, dia pergi."Mana manajernya, cepat bilang apa tugasku!" seru Arabella, tetap saja dia tidak bisa melepas identitas anak petinggi perusahaan ini.Yang katanya manajer malah takut dan sungkan pada Arabella. Dia menjelaskan dengan terbata dan gugup.Suasana ruangan menjadi tegang dan Arabella tidak peduli hal itu, dia hanya ingin cepat naik jabatan jadi manajer dalam waktu satu bulan dan membuat Vincent puas. Arabella fokus pada layar komputernya.Di rum