"Misi baru!"
Seketika semua menatap. Mereka menggunakan komunikasi lewat email, dengan semua klien. Hanya beberapa saja yang tahu pekerjaan mereka, yang pasti kalangan elit yang mampu membayar."Apa kali ini?" tanya Vincent."Sengketa Tahta." Leo menaikan alisnya."Jelaskan!" ujar Jovan."Orang tua mereka, pemilik perusahaan besar yang sudah tua, dibawa pergi sang menantu yang mereka bilang ketua Gangster yang cukup besar. Menantu itu juga membawa banyak document aset perusahaan.""Kenapa tidak lapor polisi? Pasal menculikan." Brox heran."Menantu itu mengancam akan menghabisi Papanya seketika, jika sampai polisi datang.""Kita terima. Berapa dia kasih kita waktu?" tanya Jovan."3 hari.""Cukup. Kita mulai pengintaian nanti malam," ujar Vincent."Berapa dia berani bayar?" tanya Brox."1 milyar.""Kita lihat dulu bagaimana situasinya. Nanti baru kita minta tawaran harga." Jovan masih ragu."Minta titik target!" ujar Vincent."Siap!" sahut Leo."Fix. Nanti malam kita beraksi!" Robin merebahkan kepala ke kanan kiri.BRAAKKKK! Semua kaget. Tiba-tiba saja mendengar suara keras di tengah obrolan.Semua saling pandang."Jo, wanita itu!" seru Vincent.Jovan lantas berlari ke kamar Ayana. Dia masuk begitu saja karna panik. Yang lain, mereka malas berurusan dengan wanita aneh itu, menurut mereka.Jovan mencari Ayana, dia tidak ada di tempat tidur."Di mana kamu!" teriak Jovan.Jovan menuju kamar mandi. Jovan menahan nafas, matanya membulat, lalu Jovan membalikkan badan. "Haisshh!" Mengacak rambut.Ayana jatuh tergeletak di lantai. Meski memakai bathrobe, tapi Jovan tidak nyaman mendekat pada Ayana."Apa yang kamu lakukan?!" seru geram Jovan. Masih membelakangi.Ayana merintih terisak.Jovan mengira, wanita itu jatuh karna terpelesat. Menghantam pintu sangat keras hingga tersungkur."Kamu bisa berdiri?"Ayana malah menangis."Aaargghhh!!!" geram kesal Jovan. Dia lantas, mengambil handuk. Dia lempar ke Ayana, agar lebih leluasa mengangkat."Pakai itu. Aku akan mengangkatmu!" ketus Jovan.Ayana menurut. "Ss-su ... sudah," lirihnya.Jovan berbalik, kini melihat Ayana sudah tertutup handuk. Jovan mengangkatnya ke tempat tidur. Lalu menyelimutinya."Hah. Apa yang ingin kamu lakukan? Katakan saja, kami bisa membantumu!" kesal Jovan.Ayana menunduk, sedikit melirik Jovan. Dia juga malu. " Ehm ...." Hanya kata itu.Jovan kembali paham. "Hati-hati saat bertingkah. Di sini semuanya laki-laki! Kamu paham? Bahkan kucing bisa menjadi singa!"Ayana mengangguk."Huff!" Jovan mengeratkan rahang, dia ingin sekali kembali ke saat itu. Dia tidak akan membawa wanita ini pulang ke rumah.Jovan menuju kamar mandi. Dia memeriksa keadaan di sana. Agak licin, mungkin karna lama tidak dipakai."Kamu bisa bersihkan sendiri nanti. Lantai itu masih licin. Aku akan keluar." Jovan hendak melangkah."Ehm .... baju," lirih Ayana. Jovan masih mendengar suara lirih Ayana.Jovan melupakan hal itu. Dia baru memberinya satu baju. Jovan mengeluarkan ponselnya."Aku tidak punya waktu pergi. Aku belikan baju di online shop. Kamu pilih!" Jovan menyodorkan ponselnya yang sudah pada beranda media belanja online.Tidak lama Ayana sudah memilih beberapa baju."Kamu sudah mau bicara?" Kini Jovan bicara pelan, dia ingin mengulik tentang wanita ini, dan segera mengantarnya pulang.Ayana mengangguk."Bagus, sekarang katakan siapa namamu!" Agak keras.Ayana menunduk. "A ... ya ... na," lirihnya.Jovan tidak mendengar jelas. "Aku tidak mendengar, keraskan suaramu!""Aya ... na." Agak keras."Ayana?" Jovan mengulang.Ayana mengangguk."Bagus, di mana rumahmu?" Jovan melanjutkan rencana.Ayana kini menatap Jovan. Wajahnya menjadi sendu. Matanya kian mengembun, dan memerah."Jangan buang aku, jangan mengusirku! Aku tidak punya tempat lagi. Aku tidak tahu mau kemana. Hikz hikz hikz."Jovan menarik nafasnya. "Bagaimana aku bisa terus membiarkanmu tinggal di sini, sedang aku tidak tahu alasan untuk menahanmu.""Jangan usir! Kumohon." Ayana terisak.Jovan kembali bingung. 'Aaarrgghh!! dia nangis lagi!' geram dalam hati."Baiklah, kamu bisa menjawab besok lagi. Aku akan mengambilkan sepasang baju lagi."Jovan bangkit, dia mengambil sepasang baju kasual lagi, untuk Ayana."Pakailah!" Jovan lalu pergi.-Di lantai bawah. Temannya sedang menyiapkan beberapa barang untuk beraksi mereka.Baju dan kaus tangan safety. Sepatu, mata pisau, earphone, drone dan masih banyak lagi. Menyiapkan mobil juga tidak mereka lewatkan."Leo, malam nanti kamu di belakang," ujar Jovan saat mendekat pada mereka.Leo mengangkat jempolnya, dia masih menatap layar laptop."Kita akan sebatas pengintaian saja, tapi bukan berarti kita tidak terhindar dari bahaya," sahut Vincent."Brox dan Robin, kalian harus melindungiku. Aku dan Vincent akan masuk, aku akan tahu posisi di mana orang tua itu ditawan." Jovan menatap semuanya.Hari masih sore. Mereka masih punya banyak waktu untuk beraktivitas.Mereka mulai menguras keringat, menjaga agar tetap bugar. Masing-masing telah mengambil posisinya. Memukul samsak, angkat barbel, dan berlatih di Ring boxing.-Waktu berputar, kini hanya ada sang rembulan ditemani para bintang yang memberi penerangan.Mereka belum berangkat. Malam semakin larut."Jo, bagaimana wanita itu, apa dia bisa kita tinggal?" ragu Robin."Bagaimana jika terjadi sesuatu?" sahut Brox."Biarkan saja. Dia tidak akan keluar dari sangkarnya." Jovan masih kesal dengan Ayana."Apa wanita itu sangat melelahkan hati, Jo?" Leo terkekeh."Ayana. Namanya Ayana. Kemarin dia membuka mulutnya.""Wow. Di mana rumahnya? Kita antar dia besok." Leo berbinar.Jovan menatap yang lain. "Dia menangis, saat aku tanya rumahnya!" kesal Jovan."Apes kita, harus pelihara Baby Girl. Ha ha ha." Robin tertawa.Jovan bangkit. "Aku akan menemuinya dulu."Di kamar. Ayana sedang duduk menyisir rambutnya. Dia mulai bisa membuka pikirannya. Namun, masih belum sanggup mengingat orang tuanya.Rambutnya menjuntai lurus. Kini matanya tak sebengkak kemarin. Wajahnya mungil. Dia cantik, di usianya yang 20 tahun ini."Aku akan pergi." Suara Jovan mengagetkan Ayana. Lalu, menyudahi menyisir."Kemana?" lirihnya, Ayana menoleh menatap Jovan, dia sedikit tersenyum. Senyum bibir manis itu, kini telah terlihat Jovan.Jovan sejenak terpaku. "Aku punya misi.""Apa kamu akan pulang? Aku takut.""Hem."Ayana mengangguk, tapi hatinya gelisah. Ada perasaan takut dengan kepergian Jovan.Di bawah. Semua temannya sudah tidak ada di sana. Jovan lalu keluar. Memasuki mobil 4Runner TRD sport.Berlima, mereka mulai misi dengan pengintaian. Melihat sejauh mana pertahanan lawan. Menerka keseimbangan kemampuan. Juga memastikan keadaan lain."Jalan!" seru Jovan. Brox melajukan mobilnya.Mobil melaju hingga sampai sebuah bacecamp di pinggir pantai. Basecamp dengan bangunan klasik. Di depan ada beberapa yang sedang menyalakan api unggun untuk penghangat. Beberapa juga lalu lalang bergantian mengintari area itu.Mobil mereka ada di posisi jarak 50 meter. Brox mengeluarkan drone. Dia melepas dari jendela mobil. Mereka melihat situasi dari layar monitor."Apa mereka sedang buat benteng perang, kenapa sangat ketat?" Brox terkekeh."Cari celah. Kita amati laju mereka." Jovan menatap monitor."Sepertinya ada celah buatmu, Jo. Kita tunggu sebentar lagi," sahut Vincent."Mereka ada selang waktu saat berganti, bahkan ada yang membawa botol alkohol saat berjalan. Ha ha ha." Robin terkekeh."Di sisi mana, aku akan bergerak?" Jovan menelisik."Di kamar itu. Cahaya nampak temaram. Aku curiga orang tua itu ada di sana. Juga di taman belakang." Vincent menunjuk beberapa titik."Semoga Pak tua itu, tidak pakai kursi roda." Robin mendesah."Kita akan tahu kejelasan misi kita, setelah malam ini.Kita bersiap!" Jovan memakai maskernya.Leo tetap pada posisinya. Brox akan lebih dekat mengatur drone. Jovan, Robin dan Vincent akan beraksi menyelidiki misi ini.Memakai topi hitam, masker black skull mereka, earphone di telinga. Lalu, kamera di sisi kancing blazer Jovan. Di topi depan Robin, serta juga di kaca mata Vincent."Siap?" tanya Jovan.Vincent dan lainnya mengangguk.Mereka turun.Ayana meringkuk, pikirannya kembali mengulas kejadian malangnya.Jika kamu ingin terus melangkah, kamu harus bisa keluar dari jeratan pikiranmu sendiri. Ketakutanmu jangan kamu jadikan cengkraman pijakan untuk menopang langkahmu. Percayalah, tidak ada cerita kelam yang abadi.Saat itu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Belum kering gundukan tanah kubur kedua orang tuanya. Ayana didatangi rentenir."Sertifikat tanah dan bangunan ada padaku. Surat perjanjian juga sah. Kalau kamu mau menuntutku, silahkan bawa pengacara!" teriak sang Rentenir.Ayana menelan ludah. Dia termasuk gadis kurang pintar. Dia hanya bisa takut. "Aku tidak tahu soal itu.""Harga rumah ini tidak bisa menutup utang Ayahmu. Jadi, kamu masih punya tanggungan, 50 juta."Ayana membelalakkan mata. "Kenapa banyak sekali?""Aku kasih waktu 1 bulan, atau kamu aku masukkan penjara!" ancam Rentenir.Ayana merupakan anak semata wayang. Di dekatnya hanya ada Paman serta Bibinya yang tinggal agak jauh.Entah untuk apa oran
Ayana tak bisa keluar dari rasa gelisah, dan takut yang teramat di rumah sepi itu. Apalagi Jovan belum kembali saat matahari telah nampak. Ayana memutuskan untuk menunggu di lantai bawah "Wow, dia keluar dari sangkar," celetuk Brox."Apa dia menunggu kita pulang?" ragu Leo."Menunggu, Jo. Bukan kita." Vincent menepuk pundak Jovan."Dia menunggu sang majikan pulang, peliharaan yang patuh. Good job, Baby girl," sahut Robin.Jovan mendekat, dia hendak mengangkat Ayana, dan bermaksud memindahkannya ke kamar.Ayana masih sensitif. Dia merasa ada yang menyentuhnya. Sontak saja dia membuka mata lebar, meloncat dan menghindar."Aaaaa ....!!" Ayana menjerit. Dia menebar pandangan. Dia melihat Jovan telah pulang.Ayana langsung mendekat, mencengkeram lengan Jovan, lalu bersembunyi di sisi bahu Jovan, karna melihat 4 pria lainnya. Nafas Ayana menderu. Dia masih ingat kata-kata mereka yang butuh hiburan.Jovan memegang pelan tangan Ayana yang mencengkeram, agar tenang. "Tidak ada yang akan menyak
Sedang di kamar sebelah. Kejadian itu tidak masuk pada bagian pikiran Jovan. Dia kini masih malas menutup mata. Dia enggan kembali pada mimpi buruknya.Insomnia, dia susah untuk tidur. Saat dia sangat lelah, dia bisa terlelap. Namun, tidak akan menghindarkannya dari mimpi buruk.Mimpi buruk itu akan selalu hadir saat Jovan tidur.Jovan membuka laptopnya. Dia lekas mencari informasi tentang Kanigara.*J Company akan bekerja sama dengan Perusahaan Asing.*Jovan membaca berita itu. Tangannya mengepal kuat. Meski dia tidak menahu saat itu, tapi Jovan paham. J Company adalah Perusahaan yang dirintis 3 sekawan. Papanya serta dua teman lainnya, yang salah satunya adalah Kanigara.Sayang sekali, dulu Mamanya tidak suka dengan sosialita. Dia jarang bergaul dengan para Istri pengusaha. Hingga Jovan baru bertemu Kanigara sekali, dan belum pernah bertemu oleh satu teman Papanya yang lain."Nikmati sisa hidupmu saat ini. Aku pastikan akan menghabisimu dengan tanganku sediri!" geram Jovan. Dia melih
Jovan menyodorkan air putih. "Pelan-pelan!" seru Jovan.Ayana mengatur nafasnya. "Huh huh huh. Tt-tiga miliar?" Ayana bergetar tak percaya."Ada apa, kenapa dengan nominal itu?" Jovan mengernyit.Mata Ayana mulai berembun, teringat 50 juta sisa utangnya. "Tt-ti-tidak!" Ayana menggeleng."Katakan saja, kita akan mendengarnya!" sahut Vincent.Ayana menunduk mengatur rasa hati. "Huhhh ...." Mengatur nafas. "A ... aku punya utang," lirihnya menunduk."Berapa? Kita siap bantu," sahut Robin."50 juta," lirih Ayana."Hanya itu, kenapa kamu takut?" Brox heran.Ayana terisak. "Hikz hikz. Aku tidak bisa membayar.""Aku pasti membantumu. Namun, aku ingin mendengar tentang alasan hutang itu." Jovan mencoba menggali informasi.Ayana mendongak, dia menatap Jovan dengan mata sembab. "Tidak tahu," serak Ayana, dia menggeleng.Jovan melepas nafas berat. "Jangan katakan jika belum bisa!""Ceritakan saja di mana rumahmu, dan orang tuamu. Apa mereka tidak mencarimu?" Vincent mengikuti alur pikiran Jovan.
Tanpa mengendap Brox dan Leo langsung maju.Brox melempar batu di tengah para penjaga memancing emosi.BRAK. Salah seorang mereka menendang tong hingga terjungkal. "Siapa yang berani berulah di tempat ini!" Meradang.Prok. Prok. Prok. Leo dan Brox memberi tepukan."Hey hey hey. Siapa tadi yang ingin bertemu dengan kami?" santai Leo.Sisi mereka ada yang mengenali. "Black Skull! Lapor pada Bos! Kita diserang.""Apa tujuan kalian kemari?" seru dari mereka."Panggil Bos kalian, bilang aku ingin menghabisinya!" seru Leo."Kurang ajar!" Para preman langsung menyerang."Sekarang!' seru Leo pada mereka yang di dalam.Yang di dalam menajamkan mata dan telinga. Mereka melihat sebagian penjaga menghambur keluar. Mereka lekas beraksi.Bugh. Bugh. Bugh. Leo belum mengeluarkan banyak tenaga.Duk. Bugh. Brox menghantam dan menendang.Leo menghantam dan melempar serangan. BRAK. Mereka terlempar.Suasana di luar makin riuh, ditambah yang di dalam juga banyak yang keluar. Hanya 2 orang, mereka melawan
Sebuah ketulusan. Ayana hanya menata Sandwinch itu dengan hatinya. Hati yang terpaku pada Jovan saat menyusun lapisan itu. Dia terus mengulas kebaikan, perlindungan Jovan padanya."Yang aku masukkan di sini?" bingung Ayana.Jovan mengangguk."Roti panggang, aku masukkan slada, telur, tomat, keju slice, saus, lada bubuk. Tidak ada yang lain. Aku pernah melihat di vidio dulu."'Aman,' batin Jovan. Jovan tersenyum tipis pada Ayana "Makanlah, aku sudah berusaha membuat yang terbaik!" binar Ayana."Jo, jangan siakan yang terbaik!" ujar Vincent."Buat kami mana?" seru Brox.Ayana lantas meletakkan dua tangan di sisi nampan. "Jangan berani ambil, ini spesial buat, Jo!"Seketika mereka tertawa. "Ha ha ha ha." ruangan menjadi riuh."Spesial, Jo. Habiskan! Jangan sampai ada sisa!" seru Leo.Jovan segera mengambil potongan sandwich, dia menarik nafas panjang dan segera menyuap."Apa buatanku tidak enak?" Ayana melihat Jovan menelan terpaksa."Lumayan." Jovan tidak mau membuat gaduh dengan air ma
Disebuah bangunan, bukan di tempat terpencil. Namun sengaja dibangun di tengah area luas, yang ditanami banyak pohon. Tempat untuk menampung banyak asuhan Febby."Hey, kalian!" teriak Febby pada pengawalnya. Matanya masih membelalak menatap ponselnya. Dia baru saja menerima sebuah foto dan lokasi tempat dimana Ayana berada."Ada apa, Mami?" Serentak beberapa pria di depan Febby."Cari wanita ini di Kota Pesisir! Bawa dia hidup-hidup! Beraninya dia kabur!" Febby meletakkan ponselnya di meja.Semua pria itu melihatnya."Dia yang kemarin kita kirim ke Villa itu, dan tidak kita temukan lagi di sana!""Seseorang telah membawanya pergi! Berani dia membawa tawananku!" geram Febby."Kami akan membawanya kemari, Mami.""Cepat kalian pergi! Wanita itu bahkan belum melunasi harganya! Aku tidak mau rugi!"Semua pria itu mengangguk.------Masih di gerai kosmetik.Ayana masih kagum dengan jajaran kosmetik."Mari Nona, silahkan ikut saya. Kami akan memeriksa jenis dan keadaan kulit Anda, dulu.""Aya
Bagai badai petir yang datang bergemuruh tercekat dalam dada.Ayana masih gemetar membayangkan wajah dan ekspresi Jovan. 'Kenapa dia, kenapa semua juga diam?' batinnya.Dia mondar mandir sejak tadi. Bingung, takut. "Apa aku harus bertanya padanya, atau pada yang lain?" Gelisah, mencemaskan Jovan. "Dia sudah peduli padaku, aku juga harus peduli padanya. Aku tidak boleh hanya diam!" Meyakinkan diri.Melangkah hendak keluar, dia berhenti saat memegang handle pintu. "Haisshh!" Ayana mengurungkan niatnya.Dia mencoba memejamkan mata, tapi nihil. Bayangan Jovan masih jelas dalam pikirannya. 'Apa dia sudah membaik?' batinnya masih bergelut.Hingga semakin larut, Ayana hanya mengganti posisi berbaringnya.Larut malam. Terdengar suara gaduh di lantai bawah. Ayana mendengar jelas. "Suara apa itu? Jovan?"Lalu dia beranjak, menajamkan telinga di pintu kamar.Bugh. Bugh. Bugh.Seperti orang berkelahi bagi telinga Ayana. "Bagaimana ini, bagaimana jika terjadi sesuatu pada Jovan?" takut cemas dan b
Ditinggal hampir satu bulan oleh Jovan. Ayana jadi semakin kurus. Dia susah tidur dan makan, suami hanya vc sehari satu kali."Kamu harus makan, Ayana. Kalau Jovan pulang dan kamu terlihat seperti ini, kami yang akan jadi sasaran utama," ucap Leo."Apa dia sangat sibuk di sana, sampai tidak bisa sering menghubungiku? Kan hanya jaga saja, nggak kerja?""Jovan tidak di sini bukan berarti dia tidak bekerja. Justru dia sangat sibuk di sana," ucap Brox."Benar, jangan sampai saat suamimu di sana sibuk, kamu di sini malah membuat dia cemas," sahut Robin.Ayana diam sejenak, dia lantas mengambil piring itu dan makan banyak.Masih pagi di depan rumah Jovan. Sasmita dan Alex sudah berada di sana."Ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan dan Nyonya," kata penjaga."Siapa?" tanya Ayana."Ibu Sasmita dan Alex."Semua jadi saling pandang."Bawa masuk!" suruh Vincent.Penjaga pergi."Aku takut." Wajah Ayana jadi pucat."Kami pastikan dia tidak akan bisa menyakitimu," ucap Brox.Alex dan Sasmita masu
Vincent hampir terhuyung saat Arabella menelponnya."Ada apa, Vinc?" tanya Jovan."Terjadi sesuatu pada tuan Kanigara."Mata Jovan melebar. "Katakan dengan benar!""Kita ke rumah sakit untuk tahu kebenarannya. Arabella tidak bilang secara detail.""Aku ikut, Jo." Mata berkaca Ayana menatap harap."Aku akan kabari kamu nanti. Ini sudah malam, kamu harus istirahat."Ayana terpaksa menurut, dan para pria lekas pergi ke rumah sakit."Jovan cepat berlari ke ruang penanganan."Vinc!" Arabella menghambur memeluk Vincent sambil terisak. "Papa, Vinc."Vincent membawa duduk dan tetap mendekap."Apa yang terjadi, Rey?" seru Jovan.Rey hanya menggeleng. Dia meremas tangan di depan, dan terus menoleh pada pintu ruang tindakan.Jovan mulai membuat praduga. "Apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini, Rey?" Rasa gelisah membuat Jovan menyentak.Rey terdengar menghela nafas. "Dokter yang akan menjelaskan nanti.""Jika nanti kamu terbukti sengaja membuat kekacauan, aku akan membuat perhitungan padamu
Bagaimana tidak kembali terguncang. Sasmita merasa dirinya benar-benar sendiri dan sangat takut."Alex, kamu di mana, Nak!" teriak Sasmita, dia berlari ke tengah jalan raya.Sebuah kendaraan melaju cepat tepat di arah Sasmita."Bu, awas ...!!" teriak anak buah Rey.Sasmita berjongkok saat mobil itu sangat dekat."Aaaa ....." Jantung Sasmita berdetak sangat kencang. Mobil itu berhenti di depan Sasmita, hampir menabrak."Hey, jangan gila dong. Kalau ketabrak kita yang disalahin!" teriak pengemudi itu.Pandangan Sasmita kabur dan pusing, dia pingsan."Bu!" Anak buah Rey mengangkat Sasmita. -"Ibu Sasmita berada di rumah sakit."Kabar itu telah sampai pada Kanigara dan Jovan. Mereka segera melihat kondisi wanita malang itu.Di kamar rawat. Sasmita telah terbaring belum sadar. Kanigara dan Jovan tidak tega melihatnya."Bagaimana Alex?" tanya Kanigara."Aku bisa melepaskannya. Sepertinya dia sudah tidak menjadi ancaman." Jovan menatap brankar Sasmita.Kanigara menoleh pada Rey. "Bawa dia b
"Jadi kamu sudah menikah, anak baik?" tanya Sasmita. Mereka sudah berada di mobil."Istriku sedang mengandung.""Aku berdo'a untuk kalian, semoga selalu diberi kebahagiaan. Anak kalian juga akan sukses seperti kalian. "Terima kasih.""Aku juga berharap bisa mendapat cucu dari Alex, pasti sangat lucu. Ah, aku berpikir terlalu tinggi." Sasmita menyeka buliran yang kembali jatuh dengan kekehan kaku.Jovan menatap arah jalan. Dia mengatur nafasnya dan mengurai rasa yang terus mendesak di dada.Tiba di lapas."Anak naik, Alex?" Mata Sasmita melebar sambil menunjuk arah bangunan itu."Om Gara memilih jalan tengah. Semoga anak Anda dapat mengerti kebaikan hati Om Gara.""Terima kasih anakku telah diberi keringanan." Karena Sasmita paham dunia mereka yang tidak segan akan menggunakan hukum nyawa dibayar nyawa.Mereka masuk. Menunggu beberapa saat."Alex!" seru Samita, dia menghambur pada anaknya."Ma."Dua insan itu berpelukan dengan sahutan tangis.Jovan mendongak, dia teringat kedua orang
Kini semua berpindah dari meja makan. Ayana bersama Arabella sedang para lelaki sebagian bermain catur."Om, papa ingin bertemu dengan Anda dalam waktu dekat ini. Saya ingin membuat janji dengan Anda terkait hal itu," ucap Fabian."Kamu atur saja bersama Rey," jawab Kanigara.Jovan mendoyongkan kepala pada Vincent di sisinya."Jangan sampai kalah sama pria jelek itu. Aku tidak sabar menunggu IQmu jatuh ke dasar jurang," bisik Jovan."Cepat, setelah itu giliranku,' Leo juga menyahut dengan bisikan di sisi Vincent."Diam kalian!" gumam lirih Vincent.Robin dan Brox menendang kaki Leo dan Vincent. Sambil mengedip mata pada mereka."Ada yang ingin kalian katakan?" tanya Kanigara."Vincent mau ngajak Arabella makan malam besok, tapi dia takut tidak dapat izin," sahut Jovan.Vincent menginjak kaki Jovan kuat sambil tersenyum malu pada Kanigara."Bukankah kemarin kamu juga mengajak dia makan?" jawab Kanigara membuat Vincent gugup."Maaf, Tuan. Arabella memaksa." Vincent melipat bibirnya."S
Di dapur masih sepi, Jovan bingung dan tidak tega membangunkan pembantu. Akhirnya dengan modal tutorial vidio medsos Jovan membuat dengan tangannya sendiri.Sekian saat berkutat di dapur, dengan bukti peluh yang terus mengucur. Bibir Jovan juga terus menghembus nafas, yang ternyata kepedesan."Tuan, kenapa masak pagi sekali?" Sudah ada satu pembantu yang bangun karena mencium bau tajam.Jovan terbatuk. "Aku buat seblak, kamu lanjutkan!" Jovan tidak tahan dan mundur.Pembantu itu melihat kondisi dapur. Kerupuk berceceran, mie, sayur, semua berantakan dalam wadah. Berantakan dan salah.Akhirnya pembantu itu mulai dari langkah awal.Jovan kembali ke kamar. "Jo, mana seblaknya?" Ayana sudah wangi.Jovan tersenyum jahil. "Baru disiapkan sama bibi." Dia maju dan mengendus ceruk leher Ayana. "Jo, kamu bau!" Ayana menggeser wajah Jovan."Aku tahu, mandiin aku bentar dong, Ay.""Nggak mau. Mandi sama kamu bakalan lama." Ayana terkekeh geli."Olah raga pagi bagus untuk kesehatan dan ibu hamil
Berangkat dengan beberapa mobil. Mereka menempuh jarak sekitar 1 jam. Hingga tiba di sebuah tempat di tengah bangunan tinggi. Dari depan tidak terlalu ramai dan tidak ada penjaga di pintu depan. Hanya tertulis tempat karaoke biasa. "Anak buahku sudah berjaga mengepung. Kita masuk!" ucap Rey.Mereka memakai pakaian serba hitam tanpa identitas. Masuk pintu utama, baru ada penjaga yang duduk sambil bermain kartu."Siapa kalian!" Para penjaga menghadang.Hanya tiga pria kekar. Adu hantam tidak memakan waktu lama.Masuk ke pintu kedua, melewati lorong gelap."Ini bukan tempat karaoke, jelas perdagangan wanita malam," ucap Robin."Tapi, di mana tempat parkir dan sebelah mana pintu masuk pelanggan?" bingung Brox."Pasti ada dan akan kita cari!" sahut Leo.Tiba di area dalam. Seperti pusat hiburan para sultan. Meja bertender terbentang panjang. Ada yang memandu karaoke di sana, tapi masih ada lorong-lorong di sana."Ada penyusup!" teriak satu penjaga di dalam.Seketika berhambur mereka yan
Memicing dan begidik, Arabella tidak habis pikir dengan ide Vincent untuk makan di tempat seperti itu."Ini bersih?" bisik Arabella memajukan wajah pada Vincent.Vincent menahan nafas sekian detik, karena tersapu nafas Arabella."Kita serius mau makan tempat ini?" Arabella menoleh pada para pengunjung lain.Vincent agak memundurkan kursi plastik tanpa punggung itu. "Kamu boleh tunggu di mobil kalau tidak mau makan," ucap Vincent.Terdengar desahan kesal dari Arabella.Makanan datang. Aneka olahan seafood yang menggunggah selera. Vincent memesan lumayan banyak.Vincent memakai sarung tangan plastik. Dia mengambil lobster dan menyuapi Arabella."Coba dulu baru komentar. Jangan terbiasa membuat kesimpulan tanpa mengetahui isi masalah."Arabella menerima suapan yang agak dipaksa itu. Mengunyah pelan dengan merasakan ...."Lumayan!" Arabella kini memakai sarung tangan plastik dan segera merebut makanan itu.Pedas enak. Arabella dan Vincent menikmati sambil tertawa dan berebut."Vinc!" ser
Anak Tuan Kanigara jadi karyawan biasa? Apa tidak salah? Itu yang ada dalam pikiran para karyawan saat Vincent mengantar Arabella ke meja kerjanya."Pak, Vincent.""Pak, Vinc."Banyak yang menyapa Vincent dengan senyum ramah. Namun, Vincent tetap berwajah datar.Tidak dengan Arabella. Dia mencebik dan mengumpat dalam hati."Ini meja kerjamu, soal tugas pekerjaanmu akan dijelaskan oleh manajer nanti. Aku pergi dulu, di luar sana sudah ada pengawal yang mengawasimu," jelas Vincent."Nanti makan siang aku ke ruanganmu."Vincent mengangguk, dia pergi."Mana manajernya, cepat bilang apa tugasku!" seru Arabella, tetap saja dia tidak bisa melepas identitas anak petinggi perusahaan ini.Yang katanya manajer malah takut dan sungkan pada Arabella. Dia menjelaskan dengan terbata dan gugup.Suasana ruangan menjadi tegang dan Arabella tidak peduli hal itu, dia hanya ingin cepat naik jabatan jadi manajer dalam waktu satu bulan dan membuat Vincent puas. Arabella fokus pada layar komputernya.Di rum