Sejak pergi dari mal, Malik hanya diam saja. Nirmala merasa tidak nyaman setelah melihat alis tajam Malik sejak mereka keluar dari toko es krim tadi. Karena itu juga, Nirmala tidak bisa menikmati waktu santai yang diberikan Malik untuknya sehingga dia hanya membeli satu sepatu dan meminta untuk pulang.Sejak saat itu, Malik tidak mengatakan apa pun. Tatapannya tajam dan dingin, seperti akan menyapu seluruh eksistensi yang ada di depan mobilnya. Nirmala tidak mau memedulikan itu, tapi keheningan yang mengurungnya ini terasa seperti mencekik. Dia tidak tahan, sampai akhirnya bersuara.“Pak Malik marah sama saya?” tanya Nirmala dengan suara yang jelas.“Memang kamu ngelakuin sesuatu yang buat saya marah?”“Seinget saya, sih, enggak.”“Kalau begitu saya nggak marah.”“Tapi ekspresi bikin saya nggak nyaman; mata Bapak kayak orang lagi nahan kesel. Bapak marah karena es krim rekomendasi Bapak saya sebut kayak rasa rumput?”Malik tidak menjawab; menghela napas singkat dan mengembuskannya den
“Aku bakal menikahi Leria.” Satu kalimat yang mengubah malam penuh suka di atas kapal pesiar mewah milik Malik Alsaki Setra. Laki-laki berusia 35 tahun itu melihat wajah sang istri yang menatapnya dingin dan tajam, tak perlu waktu lama sampai wanita dengan rambut hitam panjangnya itu meneteskan air mata. “Aku … harus bertanggung jawab, Navia; aku nggak mungkin lari dari tanggung jawabku yang sudah menghancurkan hidup Leria.” “Menghancurkan …?” Shanavia Arini membalas, suaranya gemetar, “kelihatannya perempuan itu baik-baik aja atau bahkan sangat senang ketika kamu menghancurkan hidupnya. Apa dia sukarela? Atau sejak awal dia memang berencana menghancurkan hidupnya dengan senang hati karena pelakunya adalah mantan kekasih sendiri?” “Navia, apa maksudmu? Menurutmu aku dan Leria kerja sama untuk menciptakan ‘kecelakaan’ itu?” Navia membalas tatapan Malik dengan tajam dan berkata, “Kenapa enggak? Bukannya aku ini orang ke-tiga dalam hubungan kalian? Mumpung kalian sudah pernah campur
“NAVIA!” Lelaki itu langsung terduduk tegak di kasur berukuran besar miliknya saat mimpi buruk itu kembali menyentak tidur nyenyaknya. Napasnya jadi sedikit tak beraturan, wajahnya setengah pucat dan sensasi menyesakkan itu masih dia rasakan ketika bayang-bayang wanita yang berdiri di ujung geladak kapal malam itu masih terlihat jelas di mimpinya. Malik Alsaki Setra mengusap wajahnya pelan, lalu ia berusaha mencari ketenangan dengan meminum air putih. Tapi tangannya berhenti saat melihat gelas kaca itu kosong tanpa setitik pun uap, dan dia merenung memperhatikannya. “Kalau dia ada di sini, hal semacam kehabisan stok air di meja nakas nggak akan pernah terjadi.” Itu kalimat yang pertama kali melintasi kepala Malik, yang langsung ia tepis dengan gelengan kepala. Apa dia masih tidak bisa melupakan wanita itu? Meski sudah satu tahun sejak kematiannya? Malik turun dari kasurnya, berjalan menuju pintu keluar ruangan yang menjadi satu dengan kantor pribadinya itu. Namun, sebelum itu,
"Navia?" Malik menoleh tepat sebelum dia menuruni tangga, matanya melihat wanita yang biasa mengikat rendah surai panjangnya itu—tengah menata bunga-bunga kesukaannya untuk dipajang di vas kaca. Malik mendekati wanita itu, sembari bertanya apakah dia sedang berhalusinasi atau tidak. Dia mencoba untuk menyentuhnya dan memanggilnya. “Mama?” Wanita paruh baya itu menoleh segera pada Malik. “Malik … mau berangkat kerja?” Ah, rupanya benar kalau itu adalah ibunya. Mana mungkin orang yang sudah mati, hidup kembali? “Iya. Mama ngapain di sini …?” Wanita bernama Risma Harun itu menjawab, “Mama lihat kayaknya vas di sini udah nggak pernah diisi bunga lagi, jadi kelihatan kosong banget. Makanya Mama isi, mumpung Mama di sini.” Malik tidak mempermasalahkan itu, tapi yang dia permasalahkan adalah … “Kenapa harus bunga dahlia putih?” Risma melirik bunga dahlia putih yang hampir selesai dia tata, lalu menjawab pertanyaan anak laki-lakinya dengan, “Karena ini bunga kesukaan Navia.” Malik m
Malik terkejut ketika mendengar suara seseorang berteriak dari jauh, dan suara itu terdengar makin dekat juga keras. Ia menoleh segera dengan raut bingung dan panik, di hadapannya kini terlihat orang-orang yang didominasi laki-laki—datang sembari membawa spanduk bertuliskan penolakan atas proyek. Ketakutan Malik menjadi nyata. “HENTIKAN PROYEK YANG AKAN MERUSAK TANAH SUBUR KAMI!” “HENTIKAN PROYEK INI!” “HENTIKAN PROYEK INI!!!” Malik sangat panik, orang-orang itu datang dengan raut geram dan mendekatinya seakan-akan mereka ingin langsung menghancurkan proyek yang belum dibangun itu. Beberapa pekerja langsung pasang badan untuk melindungi tuan mereka, tentu saja Malik yang berdiri paling belakang. “Tunggu, bapak-bapak, ibu-ibu … ada apa ini?” tanya Sugeng, bermaksud menengahi. Salah satu warga dengan geram berkata, “Pulang aja, Pak, hentikan proyek yang merusak rumah kami!” “Apa maksudnya? Rumah siapa yang dirusak?” “Hutan yang berdiri di belakang kalian itu, yang sudah kalian
Malik berusaha keras untuk keluar dari kerumunan dan dia tidak menunggu untuk berlari menghampiri perempuan yang terlihat mirip dengan Navia itu. Logikanya berkata untuk berhenti. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal, bisa hidup lagi dan berdiri di depan matanya. Tapi seperti orang bodoh, Malik malah semakin cepat melangkah dan membuat perempuan itu akhirnya lari dengan wajah panik. Kenapa dia lari? Memang dia mengenal Malik? Seharusnya dia tetap di sana jika dia bukan Navia, jadi … apakah perempuan itu benar-benar Navia? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di otak Malik selagi kakinya menerjang jarak yang semakin jauh ketika perempuan itu juga berlari tak kalah kencang darinya. “Tunggu, kamu! Berhenti!” ujar Malik, membuat orang-orang yang menontonnya—kini bingung karena dia tiba-tiba kabur dari kermunan dan itu demi mengejar seorang perempuan? Awalnya orang-orang itu berpikir Malik hanya mencari alasan untuk lari dari masalah, tapi sejak lelaki itu sudah tidak menaruh
Malik tersentak saat suara klakson motor itu berbunyi nyaring di belakangnya, dia segera menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya berpakaian batik menghampirinya. “Bapak ini orang proyek dekat curuk itu, kan?” tanya lelaki asing itu, langsung pada intinya. Tidak memedulikan Malik yang hampir serangan jantung setelah nyaris dia tabrak dengan motornya. Malik yang sedikit bingung jadinya hanya mengangguk kecil. “Mau ke mana? Saya denger tadi ada keributan gara-gara Bapak berusaha melecehkan salah satu warga sini. Kebetulan ketemu di sini, kita harus bicara, Pak!” Malik menghela napas berat dan memijat kepalanya sekali lagi; ucapan orang asing di depannya ini semakin membuatnya sakit kepala. “Tunggu dulu, Pak, saya pusing,” ujar Malik, “Bapak ini siapa?” Lelaki itu mengulurkan tangan. “Meski kita nggak jabat tangan untuk damai cepat-cepat, tapi perekenalkan, Pak, saya Rusnadi. Saya adalah kepala RT desa ini!” Malik hanya mengangguk sejenak dan berkata, “Saya Malik, dan saya ngga
Malik membuka matanya perlahan, meski rasanya dia ingin tidur lebih lama tapi suara alam di luar sana seperti membentuk konser massal yang terus mengusik alam bawah sadarnya. Orang kota mungkin mendambakan bangun dengan alarm suara cuitan burung yang bernyanyi, tapi bagaimana jika ayam, bebek bahkan kambing ikut melatari? Malik membuka sempurna kedua matanya dan sadar jika dia tidak ada di klinik kesehatan apalagi hotel bintang lima pesanannya. Di mana dia sekarang? Lelaki itu berusaha mengingat-ingat; dan yang tersimpan dalam memorinya adalah perjalanan panjang nan melelahkan hanya untuk bisa berbicara pada perempuan desa yang sangat mirip dengan mendiang istrinya. Sudah begitu, ketika dia tinggal hanya satu langkah menuju tujuannya—dia malah tak sadarkan diri. “Sialan ….” Begitu ujarnya karena masih tersisa rasa kesal dalam hati. Malik melihat ke sekitar, dia berada di kamar sederhana dengan dekorasi bernuansa pedesaan yang sangat kental. Apa dia ada di rumah perempuan itu? Malik b
Sejak pergi dari mal, Malik hanya diam saja. Nirmala merasa tidak nyaman setelah melihat alis tajam Malik sejak mereka keluar dari toko es krim tadi. Karena itu juga, Nirmala tidak bisa menikmati waktu santai yang diberikan Malik untuknya sehingga dia hanya membeli satu sepatu dan meminta untuk pulang.Sejak saat itu, Malik tidak mengatakan apa pun. Tatapannya tajam dan dingin, seperti akan menyapu seluruh eksistensi yang ada di depan mobilnya. Nirmala tidak mau memedulikan itu, tapi keheningan yang mengurungnya ini terasa seperti mencekik. Dia tidak tahan, sampai akhirnya bersuara.“Pak Malik marah sama saya?” tanya Nirmala dengan suara yang jelas.“Memang kamu ngelakuin sesuatu yang buat saya marah?”“Seinget saya, sih, enggak.”“Kalau begitu saya nggak marah.”“Tapi ekspresi bikin saya nggak nyaman; mata Bapak kayak orang lagi nahan kesel. Bapak marah karena es krim rekomendasi Bapak saya sebut kayak rasa rumput?”Malik tidak menjawab; menghela napas singkat dan mengembuskannya den
Malik bisa berjalan dengan lebih ringan setelah mendengar perkembangan keadaan Kamal. Anak laki-lakinya itu semakin sehat, hasil imunisasi menunjukkan banyak hal baik dan Malik akui jika Kamal bisa seperti itu karena ada Nirmala di sampingnya."Kayaknya kamu udah berusaha keras buat jagain Kamal, ya?" Malik berbicara, sambil menyetir mobil sementara Nirmala duduk di samping kursi kemudi yang dia tempati.Ucapan Malik menjadi pengetuk kesunyian yang menyelimuti mereka sejak keluar dari rumah sakit, itu sedikit membuat Nirmala terkesiap."Ah ... oh iya? Saya gak ngerasa se-berjuang itu juga kok, Pak," balas Nirmala, menghindari kontak dengan Malik yang meliriknya.Malik mungkin sedikit heran dengan sikap canggung itu, Nirmala tidak peduli. Wanita itu masih teringat akan kesalahan yang dia lakukan semalam, dan itu masih menjaganya setiap kali dia melihat Malik.Nirmala hanya seorang pengasuh, tapi dengan lancang masuk ke ruang pribadi tuannya bahkan ketika semua orang dilarang masuk ke s
Nirmala masih merasa tidak nyaman mengingat apa yang terjadi kemarin.Tentang lelaki asing bernama Adam yang langsung memeluknya ketika mereka pertama kali bertemu. Jujur saja, itu lebih membuat Nirmala tidak nyaman daripada bagaimana pertemuan pertamanya dengan Malik.Setidaknya, Malik tidak memaksa untuk memeluk Nirmala dan menyentuhnya, rasanya malah seperti; "Rasanya kayak yang suami Navia malah si Adam itu, dan bukan Malik."Nirmala menghela napas, menaruh kepalanya ke kasur Kamal sambil menunggu bayi itu benar-benar terlelap.Sepertinya kali ini Nirmala akan tidur lagi di kamar Kamal, sebab sejak kejadian kemarin, Kamal jadi semakin manja dan tidak mau jauh dari Nirmala.Mungkin karena bayi itu juga terkejut dengan suara di sekitarnya, atau mungkin dia merasakan apa yang Nirmala rasakan?Untuk sejenak, Nirmala merenungkan dan mengingat kembali titik mula yang membuatnya berakhir di tempat ini. Jika bukan karena kontrak yang menekan Nirmala, dia tidak akan datang dan melakukan ap
Pagi yang cerah, Nirmala membawa Kamal untuk berjalan-jalan santai sekaligus berjemur.Semua orang terlihat senang dengan perkembangan baik Kamal setiap harinya semenjak Nirmala ada. Tak sedikit dari mereka berkata jika Kamal seperti mendapat ibunya kembali, dan Nirmala hanya akan tersenyum kecut."Apa kamu senang karena aku di sini?" tanya Nirmala pada Kamal yang sedang asyik sendiri di dalam kereta bayinya.Seakan mengerti apa yang Nirmala katakan, Kamal tersenyum lebar seakan menyambut Nirmala dalam peluk tangan kecilnya.Nirmala tersenyum hambar, tidak terlihat tenang sedikitpun meski dia merasa senang melihat senyum Kamal yang tampak tulus.Nirmala berlutut di depan kereta bayi, bersandar sambil mengulurkan tangannya untuk masuk dan meladeni Kamal yang ingin bermain."Sepertinya kamu bener-bener menganggap kalau aku ini ibumu, ya? Aku nggak tau kalau bayi pun bisa punya ingatan kuat untuk ingat wajah seseorang, tapi mungkin karena itu ibumu, kamu ingat wajahnya lebih baik dari wa
Malik dan Nirmala keluar dari sebuah ruangan bersama dengan Kamal yang sudah terlelap. Bayi itu tidur sangat pulas dalam gendongan Nirmala setelah menangis cukup lama pasca penyuntikan vaksin yang dilakukan rutin untuknya.Sementara menunggu proses administrasi selesai, Nirmala duduk dengan wajah kecut dan tatapan dinginnya mengarah pada Malik yang baru saja kembali dari membayar biaya imunisasi dan cek kesehatan Kamal.“Kamu belum makan?” tanya Malik, dengan nada yang pelan, “kamu kelihatan kayak pengen banget nelen saya hidup-hidup.”“Nggak masalah saya udah makan atau belum, Pak. Bapak sengaja bawa saya ketemu dokternya den Kamal yang kenal sama nyonya Navia, ya? Dia kelihatan syok banget tadi, kayak ngelihat hantu.”“Ah, saya nggak ngira dia bakal sekaget itu, sih. Wajar aja dia kaget, dia temennya Navia.”Nirmala menatap Malik dengan sorot tak percaya; bagaimana bisa Malik bersikap sesantai itu tanpa memikirkan dampak dari tindakannya lebih dulu?“Lagipula kenapa harus saya yang
Nirmala masih bersama Kamal di taman depan rumah Malik saat itu; membawanya berjalan-jalan sore setelah diberi makan oleh Emi. Jujur saja, Nirmala belum akrab dengan pekerjaannya. Dia masih merasa canggung dan masih membutuhkan bantuan tiga pengasuh Kamal sebelumnya untuk bisa meningkatkan keahliannya. “Kalau bukan karena orang desa, aku pasti nggak bakal pernah ke sini dan kerja kayak begini,” ujar Nirmala, membiarkan Kamal duduk di kursi taman sambil dia pegangi agar tidak jatuh. Kamal terlihat sangat ceria, dia mengoceh banyak dengan bahasa bayi dan ingin menyentuh banyak hal. Jujur saja itu sedikit merepotkan, apalagi bayi belum tahu mana benda yang aman untuk dia sentuh dan yang tidak. Tadi hampir saja Leria membiarkan Kamal menyentuh dahan bunga mawar yang berduri. “Den Kamal … seneng banget, ya, Den, main sama saya?” tanya Nirmala di hadapan Kamal, yang hanya tertawa seolah dia mengerti apa yang pengasuhnya tanyakan. “Saking
Sesuai rencana dan keinginannya, sore itu Chintya mendatangi rumah Malik untuk bicara langsung dengan Leria. Dia ingin mendengar secara lengkap alasan mengapa suami anaknya tiba-tiba menunda pembangunan proyek besar yang mempengaruhi banyak pihak itu.“Nyonya Leria lagi mandi, Bu Chintya. Tolong tunggu dan duduk di sini, ya, Bu, nanti saya buatin teh,” ujar Menik, salah satu pembantu di rumah itu.“Bilangin sama Leria kalau ibunya dateng, biar dia nggak lama-lama mandinya.”“Oh iya, Bu ….”Setelah Menik pergi, Chintya duduk menunggu Leria dengan senyap. Matanya masih menggambarkan rasa kesal jika teringat akan tindakan tiba-tiba menantunya. Rasanya dia ingin mengomel saja, meski tadi dia sempat sudah tenang karena bantuan kekasihnya—tapi saat melihat rumah ini, rasa kesalnya datang lagi.“Kenapa dari dulu rumah ini nggak pernah terasa nyaman, sih, buatku? Padahal ini rumah anakku sama suaminya, tapi setiap masuk sini rasanya aku nggak betah,” cibir Chintya, melirik kemewahan rumah den
Seorang wanita membuka pintu dengan kasar. Tatapannya nyalang menggambarkan rasa kesal.“Sialan! Bisa-bisanya proyek itu ditunda!?” ucapnya dengan marah. "Nggak bisa ... nggak bisa dibiarin. Pokoknya proyek itu harus mulai tahun ini juga!"Chintya Kumalasari terlihat panik, kesal dan tegang. Pasalnya proyek pembangunan yang menantunya pimpin itu ditangguhkan mendadak. Dia tidak tahu tentang alasan sebenarnya, tapi anaknya memberi kabar kalau dia gagal mengubah pikiran Malik untuk menunda proyek itu.Setelah marah-marah dan membuat ruang kerjanya berantakan, seorang laki-laki tampan yang lebih muda darinya masuk.“Nyonya ...,” laki-laki itu memanggil dengan nada lembut, membuat Chintya berhenti untuk meliriknya. “Kalau ruang kerja berantakan begini, Nyonya bisa luka karena sesuatu, lho.”“Jangan masuk, Daffan. Aku lagi nggak mau ketemu siapa pun."Bak mendengar sebuah perintah, larangan Chintya diterjangnya tanpa peduli. Daffan melewati barang-barang yang berserakan dan sampai di depan
Malik menghampiri Leria dengan tatapan kesal.“Kenapa kamu teriak? Kamu lupa kalau di rumah masih ada mama?”“Memang kenapa? Ini rumah kita, hal yang wajar kalau kita bertengkar di rumah kita sendiri. Kalau mama kamu nggak suka, kamu bisa anterin dia pulang sekarang! Aku rasa bakal lebih baik untuknya kalau nggak ngelihat mukaku!”Malik tercengang, tapi dia menahan amarahnya. “Leria, jangan bersikap kurang ajar sama mama aku. Dia ibu mertua kamu.”“Dan ibuku juga ibu mertuamu, tapi kamu malah ngomongin hal yang buruk tentang dia bahkan di depan anaknya sendiri!”Malik menghela napas, mengusap wajahnya seraya berharap Tuhan memberinya lebih banyak kesabaran. "Aku mohon jangan mulai pertikaian baru hari ini, Leria. Aku harus pergi ke kantor sekarang." Malik menggenggam bahu Leria sejenak, berharap perempuan itu akan tenang. Tapi saat dia akan pergi, Leria kembali menahannya. "Kamu mau kabur lagi? Aku belum selesai bicara sama kamu. Jangan jadiin kantor sebagai alesan kamu menghindari