“NAVIA!”
Lelaki itu langsung terduduk tegak di kasur berukuran besar miliknya saat mimpi buruk itu kembali menyentak tidur nyenyaknya.Napasnya jadi sedikit tak beraturan, wajahnya setengah pucat dan sensasi menyesakkan itu masih dia rasakan ketika bayang-bayang wanita yang berdiri di ujung geladak kapal malam itu masih terlihat jelas di mimpinya.Malik Alsaki Setra mengusap wajahnya pelan, lalu ia berusaha mencari ketenangan dengan meminum air putih. Tapi tangannya berhenti saat melihat gelas kaca itu kosong tanpa setitik pun uap, dan dia merenung memperhatikannya.“Kalau dia ada di sini, hal semacam kehabisan stok air di meja nakas nggak akan pernah terjadi.”Itu kalimat yang pertama kali melintasi kepala Malik, yang langsung ia tepis dengan gelengan kepala.Apa dia masih tidak bisa melupakan wanita itu? Meski sudah satu tahun sejak kematiannya?Malik turun dari kasurnya, berjalan menuju pintu keluar ruangan yang menjadi satu dengan kantor pribadinya itu. Namun, sebelum itu, langkahnya terhenti di depan meja kerjanya. Malik memandang tempat di belakang meja kerja, tempat sebuah tirai merah terbentang menutup sesuatu di baliknya.Malik menarik tirai megah itu perlahan-lahan dan membuka sebuah figura tempat potret sesosok wanita berada. Wanita dengan rambut hitam legamnya dan mata gelapnya yang teduh, tersenyum simpul ke arah kamera sembari memegangi topi musim panas. Senyumnya yang teduh menandakan kepribadiannya yang tenang dan sederhana.“Shanavia …,” ucap Malik, menyebut nama wanita itu; yang hanya memandang potretnya saja sudah cukup membuat Malik merasa tidak nyaman. Lantas lelaki itu segera menutup kembali tirai merahnya dan berhenti memandangi foto mendiang istri pertamanya seperti yang sudah-sudah—seperti dia adalah orang yang tidak bisa melupakan sosok itu.Malik menghela napas; mengusap wajahnya pelan. Mungkin karena pengaruh mimpi buruk tadi, dia jadi merasa tidak nyaman seperti ini. Rasanya seperti sesuatu mengganjal perasaannya, yang lagi-lagi memaksanya untuk kembali mengingat malam di mana mimpi buruk ini bermula.Malam ketika Shanavia Arini menjatuhkan dirinya ke lautan dan menghapus eksistensinya dari hidup Malik … meski itu tak sepenuhnya.Tok tok tok ….“Siapa?”“Nyonya Leria di sini, Tuan; katanya mau menunggu Tuan dan sarapan bersama,” ujar Handoko, kepala pelayan sekaligus pelayan pribadi Malik.Malik tidak membalas, dia sempat diam saja dan berpikir; dia tidak bisa terus seperti ini.“Malik … kamu tidur di ruang kerja lagi malam ini, jadi sekarang ayo sarapan bareng aku!”Malik sudah menikahi Leria Rahayu Puspa, perempuan dambaannya dulu—sebelum dia menikahi Shanavia karena sebuah kontrak. Meski begitu, seharusnya Malik berbahagia dengan kehidupannya saat ini. Dia dan Leria pun sudah dikaruniai seorang putri yang sehat dan menggemaskan dan usia pernikahan mereka juga hampir satu tahun.Seharusnya Malik hidup bahagia, seharusnya dia tidak tidur di ruang kerjanya setiap malam hanya karena di ruangan itu saja dia bisa melihat satu-satunya kenangan yang Navia punya. Kenapa Malik jadi merasa sebaliknya? Memang sejak kapan dia mencintai Navia?“Aku keluar sekarang.”Ya, itu pasti karena perasaan bersalah saja. Malik dihantui rasa bersalah sebab secara tidak langsung, dia adalah alasan mengapa Navia bunuh diri malam itu. Meski semua orang berusaha meyakinkan kalau dirinya tetap tidak bersalah, tapi susah untuk meyakinkan dirinya sendiri.Malik memakai kembali topengnya dan berbisik pada dirinya sendiri kalau dia akan baik-baik saja, meski rasanya meninggalkan ruangan itu sama seperti melawan kedua tangan Navia yang memeluknya erat dan menyesakkan.“Selamat pagi, sayangku!” Leria menyapa Malik dengan kedua tangan terbuka, tanpa ragu memeluk Malik yang belum selesai mengunci pintu ruang kerjanya.Malik menyerahkan pintu itu pada Handoko untuk dijaga; dan agar tidak ada siapa pun di rumah itu yang memasuki ruang pribadi Malik selain dirinya. Bahkan tidak dengan Leria—yang melirik dingin apa yang Malik lakukan. Segera Malik alihkan perhatian istrinya dengan mencium lembut pipinya.“Pagi, sayang,” ujar Malik, spontan membuat Leria menatapnya dengan binar penuh cinta, “semua udah di meja makan?”“Iya. Kayaknya mereka udah kelaparan gara-gara nungguin kamu bangun. Kamu pasti kerja sampai larut banget, ya? Bangunnya jadi lebih siang.”“Hm … aku harap aku bisa tidur nyenyak. Maaf karena ninggalin kamu di kamar sendirian, ya?”Leria hanya tersenyum tipis lalu bergandengan tangan dengan Malik menuju meja makan.***Hampir Malik lupa jika hari ini dia memiliki jadwal penting; hari ini dia akan mengunjungi tempat di mana proyek besarnya akan dibangun.Keluarga Setra adalah keluarga pebisnis yang bergerak di bidang properti, Malik mewarisi kerajaan bisnis sang ayah di usia muda dan dia adalah presdir dari Setta Future Company. Proyek besar yang dimaksud kali ini adalah rencana pembangunan objek wisata dan vila di pedesaan, dan hari ini Malik harus mampir untuk meninjau langsung lahan yang akan dipakai, meski hanya semalam saja.Sebenarnya pekerjaan Malik di kantor juga sudah banyak, tapi proyek ini adalah proyek besar yang juga dibangun atas kerja sama dengan beberapa perusahaan besar lain. Itu adalah proyek bernilai milyaran dan sangat berharga, jadi Malik harus mengurusnya dengan baik.“Sayang banget aku nggak bisa ikut, padahal aku pengen banget ikut.”Sejak tadi Leria terus mengikuti Malik yang sedang bersiap-siap, rasanya Malik sampai bosan mendengar wanita itu yang terus mengutarakan keinginannya untuk ikut.“Leria … Maryam masih kecil untuk dibawa pergi jauh-jauh,” ujar Malik, membenahi pakaiannya sekali lagi.“Tapi Maryam bisa ditinggal, aku aja yang ikut kamu.”“Nggak bisa begitu, dong. Maryam kan butuh asi kamu.”“Sehari doang, Malik ….” Terkadang melihat Leria yang seolah tidak bisa dipisahkan darinya, membuat Malik sejenak bertanya-tanya. Apakah jika Malik menghilang sedetik saja bisa membuat Leria mati?Malik mendekati Leria dan mengelus wajahnya. “Cuma dua hari aja, nanti aku pulang lagi. Habis itu kita pergi jalan-jalan, ya?”Leria langsung semangat. “Berdua aja?”“Sama Maryam juga lah!” Leria tidak jadi bersemangat. “Gimana sama Kamal? Katanya dia sempet demam kemarin.”Leria langsung mematung sedikit tegang ketika ditanyai tentang Kamal. Kamal Abbiyu Setra, anak pertama Malik sekaligus anak mendiang istri pertamanya.“Hm … kayaknya udah baikan, deh.”“Kayaknya? Kamu nggak pantau keadaannya?” tanya Malik dengan heran.“Bu-bukan gitu, Malik, tapi kamu tau sendiri kalau aku aja udah sibuk ngurus Maryam yang super rewel dan nggak bisa ditinggal. Jadi aku kurang waktu buat pantau Kamal juga. Lagian, ‘kan Kamal punya pengasuhnya sendiri.”Malik menghela napas. Dia batal buru-buru pergi dan sejenak berbalik untuk bicara pada Leria.“Sekalipun aku kasih dia seratus pengasuh, itu nggak akan sama kalau dia diasuh sama ibunya. Kamu juga ibunya, Leria; aku harap kamu bisa kasih sedikit waktu kamu untuk mantau Kamal. Tolong, aku butuh pengertian kamu ….”Leria menelan kembali kata-katanya meski dia ingin sekali menyela. Wanita dengan rambut cokelat terangnya itu tersenyum manis pada Malik dan berkata, “Y-ya, tentu, Malik! Aku bakal jaga Kamal juga. Maaf, ya, atas keteledoranku.”Malik tersenyum dan berharap dia bisa bernapas lega setelah ini. “Kalau gitu, aku berangkat, ya?” Malik mendekati Leria dan memeluk wanita itu, lalu berpamitan pergi lebih dulu dari kamar untuk segera ke mobil.Malik melangkah dengan cepat, seperti dia adalah orang yang paling dikejar waktu. Tapi langkah cepat itu seketika berhenti saat ia terusik oleh sesuatu, yang mengingatkan indra penciumannya akan sosok yang telah tiada.Ini wangi bunga yang akrab dengan Navia. Hanya Navia satu-satunya orang yang akan mengisi rumah itu dengan aroma bunga seperti ini, tapi ... Navia sudah tiada."Navia?" Malik menoleh tepat sebelum dia menuruni tangga, matanya melihat wanita yang biasa mengikat rendah surai panjangnya itu—tengah menata bunga-bunga kesukaannya untuk dipajang di vas kaca. Malik mendekati wanita itu, sembari bertanya apakah dia sedang berhalusinasi atau tidak. Dia mencoba untuk menyentuhnya dan memanggilnya. “Mama?” Wanita paruh baya itu menoleh segera pada Malik. “Malik … mau berangkat kerja?” Ah, rupanya benar kalau itu adalah ibunya. Mana mungkin orang yang sudah mati, hidup kembali? “Iya. Mama ngapain di sini …?” Wanita bernama Risma Harun itu menjawab, “Mama lihat kayaknya vas di sini udah nggak pernah diisi bunga lagi, jadi kelihatan kosong banget. Makanya Mama isi, mumpung Mama di sini.” Malik tidak mempermasalahkan itu, tapi yang dia permasalahkan adalah … “Kenapa harus bunga dahlia putih?” Risma melirik bunga dahlia putih yang hampir selesai dia tata, lalu menjawab pertanyaan anak laki-lakinya dengan, “Karena ini bunga kesukaan Navia.” Malik m
Malik terkejut ketika mendengar suara seseorang berteriak dari jauh, dan suara itu terdengar makin dekat juga keras. Ia menoleh segera dengan raut bingung dan panik, di hadapannya kini terlihat orang-orang yang didominasi laki-laki—datang sembari membawa spanduk bertuliskan penolakan atas proyek. Ketakutan Malik menjadi nyata. “HENTIKAN PROYEK YANG AKAN MERUSAK TANAH SUBUR KAMI!” “HENTIKAN PROYEK INI!” “HENTIKAN PROYEK INI!!!” Malik sangat panik, orang-orang itu datang dengan raut geram dan mendekatinya seakan-akan mereka ingin langsung menghancurkan proyek yang belum dibangun itu. Beberapa pekerja langsung pasang badan untuk melindungi tuan mereka, tentu saja Malik yang berdiri paling belakang. “Tunggu, bapak-bapak, ibu-ibu … ada apa ini?” tanya Sugeng, bermaksud menengahi. Salah satu warga dengan geram berkata, “Pulang aja, Pak, hentikan proyek yang merusak rumah kami!” “Apa maksudnya? Rumah siapa yang dirusak?” “Hutan yang berdiri di belakang kalian itu, yang sudah kalian
Malik berusaha keras untuk keluar dari kerumunan dan dia tidak menunggu untuk berlari menghampiri perempuan yang terlihat mirip dengan Navia itu. Logikanya berkata untuk berhenti. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal, bisa hidup lagi dan berdiri di depan matanya. Tapi seperti orang bodoh, Malik malah semakin cepat melangkah dan membuat perempuan itu akhirnya lari dengan wajah panik. Kenapa dia lari? Memang dia mengenal Malik? Seharusnya dia tetap di sana jika dia bukan Navia, jadi … apakah perempuan itu benar-benar Navia? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di otak Malik selagi kakinya menerjang jarak yang semakin jauh ketika perempuan itu juga berlari tak kalah kencang darinya. “Tunggu, kamu! Berhenti!” ujar Malik, membuat orang-orang yang menontonnya—kini bingung karena dia tiba-tiba kabur dari kermunan dan itu demi mengejar seorang perempuan? Awalnya orang-orang itu berpikir Malik hanya mencari alasan untuk lari dari masalah, tapi sejak lelaki itu sudah tidak menaruh
Malik tersentak saat suara klakson motor itu berbunyi nyaring di belakangnya, dia segera menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya berpakaian batik menghampirinya. “Bapak ini orang proyek dekat curuk itu, kan?” tanya lelaki asing itu, langsung pada intinya. Tidak memedulikan Malik yang hampir serangan jantung setelah nyaris dia tabrak dengan motornya. Malik yang sedikit bingung jadinya hanya mengangguk kecil. “Mau ke mana? Saya denger tadi ada keributan gara-gara Bapak berusaha melecehkan salah satu warga sini. Kebetulan ketemu di sini, kita harus bicara, Pak!” Malik menghela napas berat dan memijat kepalanya sekali lagi; ucapan orang asing di depannya ini semakin membuatnya sakit kepala. “Tunggu dulu, Pak, saya pusing,” ujar Malik, “Bapak ini siapa?” Lelaki itu mengulurkan tangan. “Meski kita nggak jabat tangan untuk damai cepat-cepat, tapi perekenalkan, Pak, saya Rusnadi. Saya adalah kepala RT desa ini!” Malik hanya mengangguk sejenak dan berkata, “Saya Malik, dan saya ngga
Malik membuka matanya perlahan, meski rasanya dia ingin tidur lebih lama tapi suara alam di luar sana seperti membentuk konser massal yang terus mengusik alam bawah sadarnya. Orang kota mungkin mendambakan bangun dengan alarm suara cuitan burung yang bernyanyi, tapi bagaimana jika ayam, bebek bahkan kambing ikut melatari? Malik membuka sempurna kedua matanya dan sadar jika dia tidak ada di klinik kesehatan apalagi hotel bintang lima pesanannya. Di mana dia sekarang? Lelaki itu berusaha mengingat-ingat; dan yang tersimpan dalam memorinya adalah perjalanan panjang nan melelahkan hanya untuk bisa berbicara pada perempuan desa yang sangat mirip dengan mendiang istrinya. Sudah begitu, ketika dia tinggal hanya satu langkah menuju tujuannya—dia malah tak sadarkan diri. “Sialan ….” Begitu ujarnya karena masih tersisa rasa kesal dalam hati. Malik melihat ke sekitar, dia berada di kamar sederhana dengan dekorasi bernuansa pedesaan yang sangat kental. Apa dia ada di rumah perempuan itu? Malik b
Setelah mandi, Malik merasa lebih segar. Kendati pakaian milik ayah Nirmala tidak tercium wangi dan terasa sedikit gatal saat menyentuh kulit putihnya, tapi ini lebih baik ketimbang memakai kemeja dengan noda darah selama tiga hari berturut-turut. Berterimakasihlah pada Nirmala yang berbaik hati dan menyempatkan diri untuk mencarikan pakaian terbaik untuk dipasangkan ke tubuh orang kaya ini, tapi perempuan itu tidak kunjung pergi untuk melakukan urusannya. Malik berjalan menghampiri Nirmala yang tampak kesulitan dengan motor tuanya. “Kenapa nggak pergi? Katanya mau ke sawah?” tanya Malik, bersilang tangan sembari bersandar pada kusen pintu. Nirmala melihat tingkah Malik dan itu membuatnya sedikit kesal. “Kalau motornya mau nyala, saya udah jalan dari tadi!” jawab perempuan itu dengan nada ketus. Dia berusaha mengengkol motornya lagi, dan itu menyala. Tapi ketika Nirmala menyusun satu-satu barang bawaannya dimulai dari termos nasi sampai tas jerami berisi rantang makanan dan juga min
Setelah sarapan selesai, bekas makan tinggal dibuang ke tempat sampah. Malik sedikit terkejut menyadari sisi efisiensi dari cara keluarga Nirmala makan bersama. Bukankah akan lebih praktis kalau bekas makan langsung dibuang dan diolah alam? Malik memperhatikan Nirmala yang langsung membakar daun pisang itu bersama tumpukan sampah lainnya di dekat gubuk mereka. Nirmala yang sadar pun bertanya ketus, “Kenapa?” “Lihat-lihat aja,” jawab Malik. Kemudian perhatian mereka teralihkan saat dari kejauhan terdengar. “MALA …! MALA!” Nirmala dan Malik spontan mengalihkan perhatian mereka pada Hendri yang datang bersama beberapa anak kecil di belakangnya. Mereka membawa beberapa wadah kecil dari bambu, sepertinya hendak mencari sesuatu. “Mau ke mana, Heng?” tanya Nirmala, dia tersenyum dan tak seperti saat melihat Malik. Terang saja begitu, kan? Mereka sepasang kekasih. “Mau nyari belut sama tutut. Ikut, Mal?” Hendri menawari, dan Malik juga pikir Nirmala akan langsung pergi bersama Hendri. T
Nirmala langsung menarik tangannya yang sempat digenggam secara tiba-tiba oleh Malik. Apa lagi ini? Setelah ngotot minta ingin bicara dan diizinkan bertemu, sekarang Malik malah mengatakan hal yang makin jauh di luar nalar. “Maksud kamu apa?” tanya Nirmala, nada bicaranya meninggi dan membuat Malik sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. Malik menarik tangannya kembali lalu berkata, “Saya … saya mau kamu ikut ke Jakarta untuk—” “Kamu ini bener-bener berani atau nggak tau malu aja? Jangan mentang-mentang kamu ini bos besar jadi kamu bisa seenaknya merintah saya!” “Nirmala, denger, saya punya alasan kuat kenapa kamu harus ikut ke Jakarta sama saya.” “Alasan apa? Untuk membuktikan sama keluarga besar kamu kalau ada perempuan yang mirip banget sama mendiang istri kamu? Atau kamu mau minta saya buat pura-pura jadi istri kamu yang bangkit dari kematian?” Malik menahan napas dan sejenak tak tahu apa yang harus dia katakan; tapi dia merasa dia perlu membawa Nirmala bersamanya. Malik
Sejak pergi dari mal, Malik hanya diam saja. Nirmala merasa tidak nyaman setelah melihat alis tajam Malik sejak mereka keluar dari toko es krim tadi. Karena itu juga, Nirmala tidak bisa menikmati waktu santai yang diberikan Malik untuknya sehingga dia hanya membeli satu sepatu dan meminta untuk pulang.Sejak saat itu, Malik tidak mengatakan apa pun. Tatapannya tajam dan dingin, seperti akan menyapu seluruh eksistensi yang ada di depan mobilnya. Nirmala tidak mau memedulikan itu, tapi keheningan yang mengurungnya ini terasa seperti mencekik. Dia tidak tahan, sampai akhirnya bersuara.“Pak Malik marah sama saya?” tanya Nirmala dengan suara yang jelas.“Memang kamu ngelakuin sesuatu yang buat saya marah?”“Seinget saya, sih, enggak.”“Kalau begitu saya nggak marah.”“Tapi ekspresi bikin saya nggak nyaman; mata Bapak kayak orang lagi nahan kesel. Bapak marah karena es krim rekomendasi Bapak saya sebut kayak rasa rumput?”Malik tidak menjawab; menghela napas singkat dan mengembuskannya den
Malik bisa berjalan dengan lebih ringan setelah mendengar perkembangan keadaan Kamal. Anak laki-lakinya itu semakin sehat, hasil imunisasi menunjukkan banyak hal baik dan Malik akui jika Kamal bisa seperti itu karena ada Nirmala di sampingnya."Kayaknya kamu udah berusaha keras buat jagain Kamal, ya?" Malik berbicara, sambil menyetir mobil sementara Nirmala duduk di samping kursi kemudi yang dia tempati.Ucapan Malik menjadi pengetuk kesunyian yang menyelimuti mereka sejak keluar dari rumah sakit, itu sedikit membuat Nirmala terkesiap."Ah ... oh iya? Saya gak ngerasa se-berjuang itu juga kok, Pak," balas Nirmala, menghindari kontak dengan Malik yang meliriknya.Malik mungkin sedikit heran dengan sikap canggung itu, Nirmala tidak peduli. Wanita itu masih teringat akan kesalahan yang dia lakukan semalam, dan itu masih menjaganya setiap kali dia melihat Malik.Nirmala hanya seorang pengasuh, tapi dengan lancang masuk ke ruang pribadi tuannya bahkan ketika semua orang dilarang masuk ke s
Nirmala masih merasa tidak nyaman mengingat apa yang terjadi kemarin.Tentang lelaki asing bernama Adam yang langsung memeluknya ketika mereka pertama kali bertemu. Jujur saja, itu lebih membuat Nirmala tidak nyaman daripada bagaimana pertemuan pertamanya dengan Malik.Setidaknya, Malik tidak memaksa untuk memeluk Nirmala dan menyentuhnya, rasanya malah seperti; "Rasanya kayak yang suami Navia malah si Adam itu, dan bukan Malik."Nirmala menghela napas, menaruh kepalanya ke kasur Kamal sambil menunggu bayi itu benar-benar terlelap.Sepertinya kali ini Nirmala akan tidur lagi di kamar Kamal, sebab sejak kejadian kemarin, Kamal jadi semakin manja dan tidak mau jauh dari Nirmala.Mungkin karena bayi itu juga terkejut dengan suara di sekitarnya, atau mungkin dia merasakan apa yang Nirmala rasakan?Untuk sejenak, Nirmala merenungkan dan mengingat kembali titik mula yang membuatnya berakhir di tempat ini. Jika bukan karena kontrak yang menekan Nirmala, dia tidak akan datang dan melakukan ap
Pagi yang cerah, Nirmala membawa Kamal untuk berjalan-jalan santai sekaligus berjemur.Semua orang terlihat senang dengan perkembangan baik Kamal setiap harinya semenjak Nirmala ada. Tak sedikit dari mereka berkata jika Kamal seperti mendapat ibunya kembali, dan Nirmala hanya akan tersenyum kecut."Apa kamu senang karena aku di sini?" tanya Nirmala pada Kamal yang sedang asyik sendiri di dalam kereta bayinya.Seakan mengerti apa yang Nirmala katakan, Kamal tersenyum lebar seakan menyambut Nirmala dalam peluk tangan kecilnya.Nirmala tersenyum hambar, tidak terlihat tenang sedikitpun meski dia merasa senang melihat senyum Kamal yang tampak tulus.Nirmala berlutut di depan kereta bayi, bersandar sambil mengulurkan tangannya untuk masuk dan meladeni Kamal yang ingin bermain."Sepertinya kamu bener-bener menganggap kalau aku ini ibumu, ya? Aku nggak tau kalau bayi pun bisa punya ingatan kuat untuk ingat wajah seseorang, tapi mungkin karena itu ibumu, kamu ingat wajahnya lebih baik dari wa
Malik dan Nirmala keluar dari sebuah ruangan bersama dengan Kamal yang sudah terlelap. Bayi itu tidur sangat pulas dalam gendongan Nirmala setelah menangis cukup lama pasca penyuntikan vaksin yang dilakukan rutin untuknya.Sementara menunggu proses administrasi selesai, Nirmala duduk dengan wajah kecut dan tatapan dinginnya mengarah pada Malik yang baru saja kembali dari membayar biaya imunisasi dan cek kesehatan Kamal.“Kamu belum makan?” tanya Malik, dengan nada yang pelan, “kamu kelihatan kayak pengen banget nelen saya hidup-hidup.”“Nggak masalah saya udah makan atau belum, Pak. Bapak sengaja bawa saya ketemu dokternya den Kamal yang kenal sama nyonya Navia, ya? Dia kelihatan syok banget tadi, kayak ngelihat hantu.”“Ah, saya nggak ngira dia bakal sekaget itu, sih. Wajar aja dia kaget, dia temennya Navia.”Nirmala menatap Malik dengan sorot tak percaya; bagaimana bisa Malik bersikap sesantai itu tanpa memikirkan dampak dari tindakannya lebih dulu?“Lagipula kenapa harus saya yang
Nirmala masih bersama Kamal di taman depan rumah Malik saat itu; membawanya berjalan-jalan sore setelah diberi makan oleh Emi. Jujur saja, Nirmala belum akrab dengan pekerjaannya. Dia masih merasa canggung dan masih membutuhkan bantuan tiga pengasuh Kamal sebelumnya untuk bisa meningkatkan keahliannya. “Kalau bukan karena orang desa, aku pasti nggak bakal pernah ke sini dan kerja kayak begini,” ujar Nirmala, membiarkan Kamal duduk di kursi taman sambil dia pegangi agar tidak jatuh. Kamal terlihat sangat ceria, dia mengoceh banyak dengan bahasa bayi dan ingin menyentuh banyak hal. Jujur saja itu sedikit merepotkan, apalagi bayi belum tahu mana benda yang aman untuk dia sentuh dan yang tidak. Tadi hampir saja Leria membiarkan Kamal menyentuh dahan bunga mawar yang berduri. “Den Kamal … seneng banget, ya, Den, main sama saya?” tanya Nirmala di hadapan Kamal, yang hanya tertawa seolah dia mengerti apa yang pengasuhnya tanyakan. “Saking
Sesuai rencana dan keinginannya, sore itu Chintya mendatangi rumah Malik untuk bicara langsung dengan Leria. Dia ingin mendengar secara lengkap alasan mengapa suami anaknya tiba-tiba menunda pembangunan proyek besar yang mempengaruhi banyak pihak itu.“Nyonya Leria lagi mandi, Bu Chintya. Tolong tunggu dan duduk di sini, ya, Bu, nanti saya buatin teh,” ujar Menik, salah satu pembantu di rumah itu.“Bilangin sama Leria kalau ibunya dateng, biar dia nggak lama-lama mandinya.”“Oh iya, Bu ….”Setelah Menik pergi, Chintya duduk menunggu Leria dengan senyap. Matanya masih menggambarkan rasa kesal jika teringat akan tindakan tiba-tiba menantunya. Rasanya dia ingin mengomel saja, meski tadi dia sempat sudah tenang karena bantuan kekasihnya—tapi saat melihat rumah ini, rasa kesalnya datang lagi.“Kenapa dari dulu rumah ini nggak pernah terasa nyaman, sih, buatku? Padahal ini rumah anakku sama suaminya, tapi setiap masuk sini rasanya aku nggak betah,” cibir Chintya, melirik kemewahan rumah den
Seorang wanita membuka pintu dengan kasar. Tatapannya nyalang menggambarkan rasa kesal.“Sialan! Bisa-bisanya proyek itu ditunda!?” ucapnya dengan marah. "Nggak bisa ... nggak bisa dibiarin. Pokoknya proyek itu harus mulai tahun ini juga!"Chintya Kumalasari terlihat panik, kesal dan tegang. Pasalnya proyek pembangunan yang menantunya pimpin itu ditangguhkan mendadak. Dia tidak tahu tentang alasan sebenarnya, tapi anaknya memberi kabar kalau dia gagal mengubah pikiran Malik untuk menunda proyek itu.Setelah marah-marah dan membuat ruang kerjanya berantakan, seorang laki-laki tampan yang lebih muda darinya masuk.“Nyonya ...,” laki-laki itu memanggil dengan nada lembut, membuat Chintya berhenti untuk meliriknya. “Kalau ruang kerja berantakan begini, Nyonya bisa luka karena sesuatu, lho.”“Jangan masuk, Daffan. Aku lagi nggak mau ketemu siapa pun."Bak mendengar sebuah perintah, larangan Chintya diterjangnya tanpa peduli. Daffan melewati barang-barang yang berserakan dan sampai di depan
Malik menghampiri Leria dengan tatapan kesal.“Kenapa kamu teriak? Kamu lupa kalau di rumah masih ada mama?”“Memang kenapa? Ini rumah kita, hal yang wajar kalau kita bertengkar di rumah kita sendiri. Kalau mama kamu nggak suka, kamu bisa anterin dia pulang sekarang! Aku rasa bakal lebih baik untuknya kalau nggak ngelihat mukaku!”Malik tercengang, tapi dia menahan amarahnya. “Leria, jangan bersikap kurang ajar sama mama aku. Dia ibu mertua kamu.”“Dan ibuku juga ibu mertuamu, tapi kamu malah ngomongin hal yang buruk tentang dia bahkan di depan anaknya sendiri!”Malik menghela napas, mengusap wajahnya seraya berharap Tuhan memberinya lebih banyak kesabaran. "Aku mohon jangan mulai pertikaian baru hari ini, Leria. Aku harus pergi ke kantor sekarang." Malik menggenggam bahu Leria sejenak, berharap perempuan itu akan tenang. Tapi saat dia akan pergi, Leria kembali menahannya. "Kamu mau kabur lagi? Aku belum selesai bicara sama kamu. Jangan jadiin kantor sebagai alesan kamu menghindari