Dalam suasana hati yang timbul tenggelam, aku melangkah keluar dari ruang konsultasi. Om Dirga mengikuti di belakang. Jangan tanyakan lagi, bagaimana terserpihnya perasaanku saat ini. Oh, ampas kopi pun masih lebih bagus dan bermanfaat. Eh, sorry, mungkin aku ngelantur. Tapi sejujur-jujurnya kukatakan, nggak bisa menggambarkan segenap perasaan ini dengan kata-kata. Well, terlalu abstrak.
"Anyelir!" tenang, Om Dirga memanggilku. Panggilan yang dalam sekejap mata menghentikan langkah sekaligus menolehkan leherku ke samping.
Tap, tap, tap!
Om Dirga mempercepat langkah, mendekatiku. Sekarang, kami berdiri berhadapan, saling menatap dan
Dug!Begitulah bunyi detak jantungku ketika tiba-tiba Zio menghentikan mobilnya di tepi sebuah danau kecil. Eh! Dimana ini? Zio membawaku kemana? Katanya, katanya mau mengantarkan aku ke rumah sakit? Katanya lagi, Kenzy sudah sadar dan ingin bertemu denganku sekarang. Oooh, ooohhh, my God! Apakah Zio yang selama ini aku kenal hanyalah sebuah topeng juga, sama seperti Elize. Sandiwara. Sebundel cerita fiksi yang dengan kata lain, aku sudah tertipu besar-besaran. Haha. Haha. Pasti karena aku bodoh, kan? Lemah dan kadang-kadang terlalu mudah percaya. Tersihir oleh fatamorgana."Anyelir, let's go down, with me!" kata Zio tanpa perasaan rikuh ataupun bersalah sedikit pun, "I will show you a beautiful thing to night …?"
Jelas dong, aku merasa sangat bersalah, walaupun nggak ada seorang pun yang menyalahkanku. Papa Snoek pun nggak. Berterima kasih malah, karena sudah berhasil membuat Kenzy membangun tekad dalam dirinya untuk berhenti mengkonsumsi obat-obatan terlarang di seluruh penjuru dunia itu. Berhasil membuat Kenzy memusnahkan semua minuman kerasnya, tanpa sisa. Bahkan botol bekasnya pun nggak ada yang tertinggal.Apakah yang membuatku merasa bersalah?Kalau boleh jujur, pertengkaran kami dua malam yang lalu. Malam Selasa, sebelum kami masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat. Well, sebenarnya aku belum pernah bertengkar dengan siapapun sebelumnya. Jangankan bertengkar, berbantah-bantahan saja rasanya nggak bisa. Nggak suka dan nyaris
Dua puluh empat jam!Itu waktu yang kumiliki untuk menyiapkan kamar Papa Snoek dan sekarang aku terbelalak dalam arti yang sesungguhnya. Ini sudah jam sembilan lebih sepuluh menit. Artinya, harus segera berlari ke halte bus. Well, kalau nggak mau tertinggal bus yang berangkat jam sembilan lebih dua puluh menit. Nah, pulang sekolah nanti, harus segera pulang ke rumah tanpa acara 'sekalian mampir' dimana pun dan dalam bentuk apapun. Warning! No window shopping, allright?Sampai di rumah, langsung membersihkan kamar tamu di lantai tiga dan segala keperluan Papa Snoek. Eh! Memangnya apa saja yang diperlukan Papa Snoek selama di sini? Kenapa bisa lupa menanyakan pada Om Dirga tadi? O'ooo, nggak ada waktu lagi sekarang. Kecuali aku
Betapa rindu!Betapa cinta!Betapa kasih sayang!Betapa hati yang tak pandai berdusta!Betapa jiwa yang yak pandai mengingkari!Betapa, betapa dan betapa itulah yang membuatku gemetar, menggigil. Ternyata Galih nggak hilang, masih ada dan sekarang suratnya sedang aku dekap dengan sepenuh perasaan. Jiwa dan raga. Ternyata, mereka nggak mendepakku dari Life Circle. Tapi, enggg, tapi … Sebentar, aku belum membaca suratnya. Mataku terlalu lamur tadi, oleh genangan air mata. Oooh, ooohhh, my God. 'Galih, my
"Ha halooo, bi bisa saya bicara dengan Arunika?" aku menyahut dengan gugup, segugup-gugupnya karena meyakini dalam hati kalau yang menerima teleponku tadi Galih, my Love, "Ha halooo?"Nggak ada sahutan sama sekali, hanya suara kreeeseeek-kreeeseeek lembut yang terdengar, tanda kalau telepon kami masih tersambung. Situasi beku inilah yang justru memperkuat keyakinanku, kalau benar, itu Galih. Damar Galih, my Love. Oooh, ooohhh, my God! Rasanya, rasanya jantungku terlepas dari tempatnya dan sekarang sedang menggelinding-gelinding sampai ke perut. Apakah enggg apakah ummm bagaimana bisa, Galih di rumah Arunika malam-malam begini? Berarti, sudah dua kali ini yang aku tahu, Galih ada di rumah Arunika.Auuuhhh, apa yang sebenarnya t
Fiyuuuhhh, akhirnya Kenzy tidur juga!Sekarang aku bisa mencurahkan segala perasaan pada Angel, diary kesayangan yang lucu, imut-imut dan menggemaskan. Satu lagi, setia seratus persen. Hihi. Baik hati---jangan tertawa membaca ya, membaca pujianku untuk Angel yang Ini?---sabar menerima segala sikap, perkataan dan luapan emosiku. Satu lagi, paling bisa dipercaya dan mempercayaiku. Sungguh, semua itu ada pada Angel, my best diary. My best friend.Keep spirit!Perlahan-lahan, sambil terus memperhatikan Kenzy, aku mengambil Angel dari dalam tas. Mengambil pulpen dan mulai curhat. Oooh, belum-belum air mataku sudah tumpah. Menangisi Galih, me
Dengan raut wajah bersaput kesedihan yang begitu besar, Papa Snoek masuk ke ruang perawatan. Om Dirga dan Tante Bethanny mengikuti di belakangnya dengan raut wajah yang tak kalah sendu. Mata Tante Bethanny bahkan terlihat berkaca-kaca dan mengembun, nyaris tumpah air beningnya, ketika sampai di sisi tempat tidur Kenzy. Aku? Sebenarnya, aku nggak tahu, apa yang saat ini kurasakan.Apakah sedih karena Kenzy sakit atau Galih yang telah membawa pergi seluruh cintaku padanya? Apakah remuknya hati ini murni karena kepergian Galih atau karena Kenzy yang masih harus dirawat di sini sampai beberapa hari ke depan? Ah, atau karena ada Papa Snoek yang bisa saja langsung memfungsikan diri sebagai guru yang menungguku mengumpulkan PR?I don
Apapun yang terjadi, aku harus pulang. Titik.Walaupun mendadak bumi terbelah menjadi dua pun aku harus tetap pulang. Papa sakit. Alasan apa lagi yang bisa mencegahku? Benar, Kenzy masih sakit. Tapi kan, sudah ada Papa? Ada Om Dirga juga. Nah, Papa? Dia hanya punya aku dan sekarang masih di sini. Apakah itu bukan sesuatu yang sangat sangat sangaaat menyedihkan? Lebih dari apapun. Iya, kan?Dutch for Foreigner?Aku yakin, masih ada kesempatan yang lain untuk itu. Pokoknya, aku harus pulang. Titik. Nggak peduli dan pasti kulawan, siapapun yang menghalangi kepulanganku. Siapa sini, siapa?
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja