Apapun yang terjadi, aku harus pulang. Titik.
Walaupun mendadak bumi terbelah menjadi dua pun aku harus tetap pulang. Papa sakit. Alasan apa lagi yang bisa mencegahku? Benar, Kenzy masih sakit. Tapi kan, sudah ada Papa? Ada Om Dirga juga. Nah, Papa? Dia hanya punya aku dan sekarang masih di sini. Apakah itu bukan sesuatu yang sangat sangat sangaaat menyedihkan? Lebih dari apapun. Iya, kan?
Dutch for Foreigner?
Aku yakin, masih ada kesempatan yang lain untuk itu. Pokoknya, aku harus pulang. Titik. Nggak peduli dan pasti kulawan, siapapun yang menghalangi kepulanganku. Siapa sini, siapa?
Sisi positif. Sisi positif. Sisi positif.Hellooo, dimanakah sisi positif itu berada?Mengapa sedari tadi aku nggak menemukannya, padahal sudah melebarkan pandangan. Oh nggak, sudah memakai kaca pembesar. Oh, nooo, tetap saja Kenzy jahat. Iya, kan?Jahat kuadrat!Bagaimana nggak? Nih, daftar kejahatan yang dilakukannya, setelah aku dengan segenap jiwa dan raga bersimpuh di kakinya memohon-mohon. Sungguh, aku sampai bersimpuh di kakinya. Eh. Nggak, dia kan duduk bersandar di tempat tidur. Nggak bersimpuh memang, tapi aku benar-benar mencium punggung kak
Zzzzz …!Benar-benar nggak bisa ditahan lagi. Rasa kantuk ini sungguh luar biasa. Seolah-olah belum tidur selama satu minggu. Padahal, sudah mengatasinya dengan minum secangkir cappucino hangat, sedikit panas. Sudah mandi juga---pertama kalinya mandi pagi---selama tinggal di Belanda, biasanya malam hari, sebelum tidur. Tapi rasanya malah semakin berat, ingin sekali bergelung dalam selimut dan memanjakan diri di dalam kehangatan lembutnya hingga terlelap dalam mimpi indah. Ummm, nggak apa-apa mungkin, ya? Waktu untuk berangkat ke DFF juga masih dua jam lagi, kok.Jam weker, mana jam weker?Zzzzz …!
Terlihat panik, Om Dirga dan Tante Bethanny turun dari mobil dan berjalan cepat ke arahku yang duduk menggigil di halte bus. Semua orang yang menolongku tadi masih menemani di sini dan langsung berdiri---hampir serempak---menyambut kedatangan mereka. Supir memastikan kalau itu benar-benar Om Dirga dan Tante Bethanny seperti yang aku ceritakan sebelumnya. Setelah muntah-muntah hebat, aku lebih bisa berbicara dua arah."Ben je Dirga en ben je Bethanny? Haar vamilie?" tanya kondektur itu dengan ramah namun tegas dalam bahasa Belanda, "Weed je wie is Anyelir?"Om Dirga tersenyum ramah penuh ungkapan terima kasih dan mengatakan kalau benar, aku ini keluarga mereka. Dia juga menerangkan kalau tentu saja tahu siapa itu Anyelir. Dengan saba
Dug!Sekitar empat puluh lima menit jaraknya dari William menelepon tadi, ada seseorang mengetuk pintu. Untung, aku masih tiduran di sofa ruang keluarga sambil menonton iklan di TV. Hehe. Begitulah kenyataannya, sampai-sampai aku nggak tahu, acara apa yang sebenarnya sedang ditayangkan. What ever that maybe, terpenting Papa sudah sembuh. Sudah pulang dari rumah sakit, lalalalalala. Oooh, ooohhh, thanks God!Well, mungkin karena nggak segera kubukakan pintu, seseorang itu menekan bell. Itu pun diulanginya sampai tiga kali yang langsung kulabeli dengan seseorang yang nggak punya kesabaran. Ya ampuuun! Aku kan, bukan robot pembuka pintu atau semacamnya yang bisa langsung berlari atau bahkan melesat ke sana untuk membukanya.
Atas dasar kemanusiaan, aku meletakkan buket tulip merah jambu Kenzy di dapur, samping keranjang buah. Maksudku, biar kalau dia ikut makan malam bersama kami besok, bisa melihat buket itu dalam keadaan baik. Segar, indah dan terawat. Ya ampuuun, hal yang mustahil kulakukan kalau nggak ada Papa Snoek di sini. Kupastikan, saat ini sudah menjadi penghuni tempat sampah di luar sana. Oh nggak, sudah hanyut di sepanjang kanal Leiden. Memangnya, dia pikir itu keren? Nggak. Sama sekali nggak. Keren itu kalau pernikahan ini nggak pernah terjadi!Boom!Apa, aku bicara apa tadi?Keren itu kalau pernikahan ini nggak pernah terjadi? Auuuhhh, sakit sekali rasany
OK!Sekarang, saatnya memanjakan diri di salon. Nggak longgar sih, waktunya. Sekitar satu jam dan aku berpikir, masih cukup untuk cream bath sekaligus facial. Kalau nggak cukup? Pilih salah satu, dong? Ummm, facial? Pokoknya hari ini harus sukses menjalankan Me Time yang sudah lama kurindukan. Mendekam di salon. Haha. Haha. Selain untuk perawatan dan kecantikan, salon juga tempat pelarian terbaikku dari berbagai masalah yang ada. Bad mood? Spa. Jenuh? Facial. Marah, kecewa? Cream bath. Kalau nggak sembuh juga, berenang atau mandi ombak di pantai Parangtritis, my favourite beach. Ummm, honestly I say that it's commonly happen in Yogyakarta. Yes, not here, Sleedorn Tuin. Haha. Haha. Ini pertama kalinya dalam benakku terbersit kata salon, cream bath dan facial selama tinggal di sini.
De swiiing!William Robotman sedang menikmati kue kuping gajah sewaktu aku kembali ke ruang keluarga dengan canggung. Kulihat sekilas, kopi susunya tinggal seperempat cangkir. Jadi, aku memberanikan diri untuk mengirimkan isyarat kesibukan yang sudah menantiku sedari tadi. Terus terang rikuh rasanya kalau harus melanjutkan pekerjaan rumah sekarang, terlebih kami hanya berdua. Ya, yaaahhh, bisa saja kan William Robotman ikut membantu dan trararaaa … Menimbulkan pemikiran yang berbeda untuk orang yang melihat. Aku nggak mau kalau itu sampai terjadi. Tentu saja. Sungguh, itu, pintu belakang dan depan saja kubuka lebar-lebar, sebagai tanda kalau ada tamu laki-laki di rumah. Well, ini memang Belanda---nggak masalah laki-laki dan perempuan berada dalam satu ruangan---tapi tetap saja aku anak Mama dan Papa yang melarang untuk ak
Huuurrr … Byuuurrr, pyaaakkk!Ombak pantai Volendam yang terlihat putih jernih datang dan pergi silih berganti menyapu tubuhku yang sudah basah kuyup. Nggak, nggak ada sebutir pun rasa takut yang tertabur di pelataran hatiku, meskipun ini Belanda dan sebentar lagi senja akan datang menyapa. I love sunset very much and yeees, I need a beach for telling all my feeling. Haha. Haha. Dengarkanlah, suaraku sudah mulai serak, sekarang. Jangan tanyakan lagi, apa penyebabnya. Segala perasaan yang berjejalan dalam benak sudah kuteriakkan dengan bebas, lepas dan keras. Mungkin lebih keras dari pemain teater yang sedang gladi resik H-1 sebelum pentas. Haha. Haha. Pemain itu memerankan Miss Remuk Hati dalam cerita Menambang Luka. Hehe. Hehe. O'ooo, suaraku auto amblas, Guys!
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja