"Welcome, Aruna!"Suara itu menyentak ketiganya. Sontak mereka melepaskan pelukan. Aruna menatap heran pada Elang yang berdiri di ambang pintu. Laki-laki muda yang beberapa jam lalu masih makan siang bersamanya, kini berada di rumah megah Bagaskara.Di sampingnya, Alexei dan Isma tak kalah heran. Isma melongokkan kepala menatap ke dalam rumah. Tidak ada Bagaskara di sana. Justru pandangannya tertuju pada dua orang laki-laki asing berpakaian rapi."Elang, what are you doing here?" tanya Alexei bingung.Elang maju selangkah. Dia menepuk pundak Alexei dan berkata santai, "Ini yang aku katakan padamu tadi. Eto biznes, Alexei!" Elang terkekeh pelan, lalu mengulurkan sebelah tangan, menyilakan mereka masuk.Alexei mengernyit, lalu menatap penuh arti pada Aruna yang berdiri kaku di sampingnya. Aruna mengikuti arah pergerakan tangan Elang. Gadis itu melirik ke dalam rumah, mencari keberadaan Bagaskara.Namun, sama halnya dengan Isma, dia tidak mendapati laki-laki itu. Beberapa ART menyapa Arun
Aruna termangu menatap bangunan sederhana di depan mereka. Dia menoleh sekilas pada Alexei yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu menyandarkan punggung di body depan mobil. Rumah satu lantai dengan desain minimalis itu sangat terawat dan bersih. Hal itu nampak dari bunga-bunga yang tumbuh subur di sekitarnya."Rumah ini mengingatkan aku dengan Astrakhan, Milyy." Mendengar ucapan Alexei, Aruna langsung menatap dalam laki-laki itu. "Oh, ya? Tapi suasananya beda, pastinya!" tebaknya.Bahu Alexei terangkat sekilas. "Ya, di sana ada danau di belakang rumah. Kalau musim panas banyak angsa berenang. Kalau musim dingin kami jadikan tempat bermain ice skating!" jelasnya.Aruna semakin antusias. Dia mengubah posisi menjadi di depan laki-laki itu. Aruna melingkarkan lengan di pinggang Alexei. Laki-laki itu menunduk dan mencium kening Aruna lembut."Seminggu dari sekarang, kita akan menjadi suami istri, Milyy. Bagaimana perasaanmu?" tanya laki-laki bermata kebiruan itu lirih."Nggak sabar!" j
Alexei langsung panik. Dia melihat siluet tubuh Aruna terus meluncur turun bersama tanah becek. "Aruna! Where are you?" tanya Alexei sembari berlari turun.Laki-laki itu tidak menghiraukan kakinya menginjak-injak tanaman padi. Dia terus berlari mencari keberadaan Aruna.Sementara itu, tubuh Aruna tertahan pohon pisang yang telah roboh. "Arrrgh! Alex, help me!" teriaknya.Suara Aruna menggema di antara area persawahan yang miring. Aruna menatap sekitar dengan ngeri. Dia mengusap kakinya yang terasa perih. Berkali-kali gadis itu mendesis merasakan sakit di dekat mata kakinya."Aruna! Aruna, can you hear me?" tanya Alexei di atas sana.Dari tempatnya berdiri, Alexei mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Matanya menelisik keadaan sekitar, takut Aruna terancam bahaya. Nihil.Tempat itu hanya area persawahan dan jalan setapak berkelok. Tidak ada manusia, hanya lampu temaram 5 watt berwarna kuning sebagai penerang jalan, terombang-ambing angin. Di sekeliling, hamparan padi dihiasi orang-o
"Saya yang jadi wali nikah Aruna, Pak Halim!" Aruna masih melongo. Dia melirik Alexei yang justru menunjukkan sikap tanpa ekspresi. Elang mendekat. Laki-laki berwajah rupawan itu menatap manik hitam Aruna dengan tatapan berkabut."Jangan mendekat!" cegah Aruna sembari beringsut mundur. "Hentikan kegilaan kamu, Elang! Aku nggak pernah mengundangmu ke sini!" ucapnya setengah berteriak.Elang mengangguk samar. "Tapi aku yang menyiapkan semua tempat di sini, Aruna. Resort depan itu milikku. Perkebunan teh dan rumah itu juga milikku!" ucapnya santai.Aruna tersenyum miring. "Hh, mulai ngaco! Atau memang hobi kotormu merebut milik penduduk desa ini?" cibirnya sewot.Terdengar decakan dari mulut Elang. "Aku nggak sekotor itu, Aruna!" bantah laki-laki itu ketus."Kalau begitu, aku akan pergi dari sini. Aku bisa menikah di tempat lain!" sergah Aruna dengan suara bergetar. Gadis itu segera menarik tangan Alexei. Alexei menggeleng pelan dan justru bergeming. Aruna mengerutkan kening mendapati s
"Aruna..." Alexei menatap wanita yang belum genap 24 jam menjadi istrinya itu tak berkedip. Aruna menunduk malu-malu, sedangkan jemarinya saling meremas. Di samping Alexei, Elang memindai penampilan sang adik.Sesaat kemudian, Aruna mendongak menatap ketiganya bergantian. "Eng ... ke-napa dengan kalian? Jelek ya, Gospodin Alexei, Kak Elang, Neng?" tanyanya, lalu menggigit bibir.Alexei tidak menjawab. Dia justru mendekat dan memeluk tubuh ramping yang terbalut celana panjang, blouse lengan panjang, dan hijab. Iya, Aruna memutuskan meninggalkan semua pakaian seksinya. "Milyy, kamu lakukan ini demi siapa?" tanya Alexei sambil menciumi kepala istrinya.Elang mengusap kepala sang adik. Isma masih diam memperhatikan interaksi pengantin baru itu. Aruna mendongak menatap wajah Alexei. Kedua lengannya sedikit terangkat dan mengusap kedua belah pipi Alexei."Aku ingin mulai dari awal, Alex. Aku ingin menjadi istrimu yang baik. Aku ingin menjadi muslimah yang baik. Kita mulai sama-sama supaya
Bagaskara kembali terperangah. Tidak tahan lagi, laki-laki itu menggebrak meja. Brakk!Elang masih bersikap santai menatap laki-laki yang mulai terpancing emosi itu. "Apa Anda tidak mengerti aturan berbisnis Saudara Elang? Kita sudah tanda tangan di atas berkas itu!" Elang mengangguk-angguk. "Anda salah, Pak Tua! Saya sangat memahami bisnis. Berkas itu hanya sampah, tidak ada nilainya sama sekali bagi saya!" ejeknya lagi.Kedua tangan Bagaskara terkepal erat. "Kurang ajar sekali, Anda. Saya akan bawa kasus ini ke jalur hukum!" Bagaskara mulai mengancam.Lagi-lagi, Elang bergeming dengan ancaman Bagaskara. Laki-laki sebaya Gerald itu hanya terkekeh sembari menggigit ujung ballpoint. Bagaskara tertegun melihat hal itu. Laki-laki tua itu menatap manik hitam pemuda kurang ajar di depannya."Sudahlah, katakan tujuan Anda ke sini, Saudara Elang!" ucap Bagaskara melunak.Elang sedikit mencondongkan badan ke arah Bagaskara. Dua pasang mata itu saling tatap mewakili pikiran masing-masing. Di
"Jalan!" perintah Coky pada laki-laki di belakang kemudi.Coky melirik tubuh Isma yang tergolek di jok belakang. Laki-laki itu terkekeh pelan. Mobil terus melaju sampai pada sebuah rumah. Coky segera menelepon seseorang.Byur!Isma mengerjap, merasakan air dingin mengguyur wajah dan kepalanya. Gadis itu memegangi kepalanya yang terasa berat. Lalu, menatap silau pada cahaya lampu ruangan itu.Pandangan Isma lantas berhenti pada tiga orang yang duduk santai di sofa seberangnya. Isma berusaha menggerakkan kaki dan tangan, namun dia sadar kaki dan tangannya ternyata diikat."Lepaskan aku! Siapa kalian?" Isma berteriak sambil terus berusaha menggerakkan kaki dan tangan. Berharap ikatan itu lepas. Coky terkekeh. "Semakin kamu bergerak, tali itu semakin melukaimu, Manis! Ck, nggak nyangka aku. Aruna punya asisten yang lumayan manis!" ucap Coky sambil mendekat."Jangan sentuh aku! Mau apa kamu?" Tangan Coky terulur dan mengusap pipi Isma. Isma segera memalingkan wajah. "Kamu pasti tahu kan,
Belum hilang rasa terkejutnya, Alexei kembali dikejutkan keadaan Aruna yang pingsan. Laki-laki itu segera menggendong Aruna dan membawanya kembali ke tempat tidur."Milyy, bangun!" Alexei menepuk pelan pipi istrinya. "Milyy, ya Allah, kamu kenapa?" Laki-laki itu mulai panik.Alexei hendak mengganti baju Aruna, bermaksud membawa sang istri ke klinik terdekat. Namun, terdengar rintihan lirih dari mulut wanita itu.Aruna mengerjap dan kembali menangis histeris. Dia tidak tahu, mengapa Julio yang selama ini dikenalnya begitu baik bisa membunuh Isma.Alexei mendekat sambil mengulurkan segelas air putih."Kita tidak tahu yang sebenarnya. Kamu tenanglah, aku akan menghubungi Julio lagi!" ujarnya menenangkan.Aruna mengubah posisi menjadi duduk dan meraih gelas dengan tangan gemetar. "Kita harus kembali ke Jakarta, Alex!" ucapnya tanpa bisa menghentikan air mata yang terus menetes."Besok pagi-pagi kita ke Jakarta. Sekarang, kamu tidurlah!" titah Alexei tegas."Mana bisa aku tidur, Alex? Aku