Alexei menatap dalam pada Aruna yang masih mematung di depan pintu. Suasana menjadi kaku semenjak kepergian Gerald beberapa menit lalu."Aku tidak tahu kalau Gerald itu kakakmu. Sepertinya aku sering melihatnya ketika kamu shooting," ucap Alexei memecah kecanggungan.Aruna menoleh dan tersenyum samar. Gadis itu kembali duduk di sofa. Aruna menyatukan jari-jarinya di atas pangkuan. Alexei mengambil tempat duduk di samping Aruna dan meraih tangan gadis itu."Ada apa sebenarnya?" tanya Alexei hati-hati. Sebelah tangan Alexei terulur mengusap pipi Aruna yang sedikit memar. "Bisa kamu katakan sesuatu selama aku pergi, Milyy?" lanjutnya lirih.Kedua mata Aruna kembali berkaca-kaca. Hatinya terlalu sakit menerima kenyataan jika Bagaskara bukan ayahnya. Apalagi, laki-laki itu mengatakan dirinya anak haram. Sangat menyakitkan! Dulu, Aruna mengira hanya sang ibu yang tidak menginginkannya, sekarang ayahnya juga begitu.Aruna mengedip pelan, membiarkan air matanya jatuh ke pipi. "Bagaskara is not
Alexei terbelalak kaget. Dia melepaskan pelukan pada saat itu juga. Ditatapnya manik hitam Aruna yang tergenang air mata. Wajah gadis itu sembab, kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis."Sebenarnya ada apa ini, Aruna? Apa kamu mengetahui sesuatu? Katakan!" tanya Alexei tegas sembari duduk.Aruna ikut duduk dan menggeleng samar. Dia mengusap-usap wajahnya yang basah oleh air mata. Alexei menatap dalam gadis yang bersimpuh di depannya itu.Alexei beralih memegang pundak Aruna. "Please tell me, Aruna! Do you know something?" ulangnya lirih.Kedua mata Aruna terpejam rapat. Lalu dia mengangguk berkali-kali. Tangan Alexei beralih memegang wajah Aruna. Sedangkan Aruna justru tidak berani membalas tatapan Alexei."Aku, aku lihat....""Lihat apa, Milyy!" sahut Alexei cepat. "Zero, five, zero, five. The number..." Aruna menggeleng, lalu menutup telinganya dengan telapak tangan.Alexei meraih tangan gadis itu dan memeluknya. "Ya, sudah. Besok saja kamu jelaskan. Aku tahu kamu tra
Bagaskara mengangguk sekali lagi. "Iya, sampaikan pada Elang, aku menawarkan kerjasama yang lebih menguntungkan daripada sekadar aset Bumi Perkasa!" ujarnya.Laki-laki misterius yang ternyata anak buah Elang itu terdiam. Dia menyimak setiap detail ucapan Bagaskara. Bagaskara tersenyum sekilas mendapati lawan bicaranya mulai melunak."Bagaimana?" tanya Bagaskara memastikan. "Bumi Perkasa sekarang mengalami defisit. Apa Elang mau mengelolanya dan menjadikan perusahaan itu sebesar sepuluh tahun lalu?" Bagaskara masih berusaha bernegosiasi."Baiklah, akan saya katakan pada Tuan Elang." Laki-laki itu mengangguk menyetujui. "Tapi jika Anda ingkar satu kata saja, saya pastikan Anda tidak akan bisa melihat matahari lagi!" ancamnya sambil memasukkan pistol ke balik pinggangnya.Kembali Bagaskara tersenyum satu sudut. "Saya seorang pebisnis sukses, tidak mungkin ingkar janji. Jika Elang tidak macam-macam pada kerjasama ini!" tegasnya.Laki-laki itu bangkit. Dia menatap sebentar pada Bagaskara.
"Alexei!" Elang menatap tajam pada Alexei yang salah tingkah. Lalu, pandangan laki-laki itu beralih pada Aruna dengan datar. Tak enak hati, Aruna mendorong pelan dada Alexei yang berdiri tepat di depannya hampir tanpa jarak."Em, Milyy, dia bosku dan juga ...""Teman Alexei!" sahut Elang cepat sambil mengulurkan tangan pada Aruna. "Senang bisa bertemu artis terkenal seperti Anda, Nona!" ucapnya dengan tatapan penuh arti.Aruna mengangguk kaku dan membalas uluran tangan Elang sebentar. Aruna dan Elang saling pandang. Semakin lama menatap mata Aruna, detak jantung Elang semakin tak terkendali. Aruna memutus pandangan lebih dahulu. Di sebelahnya, Alexei kembali menunjukkan sikap posesif.Alexei menatap keduanya, kemudian berdehem lirih. "Ayo, kita makan siang. Ini masakan calon istriku!" tunjuknya pada nasi ayam di dalam mangkuk besar.Suwiran daging ayam bercampur bawang goreng di atas nasi hangat, membuat Elang menelan ludah berat. Bukan masalah rasa nasi ayam yang dipastikan enak, te
Pesona dan kemolekan tubuh Aruna seperti candu bagi Alexei. Keduanya terus meniti puncak kenikmatan bersama. Seprei yang tadi tertata rapi, kini sudah kusut masai. Bahkan, bantal dan pakaian mereka berserakan di bawah tempat tidur begitu saja. Suara desahan lirih bersahutan di kamar mewah itu.Aruna melenguh berkali-kali. Dia mencengkeram seprei dengan erat ketika sang kekasih memujanya di puncak kenikmatan. Alexei mencium bibir basah Aruna dan mendekap tubuh molek gadis itu."Thank you, Milyy. I love you," bisik Alexei sembari mengatur napasnya.Aruna mengusap keringat di dahi Alexei. Kedua lengannya melingkari bahu sang kekasih. "Biarkan begini dulu, Alex," balasnya, lalu mencium pipi Alexei.Berulang kali, Alexei menciumi wajah lembab Aruna sembari terus mengucapkan kata-kata romantis. Alexei tidak ingin lagi kehilangan kekasihnya itu. Di bawahnya, Aruna mencibir dan meledek Alexei tengah mengucapkan rayuan gombal. Alexei tertawa kecil. Dia memang seperti kehilangan kewarasan ketika
"Welcome, Aruna!"Suara itu menyentak ketiganya. Sontak mereka melepaskan pelukan. Aruna menatap heran pada Elang yang berdiri di ambang pintu. Laki-laki muda yang beberapa jam lalu masih makan siang bersamanya, kini berada di rumah megah Bagaskara.Di sampingnya, Alexei dan Isma tak kalah heran. Isma melongokkan kepala menatap ke dalam rumah. Tidak ada Bagaskara di sana. Justru pandangannya tertuju pada dua orang laki-laki asing berpakaian rapi."Elang, what are you doing here?" tanya Alexei bingung.Elang maju selangkah. Dia menepuk pundak Alexei dan berkata santai, "Ini yang aku katakan padamu tadi. Eto biznes, Alexei!" Elang terkekeh pelan, lalu mengulurkan sebelah tangan, menyilakan mereka masuk.Alexei mengernyit, lalu menatap penuh arti pada Aruna yang berdiri kaku di sampingnya. Aruna mengikuti arah pergerakan tangan Elang. Gadis itu melirik ke dalam rumah, mencari keberadaan Bagaskara.Namun, sama halnya dengan Isma, dia tidak mendapati laki-laki itu. Beberapa ART menyapa Arun
Aruna termangu menatap bangunan sederhana di depan mereka. Dia menoleh sekilas pada Alexei yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu menyandarkan punggung di body depan mobil. Rumah satu lantai dengan desain minimalis itu sangat terawat dan bersih. Hal itu nampak dari bunga-bunga yang tumbuh subur di sekitarnya."Rumah ini mengingatkan aku dengan Astrakhan, Milyy." Mendengar ucapan Alexei, Aruna langsung menatap dalam laki-laki itu. "Oh, ya? Tapi suasananya beda, pastinya!" tebaknya.Bahu Alexei terangkat sekilas. "Ya, di sana ada danau di belakang rumah. Kalau musim panas banyak angsa berenang. Kalau musim dingin kami jadikan tempat bermain ice skating!" jelasnya.Aruna semakin antusias. Dia mengubah posisi menjadi di depan laki-laki itu. Aruna melingkarkan lengan di pinggang Alexei. Laki-laki itu menunduk dan mencium kening Aruna lembut."Seminggu dari sekarang, kita akan menjadi suami istri, Milyy. Bagaimana perasaanmu?" tanya laki-laki bermata kebiruan itu lirih."Nggak sabar!" j
Alexei langsung panik. Dia melihat siluet tubuh Aruna terus meluncur turun bersama tanah becek. "Aruna! Where are you?" tanya Alexei sembari berlari turun.Laki-laki itu tidak menghiraukan kakinya menginjak-injak tanaman padi. Dia terus berlari mencari keberadaan Aruna.Sementara itu, tubuh Aruna tertahan pohon pisang yang telah roboh. "Arrrgh! Alex, help me!" teriaknya.Suara Aruna menggema di antara area persawahan yang miring. Aruna menatap sekitar dengan ngeri. Dia mengusap kakinya yang terasa perih. Berkali-kali gadis itu mendesis merasakan sakit di dekat mata kakinya."Aruna! Aruna, can you hear me?" tanya Alexei di atas sana.Dari tempatnya berdiri, Alexei mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Matanya menelisik keadaan sekitar, takut Aruna terancam bahaya. Nihil.Tempat itu hanya area persawahan dan jalan setapak berkelok. Tidak ada manusia, hanya lampu temaram 5 watt berwarna kuning sebagai penerang jalan, terombang-ambing angin. Di sekeliling, hamparan padi dihiasi orang-o