Aruna berganti mencari keberadaan Bagaskara. Di saat seperti ini, Aruna butuh kehadiran laki-laki itu. Isma terus membuntuti Aruna dengan tatapan miris."Papa, kenapa Papa juga nggak pulang, sih?" Aruna geram sendiri.Beberapa kali mencoba menelepon Bagaskara, tetapi laki-laki itu tidak mengangkat teleponnya. Aruna berhenti pada kontak aplikasi Alexei. Tatapan matanya kembali mengembun melihat foto profil laki-laki itu. "Mbak, sudah! Hari ini Mbak ada dua schedule!" tegur Isma.Aruna mengangguk. Dia mengikuti Isma kembali ke kamar. Susah payah, Isma mendandani Aruna supaya sembab di wajah gadis itu tersamarkan. Isma menarik napas pelan, melihat tumpukan baju-baju yang dibelikan Alexei kemarin.Meskipun tim MUA membubuhkan make up nyaris sempurna, toh tidak bisa menyamarkan kedua mata Aruna yang membengkak. Tidak seperti biasa, hari ini artis itu irit bicara dan senyum."Apa ada sesuatu, Run?" tanya seorang host, ketika tanpa sengaja tidak melihat keberadaan cincin di jari manis Aruna
"Tuan, petinggi polisi itu tidak bisa disuap. Mereka tetap bersikukuh melanjutkan penyelidikan!"Mendengar ucapan Coky, Bagaskara memijit pelipisnya. Kedua mata lelaki itu terpejam. "Tidak ada jalan lain, selain membayar kerugian dan membiarkan barang itu disita negara, Coky. Lebih baik aku kehilangan salah satu asetku daripada harus berurusan dengan polisi. Coba apa yang terjadi dengan karir Aruna jika aku di penjara?" ucapnya lirih. Isi kepala Bagaskara sudah kosong.Coky mengangguk-angguk. Laki-laki itu sedikit mencondongkan badan ke arah Bagaskara. Bagaskara menatapnya penuh arti. Laki-laki tua itu sudah tidak memiliki jalan keluar lagi. Bagaskara juga heran. Tawaran uang yang cukup besar tidak menarik perhatian petinggi kepolisian itu."Tuan!" Coky memanggil pelan. "Bagaimana kalau saya tamatkan saja dia," cetusnya."Coky!" sentak Bagaskara tidak suka. "Kalau kamu lakukan itu, sama saja membawaku ke penjara! Jangan main-main kamu!" lanjutnya marah.Coky nyengir kecil. Jiwa preman
"Aku nggak bisa mengatakan sama kamu, Neng!" jawab Aruna.Isma menarik napas pelan, lalu mengangguk berusaha memahami keputusan bosnya. Sedangkan Aruna kembali termenung di sisi tempat tidur. Hatinya semakin sakit teringat Alexei tadi. Hati dan egonya bertentangan. Berusaha keras melepaskan, tetapi semakin sulit melupakan."Hmm, ya, baiklah. Kalau memang Mbak Runa nggak mau cerita. Tapi, setidaknya kasih kesempatan Gospodin Alexei menjelaskan kesalahannya, Mbak!""Dia nggak salah, Neng. Alexei nggak pernah salah," ucap Aruna lesu.Isma menggaruk pelipis semakin tidak mengerti. "Ya, kalau gitu kalian balikan, Mbak. Apa pun masalahnya, bisa dibicarakan baik-baik, Mbak!" Isma mulai bersikeras.Aruna menggeleng berkali-kali. "Nggak, nggak! Kami lebih baik nggak bersama. Ada hal besar yang menghalangi kami bersama!" jelasnya, lalu mulai menangis.Rasanya, sudah cukup banyak air mata itu membasahi pipinya. Aruna juga lelah menangis. Dia berharap bisa melupakan semua kenangan indahnya bersama
Belinda membuang napas lega. Menurutnya menghadapi Coky jauh lebih menyeramkan daripada menghadapi Bagaskara. Ngomong-ngomong tentang Bagaskara, Belinda langsung mengernyit. Ke mana laki-laki gudang uangnya itu?Sudah lama dia tidak melihat mantan suaminya itu. Belinda mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jari yang warna kukunya merah menyala."Apa dia sudah mati, ya?" tanya Belinda retoris. "Tapi kalau Bagaskara mati sebelum membuat surat warisan untuk Gery, alamat miskin aku." Belinda melanjutkan khayalannya kemudian bergidik ngeri.Dia tidak ingin hidup miskin seperti dulu. Dia harus tetap menjadi kaum sosialita. Apa pun caranya. Termasuk membunuh Aruna. Uang dua milyar lumayan besar untuk memenuhi hidup sosialitanya. Belinda segera melajukan mobil menuju rumahnya yang sepi. Semenjak sering berselisih paham, Gerald jarang pulang ke rumah..Untuk menghindari perdebatan dengan mamanya, pemuda itu memilih tinggal di apartment yang tidak terlalu jauh dari kantor. Belinda menarik napas pa
Laki-laki yang masih memeluk Aruna itu kembali tersenyum. Mendapatkan kesempatan di depan mata, menghabiskan sepanjang malam dengan artis maka tidak akan disia-siakan. Laki-laki itu memapah Aruna yang mulai kehilangan kesadaran akibat pengaruh alkohol.Bugh!"Lepaskan dia, setan!" Sebuah pukulan mendarat di rahang laki-laki sedikit mabuk itu. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Laki-laki itu hendak membalas, tetapi seorang security dengan sigap melerai."Jangan buat keributan!" "Lepaskan gue!" Laki-laki itu berusaha melawan. Dia mengumpat berkali-kali karena usahanya berkencan dengan Aruna gagal total.Aruna mengerjap berkali-kali sambil memegangi kepalanya yang berdenyut pusing. Dia hanya menurut ketika Pak Amir menarik tangannya untuk keluar dari klub malam."Masuk, Non!" perintah Pak Amir sembari membantu Aruna. Gadis itu hanya menurut dan meringkuk di jok belakang. Pak Amir segera melajukan mobil meninggalkan tempat parkir. Tepat bersamaan, seorang pemuda memarkir motornya di
Laki-laki itu mendorong pelan tubuh Aruna ke tempat tidur. Misinya tinggal beberapa kedipan lagi. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggu. Terdengar suara gaduh di luar kamar.Dia menoleh pada dua orang temannya dengan kening berkerut. "Suara apa itu?" tanyanya lalu duduk tegak.Bugh!Bugh!Arrrgh!"Diam di situ kalian, atau aku lempar ke sungai!" teriak Gerald pada dua orang laki-laki yang sudah babak belur.Kedua orang yang diketahui sebagai security villa itu tidak berkutik. Apalagi, Gerald juga mengikat tubuh mereka. Gerald menatap Alexei lalu mengangguk.Brak!Pintu terbuka lebar oleh dobrakan kedua laki-laki jago bela diri itu. Alexei tertegun mendapati tubuh Aruna yang nyaris tidak berbusana tergolek di atas tempat tidur. Di dekat tempat tidur, tiga orang laki-laki berbadan tegap menatap garang pada Alexei dan Gerald.Alexei mendekat dengan waspada. "Fuck!" umpatnya, lalu menendang perut laki-laki berbadan kekar itu. Alexei langsung menarik selimut dan melemparkan ke arah
Alexei menatap dalam pada Aruna yang masih mematung di depan pintu. Suasana menjadi kaku semenjak kepergian Gerald beberapa menit lalu."Aku tidak tahu kalau Gerald itu kakakmu. Sepertinya aku sering melihatnya ketika kamu shooting," ucap Alexei memecah kecanggungan.Aruna menoleh dan tersenyum samar. Gadis itu kembali duduk di sofa. Aruna menyatukan jari-jarinya di atas pangkuan. Alexei mengambil tempat duduk di samping Aruna dan meraih tangan gadis itu."Ada apa sebenarnya?" tanya Alexei hati-hati. Sebelah tangan Alexei terulur mengusap pipi Aruna yang sedikit memar. "Bisa kamu katakan sesuatu selama aku pergi, Milyy?" lanjutnya lirih.Kedua mata Aruna kembali berkaca-kaca. Hatinya terlalu sakit menerima kenyataan jika Bagaskara bukan ayahnya. Apalagi, laki-laki itu mengatakan dirinya anak haram. Sangat menyakitkan! Dulu, Aruna mengira hanya sang ibu yang tidak menginginkannya, sekarang ayahnya juga begitu.Aruna mengedip pelan, membiarkan air matanya jatuh ke pipi. "Bagaskara is not
Alexei terbelalak kaget. Dia melepaskan pelukan pada saat itu juga. Ditatapnya manik hitam Aruna yang tergenang air mata. Wajah gadis itu sembab, kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis."Sebenarnya ada apa ini, Aruna? Apa kamu mengetahui sesuatu? Katakan!" tanya Alexei tegas sembari duduk.Aruna ikut duduk dan menggeleng samar. Dia mengusap-usap wajahnya yang basah oleh air mata. Alexei menatap dalam gadis yang bersimpuh di depannya itu.Alexei beralih memegang pundak Aruna. "Please tell me, Aruna! Do you know something?" ulangnya lirih.Kedua mata Aruna terpejam rapat. Lalu dia mengangguk berkali-kali. Tangan Alexei beralih memegang wajah Aruna. Sedangkan Aruna justru tidak berani membalas tatapan Alexei."Aku, aku lihat....""Lihat apa, Milyy!" sahut Alexei cepat. "Zero, five, zero, five. The number..." Aruna menggeleng, lalu menutup telinganya dengan telapak tangan.Alexei meraih tangan gadis itu dan memeluknya. "Ya, sudah. Besok saja kamu jelaskan. Aku tahu kamu tra
Dor!Bagaskara mengerang kesakitan dan tubuhnya ambruk ke tanah. Semua tersentak. Aruna dan Alexei kompak menatap ke arah Elang yang berdiri di belakang Bagaskara dengan pistol terarah ke laki-laki tua itu."Begini, kan, yang kamu lakukan pada papaku dulu? Kamu ingat Bagaskara? Setelah kamu berhasil menyingkirkan aku dan Mama dari keluarga Sasmito, kamu juga menghabisi Papa Hendra. Apa salahnya Papa padamu? Bukankah Papa sudah mengalah segala-galanya dan membiarkanmu mengambil Mama? Tapi kamu justru mengkhianatinya, Bagaskara!" cecar Elang dengan suara bergetar."Bay ... Bayu ...." Bagaskara mendesis merasakan nyeri luar biasa di bahunya.Aruna tersentak. Dia menatap tubuh Bagaskara yang bersimbah darah. Wanita itu bangkit lalu mendekat. Pistol Bayu masih mengarah pada Bagaskara. Melihat Bagaskara tidak berdaya, hatinya terasa sakit. Kini, dendam itu memang telah terbayar, tetapi dia juga menyesal telah menyakiti orang yang pernah menyayanginya."Kakak, sudah! Jangan bunuh Papa!" teria
Tangan Aruna gemetar memegang benda dengan jenis Glock 17 berwarna hitam itu. Kedua matanya terpejam rapat tidak berani menatap objek yang merupakan boneka di depan sana."Jangan tegang, Aruna. Fokus, konsentrasi pada satu titik yang akan kamu tembak. Kamu harus bisa menentukan waktunya secepat mungkin sebelum musuh menembakmu!" Bagaskara terus menyemangati.Aruna menggeleng pelan. Dia meluruhkan tubuhnya di depan Bagaskara dan mendongak dengan tatapan memohon. Bagaskara masih berusaha bersabar menghadapi sikap Aruna yang dinilai sangat lemah itu."Aku nggak mau, Papa! Aku nggak mau jadi pembunuh!" Bagaskara menarik napas lelah. "Papa nggak memintamu jadi pembunuh, Aruna. Papa hanya ingin kamu bisa membela dirimu sendiri ketika orang-orang yang membenci Papa hendak mencelakaimu. Apa kamu ingin terus dikawal? Nggak, kan?" rayu Bagaskara lagi. "Ayolah, Sayang. Papa menyayangimu dan melindungimu dari bayi dengan segenap cinta Papa, Runa. Lakukan hal ini untuk Papa. Papa nggak ingin jika
"Aruna, ini Papa, Sayang! Kenapa kamu pergi nggak kasih kabar, Aruna?" Aruna mundur selangkah sambil menggeleng pelan. Dia semakin ketakutan ketika dua orang laki-laki itu memepetnya. Di depannya, laki-laki berwujud lain, namun aslinya Bagaskara itu, tersenyum. Bagaskara merentangkan kedua tangan meminta Aruna memeluknya. Akan tetapi, Aruna justru kembali mundur selangkah dan tubuhnya menabrak salah satu pria pengawal Bagaskara."Jangan takut. Kita akan menyelamatkan Anda dari keluarga Yevgeny yang hendak mencelakaimu, Nona!"Aruna menggeleng berkali-kali. Dia benar-benar dalam situasi yang sulit. Aruna ingin mempercayai ucapan Alexei, tetapi pembicaraan dengan kedua orang tuanya, memupus keyakinan Aruna. Sedangkan untuk percaya pada Bagaskara, nyatanya laki-laki itu pimpinan mafia yang tengah diburu Interpol dan kepolisian Indonesia."Nggak, Anda bukan Papa. Anda bukan Bagaskara!" teriak Aruna ragu. Dia menoleh pada laki-laki yang memegang kedua lengannya. "Lepaskan saya! Let's me g
Sepasang mata bulat Aruna semakin terbuka lebar. Perencanaan pembunuhan pada dirinya? Jadi, dia dan Alenadra memang benar diincar orang yang sama?Tatapan mata Alexei berubah sendu. Dalam hati yang terdalam tidak tega mengatakan pada Aruna tentang sepak terjang Bagaskara. Apalagi dalam keadaan Aruna hamil besar. Tangan laki-laki itu bergerak mengusap-usap perut Aruna."Orang yang sama? Jadi, kecurigaanku dari dulu itu benar, Alex?" tanyanya parau.Alexei tidak langsung menjawab. Laki-laki itu justru memeluk istrinya dan mengerjapkan mata menyembunyikan air mata di kepala Aruna."Jangan takut. Aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu, Milyy. Ada aku dan Elang. Julio juga membantu kita. Sekarang, laki-laki itu diburu Interpol," jelasnya hati-hati. Aruna langsung mendorong dada Alexei. "Julio? Nggak, nggak!" sahutnya dengan wajah mendadak marah. "Julio itu pengkhianat! Kamu pikir dia setia padamu dan Elang? Dia yang memberikan informasi kedatanganku ke Russia sehingga Tuan Ruslanov tah
"Chto oni s toboy sdelali, Milyy?"Air mata Aruna tiba-tiba mengambang. Dia bangkit perlahan, lalu mengerjap berkali-kali. Aruna menoleh pada sang mama, seolah menyakinkan jika penglihatannya tidak salah. Kinasih tersenyum lalu bangkit dan mengusap-usap bahu Aruna.Alexei menatap nanar pada istrinya, lalu turun ke perut besar wanita itu. Alexei merentangkan kedua tangan menyambut sang istri ke dalam pelukan. "Aku kangen kamu, Alexei. Aku kangen kamu!" ucap Aruna emosional."Me too, Milyy. I am sorry, Milyy!" Alexei menciumi pipi sang istri, lalu mengusap perut wanita itu. "Bagaimana kabarnya?" tanyanya dengan suara bergetar. Manik kebiruan itu berkabut saat menatap perut Aruna. Alexei merasa bersalah karena tidak bisa menemani Aruna menjalani masa-masa kehamilan. "Dia juga merindukanmu, Alex! Apa kabarmu, Milyy?" Alexei melepaskan pelukan, kemudian memindai penampilannya sendiri. "Masih seperti dulu, Alexei mantan bodyguardmu yang kaku dan menyebalkan, Aruna!" kekehnya.Aruna ters
"Pak Bagaskara, kami hitung sampai tiga, mohon kerjasamanya!""Satu ... dua ... tiga!"Tidak ada jawaban dari pemilik rumah. Namun, suara mencurigakan itu masih terdengar dari lantai atas. Dua orang polisi lantas naik ke sana. Mereka menyisir beberapa sudut ruangan. Dua kamar di lantai dua rumah megah itu juga kosong.Masih ada satu kamar dalam keadaan tertutup. Dari dalam kamar itu terdengar asal muasal suara mencurigakan. "Aah! Ouh ... iya, terus! Jangan berhenti, sedikit lagi, Babe!"Dua orang polisi itu pun saling pandang dan menggaruk tengkuk mereka. Suara desahan diiringi suara pekikan kenikmatan masih terdengar cukup menggelitik telinga.Tok ... tok ... tok!Pintu diketuk dari luar, tetapi rupanya mereka yang di dalam tidak menghiraukan suara ketukan pintu. Atau mereka memang enggan mendengarkan karena merasa terganggu dan tanggung? Entahlah!Beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda mereka menyudahi aktivitas panas di siang hari yang terik ini. Suara desahan itu masih sa
Mendengar tembakan itu, Bagaskara tertegun. Laki-laki itu kembali turun dari mobil dan melangkah cepat menuju ke tempat di mana Alenadra merengang nyawa.Di tumpukan kardus itu, Alenadra meringkuk sambil terus memegangi perutnya. "Mne zhal', chto ya ne smog zashchitit' tebya. Pozzhe rasskazhi svoyemu Angelu, kto eto s nami sdelal." (Maafkan aku tidak bisa melindungimu. Kelak katakan pada malaikat, siapa yang melakukan ini pada kita.") Bibir Alenadra bergerak pelan. Suara lirih itu mampu ditangkap telinga Bagaskara."Alenadra!" Bagaskara menatap nanar ke arah gadis di depannya. Alenadra menatapnya sayu, lalu menyunggingkan senyum. "Thanks for loving me!" ucapnya lalu memejamkan mata. "Moy brat podberet menya i spaset nas," (Kakakku akan datang menjemputku, dia akan menyelamatkan kami) lanjutnya sangat lemah.Bagaskara dan anak buahnya kompak saling pandang. "Tuan, ada mobil ke sini. Kita tinggalkan tempat ini. We go now!" seru salah satu dari mereka.Bagaskara menatap sekali lagi pad
"Aku tadinya nggak percaya, Alex. Tapi itulah fakta yang terkuak tentang mertuamu." "Kasihan sekali Elang dan Aruna," sesal Alexei lirih. Julio mengangguk samar, lalu menepuk pelan bahu Alexei. Julio segera membereskan beberapa barangnya ke dalam ransel. Dia kembali membantu Alexei untuk berbaring. "Alex, aku pergi dulu. Aku harus mengurus beberapa dokumenmu. Setelah kamu kuat, cepat kembalilah ke Russia.""Spasibo, Julio."Julio kembali mengangguk dan menoleh sekali lagi pada sahabatnya. Laki-laki itu menggantung ransel ke bahunya kemudian benar-benar pergi dari ruang perawatan Alexei."Kamu harus menerima semua yang kamu perbuat, Bagaskara. Aku tidak menyangka kamu adalah iblis. Alenadra dan Hendra Langit tidak akan tenang selama kamu masih berkeliaran."Alexei mengambil handphone yang sejak tadi dianggurkan di atas nakas. Alexei segera membuka galeri foto. Hal pertama yang dicari adalah foto Aruna. Namun, Alexei tidak punya keberanian untuk menghubungi istrinya itu meskipun rasa
"Hidupnya siapa, Mama? Coba aku lihat, Mama lagi bicara sama siapa?" tanya Aruna dengan tangan terulur.Tatapan mata wanita itu tertuju pada kantong baju Kinasih. Kinasih yang tidak bisa berkelit lagi, menarik napas pelan dan mengambil handphone. Diberikannya benda berwarna hitam itu dengan ragu.Aruna membuka log panggilan. Tidak menemukan hal yang dicari di situ. Lalu, jari telunjuk Aruna membuka room chat. Elang sedang mengetik pesan....Aruna segera membuka pesan singkat dari kakaknya itu. Dua baris kalimat yang mengabarkan Bagaskara dan Alexei sama-sama berada di rumah sakit. Banyak pertanyaan berkecamuk di benak Aruna. "Alexei? Jadi, jadi ... dia ...." Jari-jari Aruna masih mengambang di atas handphone.Aruna menatap Kinasih dengan tatapan menuntut jawaban. Kinasih hanya menggeleng lemah karena memang dirinya tidak tahu menahu tentang kepergian Alexei ke Indonesia. "Mama juga tidak tahu, Sayang. Sepertinya ada sesuatu sehingga Alexei pergi ke sana. Mama juga heran, kenapa dia