"Tuan, petinggi polisi itu tidak bisa disuap. Mereka tetap bersikukuh melanjutkan penyelidikan!"Mendengar ucapan Coky, Bagaskara memijit pelipisnya. Kedua mata lelaki itu terpejam. "Tidak ada jalan lain, selain membayar kerugian dan membiarkan barang itu disita negara, Coky. Lebih baik aku kehilangan salah satu asetku daripada harus berurusan dengan polisi. Coba apa yang terjadi dengan karir Aruna jika aku di penjara?" ucapnya lirih. Isi kepala Bagaskara sudah kosong.Coky mengangguk-angguk. Laki-laki itu sedikit mencondongkan badan ke arah Bagaskara. Bagaskara menatapnya penuh arti. Laki-laki tua itu sudah tidak memiliki jalan keluar lagi. Bagaskara juga heran. Tawaran uang yang cukup besar tidak menarik perhatian petinggi kepolisian itu."Tuan!" Coky memanggil pelan. "Bagaimana kalau saya tamatkan saja dia," cetusnya."Coky!" sentak Bagaskara tidak suka. "Kalau kamu lakukan itu, sama saja membawaku ke penjara! Jangan main-main kamu!" lanjutnya marah.Coky nyengir kecil. Jiwa preman
"Aku nggak bisa mengatakan sama kamu, Neng!" jawab Aruna.Isma menarik napas pelan, lalu mengangguk berusaha memahami keputusan bosnya. Sedangkan Aruna kembali termenung di sisi tempat tidur. Hatinya semakin sakit teringat Alexei tadi. Hati dan egonya bertentangan. Berusaha keras melepaskan, tetapi semakin sulit melupakan."Hmm, ya, baiklah. Kalau memang Mbak Runa nggak mau cerita. Tapi, setidaknya kasih kesempatan Gospodin Alexei menjelaskan kesalahannya, Mbak!""Dia nggak salah, Neng. Alexei nggak pernah salah," ucap Aruna lesu.Isma menggaruk pelipis semakin tidak mengerti. "Ya, kalau gitu kalian balikan, Mbak. Apa pun masalahnya, bisa dibicarakan baik-baik, Mbak!" Isma mulai bersikeras.Aruna menggeleng berkali-kali. "Nggak, nggak! Kami lebih baik nggak bersama. Ada hal besar yang menghalangi kami bersama!" jelasnya, lalu mulai menangis.Rasanya, sudah cukup banyak air mata itu membasahi pipinya. Aruna juga lelah menangis. Dia berharap bisa melupakan semua kenangan indahnya bersama
Belinda membuang napas lega. Menurutnya menghadapi Coky jauh lebih menyeramkan daripada menghadapi Bagaskara. Ngomong-ngomong tentang Bagaskara, Belinda langsung mengernyit. Ke mana laki-laki gudang uangnya itu?Sudah lama dia tidak melihat mantan suaminya itu. Belinda mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jari yang warna kukunya merah menyala."Apa dia sudah mati, ya?" tanya Belinda retoris. "Tapi kalau Bagaskara mati sebelum membuat surat warisan untuk Gery, alamat miskin aku." Belinda melanjutkan khayalannya kemudian bergidik ngeri.Dia tidak ingin hidup miskin seperti dulu. Dia harus tetap menjadi kaum sosialita. Apa pun caranya. Termasuk membunuh Aruna. Uang dua milyar lumayan besar untuk memenuhi hidup sosialitanya. Belinda segera melajukan mobil menuju rumahnya yang sepi. Semenjak sering berselisih paham, Gerald jarang pulang ke rumah..Untuk menghindari perdebatan dengan mamanya, pemuda itu memilih tinggal di apartment yang tidak terlalu jauh dari kantor. Belinda menarik napas pa
Laki-laki yang masih memeluk Aruna itu kembali tersenyum. Mendapatkan kesempatan di depan mata, menghabiskan sepanjang malam dengan artis maka tidak akan disia-siakan. Laki-laki itu memapah Aruna yang mulai kehilangan kesadaran akibat pengaruh alkohol.Bugh!"Lepaskan dia, setan!" Sebuah pukulan mendarat di rahang laki-laki sedikit mabuk itu. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Laki-laki itu hendak membalas, tetapi seorang security dengan sigap melerai."Jangan buat keributan!" "Lepaskan gue!" Laki-laki itu berusaha melawan. Dia mengumpat berkali-kali karena usahanya berkencan dengan Aruna gagal total.Aruna mengerjap berkali-kali sambil memegangi kepalanya yang berdenyut pusing. Dia hanya menurut ketika Pak Amir menarik tangannya untuk keluar dari klub malam."Masuk, Non!" perintah Pak Amir sembari membantu Aruna. Gadis itu hanya menurut dan meringkuk di jok belakang. Pak Amir segera melajukan mobil meninggalkan tempat parkir. Tepat bersamaan, seorang pemuda memarkir motornya di
Laki-laki itu mendorong pelan tubuh Aruna ke tempat tidur. Misinya tinggal beberapa kedipan lagi. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggu. Terdengar suara gaduh di luar kamar.Dia menoleh pada dua orang temannya dengan kening berkerut. "Suara apa itu?" tanyanya lalu duduk tegak.Bugh!Bugh!Arrrgh!"Diam di situ kalian, atau aku lempar ke sungai!" teriak Gerald pada dua orang laki-laki yang sudah babak belur.Kedua orang yang diketahui sebagai security villa itu tidak berkutik. Apalagi, Gerald juga mengikat tubuh mereka. Gerald menatap Alexei lalu mengangguk.Brak!Pintu terbuka lebar oleh dobrakan kedua laki-laki jago bela diri itu. Alexei tertegun mendapati tubuh Aruna yang nyaris tidak berbusana tergolek di atas tempat tidur. Di dekat tempat tidur, tiga orang laki-laki berbadan tegap menatap garang pada Alexei dan Gerald.Alexei mendekat dengan waspada. "Fuck!" umpatnya, lalu menendang perut laki-laki berbadan kekar itu. Alexei langsung menarik selimut dan melemparkan ke arah
Alexei menatap dalam pada Aruna yang masih mematung di depan pintu. Suasana menjadi kaku semenjak kepergian Gerald beberapa menit lalu."Aku tidak tahu kalau Gerald itu kakakmu. Sepertinya aku sering melihatnya ketika kamu shooting," ucap Alexei memecah kecanggungan.Aruna menoleh dan tersenyum samar. Gadis itu kembali duduk di sofa. Aruna menyatukan jari-jarinya di atas pangkuan. Alexei mengambil tempat duduk di samping Aruna dan meraih tangan gadis itu."Ada apa sebenarnya?" tanya Alexei hati-hati. Sebelah tangan Alexei terulur mengusap pipi Aruna yang sedikit memar. "Bisa kamu katakan sesuatu selama aku pergi, Milyy?" lanjutnya lirih.Kedua mata Aruna kembali berkaca-kaca. Hatinya terlalu sakit menerima kenyataan jika Bagaskara bukan ayahnya. Apalagi, laki-laki itu mengatakan dirinya anak haram. Sangat menyakitkan! Dulu, Aruna mengira hanya sang ibu yang tidak menginginkannya, sekarang ayahnya juga begitu.Aruna mengedip pelan, membiarkan air matanya jatuh ke pipi. "Bagaskara is not
Alexei terbelalak kaget. Dia melepaskan pelukan pada saat itu juga. Ditatapnya manik hitam Aruna yang tergenang air mata. Wajah gadis itu sembab, kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis."Sebenarnya ada apa ini, Aruna? Apa kamu mengetahui sesuatu? Katakan!" tanya Alexei tegas sembari duduk.Aruna ikut duduk dan menggeleng samar. Dia mengusap-usap wajahnya yang basah oleh air mata. Alexei menatap dalam gadis yang bersimpuh di depannya itu.Alexei beralih memegang pundak Aruna. "Please tell me, Aruna! Do you know something?" ulangnya lirih.Kedua mata Aruna terpejam rapat. Lalu dia mengangguk berkali-kali. Tangan Alexei beralih memegang wajah Aruna. Sedangkan Aruna justru tidak berani membalas tatapan Alexei."Aku, aku lihat....""Lihat apa, Milyy!" sahut Alexei cepat. "Zero, five, zero, five. The number..." Aruna menggeleng, lalu menutup telinganya dengan telapak tangan.Alexei meraih tangan gadis itu dan memeluknya. "Ya, sudah. Besok saja kamu jelaskan. Aku tahu kamu tra
Bagaskara mengangguk sekali lagi. "Iya, sampaikan pada Elang, aku menawarkan kerjasama yang lebih menguntungkan daripada sekadar aset Bumi Perkasa!" ujarnya.Laki-laki misterius yang ternyata anak buah Elang itu terdiam. Dia menyimak setiap detail ucapan Bagaskara. Bagaskara tersenyum sekilas mendapati lawan bicaranya mulai melunak."Bagaimana?" tanya Bagaskara memastikan. "Bumi Perkasa sekarang mengalami defisit. Apa Elang mau mengelolanya dan menjadikan perusahaan itu sebesar sepuluh tahun lalu?" Bagaskara masih berusaha bernegosiasi."Baiklah, akan saya katakan pada Tuan Elang." Laki-laki itu mengangguk menyetujui. "Tapi jika Anda ingkar satu kata saja, saya pastikan Anda tidak akan bisa melihat matahari lagi!" ancamnya sambil memasukkan pistol ke balik pinggangnya.Kembali Bagaskara tersenyum satu sudut. "Saya seorang pebisnis sukses, tidak mungkin ingkar janji. Jika Elang tidak macam-macam pada kerjasama ini!" tegasnya.Laki-laki itu bangkit. Dia menatap sebentar pada Bagaskara.