Happy Reading
--
--
Aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, agar bisa segera sampai rumah. Kriiing.. Suara telfon dihpku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Ternyata dari Widia. "Halo" "Halo,Mas dimana?Pergi kemana, kok gak pamit?" tanya Widia dengan nada khawatir. "Ada urusan penting, udah dulu ya, ini dijalan lagi serius nyetir, nanti aja telfonnya kalo su....." Braaakkkkkkkk,, Kulempar hpku. Aku segera turun dari mobil dan melihat apa yang terjadi. Ternyata aku menabrak pedagang bakso keliling yang berhenti dipinggir jalan, hingga gerobaknya ambruk dan ada beberapa bagian yang rusak, semua dagangannya tumpah.'Sialan, dari tadi apes mulu.' umpatku dalam hati. Banyak orang berbondong bondong datang melihat kejadian, para pengendara lainnya banyak yang berhenti sejenak untuk melihat."Waduh, lagi ngantuk kali." "Kok bisa nyetir sampe nabrak gerobak." "Kasian sama pentol baksonya, pada menggelinding." Begitu banyak cibiran dari orang yang berkerumun. "Maaf ya pak, saya tidak sengaja, saya akan ganti rugi semuanya, mulai dari gerobak, sampai semua dagangan bapak hari ini, total semuanya berapa?" tanyaku kepada bapak pedagang bakso, raut wajahnya begitu sedih memandangi gerobak dan dagangannya yang hancur. "Saya mau diganti dengan gerobak yang baru, sekarang juga anda ganti! Anda carikan gerobak untuk saya dan segera bawa kesini." ucapnya tegas "Total modal saya hari ini 700.000 kalo sama untungnya sekitar 1.500.000 "sambungnya. "Oke saya ganti pak, uang ganti modalnya saya transfer dulu pak, saya minta nomer rekening bapak" ujarku. "Saya maunya uang cash, dan gerobaknya saya yang milih sendiri." Sial. Nyari kesempatan kayaknya ini. Aku turuti saja. Daripada dikeroyok massa. "Oke! Ayo pak, segera naik ke mobil saya," jawabku dengan cepat.Buru-buru ingin nyelesaiin masalah. Malah dapat masalah lagi. ----- Aku memarkirkan mobilku didepan ATM, mengambil uang cash untuk mengganti modal pedagang bakso dan uang untuk membelikannya gerobak. Setelah cukup lama berkendara, sampailah di tempat jualan gerobak yang ditunjukkan bapak pedagang bakso. -- "Bapak milih aja sendiri pak, saya tunggu di mobil" ucapku sambil membuka kaca mobil. "Baiklah, kamu tunggu disini, jangan kemana mana. Apalagi sampai kabur,awas " ancam pedagang bakso, sembari turun dari mobil. "Iya saya tunggu sini, kalo udah nemu yang cocok saya akan keluar membayarnya," jawabku. Ku sandarkan kepala disetir mobil. Aku benar benar merasa frustasi, hari ini udah sial dua kali, masalah dikampus belum selesai, ini dapat masalah lagi. Sial, mungkin ini karma untukku karna menyakiti Sifa. Karma beruntun kalo ini mah. Ku coba menghubungi Sifa lagi, sekarang nomernya jadi tidak aktif, mungkin dia mematikan ponselnya sengaja menghindar dariku. Setelah selesai jual beli gerobak, aku segera melajukan mobilku untuk pulang menuju rumah. Aku sudah memesankan pick up untuk mengantar pulang bapak pedagang bakso. ____ Sesampainya dirumah, kulihat rumah dalam keadaan terkunci, aku buka dengan kunci cadangan yang kubawa. Aku melihat sekeliling, rumah dalam keadaan rapi tapi kosong dan sepi. Aku berkeliling ke seluruh ruangan, nihil, Sifa tak ada. Didapur, ditaman, dikamar. Aku cek lemari semua bajunya masih utuh, tertata rapi. Kemana dia pergi. Aku melihat layar ponselku, disana muncul banyak notifikasi telefon dari Mama dan Papaku, mungkin mereka sudah melihat status Sifa, aku mengabaikan telfon mereka dan segera menelfon ibu mertua, barangkali Sifa kerumah Ibunya. Ibu mertua mengatakan Sifa tidak disana, dia juga menjawab telfon seperti biasanya, apa mungkin dia belum tau masalahku, atau dia pura pura tidak tahu. -- Tak kehabisan akal. Aku juga mencoba menelfon Kak Rudi, kakaknya Sifa, malah aku dimaki maki, dimarahi, dikatain lelaki tidak tahu diri, dikatain lelaki yang tidak bersyukur. Bikin tambah pening. Aku benar benar pusing. Kulangkahkan kakiku menuju kedapur untuk membuat kopi, agar pikiranku sedikit tenang. Nanti saja kucari Sifa lagi. -----Pov Rudi Aku yang sedang bermain-main dengan anakku Azam yang berumur 2 tahun, tiba tiba dikejutkan dengan suara istriku Mala yang berteriak teriak memanggil namaku. "Mas, Mas Rudi, sini mas, cepetan mas, ada hal yang penting nih!" teriak Mala dari dalam kamar. Aku yang sedang berada didepan tv segera menuju kamar sambil menggendong Azam. "Ada apa sih dek, teriak teriak gak jelas kayak dihutan, bikin kaget aja." ucapku ketika berdiri dihadapannya. "Sini, sini, duduk sini." jawabnya sambil tangannya menepuk kasur. Akupun menurut saja duduk disampingnya sambil memangku Azam. "Ini lo mas, lihat statusnya Sifa. Dia memgunggah foto karangan bunga." Sambil menunjukkan hpnya kearahk
Happy reading--Pagi pagi sekali aku sudah bangun seperti biasanya, menyapu rumah, memasukkan pakaian kotor kedalam mesin cuci, menjemur pakaian.Kemudian memasak untuk diriku sendiri. Untung Sifa selalu menyetok persediaan bahan makanan dikulkas.Aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah, karena kami sudah terbiasa melakukan semuanya bersama-sama, saling bagi tugas dan membantu satu sama lain.Aku memasak nasi goreng dan telor ceplok, masakan termudah.Sarapan sendirian, tidur sendirian. Padahal baru satu hari satu malam, sudah merasa kesepian, bagaimana kalo selamanya, aku bisa gila kayaknya.Aku benar benar merasa kehilangan Sifa, hidupku terasa hampa, rumah ini serasa kosong tanpanya.
Waktu terasa begitu lama, jarum jam berdetak begitu lambat. Aku sudah tidak sabar untuk segera pulang dan menemui Sifa. Berkali kali kulihat ponselku, tidak ada balasan dari Sifa lagi.-- Kulajukan mobilku dengan penuh semangat menuju rumah. Setelah sampai, aku segera mandi dan berpakaian rapi, rambut klimis pakai koleksi parfum yang wanginya paling disukai Sifa. Udah seperti mau apel pacar saja, aku bercermin sambil senyum senyum sendiri. Tak perlu berlama lama setelah siap langsung berangkat menuju rumah mertua. 'Bismillah' ucapku dalam hati. Tidak lupa aku berdo'a disepanjang jalan, semoga tidak menemui kesialan lagi seperti hari kemarin. Dan semoga dilancarkan juga urusanku hari ini. Semoga kesalahanku masih bisa termaafkan.---POV Sifa Aku dan Ibu duduk berdua diteras, berbincang bincang s
Setelah memastikan Mas Aris keluar dari kamar. Aku memegang kening yang baru saja dicium mas Aris, Aku senyum senyum sendiri mengingatnya. Kenapa hatiku sedikit tersentuh, jika ditanya sayang, ya rasa itu masih ada didalam hatiku. Hubunganku dengan Mas Aris sudah terlalu lama, sejak pacaran hingga menikah, baru kali ini dia berulah, menyakiti hatiku. Aku yang hendak keluar menuju dapur mengambil air minum, mendengar suara orang yang sedang berbincang bincang di ruang keluarga, ku lihat ada Ibu dan Mas Aris, mereka sedang membicarakan sesuatu. Aku duduk didapur sambil mendengarkan percakapan mereka. "Bu, maafin Aris ya kalo punya salah selama ini." ucap Mas Aris. "Iya nak udah Ibu maafin, namanya manusia tidak luput dari kesalahan, yang penting tidak diulangi lagi, daner tidak ada kejadian seperti ini lagi." jawaban Ibu terdengar samar.&n
Aku dan Mas Aris duduk berdua saling berhadapan, kini kita sedang berada disebuah cafe. Kita saling terdiam, sambil menikmati menu yang di pesan. Terdengar alunan lagu yang dinyanyikan diatas panggung, menambah syahdu suasana. Bagaikan anak muda yang sedang jatuh cinta.Gelap, di dalam tanyaMenyembunyikan rahasianyaLetih kehabisan kataDan kita pada akhirnya diamBunga, di bulan sepiJatuh terdamparTersasarAlasan masih bersamaBukan karena terlanjur lamaTapi rasanya yang masih samaSeperti sejak pertama jumpaDirimu di kala senjaDuduk berdua tanpa suara Lirik lagu Pamungkas yang berjudul Monolog itu, membuat aku dan Mas Aris benar benar sangat menikmatinya,
Adzan Subuh terdengar berkumandang, Suara Adzan yang sangat merdu mengisi keheningan pagi yang dingin. Aku segera bangun dari peraduan dan menuju kamar mandi, tak lupa ku bangunkan mas Aris. "Dek, ayo pulang. Emangnya kamu gak kangen sama rumah?" tanya mas Aris sesudah Shalat Subuh. "Emmm, kangen sih, tapi masih pingin disini mas." ujarku sambil melipat mukena. "Mas udah kangen rumah dek, kangen berdua dirumah." ucapnya sambil memandangku lekat. "Kan Ibu sama Ayahmu masih disini mas, masa kita malah mau pulang. Aneh." Kulihat wajah mas Aris memasang tampang memelas. "Iya udah, kalo Ayah pulang, kita juga pulang ya." ujarnya pasrah. "Iya, iya." ucapku sambil mencubit perutnya. "Ya udah, aku mau ke dapur dulu, bantu ibu masak mas." Akupun segera be
Langit berwarna ke merah merahan, matahari sudah merangkak ke arah barat. Hari sudah mulai memasuki waktu maghrib, banyak anak kecil yang berlari larian, menuju masjid. Aku lihat di taman komplek, gerombolan ibu ibu tadi sudah tidak ada, mungkin sudah pulang ke rumahnya. Syukurlah, batinku. Terbebas dari pertanyaan para ibu tadi. Aku berjalan memasuki pagar, rumah bertingkat dua yang catnya berwarna putih, dihalaman ada kolam ikan beserta air mancur kecil , dan ada beberapa pot bunga. Mas Aris sedang duduk diruang tv, memakai baju koko dan sarung, saat aku akan menuju dapur. "Dek, bel
Hari masih pagi, cuaca sedikit agak mendung, matahari masih malu-malu menampakkan diri. Aku berada didepan rumah, sambil menunggu tukang sayur yang biasa lewat. Suasana komplek masih sepi, hanya ada beberapa orang yang lewat, ada yang sedang joging, ada juga yang bersepedah. Aku menanti tukang sayur sembari menyapu halaman depan, aku lihat beberapa ibu-ibu juga mulai berjalan menuju depan rumahku, tempat mangkal tukang sayur. "Sayur, sayuur, sayuuuurr, ayoooo ! Masih seger!!" seru tukang sayur dari kejauhan. "Kok siang sekali bang," tanya Bu Nur, tetangga depan rumahku, setelah tukang sayur memberhentikan sepeda motornya didepan rumahku. "Iya, pasarnya rame bu," jawab tukang sayur sembari menuju tempat duduk, membiarkan sayurnya dipilih para ibu-ibu. "Selamat pagi ibu-ibu, udah rame aja nih!" sa
POV BU DEWIAku merasa bahagia saat Andin, teman Widia mengatakan bahwa dia mengajak Aris dan istrinya, untuk menjenguk anakku Widia.Widia sudah beberapa hari ini, depresinya mulai kumat lagi. Di ajak bicara hanya diam tak menyahut. Di dalam penjara dia tidak mau makan, dan malah mengamuk.Semoga dengan kedatangan Aris bisa membuatnya sedikit bahagia.Ternyata benar, setelah melihat Aris wajah Widia langsung berubah ceria, dia langsung memanggil Aris.Widia memanggil Aris sembari merentangkan kedua tangan, seolah ingin Aris menghambur ke arahnya dan memeluknya.Tapi, itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Widia harus sadar Aris sudah beristri, Sifa berada di sampingnya.--Wajah Widia terlihat muram dan marah saat Aris berpamitan untuk pulang. Entah, Widia mendapat kekuatan darimana, saat Aris baru berbalik badan.Widia sudah meloncat turun dari ranjang dan berlari menuju ke arah Aris. Aku mengira dia akan memeluk A
Saya mengucapkan terima kasih banyak. Kepada semua pembaca yang sudah setia membaca ceritaku sampai akhir.Saya do'akan bahagia selalu, sehat selalu. Dilancarkan rezekinya.Dijauhkan dari hal-hal yang buruk, di dekatkan dengan hal-hal baik.Aamiiiin.Saya minta maaf apabila ada salah kata, atau cerita saya kurang memuaskan di hati pembaca.Saya pemula yang masih berusaha memperbaiki semuanya.Terima kasih.Selamat membaca.Ini adalah cerita 3 bab yang saya jadikan 1.--"Kok masak banyak sekali Bi?" tanyaku saat melihat meja makan dipenuhi berderet-deret aneka makanan."Iya Neng, ada tamu mau datang katanya Pak Aris.""Siapa Bi?" Tanyaku penasaran."Saya gak tau neng, cuma di suruh masak yang banyak saja," jawab Bi Minah sambil asyik membersihkan dapur.Aku mengangguk mendengar jawaban Bi Minah, lalu berjalan ke depan. Menghampiri Mas Aris yang sedang olahraga."Mas, gak siap-siap
Raut wajah Nila terlihat berubah, setelah melihat ponsel yang ku ulurkan."Bener-bener lampir emang ya si Widia itu, gak terima gue Sif." Omel Nila."Nil. Mau gak bantu Aku?" Tanyaku sambil menatap lekat Nila."Bantu apa?" tanya Nila."Menyelidiki kasus ini. Harus sampai tuntas," ucapku."Kan dari kemarin yang semangat Aku, Sif. Kamu sama Aris malah kayak gak niat," ujar Nila sambil memanyunkan bibirnya."Ya udah ayo, sekarang Aku udah semangat 45.""Kemana?" tanya Nila."Ke toko kue. Kita cari tahu. Yuk," ajakku."Oke, ayo. Cuss!"----"Bener ini alamatnya?" tanya Nila."Iya bener, ini nama tokonya. Yuk, masuk Nil!"Aku dan Nila bergegas turun dari mobil. Beruntung sekali, pemilik toko sedang berada di sana. Aku langsung mengutaran maksut kedatanganku.Kami di ajak masuk ke ruangannya, dan memutar cctv, Aku masih mengingat tanggal kejadian kemarin.Terlihat di cctv, perempuan be
Pagi-pagi sekali, Aku dan Mas Aris sudah mengemasi barang. Nila sudah dibolehkan pulang oleh dokter. Keadaannya alhamdulillah sudah membaik."Ayo Nil," ajakku sambil memapahnya berjalan."Aku udah kuat Sifa. Udah bisa jalan sendiri.""Gapapa, takutnya oleng," jawabku sambil tetap memapah Nila menuju mobil.---"Sarapan dulu ayo, makan dimana?" Tanya Mas Aris sambil fokus menyetir mobilnya."Mau makan apa, Nil? Nila yang duduk di sampingku hanya menggelengkan kepalanya."Makan yang hangat-hangat deh mas!" Seruku pada Mas Aris."Siap laksanakan!" Jawaban Mas Aris yang tegas bak prajurit militer, membuat Aku dan Nila tersenyum.----Mas Aris akhirnya menghentikan mobilnya, memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Aku dan Nila segera menghampiri gerobak pinggir jalan yang menjual bubur ayam. Sedangkan Mas Aris membeli nasi pecel di gerobak sebelahnya."Sif, kok bisa ya aku keracunan kue yang aku makan?" Tan
"Bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanyaku saat Dokter sudah keluar dari ruangan Nila."Alhamdulillah, sudah mulai membaik. Harus banyak-banyak istirahat, dan makanan yang sehat, minum air putih yang cukup. Pasien keracunan makanan.""Keracunan, Dok?" tanyaku tak percaya."Iya, dari hasil pemeriksaan, pasian keracunan makanan, yang ada di kue yang dia makan. Baiklah, saya permisi dulu. Boleh di jaga ya temennya. Tolong suruh banyakin minum air putih juga.""Terima kasih, Dok."---"Mas, kata Dokter Nila keracunan kue," ucapku pada Mas Aris. Aku menghampiri Mas Aris yang duduk di ruang tunggu."Kok bisa dek? Kue dari mana? Kamu beli?" Mas Aris mengernyit heran."Aku baru inget mas, kue itu dari Bu Wati tadi pagi, sebelum kita berangkat periksa." Aku ikut duduk di samping Mas Aris."Bu Wati?""Iya mas, dari Bu Wati tadi pagi.""Ah, masak sih dek? Biasanya Bu Wati juga suka ngasih kita makanan, tapi kita gap
"Assalamu'alaikum," ucap Mas Aris yang baru pulang dari kerja, dengan wajah sumringah."Wa'alaikumsalam," jawabku bersamaan dengan Mbok Inah. Kami berdua sedang bersantai di teras rumah."Mas, mau mandi dulu ya dek," ucapnya berpamitan. Aku hanya menjawab dengan anggukan."Bibi, mau nyiapin makan malam dulu ya neng," pamit Bibi juga sambil menuju ke dalam rumah."Iya bi," sahutku.Aku melamun menatap bunga-bunga di halaman yang bergerak tak tentu arah tertiup angin, anganku terbang melayang jauh."Dek," suara panggilan dari Mas Aris dan tepukan pelan di pundak, menyadarkan aku dari lamunan."Iya mas?""Kamu kenapa? Jangan ngelamun. Gak baik, apalagi ini sore hari. Ayo masuk, udah mau maghrib."Mas Aris menggenggam tanganku, menarikku masuk ke dalam rumah. Aku hanya menurut saja.---"Mas, aku gak mau ya kamu berhubungan lagi sama kelurga Widia. Apapun yang berhubungan dengan mereka, tolong kamu lupaka
Hari masih terlalu pagi. Aku yang sedang memasak, mendengar suara ponsel Mas Aris berdering di atas meja ruang tv. Mungkin dia lupa membawa ponselnya. Mas Aris sedang berolahraga pagi. Aku tinggalkan sebentar masakanku, menuju ruang tv untuk mengambil ponsel. Tertera nama Bu Dewi. Aku segera mengangkat telfonnya."Halo," ucapku saat telepon tersambung, sambil berjalan menuju dapur."Halo, Arisnya ada?" tanya suara perempuan di seberang."Masih keluar Bu, ada perlu apa ya?" tanyaku sambil mengaduk kuah kare ayam di panci."Nanti kalo sudah pulang, tolong suruh hubungi saya ya, Sifa.""Iya bu," sahutku. Tut... Panggilan diputus sepihak oleh seberang.---"Mas, tadi kamu dicariin sama Bu Dewi?" ucapku saat sarapan pagi bersama Mas Aris."Kenapa dek kok nyariin aku? Ada apa?" tanyanya sambil memainkan sendoknya."Gak tau mas, gak bilang apa-apa sama aku. Katanya kamu di su
Mas Aris tersenyum begitu bahagia sambil memandangiku, sesekali tangannya mengelus perlahan perutku."Udah mas, fokus nyetirnya. Awas! Nanti malah oleng mobilnya," ujarku."Iya dek, hari ini mas bahagia banget. Mas mau jagain kamu dulu. Hari ini mas mau ijin cuti kerja," ucapnya dengan begitu semangat."Jangan lebay deh mas! Aku gapapa, udah sehat bugar ini.""Enggak dek! Pokoknya mas mau cuti hari ini. Takut kamu kenapa-kenapa. Kejadian kayak tadi pagi, apalagi di rumah cuma sendirian. Mas kan khawatir," omelnya panjang lebar."Baik tuan." Mas Aris malah tersenyum lebar, mendengar jawabanku.--Mas Aris tiba-tiba membelokkan mobilnya ke arah rumah makan. Memarkirkan mobilnya lalu berhenti."Ayo turun dek, kita sarapan dulu," ajaknya."Iya mas, ngerti aja kalo perutku sudah lapar.""Iya, kasian dedek bayinya dek," ucapnya sambil mengelus perutku.---Kami memesan nasi pecel, menu a
Aku yang sedang asyik bercanda bersama Nila, tiba-tiba di kagetkan oleh panggilan telefon dari ponselku. Tertera nama Mas Aris disana. "Halo Mas, ada apa?" tanyaku. "Mas mau ngabarin dek, nanti mas lembur, pulang sekitar pukul 8 malam. Kamu gapapa kan?" "Gapapa mas, ini aku masih main di rumah Nila." "Ya udah, kamu di situ aja, sampai mas pulang. Nanti biar mas jemput ke rumah Nila." "Iya mas, aku tanya Nila dulu?" Ku lihat Nila mengangguk-angguk begitu bahagia. "Iya mas, boleh katanya, nanti kamu langsung jemput kesini saja," jawabku kemudian. "Iya dek, kamu hati-hati. Jangan lupa makan. Sudah dulu ya, mas mau lanjut kerja. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawabku. Kemudian memasukkan ponselku ke dalam tas kembali. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah Nila tadi, setelah pulang dari kak Rudi. Darip