Waktu terasa begitu lama, jarum jam berdetak begitu lambat. Aku sudah tidak sabar untuk segera pulang dan menemui Sifa. Berkali kali kulihat ponselku, tidak ada balasan dari Sifa lagi.
--
Kulajukan mobilku dengan penuh semangat menuju rumah. Setelah sampai, aku segera mandi dan berpakaian rapi, rambut klimis pakai koleksi parfum yang wanginya paling disukai Sifa. Udah seperti mau apel pacar saja, aku bercermin sambil senyum senyum sendiri. Tak perlu berlama lama setelah siap langsung berangkat menuju rumah mertua.
'Bismillah' ucapku dalam hati. Tidak lupa aku berdo'a disepanjang jalan, semoga tidak menemui kesialan lagi seperti hari kemarin. Dan semoga dilancarkan juga urusanku hari ini. Semoga kesalahanku masih bisa termaafkan.
---
POV Sifa
Aku dan Ibu duduk berdua diteras, berbincang bincang sambil menikmati kue dan teh hangat, sembari menunggu kedatangan Ayah, pulang dari kantor.
"Wah, dua ceweknya Ayah lagi asyik banget nih." seru ayah yang baru turun dari mobil.
"Mumpung berdua yah, kapan lagi bisa gini. Nyeritain Ayah, tanpa ketahuan." candaku seraya memcium tangan Ayah. Ayah dan Ibu tertawa mendengar jawabanku.
"Yah, nanti mas Aris mau kesini." ujarku sambil mengikuti Ayah dan Ibu yang masuk kedalam rumah.
"Iya bagus, lebih cepat lebih baik. Kita harus segera selesain masalah ini, gak baik kalo dibiarkan lama lama." jawaban Ayah membuat hatiku lega.
---
Pov ARISSudah hampir maghrib, Aku sampai dirumah Ayah. Aku segera turun dari mobil, tak lupa kubawa aneka buah dan jajanan yang ku beli dijalan tadi.
"Assalamu'alaikum." ucapku.
"Wa'alaikumsalam, masuk nak sini." jawab ibu yang baru muncul. Ku letakkan oleh oleh diatas meja, lalu kucium tangan Ibu.
"Wah, nak Aris. Baru sampai ya, ayo duduk." ujar Ayah yang muncul dengan Sifa dibelakangnya. Akupun segera menyalami tangan Ayah. Kulihat Sifa mengulurkan tangannya padaku, aku langsung tersenyum sambil menyambut uluran tangannya. Aku begitu bahagia Sifa masih mau mencium tanganku.
Suara Adzan Maghrib berkumandang, terdengar dari masjid yang hanya berjarak berapa meter saja dari rumah Sifa."Sudah Adzan, sebaiknya kita shalat maghrib dulu." ajak Ayah yang beranjak pergi bersama Ibu.
Tinggal Aku dan Sifa yang masih berada diruang tamu, ku tatap Sifa, wajahnya terlihat begitu lelah, matanya kulihat sedikit berkaca. Maafkan suamimu ini dek.
"Dek, ayo kita shalat maghrib ya, mas yang imami." Aku berdiri ke tempat duduk Sifa dan meraih tangannya, dia melepaskan tanganku, sakitnya hatiku.
"Kita shalat sendiri sendiri aja mas, mas shalat dikamar tamu aja, sajadahnya ada didalam lemari." ujarnya seraya melangkah pergi meninggalkanku yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Sifa, apa ini penolakan untukku. Apa benar yang dikatakan kak Rudi ditelfon kemarin, kalau Sifa ingin mengajukan cerai.
---
Setelah selesai shalat maghrib, Kita semua berkumpul diruang makan untuk makan malam. Sesekali Aku melihat ke arah Sifa, jika pandangan mata kami saling bertemu, Sifa akan membuang muka, seperti enggan menatapku.
Selesai makan malam, Aku ikut membantu Ibu dan Sifa membereskan meja makan. Ibu sampai terheran heran melihat tingkahku.
"Kamu itu laki laki Ris, sana sama Ayahmu duduk didepan Tv, jangan didapur aja." omel Ibu.
"Udah hal biasa Bu, masak juga bisa, enak lagi." kelakarku. Ibu tertawa, kulihat Sifa menyunggingkan sedikit senyum.
"Aris, mau bicara boleh Yah?" tanyaku sambil duduk disamping Ayah.
"Ya, silahkan." jawab Ayah menatapku tajam.
"Maafin Aris yah, Aris sadar kalo salah, tapi ini gak seperti yang ada difikiran Ayah." ujarku.
"Seperti apa?" Ayah bertanya balik.
"Aris dan Widia hanya sebatas dekat, seperti kakak adik, Aris memang sering bertemu, tapi hanya untuk jalan jalan dan makan bareng, tidak lebih." jelasku.
"Ohh, namanya Widia?" tanya Ayah.
"Iya yah, namanya Widia, Aris juga sudah memutuskan hubungan dengannya."kataku sambil melihat Sifa yang datang bersama Ibu.
"Terus gimana kelanjutannya?" tanya Ayah.
"Mas bener bener minta maaf dek, mas janji gak akan ngulangin lagi. Hukum mas dek, apapun itu, asal jangan tinggalin mas." Aku beralih duduk disamping Sifa. "Mas bener bener khilaf, mas tau mas salah, maafin mas udah nyakitin hati kamu." ujarku sambil memegang tangan Sifa.
"Gimana nak?" tanya Ibu sambil membelai pundak Sifa.
"Boleh kita bicara berdua saja Yah?" akhirnya Sifa berkata.
"Iya silahkan, ini rumah tangga kalian berdua, selesaikan secara baik baik." sahut Ayah.
Sifa berjalan pergi menuju kamar, aku mengikutinya dari belakang. Memasuki kamar lalu menguncinya. Dia duduk dipinggir ranjang, akupun duduk disampingnya.
"Dek," aku memulai pembicaraan.
"Apa salahku mas, kenapa kamu tega hianati aku?" akhirnya Sifa mengutarakan kesedihannya, dia berucap sambil meneteskan air mata, aku sungguh tidak tega. Kuhapus airmata dipipinya, tapi tanganku ditepisnya.
"Maafin mas dek, sungguh mas benar benar menyesal, sangat menyesal. Mas janji gak akan ada kejadian gini lagi. Maafin mas dek, maafin." pintaku berkali kali.
"Sejauh mana hubungan kalian?" tanyanya menyelidik.
"Hubungan kita memang dekat dek, tapi hanya sebatas jalan jalan saja, yakinlah masmu ini gak pernah aneh aneh." ucapku bersungguh sungguh.
"Rugi dong, udah dosa kenapa gak sekalian, kenapa setengah setengah?" Deg. Kata kata Sifa benar benar seperti tamparan untukku.
"Mas benar benar khilaf dek, maafin mas dek, beri kesempatan sekali lagi." ujarku memohon.
"Hatiku sudah terlanjut sakit mas, rasanya seperti begitu banyak duri yang menancap dihatiku, perih. Keluarlah mas, aku ingin istirahat." pinta Sifa.
"Mas ingin sama kamu dek, mas gak mau kehilangan kamu, mas boleh tidur disini? tidur disofa juga tak masalah, yang penting kamu didekatku." tanyaku.
"Pulanglah mas, aku ingin istirahat atau pergilah kerumah selingkuhanmu itu." ujarnya sambil mulai terisak.
"Mas udah enggak ada hubungan lagi dek, mas udah bener bener mau berubah, maafin mas, beri kesempatan mas." Kulihat istriku itu semakin terisak, airmatanya berjatuhan melewati pipinya yang bersih itu. Maafkan suamimu ini dek.
"Maafin mas dek, maaf, maaf, maaf, maaf." Kupeluk Sifa, akupun ikut menangis bersamanya. Kurengkuh dia dengan begitu erat. Tak kuhiraukan Sifa yang berontak ingin melepas, semakin dia ingin lepas semakin ku eratkan pula pelukanku, seperti begitu takut kehilangannya.
---
"Udah dek jangan nangis lagi, maafin mas ya? Tampar mas atau cubit biar kamu lega. Maafkan suamimu ini, janji gak akan aku ulangi, cukup sekali ini aja dek. Maafin mas ya ?" pintaku setelah tangis Sifa mereda.
"Iya, aku maafin. Tapi hatiku masih belum bisa menerima mas kembali." tubuhku langsung melemas mendengar jawaban Sifa.
"Mas harus lakuin apa biar kamu percaya, mas udah bener bener kapok dek." ujarku memelas.
"Buktikan kesungguhan kamu mas, jangan hanya omongan saja." sahutnya.
"Baiklah mas akan buktikan kesungguhan mas, terimakasih sudah maafin mas. Sudah malam, kamu segera istirahat dek wajahmu terlihat begitu lelah." dengan gerakan cepat ku kecup kening Sifa, dia begitu kaget sampai tidak bisa mengelak. "Selamat istirahat dek." ucapku seraya melangkah pergi.
---
Setelah memastikan Mas Aris keluar dari kamar. Aku memegang kening yang baru saja dicium mas Aris, Aku senyum senyum sendiri mengingatnya. Kenapa hatiku sedikit tersentuh, jika ditanya sayang, ya rasa itu masih ada didalam hatiku. Hubunganku dengan Mas Aris sudah terlalu lama, sejak pacaran hingga menikah, baru kali ini dia berulah, menyakiti hatiku. Aku yang hendak keluar menuju dapur mengambil air minum, mendengar suara orang yang sedang berbincang bincang di ruang keluarga, ku lihat ada Ibu dan Mas Aris, mereka sedang membicarakan sesuatu. Aku duduk didapur sambil mendengarkan percakapan mereka. "Bu, maafin Aris ya kalo punya salah selama ini." ucap Mas Aris. "Iya nak udah Ibu maafin, namanya manusia tidak luput dari kesalahan, yang penting tidak diulangi lagi, daner tidak ada kejadian seperti ini lagi." jawaban Ibu terdengar samar.&n
Aku dan Mas Aris duduk berdua saling berhadapan, kini kita sedang berada disebuah cafe. Kita saling terdiam, sambil menikmati menu yang di pesan. Terdengar alunan lagu yang dinyanyikan diatas panggung, menambah syahdu suasana. Bagaikan anak muda yang sedang jatuh cinta.Gelap, di dalam tanyaMenyembunyikan rahasianyaLetih kehabisan kataDan kita pada akhirnya diamBunga, di bulan sepiJatuh terdamparTersasarAlasan masih bersamaBukan karena terlanjur lamaTapi rasanya yang masih samaSeperti sejak pertama jumpaDirimu di kala senjaDuduk berdua tanpa suara Lirik lagu Pamungkas yang berjudul Monolog itu, membuat aku dan Mas Aris benar benar sangat menikmatinya,
Adzan Subuh terdengar berkumandang, Suara Adzan yang sangat merdu mengisi keheningan pagi yang dingin. Aku segera bangun dari peraduan dan menuju kamar mandi, tak lupa ku bangunkan mas Aris. "Dek, ayo pulang. Emangnya kamu gak kangen sama rumah?" tanya mas Aris sesudah Shalat Subuh. "Emmm, kangen sih, tapi masih pingin disini mas." ujarku sambil melipat mukena. "Mas udah kangen rumah dek, kangen berdua dirumah." ucapnya sambil memandangku lekat. "Kan Ibu sama Ayahmu masih disini mas, masa kita malah mau pulang. Aneh." Kulihat wajah mas Aris memasang tampang memelas. "Iya udah, kalo Ayah pulang, kita juga pulang ya." ujarnya pasrah. "Iya, iya." ucapku sambil mencubit perutnya. "Ya udah, aku mau ke dapur dulu, bantu ibu masak mas." Akupun segera be
Langit berwarna ke merah merahan, matahari sudah merangkak ke arah barat. Hari sudah mulai memasuki waktu maghrib, banyak anak kecil yang berlari larian, menuju masjid. Aku lihat di taman komplek, gerombolan ibu ibu tadi sudah tidak ada, mungkin sudah pulang ke rumahnya. Syukurlah, batinku. Terbebas dari pertanyaan para ibu tadi. Aku berjalan memasuki pagar, rumah bertingkat dua yang catnya berwarna putih, dihalaman ada kolam ikan beserta air mancur kecil , dan ada beberapa pot bunga. Mas Aris sedang duduk diruang tv, memakai baju koko dan sarung, saat aku akan menuju dapur. "Dek, bel
Hari masih pagi, cuaca sedikit agak mendung, matahari masih malu-malu menampakkan diri. Aku berada didepan rumah, sambil menunggu tukang sayur yang biasa lewat. Suasana komplek masih sepi, hanya ada beberapa orang yang lewat, ada yang sedang joging, ada juga yang bersepedah. Aku menanti tukang sayur sembari menyapu halaman depan, aku lihat beberapa ibu-ibu juga mulai berjalan menuju depan rumahku, tempat mangkal tukang sayur. "Sayur, sayuur, sayuuuurr, ayoooo ! Masih seger!!" seru tukang sayur dari kejauhan. "Kok siang sekali bang," tanya Bu Nur, tetangga depan rumahku, setelah tukang sayur memberhentikan sepeda motornya didepan rumahku. "Iya, pasarnya rame bu," jawab tukang sayur sembari menuju tempat duduk, membiarkan sayurnya dipilih para ibu-ibu. "Selamat pagi ibu-ibu, udah rame aja nih!" sa
Terdengar suara mobil Mas Aris memasuki halaman rumah, saat aku sedang menonton tv. Aku segera menghampirinya ke depan, menyambut kedatangannya. "Assalamu'alaikum dek!" ucap mas Aris sambil tersenyum sumringah. "Wa'alaikumsalam mas." Aku mencium tangan mas Aris.--- "Ayok mas kita keluar, udah lama gak jalan-jalan," ajakku pada mas Aris. "Pengen kemana dek?" tanya mas Aris sambil tetap fokus pada televisi. "Ya, muter-muter aja mas, beli makan dipinggir jalan, kayaknya enak." "Iya dek, nanti ya habis maghrib," jawab mas Aris sambil mengelus kepalaku. "Mas..." "Kenapa dek? Kamu ada masalah?" tanya mas Aris khawatir. "Ayo kita ke dokter lagi mas, periksa lagi," ucapku lirih. "Kan udah pern
Setelah mobil berhenti di halaman rumah, aku segera keluar dari mobil. Ku buka pintu yang terkunci. Lalu langsung menuju kamar. Tak kuhiraukan Mas Aris yang berteriak memanggil-manggil namaku. Aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu melaksanakan sholat isya'.-- "Dek, jangan diemin mas dong! Mas juga bingung harus gimana!" ujar mas Aris, seraya tidur di sampingku. Aku hanya diam, hanya ku lirik sekilas. Kutatap tajam matanya. Lalu fokus kembali ke hpku. "Dek, kamu marah lagi sama mas?" Mas Aris hendak menyentuh tanganku. Aku langsung berbalik, tidur memunggunginya. "Dek, jangan gini dong!" "Dek," Mas Aris menyentuh bahuku, langsung aku tepis tangannya. Kutatap wajah Mas Aris, dia memasang wajah memelas. "Sudahlah mas, kamu yang memulai semuanya. Jadi kamu harus bertanggung jawab. Walaupun nanti
Aku yang sedang menikmati sarapan bersama Mas Aris, tiba-tiba dikejutkan oleh suara bel rumah. Kami saling berpandang-pandangan, mungkin sama-sama berfikir. Siapa yang bertamu sepagi ini. "Aku ke depan dulu Mas, mau lihat siapa yang datang." Aku beranjak pergi menuju ke depan.-- Aku menghampiri Mas Aris yang sedang sarapan, sambil membawa sebuah bungkusan paket. Dia mengernyit heran memandangku. "Apa itu dek?" tanyanya. "Ya gak tau Mas, mungkin pesanan kamu. Kata kurirnya untuk Aris," jawabku sambil menaruh paket di meja. "Lah! Kan paketku udah tadi malem dek. Aku cuma pesan satu, kok di kirim dua?" tanyanya heran. "Ya gak tau Mas! Coba tanya ke penjualnya. Atau kamu coba buka dulu paketnya." Aku meneruskan sarapanku yang sempat tertunda.--- Setelah selesai sarapan, Mas Aris segera mem
POV BU DEWIAku merasa bahagia saat Andin, teman Widia mengatakan bahwa dia mengajak Aris dan istrinya, untuk menjenguk anakku Widia.Widia sudah beberapa hari ini, depresinya mulai kumat lagi. Di ajak bicara hanya diam tak menyahut. Di dalam penjara dia tidak mau makan, dan malah mengamuk.Semoga dengan kedatangan Aris bisa membuatnya sedikit bahagia.Ternyata benar, setelah melihat Aris wajah Widia langsung berubah ceria, dia langsung memanggil Aris.Widia memanggil Aris sembari merentangkan kedua tangan, seolah ingin Aris menghambur ke arahnya dan memeluknya.Tapi, itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Widia harus sadar Aris sudah beristri, Sifa berada di sampingnya.--Wajah Widia terlihat muram dan marah saat Aris berpamitan untuk pulang. Entah, Widia mendapat kekuatan darimana, saat Aris baru berbalik badan.Widia sudah meloncat turun dari ranjang dan berlari menuju ke arah Aris. Aku mengira dia akan memeluk A
Saya mengucapkan terima kasih banyak. Kepada semua pembaca yang sudah setia membaca ceritaku sampai akhir.Saya do'akan bahagia selalu, sehat selalu. Dilancarkan rezekinya.Dijauhkan dari hal-hal yang buruk, di dekatkan dengan hal-hal baik.Aamiiiin.Saya minta maaf apabila ada salah kata, atau cerita saya kurang memuaskan di hati pembaca.Saya pemula yang masih berusaha memperbaiki semuanya.Terima kasih.Selamat membaca.Ini adalah cerita 3 bab yang saya jadikan 1.--"Kok masak banyak sekali Bi?" tanyaku saat melihat meja makan dipenuhi berderet-deret aneka makanan."Iya Neng, ada tamu mau datang katanya Pak Aris.""Siapa Bi?" Tanyaku penasaran."Saya gak tau neng, cuma di suruh masak yang banyak saja," jawab Bi Minah sambil asyik membersihkan dapur.Aku mengangguk mendengar jawaban Bi Minah, lalu berjalan ke depan. Menghampiri Mas Aris yang sedang olahraga."Mas, gak siap-siap
Raut wajah Nila terlihat berubah, setelah melihat ponsel yang ku ulurkan."Bener-bener lampir emang ya si Widia itu, gak terima gue Sif." Omel Nila."Nil. Mau gak bantu Aku?" Tanyaku sambil menatap lekat Nila."Bantu apa?" tanya Nila."Menyelidiki kasus ini. Harus sampai tuntas," ucapku."Kan dari kemarin yang semangat Aku, Sif. Kamu sama Aris malah kayak gak niat," ujar Nila sambil memanyunkan bibirnya."Ya udah ayo, sekarang Aku udah semangat 45.""Kemana?" tanya Nila."Ke toko kue. Kita cari tahu. Yuk," ajakku."Oke, ayo. Cuss!"----"Bener ini alamatnya?" tanya Nila."Iya bener, ini nama tokonya. Yuk, masuk Nil!"Aku dan Nila bergegas turun dari mobil. Beruntung sekali, pemilik toko sedang berada di sana. Aku langsung mengutaran maksut kedatanganku.Kami di ajak masuk ke ruangannya, dan memutar cctv, Aku masih mengingat tanggal kejadian kemarin.Terlihat di cctv, perempuan be
Pagi-pagi sekali, Aku dan Mas Aris sudah mengemasi barang. Nila sudah dibolehkan pulang oleh dokter. Keadaannya alhamdulillah sudah membaik."Ayo Nil," ajakku sambil memapahnya berjalan."Aku udah kuat Sifa. Udah bisa jalan sendiri.""Gapapa, takutnya oleng," jawabku sambil tetap memapah Nila menuju mobil.---"Sarapan dulu ayo, makan dimana?" Tanya Mas Aris sambil fokus menyetir mobilnya."Mau makan apa, Nil? Nila yang duduk di sampingku hanya menggelengkan kepalanya."Makan yang hangat-hangat deh mas!" Seruku pada Mas Aris."Siap laksanakan!" Jawaban Mas Aris yang tegas bak prajurit militer, membuat Aku dan Nila tersenyum.----Mas Aris akhirnya menghentikan mobilnya, memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Aku dan Nila segera menghampiri gerobak pinggir jalan yang menjual bubur ayam. Sedangkan Mas Aris membeli nasi pecel di gerobak sebelahnya."Sif, kok bisa ya aku keracunan kue yang aku makan?" Tan
"Bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanyaku saat Dokter sudah keluar dari ruangan Nila."Alhamdulillah, sudah mulai membaik. Harus banyak-banyak istirahat, dan makanan yang sehat, minum air putih yang cukup. Pasien keracunan makanan.""Keracunan, Dok?" tanyaku tak percaya."Iya, dari hasil pemeriksaan, pasian keracunan makanan, yang ada di kue yang dia makan. Baiklah, saya permisi dulu. Boleh di jaga ya temennya. Tolong suruh banyakin minum air putih juga.""Terima kasih, Dok."---"Mas, kata Dokter Nila keracunan kue," ucapku pada Mas Aris. Aku menghampiri Mas Aris yang duduk di ruang tunggu."Kok bisa dek? Kue dari mana? Kamu beli?" Mas Aris mengernyit heran."Aku baru inget mas, kue itu dari Bu Wati tadi pagi, sebelum kita berangkat periksa." Aku ikut duduk di samping Mas Aris."Bu Wati?""Iya mas, dari Bu Wati tadi pagi.""Ah, masak sih dek? Biasanya Bu Wati juga suka ngasih kita makanan, tapi kita gap
"Assalamu'alaikum," ucap Mas Aris yang baru pulang dari kerja, dengan wajah sumringah."Wa'alaikumsalam," jawabku bersamaan dengan Mbok Inah. Kami berdua sedang bersantai di teras rumah."Mas, mau mandi dulu ya dek," ucapnya berpamitan. Aku hanya menjawab dengan anggukan."Bibi, mau nyiapin makan malam dulu ya neng," pamit Bibi juga sambil menuju ke dalam rumah."Iya bi," sahutku.Aku melamun menatap bunga-bunga di halaman yang bergerak tak tentu arah tertiup angin, anganku terbang melayang jauh."Dek," suara panggilan dari Mas Aris dan tepukan pelan di pundak, menyadarkan aku dari lamunan."Iya mas?""Kamu kenapa? Jangan ngelamun. Gak baik, apalagi ini sore hari. Ayo masuk, udah mau maghrib."Mas Aris menggenggam tanganku, menarikku masuk ke dalam rumah. Aku hanya menurut saja.---"Mas, aku gak mau ya kamu berhubungan lagi sama kelurga Widia. Apapun yang berhubungan dengan mereka, tolong kamu lupaka
Hari masih terlalu pagi. Aku yang sedang memasak, mendengar suara ponsel Mas Aris berdering di atas meja ruang tv. Mungkin dia lupa membawa ponselnya. Mas Aris sedang berolahraga pagi. Aku tinggalkan sebentar masakanku, menuju ruang tv untuk mengambil ponsel. Tertera nama Bu Dewi. Aku segera mengangkat telfonnya."Halo," ucapku saat telepon tersambung, sambil berjalan menuju dapur."Halo, Arisnya ada?" tanya suara perempuan di seberang."Masih keluar Bu, ada perlu apa ya?" tanyaku sambil mengaduk kuah kare ayam di panci."Nanti kalo sudah pulang, tolong suruh hubungi saya ya, Sifa.""Iya bu," sahutku. Tut... Panggilan diputus sepihak oleh seberang.---"Mas, tadi kamu dicariin sama Bu Dewi?" ucapku saat sarapan pagi bersama Mas Aris."Kenapa dek kok nyariin aku? Ada apa?" tanyanya sambil memainkan sendoknya."Gak tau mas, gak bilang apa-apa sama aku. Katanya kamu di su
Mas Aris tersenyum begitu bahagia sambil memandangiku, sesekali tangannya mengelus perlahan perutku."Udah mas, fokus nyetirnya. Awas! Nanti malah oleng mobilnya," ujarku."Iya dek, hari ini mas bahagia banget. Mas mau jagain kamu dulu. Hari ini mas mau ijin cuti kerja," ucapnya dengan begitu semangat."Jangan lebay deh mas! Aku gapapa, udah sehat bugar ini.""Enggak dek! Pokoknya mas mau cuti hari ini. Takut kamu kenapa-kenapa. Kejadian kayak tadi pagi, apalagi di rumah cuma sendirian. Mas kan khawatir," omelnya panjang lebar."Baik tuan." Mas Aris malah tersenyum lebar, mendengar jawabanku.--Mas Aris tiba-tiba membelokkan mobilnya ke arah rumah makan. Memarkirkan mobilnya lalu berhenti."Ayo turun dek, kita sarapan dulu," ajaknya."Iya mas, ngerti aja kalo perutku sudah lapar.""Iya, kasian dedek bayinya dek," ucapnya sambil mengelus perutku.---Kami memesan nasi pecel, menu a
Aku yang sedang asyik bercanda bersama Nila, tiba-tiba di kagetkan oleh panggilan telefon dari ponselku. Tertera nama Mas Aris disana. "Halo Mas, ada apa?" tanyaku. "Mas mau ngabarin dek, nanti mas lembur, pulang sekitar pukul 8 malam. Kamu gapapa kan?" "Gapapa mas, ini aku masih main di rumah Nila." "Ya udah, kamu di situ aja, sampai mas pulang. Nanti biar mas jemput ke rumah Nila." "Iya mas, aku tanya Nila dulu?" Ku lihat Nila mengangguk-angguk begitu bahagia. "Iya mas, boleh katanya, nanti kamu langsung jemput kesini saja," jawabku kemudian. "Iya dek, kamu hati-hati. Jangan lupa makan. Sudah dulu ya, mas mau lanjut kerja. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawabku. Kemudian memasukkan ponselku ke dalam tas kembali. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah Nila tadi, setelah pulang dari kak Rudi. Darip