Pagi ini rencananya Ayra mau pergi ke butiknya Mayang. Untuk apa lagi kalau bukan untuk kembali mencoba baju yang sudah dibuat oleh Mayang untuk hari pernikahan Ayra dengan Ibra. Sayangnya kali ini Ibra tidak bisa menemani Ayra pergi ke sana karena Ibra ada pekerjaan yang sangat mendesak dan harus dikerjakan saat itu juga. Ayra pun tidak masalah karena dia bisa pergi sendiri. Akan tetapi, tentu saja Ibra tidak mengizinkannya karena ia sangat ingat dengan ucapan Reni yang mengancam Ayra. Alhasil Mau tidak mau Ayra menyetujui untuk ditemani oleh Sifa. "Sifa ayo udah siang ini! Lama banegt sih?!" pangil Ayra pada Sifa karena gadis itu belum juga keluar dari kamarnya. Tidak berselang lama Sifa pun keluar dari kamar dan menghampiri Ayra. "Kamu habis ngapain sih kok lama bener?" tanya Ayra. "Biasa habis semedi dulu. Alias mengisi kekuatan kalau enggak yang ada ntar lemes." "Memangnya ngapain? Ngecas? Dah kayak ponsel aja pale dicas." "Yah bisa diibaratkan begitu tapi gak gitu juga sih
"Lha terus kok kamu takut sama kecoa?!" Ayra bertanya sembari mengulum senyumannya. "Kalau itu pengecualian. Dah ah gak usah bahas itu merinding yang ada. Yuk kita pergi!" Ayra dan Sifa pun masuk ke dalam mobil tersebut dan Sifa mulai menghidupkan mesinnya dan mereka pergi meninggalkan rumah Ayra menuju butik milik Mayang. ***"Tante, hari ini jadwal si Ayra ke butik Tante kan?" tanya Fiona yang baru saja mendatangi butik sang tante itu. "Hemmm begitulah, bajunya sudah jadi. Ya dia kan harus ngepasin lagi apa ada yang kurang atau sudah cukup. Ada apa? Mau ngajak ngerjain dia lagi?" tanya Mayang kembali setelah dia meletakkan pensilnya yang biasa dia gunskan untuk menggambar desain. "Hemm rencananya iya.""Apa itu? Kalau ngisengin kayak ngasih bedak gatal atau sejenisnya Tante gak mau ah. Seringnya bukannya berhasil malah jadi senjata makan tuan nanti." "Ck! Bukan itu. Ini jauh lebih canggih dan Fiona yakin bakal berhasil." "Oh ya? Apa itu? Tante jadi kepo.""Tante lihat laki-lak
"Oke deh Tante. Makasih ya Tanteku sayang." Fiona dan Mayang pun sama-sama tersenyum licik karena sangat yakin kalau rencananya kali ini akan berhasil.Fiona segera memanggil pria itu untuk masuk ke dalam butik. Karena sudah mendapatkan panggilan maka pria itu pun masuk ke dalam butik milik Mayang. Sedikit terkagum saat memasukinya karena butik Mayang memiliki desain yang sangat cantik. Itu semua juga tidak lepas dari campur tangannya Ibra. "Kenalkan, Saya Mayang pemilik butik ini. Jadi kamu yang mau bekerja sama dengan kita?" ujar Mayang dengan angkuh.Pria itu mengangguk dengan yakin lantas ia menjawab, "Asalkan bayarannya cocok." Pria itu tersenyum memberikan jawabannya. "Oh tentu saja, aku akan memberikanmu uang yang lumayan. Kamu bisa mendapatkan bayaran yang sesuai nantinya dengan apa yang sudah kami kerjakan asalkan kami mengikuti instruksi kami dengan baik."."Jadi berapa Ibu mau membayar saya?""Saya punya uang dua juta. Dengan mudah bisa memberikannya untuk kamu. Asal kamu
[Ayra, jadi tidak datang ke butikku? lama sekali. Aku tak punya waktu banyak untuk menunggumu mencoba gaun yang sudah dipesan ini.]Ayra menyipitkan mata membaca pesan dari Mayang. Baru kali ini Mayang mau repot-repot mengiriminya pesan. Ayra mulai merasakan firasat aneh. "Kenapa, Mbak? kaya abis baca chat dari presiden Jokowi saja. Sampe mematung dalam diam, hihihi.""Bukan gitu, Sif. Aku heran saja, Tante Mayang tiba-tiba chat dan bilang menungguku memilih gaun di butik.""Mungkin di suruh Bos besar, Mbak. Tenang saja, Mbak jangan khawatir. Kalau Para manusia setengah kuntilanak itu mengganggu, aku libas mereka pake jurus jaran goyang. Biar pada kapok, hihihi.""Ada-ada saja kamu, Sif. Awas kalau kamu lengah dengan pergerakan mereka.""Siap, Mbak. Tenang. Mataku siap siaga membaca kelicikan para Kunti itu.""Ih, sudah-sudah. Jangan bawa-bawa nama-nama artis dunia ghaib. Aku merinding."Sifa tertawa geli mendengarkan Bos perempuannya ketakutan hanya karena memanggil nama-nama artis
[Lihatlah, calon istrimu sedang bermain gila bersama pria lain. Apa kamu yakin mau menikahinya? pikirkan seribu kali.]Nomor misterius tiba-tiba mengirim pesan pada Ibra. Pekerjaannya terhenti saat melihat foto Ayra seolah-olah sedang dipeluk dari belakang oleh seorang pria. Tangannya mengepal. Dia tidak terima ada orang misterius yang memfitnah calon istrinya. Tentu Ibra tak mudah percaya hanya dengan sebuah foto yang bisa direkayasa."Baik, rapat kali ini cukup sampai di sini. Saya ada kepentingan lain. Nanti kita lanjut nanti."Secara tergesa-gesa, Ibra membubarkan rapat. Padahal, seharusnya masih ada beberapa hal yang harus dibahas. Namun, rasa kesal, dan penasaran membuatnya tak bisa fokus. Ibra segera menelpon orang kepercayaannya. Sebelum dia mendatangi Ayra di butik, Ibra ingin mencari tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi. "Hallo, cepat datang ke butik adik saya. Cek cctv di sana. Cari informasi mengenai apa yang dilakukan Ayra, dan Mayang di sana.""Sekarang, Bos?" tanya
"Ma-maksud, Mas apa? aku tidak paham." Mayang sedikit gemetar melihat wajah Ibra tidak seperti biasanya. Sangat datar dan dingin. "Cepat katakan siapa pria yang kau suruh untuk menjadi wayang sebagai bahan fitnahan untuk Ayra?!" Ibra terus saja mendesak Mayang untuk mengatakan padanya yang sejujurnya. Meskipun Ibra memiliki bukti tapi, tetap saja Ibra masih menunggu itikad dari Mayang untuk jujur. Ibra ingin Mayang sendiri yang mengatakan padanya tentang rencananya itu. Akan tetapi, jika Mayang masih saja terus berkilah dan tidak mau memberitahukan semuanya maka dengan sangat terpaksa Ibra akan mengeluarkan bukti itu. "M-Mas jangan bercanda ah, aku kan gak ngapain-ngapain. Memangnya pria yang mana sih? Aku lho gak ngapain-ngapain." Mayang masih berusaha berkilah. Dia masih kekeh belum ingin mengatakan yang sejujurnya pada Ibra. Ibra kembali merangsek maju mendekati Mayang. Tangannya masuk ke dalam saku celana dan mengambil sesuatu di dalam sakunya itu. Ibra mengeluarkan ponsel da
Mayang menelan salivanya dengan wajah yang memucat sedangkan Ibra menarik tangan Ayra dan membuat wanita itu mengikuti kemana kaki Ibra berjalan. Sedangkan Mayang hanya bisa menatap kesal kepada keduanya. Dirinya tak bisa apa pun karena Ibra mempunyai kuasa yang besar. Usahanya bisa sebesar itu juga karena bantuan dan sokongan dana dan promosi dari Ibra selebihnya Mayang hanyalah ceceran kotoran kucing. Untuk itulah Mayang tak bisa mendebat Ibra lebih banyak lagi. Ibra terus saja menggandeng tangan Ayra menuju ke liar butik. Namun, saat keduanya hampir sampai di pintu tiba-tiba saja ada Sifa yang melihat dan menghampiri keduanya. "Lho Pak Bos sama Mbak Bos mau kemana? Kok gandeng-gandengan? Hayoh belum muhrim!" Sontak saja Ibra dan Ayra saling melepaskan tangan. "Nah gitu dong kan belum menikah jadi jangan pegang-pegang." Sifa masih saja terus nyerocos dan tidak melihat perubahan dari raut wajah Aura dan Ibra. Namun, setelah banyolan Sifa tidak ditanggapi Ibra maupun Ayra, Sifa l
"Memangnya kita mau kemana?" "Penghulu!""Hah, Penghulu?" tanya Ayra kaget."Pelankan suaramu, Sayang. Biar aku jelaskan di mobil."Ibra menarik tangan Ayra segera masuk ke dalam mobil. Begitu pula dengan Sifa. Gadis itu duduk di bangku belakang. Sementara Ayra dan Ibra di depan. "Aku sudah mengatur pernikahan kita malam ini, Sayang. Lebih cepat lebih baik," ujar Ibra saat sudah melakukan kendaraannya di jalanan. "Apa, menikah? ya ampun, Pak Bos. Ko, dadakan kaya tahu bulat, sih. Sifa juga ikut menyaksikan pernikahan kalian 'kan? yah, gimana dong, belum persiapan. Bukannya seharusnya acaranya beberapa hari lagi?" tanya Sifa yang lebih dulu mengincar Ibra dengan banyak pertanyaan."Sifa, harusnya aku yang banyak bertanya. Kamu diam dulu," ujar Ayra."Hehehe, maaf, Mbak. Saya syok luar binasa. Jadi, mulutnya nyurucus deh."Ayra tak merespon ucapan Sifa. Perempuan itu ingin menanyakan duluan rasa penasaran di hatinya. Tak mau dipotong, karena Ayra ingin tahu duluan maksud dan tujuan I
Ayra beranjak dari tempat duduknya, menghampiri wanita itu, lalu memeluknya. Ia berusaha penuh untuk membuat Fiona nyaman saat berada di keluarga ini. Ibra yang melihat pemandangan itu pun ikut bahagia. Ia senang karena Fiona sudah menyadari kekeliruannya dan berjanji untuk memperbaiki diri. “Fiona.” Panggil Ibra. “Iya?” “Kamu boleh tinggal di sini lagi jika berkenan,” tukas Ibra tulus. “Benarkah?” Fiona menatap tak percaya. Ini seperti sebuah kemustahilan. “Tentu saja. Karena kamu masih anak angkatku,” sahut Ibra seraya menganggukkan kepala. “Terima kasih, Papi.” Keesokan paginya, mereka semua bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit jiwa di mana bapak kandung Fiona berada. Sesampainya di sana, Fiona terlihat sedih melihat kondisi bapaknya yang masih dalam proses penyembuhan. Ibra menepuk pundak Fiona. “Sudah, jangan menangis lagi. Doakan yang terbaik untuk bapakmu.” “Iya, Papi. Aku hanya ingin bapakku sembuh. Itu saja.” Fiona menghapus air matanya. Di lain sisi, saat Fiona
Kini Fiona berada di depan rumah Ayra dan Ibra. Wanita itu terlihat sangat gugup dan juga malu. Cemas jika permintaan maafnya tidak diterima. Ya, memang kesalahannya begitu besar. Jadi, wajar saja bila nantinya Ayra dan Ibra tidak memberikan pintu maaf tersebut kepada dirinya. Fiona juga hanya bisa pasrah jika hal demikian sampai terjadi. Dia tak akan marah apalagi sakit hati untuk respons yang akan diterima. Fiona mencoba menghilangkan rasa gugup dan cemasnya sebelum mengetuk pintu rumah Ayra dan Ibra. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Fiona lakukan berulang kali sampai sudah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Walaupun permintaan maafnya diterima relatif kecil, ia tetap berusaha. Lagi pula, tidak ada salahnya bila Fiona mencoba. Karena bila tidak berusaha, dia tak akan tahu hasilnya.Fiona mengetuk pintu itu dengan dua ketukan. Selang beberapa menit, pintu segera terbuka. Pandangan pertama yang ia lihat adalah wajah cantik Ayra. Secara bersamaan, pasang
"Ah! Tolong katakan itu di kantor, sekarang mari ikut kami untuk memenuhi prosedur," jelas polisi tersebut dengan lantas menarik tangan Fahri dan mulai memborgolnya.Fahri tentu meronta, ia berusaha menjelaskan semuanya namun kedua polisi itu tak mendengar dan seakan-akan menutup kedua telinganya.Sementara itu, Hilwa mulai meraung-raung memohon untuk tidak membawa anaknya ke kantor polisi."Tolong lepaskan anak saya! Kalian tidak pantas membawanya atas tuduhan tidak dilakukannya!" titah Hilwa dengan berteriak tak karuan, bahkan wanita itu sampai tak segan-segan untuk mencaci petugas polisi tersebut.Keributan itu jelas terdengar sampai ke dalam kamar pribadi milik Nazwa. Gadis yang tengah asyik memainkan gadgetnya merasa terganggu dengan kebisingan yang terjadi di rumahnya.Nazwa pun bangkit dari tempat tidurnya dan berdecih, "Ada apa sih!? Kenapa ribut sekali!?"Tanpa berpikir panjang Nazwa pun lekas beranjak dan keluar dari kamar untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.Hingga
"Apa-apaan ini!?" pekik Fahri saat ia mengetahui bahwa dirinya telah mendapat surat pemecatan dari HRD.Ya! Ketika Fahri tengah sibuk di ruang kerjanya ia tiba-tiba dikejutkan oleh sosok sekretaris yang mendatangi ruangannya dan menyerahkan secarik kertas yang berisikan sebuah surat pemecatan.Hal itu lantas membuat Fahri naik pitam, ia sama sekali tak terima diperlakukan seperti itu oleh Ibra, yang merupakan ayah mertuanya sendiri."M-maaf, Pak. Saya hanya menyampaikannya saja, selebihnya saya tidak tahu pasti," ucap sekretaris itu dengan menundukkan kepalanya. Wanita itu terlihat takut dengan temperamen atasannya yang tiba-tiba naik.Fahri pun berdecih kesal, lalu kembali membaca isi surat tersebut. Hingga ia kembali terkejut saat membaca pernyataan yang menyatakan bahwa Ibra tidak hanya akan memecatnya, namun lelaki itu juga akan melaporkan Fahri kepada pihak berwajib atas tindakan penggelapan dana yang ia lakukan pada perusahaan.Mengetahui hal itu, Fahri semakin geram, amarahnya
“Fahri pulang! Dia akhirnya pulang setelah berhari-hari,” sorak Fiona yang merasa memiliki secercah harapan dengan kepulangan pria itu.Beberapa hari belakangan, Fiona sama sekali tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas. Hari-harinya dipenuhi oleh fisik lesu dan perasaan lelah dan tekanan batin.Namun, begitu mendapati bahwa Fahri akhirnya kembali pulang membuat Fiona merasa bersemangat dan berharap-harap cemas. Akankah lelaki itu pulang karena sadar dan ingin meminta maaf, ataukah jangan-jangan ingin melakukan hal lain yang membuat Fiona semakin terpuruk? Itu lah pertanyaan yang memenuhi benak Fiona sekarang ini.Wanita itu langsung bangkit dari sofa dan berjalan beberapa langkah untuk membukakan pintu. Sebelum muncul di ambang pintu, Fiona sedikit merapikan rambut dan kondisi pakaiannya agar terlihat lebih layak untuk menyambut kepulangan suaminya.Fahri pun turun dari mobilnya begitu mesin mobil sudah dia matikan. Wajah pria itu tampak datar dan bahkan tanpa ekspresi. Dari sudu
Fiona masih tak kuasa menahan dadanya yang justru semakin sesak. Dia terus memukul-mukulnya dengan kepalan tangan saking sakit dan perih hatinya saat ini.“Fahri, kamu benar-benar kejam!” isaknya yang sejak ditinggal Fahri tadi sudah menangis dengan lelehan air mata berurai di kedua pipinya yang bening. Fiona bahkan tidak peduli bila saat ini dirinya hanya terduduk di lantai saking gontai dan lemas kedua lututnya mendengar untaian kalimat demi kalimat yang dilontarkan Fahri.Lantai keramik di ruang tengah yang dingin itu menjadi saksi pertengkaran keduanya beberapa saat yang lalu serta menjadi saksi pula betapa hancurnya perasaan Fiona saat ini.“Bisa-bisanya kamu bilang bahwa selama ini kamu hanya memanfaatkanku saja, Fahri!” Fiona masih tidak menyangka. “Padahal, waktu itu wajah kamu begitu tulus saat menyatakan perasaanmu. Kita bahkan harus menghadapi berbagai lika-liku sampai-sampai kau bercerai dengan Ayra.”“Perjuangan kita begitu panjang dan berat. Tapi kenapa … kamu malah ber
Fahri masih diam saja. Dia asik memilih pakaian apa yang akan dirinya kemas. Fahri terdiam karena dia malas meladeni Fiona. Sampai pada akhirnya telinganya muak mendengar pekikan Fiona.Brak!Saat itu juga Fahri menggebrak meja."Brisik! Kamu gak lihat aku lagi ngapain?!" bentak Fahri yang kini sudah menatap Fiona tajam."Ya makanya kalau ada orang tanya itu dijawab!" balas Fiona tak mau kalah."Kalau aku diam saja itu tandanya aku tidak mau menjawab pertanyaan kamu. Sadar diri dong dari tadi, berisik tau gak!" marah Fahri yang kini sudah mengepalkan kedua tangannya.Ditatap seperti itu sukses membuat Fiona sedih. Fiona hampir saja meneteskan air matanya, tetapi dia cegah dengan mendongak cepat-cepat.Sedangkan Fahri sudah mengalihkan pandangannya ke lain arah. Setelah itu Fahri kembali membereskan pakaian yang sejak tadi menjadi tujuan utamanya datang ke rumah ini."Jahat kamu Mas. Berani-beraninya kamu bentak aku seperti itu," lirih Fiona merasa sedih.Tidak ingin ambil pusing, Fahr
Saat ini Fahri dan Alina meminta waktu berduaan. Mereka memilih untuk tidak diam rumah. Mereka berjalan-jalan sejenak mencari angin. Hubungan yang baru pertama kali terjalin itu benar-benar sangat menyenangkan bagi Alina. Begitupun dengan Fahri yang tidak bisa tidak tersenyum ketika menatap wanita di sebelahnya itu.Orangtua Fahri sangat menyukai Alina juga. Jadi, sudah tidak ada batasan bagi keduanya untuk tidak dekat. Fahri benar-benar merasa bahagia. Bahkan untuk menjalin hubungan ini mereka tidak perlu pikir panjang lagi."Aku benar-benar bahagia bisa mengenalmu, aku bahkan ingin mengenalmu lebih dalam lagi. Seiring berjalannya waktu aku pasti tau semua tentangmu," celetuk Fahri begitu serius.Alina yang malu-malu hanya bisa tersenyum manis. Entah mengapa hatinya juga terasa hangat bisa berduaan dengan Fahri."Jangan ditahan kalau mau senyum atau ketawa," ujar Fahri ketika melihat Alina yang entah mengapa menahan semua itu."Kapan kita jalan?" "Ini kan sekarang lagi jalan," ledek
"Benar-benar menyebalkan. Sepertinya aku tak bisa kalau harus terus-menerus bertahan dengannya. Bukannya jadi kaya, yang ada lama-lama aku malah jadi Jatuh Miskin karena Fiona sendiri sekarang selalu minta uang denganku gara-gara tua bangka itu sudah tak ingin memberikan banyak uang untuknya. Masa Fiona hanya dijatah satu bulan tiga juta saja. Dapat apa uang segitu? Untuk keperluan sehari-hari saja pasti tidak akan cukup!" Fahri kian merasa kesal kita kembali mengingat perdebatannya dengan Ibra beberapa hari lalu.Sejenak terdengar ibu Fahri berdecak. "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Kalau memang sudah tidak berguna ya sudah, buang saja. Dan kita bisa langsung segera mencari yang baru, yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan wanita itu," papar ibu Fahri dengan santainya."Iya, Bu. Aku tahu. Tetapi memangnya siapa yang harus aku kejar? Kemarin-kemarin aku terlalu fokus dan menikmati waktuku dengan Fiona sampai-sampai aku lupa untuk mencari target yang baru saat Fiona s